Sebagai catatan akhir untuk bagian ini, pada pertengahan 1993 sejumlah tokoh muda NU melemparkan otokritik bahwa NU dinilai semakin cenderung elitis dan kian jauh dari massanya. Lontaran pendapat dari antara lain MM Billah ini lalu mengundang serangkaian tanggapan. Sunyoto Usman,37 misalnya, menganggap penilaian itu terlalu tergesa-gesa. Sunyoto, dengan menunjuk beberapa program NU yang jelas-jelas diorientasikan pada kepentingan warga seperti koperasi dan BPR-BPR, yakin bahwa NU masih memikirkan kepentingan umat. Bahwa ada di antara program-program itu yang tersendat bahkan stagnan, itu lain soal. Sementara Kacung Marijan (38 menilai bahwa ang- gapan NU elitis ada benarnya juga. Ia mengingatkan bahwa pemilihan nama Nahdhatul Ulama --bukan Nahdhatul Ummah, misalnya-- me- nunjukkan bahwa elitisme adalah realitas yang diharuskan oleh ajaran yang dianut NU, di mana ulama memperoleh kedudukan yang penting dan khas. Namun dalam gerakan-gerakannya, NU sudah pasti populis. Karena itu Kacung menyebutkan kecenderungan NU sebagai Elitisme populic. Arief Affandi (39 menilai senada dengan Kacung. Hanya saja elitisme NU juga dilihatnya muncul dalam perilaku politiknya. Bagi Arief, persoalannya adalah karena pada saat ini NU masih berada pada masa transisi dalam sebuah transformasi yang belum usai dari orientasi dan peran politik ke nonpolitik. Terlepas dari penilaian para pengamat ini, maka otokritik tokoh-tokoh muda NU itu mestinya dapat dipandang sebagai pertanda semakin matangnya komitmen terhadap khittah. Sebab salah satu pertimbangan NU kembali ke khittah adalah bahwa orientasi politik yang berlebihan ternyata telah membuat NU mengabaikan kepentingan warganya. Dan selama sepuluh tahun ini hal tersebut coba dikoreksi. Uji Coba Khittah Bahwa setelah kembali ke khittah, NU menanggalkan baju politik prakfis, dapat segera dipahami warga NU, namun tidak demikian halnya dengan netralitas NU terhadap ketiga orpol dan membebaskan warga untuk menentukan orientasi politiknya sendiri. Kesulitan itu muncul di kalangan massa NU. Massa NU yang paternalistik telah terkondisikan untuk selalu meminta fatwa dan petunjuk dari ulama dalam menghadapi persoalan hidup mereka, termasuk saat menen- tukan pilihan politik. Mereka cenderung seialu berbuat dan bertindak secara kolektif dalam sebuah arahan yang jelas. Maka, pemberian kebebasan kepada warga untuk menentukan pilikan politiknya sendiri adalah bertentangan dengan pola pikir mereka yang paling esensial. Dan inilah yang terjadi setelah khittah. Persoalannya terasa lebih sulit karena kurang dari tiga tahun setelah keputusan kembali ke khittah, warga NU sudah harus menguji- cobakan "kebebasan" yang didapatnya dalam Pemilu 1987. Sebagian warga NU justru merasa asing dalam suasana yang tanpa arahan kolektif itu, sehingga mereka terdorong untuk terus mencarinya. Dalam konteks ini secara kebetulan sekelompok politisi NU melakukan kampanye penggembosan PPP sambil, langsung maupun tidak lang- sung. menyerukan warga menyeberang ke Golkar. Bagi warga yang ke- bingungan, tak pelak inilah arahan yang mereka cari. Dan efek "arahan" yang menyimpang dari garis netralitas yang telah dirumuskan itu ternyata tidak bisa dikatakan singkat. Sekjen PB NU Ichwan Sam mengeluh bahwa hingga saat ini masih banyak warga awam NU di daerah-daerah yang memiliki tafsir hitam-putih terhadap khittah, bahwa "sudah khittah berarti meninggalkan PPP, masuk Golkar."40 Sebuah penelitian yang dilakukan Bambang Santoso Haryono di da- erah-daerah basis NU di Malang (1989) menyimpulkan bahwa masih banyak warga NU yang memiliki persepsi negatif terhadap keputusan politik Muktamar 1984.41 Hal ini tidak terlepas dari banyaknya kyai NU yang masih enggan meninggalkan aktivitas politik praktis dan yang-- menggunakan wibawanya sebagai ulama-- masih mencoba menggiring warga NU untuk mengikuti sikap dan perilaku politiknya. Haryono mengukur persepsi warga NU berdasarkan tiga variabel: orientasi nilai-nilai keislaman, militansi organisasi, dan pendidikan. Dua variabel pertama dibagi dalam kategori kuat, sedang, dan lemah. Lain variabel ketiga dibagi dalam kategori pesantren dan non-pesantren. Salah satu temuannya tentang persepsi ke mana orientasi politik NU menurut warga adalah seperti terangkum dalam label berikut. Tabel 1. Persepsi Warga tentang Orientasi Politik NU ===============!!===========!!============================== Latar Belakang !! Kategori !! Persepsi ===============!!===========!!============================== !! !! Bebas Golkar PPP PDl !! !!============================== Orientasi !! K !! 21,62 45,21 32,43 1,35 Nilai !! S !! 22,58 48,39 29,03 0,00 Islam !! L !! 42,50 45,00 4,00 2,50 Militansi !! K !! 72,58 11,29 10,48 5,64 Organisasi !! S !! 77,53 6,74 15,73 0,00 !! L !! 13,15 29,73 56,76 0,00 Pendidikan !! Pst !! 24,56 40,95 34,49 0,00 !! Non-Pst !! 36,70 25,32 31,65 6,30 ============================================================ Sumber: Disederhanakan dari Bambang Santoso Haryono, 1990. Tabel di atas menunjukkan bahwa sedikit sekali warga yang memiliki persepsi bahwa NU membebaskan warganya untuk memilih sendiri orientasi politik mereka. Hanya di kalangan mereka yang memiliki militansi organisasi pada kategori kuat dan sedang, yang berarti mereka yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang tinggi terhadap program-program NU, terdapat mayoritas warga yang memiliki persepsi sesuai dengan yang diinginkan yaitu dengan angka 72,58 % dan 77,53 %. Sementara di kalangan warga yang berpendidikan non-pesantren, mereka yang memiliki persepsi benar menunjukkan angka 36,70 %. Terbanyak dibandingkan dengan persepsi lain pada kalangan NU, namun bukan mayoritas. Kelompok-kelompok lain kebanyakan memiliki persepsi orientasi ke Golkar. Seperti mereka yang mempunyai orientasi nilai-nilai keislaman kuat, 45,21 % menunjuk ke Golkar, disusul PDI, 32,43 %, lalu disalurkan bebas sebanyak 21,62 %, dan pada urutan terakhir, seperti pada semua kelompok kategori lain, menunjuk pada PDI sebanyak 1,35 %. Uniknya, justru di kalangan warga yang mempunyai kategori militansi organisasi rendah persepsi bahwa warga NU sebaiknya meyalurkan aspirasi politiknya kepada PPP menunjukkan angka cukup tinggi, yaitu sebanyak 56,76 %. Banyaknnya warga yang condong ke Golkar untuk sebagian dapat dipandang sebagai indikator akan signifikannya pengaruh aksi eksodus sejumlah tokoh-tokoh NU di PPP ke Golkar di tahun 1987 terhadap pola pikir dan persepsi warga NU. Mereka yang memiliki kecondongan ke Golkar ini pada umumnya memberikan alasan bahwa memilih Golkar adalah lebih realistis dan lebih obyektif. Di samping bahwa "memilih Golkar adalah lebih bermanfaat, dan dengan memilih Golkar kita tidak akan banyak mengalami kesulitan untuk mendapatkan pela- yanan dari aparat pemerintah. Sementara tentang PPP, kebanyakan (47 %) ternyata menilainya bukan iagi partai Islam. Sedangkan 46 % memiliki persepsi bahwa PPP masih merupakan partai Islam, dan sisanya 7 % menyatakan ragu-ragu.43 Selanjutnya, meskipun pada umumnya warga NU dapat segera memahami keputusan untuk meninggalkan kepolitikan praktis, namun penilaian mereka terhadap keputusan tersebut masih agak negatif, setidaknya sampai tahun 1989, saat berakhirnya periode sosialisasi khittah. Haryono menemukan bahwa hanya 53,5 % warga yang menyatakan penilaian bahwa keputusan NU untuk meninggalkan politik praktis adalah keputusan yang tepat. 34,4 % menilai keputusan tersebut sama sekali tidak tepat, dan sisanya 12,1 % menyatakan masih ragu-ragu.44 Angka 53,5 % yang menilai tepat memang adalah yang terbesar dibandingkan dengan kedua angka lainnya. Namun jika diasumsikan bahwa semestinya NU mampu menyamakan persepsi seluruh warganya untuk menerima secara baik keputusan meninggalkan politik praktis itu, maka angka tersebut masih dapat dikatakan kecil. Alasan yang dikemukakan oleh mereka yang menilai bahwa keputusan itu tepat adalah:45 1. Karena sebagai organisasi yang tejun dalam kegiatan politik praktis, di mana tokoh-tokoh NU terlalu lama bergaul dengan politik dan berpola hidup serba politik, tugas-tugas NU di bidang kemasyarakatan dan keagamaan banyak terkesampingkan. 2. Seringnya tejadi kemelut dalam tubuh NU yang disebabkan oleh persaingan untuk menjadi pimpinan dengan tujuan mendapatkan fasilitas dari pemerintah atau untuk mengarahkan jalan ke kursi DPR/MPR maupun, dahulu, eksekutif. 3. NU sebenarnya kekurangan kader-kader profesional sehingga tidak dapat mempertahankan kekuasaan politik yang diperolehnya. Hal ini membuat kedudukan NU menjadi lemah sekaligus menjadikannya sebagai permainan dalam arena politik praktis. Sementara mereka yang menilai tidak tepat agaknya didasari oleh pemikiran bahwa banyak keuntungan yang terpaksa ditinggalkan NU setelah tidak lagi berpolitik. Itu berarti, bagi mereka khittah sebenarnya membawa kerugian terhadap NU. Pola pikir semacam ini dikritik oleh Ichwan. Menurut Ichwan, adanya sementara kalangan, bahkan di dalam NU sendiri, yang menilai NU mengalami kerugian setelah khittah adalah karena mereka melihat kondisi NU setelah kembali ke khittah dengan "kacamata non-khittah."46 Angka-angka di atas menggambarkan masih banyaknya warga yang mempunyai persepsi cenderung negatif ternyata kian menguatkan asumsi bahwa masa yang telah berjalan sebenarnya masih belum memadai bagi sosialisasi khittah di kalangan mereka. Konsekuensi Internal Khittah Keputusan Muktamar 1984 tentang Khittah NU dalam salah satu bagiannya menyebutkan bahwa, Karena pada dasarnya Nahdlatul Ulama adalah Jam'iyah Di- niyah yang mambawakan faham keagamaan, maka Ulama sebagai matarantai pembawa faham Islam Ahlussunnah Wal Jamaah selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannya organisasi.47 Nama organisasi yang secara harfiah berarti kebangkitan ulama menggambarkan bahwa ulama mempunyai kedudukan sentral. Na- mun Muktamar 1984 merasa perlu secara eksplisit membuat penegasan tentang hal itu, adalah didasari tujuan yang cukup jelas pula. Sejak peran ulama dalam NU sedikit demi sedikit tersisih oleh peran kelom- pok politisi. Maka ketika NU kembali ke khittah dan memutuskan ditinggalkannya politik praktis, pengembalian otoritas ulama dalam kepemimpinan NU menjadi salah satu konsekuensinya. Konsekuensi ini memberi Muktamar 1982 sebuah sebutan retoris sebagai suatu "kebangkitan kembali ulama. Sebuah retorika bersirat harapan yang hingga sekarang belum terwujud. Ketidak-berhasilan itu untuk sebaagian dapat dijelaskan karena di dalam NU saat ini ternyata sedang berlangsung dua macam proses yang satu sama lain sebenarnya agak berlawanan. Di Satu sisi, NU ingin mengembalikan otoritas ulama dalam teras kepemimpinannya, yang berarti bahwa ulama sebagai kelompok elit kembali menjadi pembuat kebijakan utama yang nyaris tidak dapat dibantah seperti lazim terjadi pada akar budaya NU. Sementara pada sisi lain NU juga menunjukkan keinginan untuk mewujudkan kehendak demokratisasi masyarakat yang akan dimulai dari konteks mikro NU. Kosern pada demokratisasi yang men- seyogyakan mekarusme bottom-up decission making itu tentu tidak dapat dikatakan sejalan dengan upaya pemberian otoritas penuh kepada ulama yang menjadikan keputusan organisasi selain mengalir dari atas ke bawah. Yang diperlukan NU akhirnya adalah membuat pola yang tepat agar kedua proses itu bisa berjalan sekaligus dengan selaras. Namun yang selama ini terjadi, keduanya selalu bejalan susul- menyusul. Proses pengembalian otoritas ulama dimulai di Muktamar Situ- bondo, 1984. Tujuan ini diamankan dengan dibuatnya tata cara baru dalam pemilihan pengurus dengan model Ahlulhalli wal 'Aqdi. Model pemilihan yang barasal dari ide Achmad Siddiq ini semula tidak begitu disukai oleh kelompok muda NU, yang menginginkan tata cara lama berupa pemilihan formatur dan selanjutnya memilih pengurus satu per- satu tetap digunakan.48 Dalam tata cara baru itu ditunjuk KH As'ad Syamsul Arifin sebagai ketua, dan ia selanjutnya menunjuk enam orang kiai senior lainnya.49 Ketua dan para anggota Ahlulhalli wal 'Aqdi inilah yang kemudian menyusun kepengurusan NU. Bahwa kemudian ada politicking yang diwarnai vested interest tertentu dalam meka- nisme semacam itu agaknya sudah dapat diduga. Komposisi pengurus baru, khususnya Tanfidziyah, yang dibentuk ternyata tidak sesuai dengan aspirasi kelompok muda NU, yang sebelumnya telah me- ngajukan usulan formasi kepengurusan pada Ahlulhalli wal 'Aqdi. Beberapa figur yang diharapkan duduk dalam pengurus harian turun ke pengurus pleno, atau sebaliknya.50 Yang paling mengejutkan, pada jabatan Sekjen diletakkan Anwar Nurris, orang dekat As'ad. Ia adalah seorang yang kurang begitu dikenal dalam arus baru kelompok muda NU, dan kurang dapat digolongkan sebagai eksponen khittah.51 Namun kendati Anwar dinilai bukan orang yang tepat untuk men- duduki salah satu posisi kunci di Tanfidziyah, keputusan itu mesti diterima. Sebuah gambaran betapa upaya yang agak ekstrem bagi pengembalian otoritas ulama sebenarnya berimplikasikan kurang ter- artikulasikannya aspirasi yang datang dari bawah. Jika komitmen untuk mengembalikan peran ulama pada porsi yang semestinya lalu dimanifestasikan sebagai dibukanya kesempatan bagi kelompok ulama untuk menguasai semua struktur kepengurusan NU, hal itu sudah pasti akan mendatangkan reaksi-balik yang mengham- batnya. Upaya yang terlalu ekstrem ke arah itu lalu, oleh arus baru NU, mulai di bawa ke titik moderat, sekaligus dalam alur demokratisasi NU. Pada Muktamar 1989, Abdurrahman Wahid berhasil mendesak- kan dua usulan perubahan yang cukup penting. Pertama, dirubahnya mekanisme pemilihan pengurus baru. Sistem Ahlulhalli wal 'Aqdi ditinggalkan dan digunakan model formatur terpilih. Dalam cara ini, wewenang tokoh seperti KH As'ad untuk mengendalikan sendiri pro- ses pemilihan pengurus jadi berkurang, dan dialihkan kepada utusan wilayah-wilayah dan cabang-cabang secara keseluruhan.52 Kedua, dilakukan perombakan terhadap AD/ART NU, di mana Mustasyar yang sebelumnya merupakan lembaga tersendiri disubordinasikan ke dalam lembaga Syuriyah. Rupanya, anggota Mustasyar banyak dinilai melakukan tindakan yang berada di luar kewenangannya, sehingga dengan diletakkan di bawah Syuriyah, pelaksanaan tugas mereka akan selalu berada di bawah koordinasi Rais Aam. Perombakan itu praktis membawa hubungan antar struktur dalam NU semakin mendekati bentuk ideal. Pada prinsipnya, secara formal lembaga tempat kiprah ulama di NU adalah Syuriyah, yang merupakan pimpinan tertinggi. Jadi sebenarnya upaya yang paling tepat dalam rangka mengembalikan peran ulama adalah dengan jalan mengefektifkan fungsi Syuriyah yang terjadi selama ini, pelaksanaan peran Syuriyah sangat jauh dari apa yang diatur secara mentereng dalam pasal 30 ART NU bahwa Syuriyah adalah "pimpinan tertinggi yang berfungsi sebagai pembina, pengen- dali, pengawas, dan penentu kebijaksanaan Nahdlatul Ulama. Dalam kenyataannya, Syuriyah lebih sering tampak tenggelam di balik domi- nasi Tanfidziyah, yang mestinya tidak lebih dari pelaksana garis kebi- jaksanaan Syuriyah. Dominasi Tanfidziyah ini sebenarnya bukan se- suatu yang terlalu mengherankan, mengingat lembaga ini sebagai pelaksana harian jalannya organisasi sudah tentu adalah yang pertama bersinggungan dengan persoalan ekstern, dan karenanya memberikan respons yang lebih awal daripada Syuriyah. Itulah sebabnya Tanfi- dziyah selalu tampak lebih menonjol. Namun kelemahan pada sisi Syu- riyah sendiri bukannya tidak menjadi penyebab bagi persoalan dis- fungsi itu. Yang paling sering dikritik oleh kalangan ulama NU sendiri adalah, orang-orang di Syuriyah pada umumnya kurang mampu mengantisipasi permasalahan yang berkembang dalam masyarakat antara lain akibat penafsiran yang terlalu tekstual terhadap kitab-kitab kuning yang menjadi acuan mereka. Ketidak-mampuan ini sedikit banyak akhirnya menimbulkan rasa inferior Syuriyah berhadapan dengan Tanfidziyah. Dengan demikian persoalannya adalah berkaitan dengan kualitas personel Syuriyah. Hal ini rupanya disadari betul oleh NU, sehingga perbaikan lalu diarahkan untuk mencapai kondisi "Syuriyah yang percaya diri, dan Tanfidziyah yang tahu diri."53 Artinya peningkatan kualitas personal Syuriyah dilakukan simultan dengan penumbuhan kesadaran pada sisi Tanfidziyah untuk, dengan kelebihan yang mereka miliki, mengendalikan diri agar tidak berbuat di luar batas wewenangnya sebagai pelaksana kebijaksanaan. Empat bulan sebelum Muktamar Krapyak, kelemahan-kelemahan Syuriyah itu dibicarakan dalam sebuah halaqah Syuriyah saat ber- langsung Konperensi Wilayah NU Jawa Timur di Lumajang. Halaqah ini menghasilkan sebuah rekomendasi penting bagi muktamar yang setelah menganalisis kelemahan-kelemahan Syuriyah dalam tiga point: wawasan dan pengetahuan, sikap, dan kemampuan berorganisasi, merumuskan kriteria kapasitas yang harus dimiliki oleh Syuriyah. Kriteria itu meliputi:54 1. Bidang keilmuan: a. ILmu Naqliyah, meliputi aqidah, syari'ah, dan akhlaq. b. Ilmu Kauniyah, meliputi ilmu kemasyarakatan (politik, ekonomi dan budaya), ilmu sejarah, dan ilmu manajemen. 2. Sikap yang perlu dimiliki Syuriyah: Berwawasan rahmatan lil 'alamin sesuai dengan risalah Rasul; Tasamuh, Tawazun, dan tawasuth, sesuai dengan Khittah 1926; Mempunyai keperdulian terhadap perkembangan masyarakat dan lingkungan hidupnya; Tang- kap dan mampu merespons setiap tantangan yang ada di masyarakat. Memiliki sikap kepeloporan, berani melakukan hal-hal baru yang lebih maslahat. 3. Kemampuan berorganisasi Syuriyah: Memiliki kemampuan memimpin dan mengelola organisasi sebagai sarana untuk mewujud- kan cita-cita jam'iyah; Mampu memberikan pemecahan praktis terha- dap masalah yang timbul dalam masyarakat; Mampu menjabarkan dan mewujudkan tanggung-jawab agama dalam sefiap perkembangan yang terjadi; Memiliki kemampuan membaca perubahan dan kecenderungan yang tejadi dalam organisasi maupun masyarakat; Mampu membina hubungan dengan berbagai pihak, ke dalam maupun ke luar. Akan tetapi setelah hampir lima tahun bejalan, rumusan itu ter nyata tidak berhasil memberi perubahan yang terlalu berarti. Terlebih setelah meninggalnya KH Achmad Siddiq, Syuriyah jadi terasa kembali sulit meletakkan diri pada superioritas yang semestinya. Sepeninggal Achmad, praktis tidak ada figur ulama Syuriyah yang memiliki kualitas pribadi cukup untuk mampu setidaknya mengimbangi Abdurrahman Wahid di Tanfidziyah. Di samping masalah kualitas personel di atas, mekanisme pemilihan anggota inti PB agaknya dapat dipandang seba- gai penyebab lain sulitnya pengembalian supremasi Syuriyah, walau- pun tidak terlalu menentukan proses pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah yang sama-sama dilakukan secara langsunt; sedikit banyak tentu menimbulkan efek rasa kesepadanan antara keduanya Karena itu lalu muncul pemikiran tentang perubahan tata cara pemi- lihan pengurus. Pilihannya pasti bukan kembali pada konsep Ahluhalli wal 'Aqdi yang mengandalkan otoritas elit kyai senior dan terkesan kurang demokratis itu. Gagasan yang muncul belakangan tampaknya adalah jalan tengah antara mekanisme Ahlulhalli dan pemilihan langsung. Yakni, cukup para pengurus Syuriyah saja yang dipilih secara langsung dalam muktamar. Lalu Syuriyah yang telah terbentuk ini bersidang untuk memilih Ketua Umum Tanfidziyah, atau menunjuk formatur yang akan menyusun kepengurusan Tanfidziyah.55 Gagasan ini memang tampak cukup menarik, tapi rupanya masih belum bisa diterapkan ketika hendak diuji-cobakan dalam Konperensi Wilayah NU Jawa Tengah pada bulan April 1994, konsep itu ditolak oleh sebagian besar peserta konperensi yang justru masih menginginkan Ketua Tanfidziyah PW NU juga dipilih langsung.56 Sementara itu sebuah gagasan lain yang cukup mengejutkan datang dari Abdurrah- man Wahid. Dalam sebuah seminar tentang peranan pesantren dalam meningkatkan etos kerja di Cirebon tanggal 18 Juni 1993, ia menge- mukakan pemikiran tentang perampingan organisasi NU. Salah satu bagian dari gagasan perampingan itu adalah penghapusan jabatan Ketua Umum. Perubahan semacam ini dimaksudkan untuk menghi- langkan dualisme kepemimpinan antara Syuriyah dan Tanfidziyah.57 Gambaran umum gagasan Abdurrahman ini adalah, Syuriyah di bawah pimpinan Rais Aam benar-benar diefektifkan sebagai pembuat keputusan tertinggi organisasi. Dan dibawahnya, Tanfidziyah yang dipimpin oleh seorang Ketua dan beberapa wakilnya berfungsi sema- cam sebuah sekretariat yang menjalankan keputusan-keputusan Syu- riyah serta fungsi-fungsi administratif organisasi. Pemikiran Abdurrahman Wahid yang memperoleh tanggapan positif dari intern NU ini memang masih berada pada tataran konsep- tual yang harus diterjemahkan dalam rumus-rumus operasional. Na- mun kalau gagasan itu memang hendak diterapkan, ia tentu memer- lukan perubahan AD/ART NU, yang hanya dapat dilakukan dalam forum muktamar mendatang. Dan jika ini benar akan dilakukan, maka persoalan lain yang juga perlu dipikirkan kembali adalah mekanisme pertanggung-jawaban dalam tubuh NU. Selama ini Ketua Umum Tanfidziyah menyampaikan laporan pertanggungjawabannya lang- sung di hadapan forum muktamar. Ini tentu konsekuensi dari pemi- lihan Ketua Umum yang langsung oleh muktamar. Akan tetapi sebagai pelaksana kebijaksanaan Syuriyah, adalah keharusan Tanfidziyah, se- mestinya, untuk mempertanggung-jawabkan pelaksanaan tugasnya di depan sidang Syuriyah yang memang khusus membahas tentang hal itu. Pola semacam inilah yang belum ada dalam NU. Pasal 31 ART NU hanya mewajibkan Tanfidziyah menyampaikan laporan secara periodik kepada Syuriyah tentang pelaksanaan tugasnya. Di sinilah perubahan agaknya perlu dilakukan. Yang dibutuhkan adalah pengaturan secara eksplisit bahwa Tanfidziyah (dalam hal ini Ketua Umumnya) bertang- gung jawab kepada Syuriyah atas pelaksanaan tugasnya. Tumbuhnya kondisi seperti ini tentu akan menjadi katalisator bagi proses pengem- balian supremasi Syuriyah, yang berarti penuujudan kembali otoritas ulama dalam kepemimpinan NU tanpa berimplikasikan perbenturan dengan upaya demokratisasi. Kesimpulan Dilihat dalam dinamika internalnya, perjalanan NU selama satu dasawarsa ini adalah sebuah pencaharian kapasitas diri yang paling tepat menurut semangat khittahnya. Bahwa pencarian itu hingga saat ini belum juga menemukan hasil yang diharapkan, adalah banyaknya permasalahan yang penyelesaiannya perlu diprioritaskan yang menjadi penyebabnya. Salah satu permasalahan itu adalah masih belum adanya kesamaan persepsi yang utuh dalam tubuh NU sendiri tentang konsep khittah, sekalipun rumusan tekstualnya sudah sangat jelas. Ketidak- seragaman persepsi ini disebabkan sekaligus oleh heterogenitas yang cukup tinggi dalam tubuh NU di satu bagian, serta banyaknya per- gulatan kepentingan antara elit NU sendiri pada bagian lain. Pergulatan kepentingan di kalangan elit itu seringkali membawa NU pada kondisi tarik-menarik antara dua kelompok yang berse- berangan: sayap politisi dan sayap ulama. Sementara kelompok pembaharu NU yang moderat selalu ber- usaha agar NU tetap berada pada posisi tengah antara tarik-menarik itu, maka polarisasi itu sendiri akhirnya membawa imbas lain pada warga NU. Mereka hingga saat ini ternyata masih belum memiliki persepsi yang tepat terhadap khittah sebagaimana mestinya. Sosialisasi khittah yang secara serius dilakukan oleh inti kekuatan NU saat ini se- dipahami dengan tidak pas oleh warga, karena sementara ka- langan politisi NU, dalam kepentingannya masing-masing, kerap mela- kukan distorsi informasi yang membelokkan persepsi mereka. Namun tidak diragukan lagi, yang paling sulit adalah pencarian bentuk yang paling tepat bagi pengembalian otoritas ulama dalam kepemimpian NU. Persoalannya tentu ialah: bagaimana bentuk supre- masi ulama itu? Sebab pemberian otoritas penuh yang menyebabkan kekuasaan tersentralisir pada elit ulama, sementara pada saat yang sama NU berkomitmen pada demokratisasi, sudah pasti akan terasa sebagai ambivalensi. Selanjutnya, supremasi ulama tentulah berindi- kasikan pengurangan yang cukup signifikan terhadap otonomi yang terlalu besar, untuk tidak menyebutnya dominasi, di pihak Tanfidziyah. Ini pun bukan urusan mudah. Sebab di samping karena berbagai kele- bihan yang ada pada Tanfidziyah, pemekaran otonomi itu telah berjalan sangat panjang sejak, sebagaimana telah dibingkai dalam Bab II, Muktamar Banyuwangi 1934 yang diawali oleh prakarsa tokoh seperti KH Wahid Hasyim. Akhirya, segala kesulitan dalam pergulatan internal itu menjadi lebih rumit akibat NU tidak pernah benar-benar dapat mengkonsen- trasikan perhatian semata-mata di situ. Sebab pada lingkup eksternal, perhatian itu juga dibutuhkan bagi upaya pembuktian NU akan komitmen barunya, yang sudah pasti inheren dengan permasalahan- permasalahan. Bab V berikut akan membahas dinamika eksternal itu. __________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________ 37. Sunyoto Usman, "Masihkah NU Potensial Populis?" dalam Jawa Pos, 7 Juni 1993. 38. Kacung Marijan, "NU: Antara ElitiS dan Populis," dalam Jawa Pos 8 Juni 1993. 39. Arief Affandi, "NU: Transformasi yang Belum Usai," dalam jawa Pos, 9 Juni 1993. 40. Wawancara Penulis dengan Sekjen PB NU Drs. HM Ichwan Sam di Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994. 41. Lihat Bambang Santoso Haryono, Persepsi Warga NU Terhadap Keputusan Politik (Thesis S-2 Fakultas Pasca Sajana UGM, 1990). 42. Ibid., h. 102f. 43. Ibid., h. 107. 44. Ibid., h. 113. 45. Ibid., h. 113f. 46. Wawara Penulis dengan Ichwan Sam, op cit. 47. Lihat Keputusan Muktamar XVII NU No. 02/MNU-27/1984 Tentang Khitthah Nahdlatul Ulama, Butir 7. 48. Lihat Arief Mudatsir, "Dari Situbondu Menuju NU Baru: Sebuah Catatan Awal," dalam Prisma Nomor Ekstra, 1984, h. 140. 49. Waktu itu, KH As'ad menunjuk KH Ali Maksum, KH Masykur, KH Sjansuri, KH Ali Hasan Ahmad, KH Romli, dan KH Roffi Mahfudz sebagai anggota. 50. Ibid. 51. Bandingkan dengan Ghafar Rahman dan Ichwan Sam, dua orang yang berturut-turut memegang jabatan Sekjen setelah Anwar Nurris, yang pada tahun 1984 turut ambil bagian dalam Majelis 24. 52. Lihat Tempo, 2 Desember 1989. 53. Wawancara Penulis dengan Sekjen PB NU, op. cit. 54. Lihat Aula No. 7 Tahun 1989, h. 20-22. 55. Wawancara Penulis dengan Wakil Sekjen PB NU Ir. H Musthafa Zuhad di Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994. 56. Ibid. 57. Lihat Aula, Juli 1993.