BAB IV IMPLEMENTASI KHITTAH: DINAMIKA INTERNAL Pada dasarnya, pejalanan'khittah dapat diperiodisasikan dalam dua tahap. Tahap pertama, meliputi masa 1984-1989, adalah periode sosialisasi dan konsolidasi khittah. Dan tahap kedua dari 1989-1999 adalah periode pemantapan khittah Tahap lima tahun pertama dapat dikatakan mewarisi warna-warna reorientasi program, regenerasi, dan rekonsolidasi dari Muktamar Situbondo. Ketiga hal itu adalah sub-sub tema yang mengikuti tema besar "kembali ke Khittah 1926,"1 yang bukan saja telah membawa NU kepada perwajahan baru, namun juga mengantarkannya pada era yang sarat dengan permasalahan dan persilangan kepentingan. Kondisi ini menyebabkan PB NU yang merupakan produk regenerasi 1984 belum bisa berbuat banyak untuk menunjukkan hasil riil dari pelaksanaan program yang telah disusun. Mereka masih berkutat dengan persoalan sosialisasi khittah untuk menyamakan persepsi semua pihak dalam NU, yang ternyata menjadi pekerjaan yang sangat rumit dan kompleks. Regenerasi dalam NU sendiri tidak dapat dipahami sekedar sebagai regenerasi antar-waktu ketika pengurus sebelumnya yang telah senior dan cukup lama memegang kendali mesti diganti dengan yang lebih muda. Regenerasi yang melahirkan nama-nama seperti Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaedi, dan Fahmi Saifuddin, dan seterusnya ini dilatarbelakangi oleh permasalahan yang jauh lebih besar daripada sekadar kemestian untuk melaksanakan mekanisme suksesi kepengurusan. Backdrop proses ini adalah berkaitan dengan maraknya konflik internal NU di masa sebelumnya, yang kurang lebih terpola sebagai konflik antara kelompok politisi dan ulama non-politisi yang secara populer disebut sebagai konflik Cipete-Situbondo. Konflik yang nyaris akut ini pada akhirnya melahirkan kesadaran para ulama dan warga NU akan perlunya pemunculan figur baru dalam teras kepemimpinan NU. Figur baru itu haruslah berada pada posisi netral dalam peta konflik NU, di samping harus mampu menjadi representasi semangat khittah. Berdasarkan kriteria ini maka tujuh orang kiai senior NU yang dikomandani KH As'ad Syamsul Arifin dalam forum ahlul halli wal 'aqdi menunjuk Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Tanfidziyah. Tokoh ini bukan saja netral, tapi ia juga secara serius telah turut mengupayakan rekonsiliasi kedua kubu yang bersengketa di era sebelumnya. Selanjutnya, ia adalah salah seorang figur sentral dalam perumusan konsep kembali ke Khittah 1926.2 Dalam banyak hal, ia dipandang cukup mewakili citra "NU baru" yang hendak dimunculkan. Dengan segala latar belakang ini, maka tugas kepengurnsan baru NU untuk melakukan sosialisasi khittah menjadi tidak mudah, sebab bias-bias konflik politisi dan ulama non-politisi tenyata masih bersisa dalam tubuh NU. Salah satu hal yang harus dijelaskan kepada warga adalah bahwa khittah mengamanatkan ditanggalkannya baju politik praktis NU dan dilepaskannya keterikatan NU dengan organisasi politik manapun. (Tentang ini, lihat Bab V). Namun gambaran persoalan yang muncul dapat diikhtisarkan bahwa kelompok politisi dalam NU ternyata masih menyimpan keinginan untuk membawa organisasi ini kembali pada politik praktis. Misalnya muncul gagasan Mahbub Junaedi tentang "Khittah Plus" beberapa bulan setelah Pemilu 1987. Lontaran pemikiran serupa ini sangat mengganggu langkah Abdurrahman Wahid dan semua orang yang berada dalam arus baru NU, yang dalam setiap kesempatan baik melalui pesantren-pesantren maupun forum pengajian umum selalu berusaha memberikan pengarahan kepada warga NU tentang amanat khittah dalam segala implikasinya. Gagasan itu segera berhadapan dengan barikade yang mencegahnya agar tidak menjadi epidemi baru. Sementara itu dalam Pemilu 1987 Mahbub dan kelompoknya membuat ulah dengan apa yang kemudian disebut sebagai aksi penggembosan PPP, yang menyimpang dari garis netralitas NU dan untuk beberapa waktu, membawa sebagian warga NU pada penafsiran yang salah bahwa khittah berarti eksodus dari PPP ke Golkar. Menyadari bahwa gagasannya dihalangi, Mahbub lain menyusun serangkaian upaya bawah tanah untuk menggeser Abdurrahman Wahid bahkan menon-aktifkannya sama sekali. Ia melobi beberapa kiai senior NU seperti KH As'ad. Namun jelas tidak terlalu mengherankan jika Mahbub gagal meyakinkan mereka akan gagasan Khittah Plus-nya. Kendati begitu, beberapa kiai setuju dengan gagasan untuk menggeser Abdurrahman Wahid, sebab mereka menilainya sering mengeluarkan pendapat yang aneh-aneh seperti bahwa pendidikan agama cukup di rumah dan tidak perlu di sekolah, penggantian Assalamu'alaikum dengan selamat pagi, siang atau malam, di samping bahwa ia dianggap kurang bisa mengorganisir NU, sehingga NU tidak bisa menghimpun dana untuk melaksanakan program Muktamar 1984.3 Maka pada 7 Nopember 1987 di rumah KH Mudjib Ridwan yang merupakan tempat berdirinya NU di Surabaya, diadakan rapat Mustasyar yang membahas kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Namun pertemuan ini gagal menghasilkan keputusan karena hanya dihadiri oleh KH As'ad, KH Masykur, H Imron Rosyadi, dan KH Mudjib sendiri.4 Selanjutnya, upaya menggeser Abdurrahman Wahid melalui forum Munas dan Konbes NU di Cilacap pada bulan yang sama kembali menemui kegagalan. Sekalipun sejumlah kiai "konservatif" berusaha mengge- sernya, namun Abdurrahman Wahid teryata masih didukung oleh sebagian besar kiai senior NU, termasuk Rais Aam KH Achmad Siddiq dan KH Ali Maksum.5 Bahwa As'ad termasuk dalam barisan yang hendak menggusur Abdurrahman Wahid, memang cukup mengheran- kan. Sebab ia sendiri yang pada 1984 menunjuk Abdurrahman Wahid sebagai Ketua PBNU. Pendapat-pendapat aneh Abdurrahman Wahid yang dirujuknya barangkali hanyalah suatu pilihan ketika sebuah alasan perlu dipilih. Di sini hendak diajukan asumsi bahwa boleh jadi As'ad mulai kecewa pada Abdurrahman yang tidak juga tuntas me- ngembalikan otoritas ulama pada porsi yang seharusnya sebagaimana diseyogyakan oleh khittah. Salah satu pilar khittah adalah mening- katkan peran kepemimpinan ulama yang setidak-tidaknya sejak tahun 1952 telah terus-menerus merosot dalam NU. Dan upaya ini ternyata, seperti yang akan dilihat lebih jauh dalam bagian lain bab ini, hingga saat inipun tak kunjung terlaksana secara utuh. Selebihnya, As'ad sebenarnya berada pada posisi yang berseberangan dengan Mahbub ketika mereka sama-sama menginginkan digesernya Abdurrahman Wahid. Keduanya berlatar belakang dikotomi politisi (Mahbub) dan ulama (As'ad), dua kelompok yang berbeda pandangan tentang impli- kasi politik khittah. Nurcholish Madjid menilai bahwa justru keber- adaan dua kelompok ini berikut pergulatan kepentingan mereka yang didasari oleh perbedaan di atas yang telah menguras habis energi Abdurrahman Wahid untuk membabat rintangan dan gagasan dalam upaya sosialisasi khittah. Dengan habisnya energi itu, tidak heran jika ada suara-suara yang kurang puas terhadap kepemimpinan NU tersebut.6 Di kalangan NU sendiri, waktu lima tahun bukanlah periode yang memadai untuk memberikan pemahaman tentang konsep Khittah 1926. Sekian puluh juta massanya yang tidak dapat disebut homogen menyebar di pelbagai propinsi di Indonesia. Keadaan ini menuntut waktu yang relatif panjang untuk melakukan konsolidasi dan sosialisasi khittah di kalangan warga NU termasuk basis-basisnya di wilayah pedesaan. Dalam pidato pembukaan Konperensi Wilayah NU Jawa Timur di Situbondo Agustus 1988, Abdurrahman Wahid mengakui bahwa heterogenitas warga NU telah menimbulkan perbedaan pemahaman terhadap khittah, sehingga meskipun telah diputuskan, pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan. Ia memperkirakan bahwa, "kerja khittah itu lama sekali, 15 sampai 20 tahun."7 Sementara bagi Yusuf Hasyim, masih banyaknya penyimpangan terhadap semangat khittah sangat berkaitan dengan belum lengkapnya petunjuk pelaksana- an khittah itu sendin.8 Lebih jauh, permasalahan itu agaknya juga di- sebabkan oleh ketiadaan perangkat yang mampu menjabarkan program 5 tahunan NU ke dalam kegiatan-kegiatan operasional dari tingkat pu- sat sampai ke ranting-ranting. Akibatnya, banyak program-program itu hanya berhenti pada rumusan ideatif. Karena itu, Muktamar ke-28 yang kemudian dilaksanakan di Yogyakarta, Nopember 1989, merupakan momentum yang tepat untuk menilai kembali semua program yang ada. Hanya saja muktamar ini kembali menjadi ajang konstitusional bagi keinginan untuk mendongkel Abdurrahman Wahid. Beberapa hari sebelum muktamar, As'ad melontarkan kritikan tajam. Ia mengatakan bahwa kepengurusan NU selama ini mengecewakan. Yang terjadi sama sekali bukan pengamalan kembali ke Khittah 1926. la sebagai Mus- tasyar Aam belum pernah menerima laporan selembar pun dari PB NU. Yang paling parah, kata As'ad, musyawarah antara para pengurus dan para kiai sepuh sangat kurang.9 Alasan ini sekali lagi tampak dicari-cari. Anggaran Rumah Tangga NU 1984 yang saat itu berlaku sama sekali tidak menyebut-nyebut keharusan Tanfidziyah memberi- kan laporan kepada Mustasyar yang merupakan badan penasehat. Berkaitan dengan pelaporan, pasal 23 ART tersebut mengatakan bahwa Pengurus Tanfidziyah sebagai pelaksana pimpinan sehari-hari mem- punyai tugas menyampaikan laporan secara periodik tentang pelaksa- naan tugasnya kepada Pengurus Syuriyah. Tidak kepada Mustasyar. Namun keiginan untuk menggeser Abdurrahman Wahid terus mencari temannya, dan sejumlah kesalahan pun diinventarisir. Mulai dari gagasan penggantian Assalamu'alaikum dengan selamat pagi (yang sebenarnya cuma kesalahan pemberitaan di media massa), meng- hadiri sidang LSM di luar negeri yang dikatakan mendiskreditkan pemerintah, pidato di depan Sidang; Raya PGI, bahkan kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta yang oleh As'ad disebut sebagai "ketua ketoprak".l0 Posisi Abdurrahman Wahid kian dipersulit dengan munculnya nama Idham Chalid dalam bursa calon Rais Aam. Kelompok politisi, yang segera berbaris rapat di belakang Idham, seolah mendapat angin bahwa kehadiran tokoh politisi NU yang piawai ini akan membuka celah yang sekali lagi dapat dimanfaatkan untuk melempangkan jalan bagi keinginan mereka yang sempat kandas.ll peluang Idham memang tampak cukup besar. Posisinya diamankan ketika ia terpilih kembali sebagai Mudir Aam Jam'iyah Ahlit-tariqah Al Mu'tabarah dalam muktamarnya di Demak Jawa Tengah, hanya tiga hari sebelum dimulainya muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta. Pemilihan waktu yang sangat dekat ini agaknya disengaja agar Idham bisa mudah mengkonsolidasi pendukungnya menghadapi persaingan di Krapyak. Namun kuatnya posisi Idham ini tidak lalu berarti bahwa sayap politisi NU bisa berharap banyak. Muktamar Krapyak justru menjadi forum penegasan kembali keputusan Muktamar Situbondo. Hal ini bukan saja menjadi arus-besar dalam NU, namun juga secara luas didukung oleh elit politik nasional. Tidak kurang dari Mendagri Rudini,l2 Menag Munawir Sjadzali,13 dan bahkan Ketua Umum Golkar Wahono,l4 telah melontarkan harapan agar Muktamar NU ini dapat menegaskan keputusan kembali ke Khittah. Selanjutnya, meskipun Abdurrahman Wahid mesti menghadapi dua kelompok yang menen- tangnya, tapi dukungan baginya tidak kalah besar. Abdurrahman Wahid memang tidak memiliki kelompok pendukung khusus tertentu, namun ia telah membangun popularitas yang luas di daerah-daerah dengan banyak melakukukan kunjungan-kunjungan ke wilayah-wilayah dan cabang- cabang NU. Dalam sebulan, ia bisa sampai turun ke se- puluh daerah.15 Popularitasnya didukung oleh perannya sebagai cen- dekiawan dan kolumnis yang sering hadir di berbagai seminar atau diskusi. Ia bukan saja didukung oleh generasi muda NU, namun seba- gian besar kiai senior pun masih menjagokannya. Dukungan terpenting datang dari Rais Aam KH Achmad Siddiq dan Shahibul Bait Muktamar KH Ali Maksum. Dalam pertemuan Syuriyah NU Jawa Timur di Probolinggo, 14 Nopember, Kiai Achmad secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap Abdurrahman Wahid sebagai calon Ketua Umum PB NU, di samping menyatakan kesediaannya untuk dicalon- kan kembali sebagai Rais Aam.l6 Pemyataan kiai senior NU itu meru- pakan sebuah kejutan. Bukan suatu hal yang biasa di dalam NU mem- buat pemyatan seperti itu di depan umurn. Hal itu bisa dianggap sebagi suatu yang tidak pantas dan berpamrih. Dengan pemyataan itu Kiai Adunad sebenamya sedang mempertaruhkan popularitasnya. Barang- kali itulah sebabnya sementara Abdurrahman Wahid akhirnya berkibar nyaris tanpa saingan dalam bursa pencalonan, maka KH Achmad Siddiq hanya mencatat kemenangan tipis terhadap Idham. Achmad memperoleh 188 suara, dan Idham memperoleh 126 suara.17 Sekalipun akhirnya gagal memperoleh kursi Rais Aam, tapi kelompok Idham berhasil menempatkan salah satu orangnya, KH Ali Yafie, sebagai wakil Rais Aam. Penempatan Ali ini di kemudian hari ternyata membawa persoalan tersendiri bagi intern NU. Terlepas dari adanya persoalan yang mengitari proses pencalonan mereka kembali, namun secara obyektif duet Abdurrahman-Achmad agakya merupakan figur paling tepat untuk memimpin NU. Mereka memiliki latar-belakang pemikiran yang kosmopolit, karenanya tidak canggung dalam mengantisipasi modernisasi. Sementara mereka pada saat yang sama juga mermliki akar yang kuat dalam tradisi ke-NU-an, maka mereka menjadi sangat paham bagaimana mengkomunikasikan proses modernisasi dalam idiom-idiom yang dipahami oleh warga NU sendiri. Sementara untuk memasuki era berbangsa secara utuh, sesuatu yang dalam wawasan keislaman telah dibackup dengan konsep ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), maka merekalah yang paling mampu berdialog dengan berbagai pihak dari berbagai latar-belakang yang beraneka ragam. Muktamar Krapyak sendiri membukukan beberapa catatan pen- ting. Pertama adalah maraknya suasana konflik di situ. Pasalnya tentu adalah KH As'ad Syamsul Arifin yang tak juga surut dari penen- tangannya terhadap Abdurrahman. Ia bahkan menolak hadir di arena muktamar, dengan alasan sakit, sekalipun baginya telah disediakan helikopter yang akan membawanya pulang-pergi Situbondo-Yogya.18 Sulitnya, Abdurrahman seolah-olah tak bersungguh-sungguh berusaha meredakan kemarahan KH As'ad. Abdurrahman bahkan seperti meladeni sulutan konflik As'ad ketika ia mencoret Anwar Nurris dari kepengurusan teras PB NU. Anwar adalah orang dekat As'ad yang pada tahun 1981, oleh As'ad, ditempatkan sebagai Sekjen. Namun agakya Anwar tidak bisa bekerja-sama dengan Abdurrahman Wahid sehingga secara emosional menilainya sebagai pengacau yang mesti disingkirkan.19 Buntutnya As'ad, sekalipun resminya dipertahankan sebagai Mustasyar itu pun menyatakan mufaraqah terhadap kepemim- pinan Abdurrahman.20 Sebuah keputusan yang tidak pernah diralat hingga saat meninggalnya. Catatan lain, di samping perubahan struktural disubordinasikan- nya Mustasyar dalam Syuriyah, Muktamar Krapyak juga memulai sebuah tradisi baru dalam pemilihan pengurus baru. Di sini, Rais Aam dan Wakilnya dipilih secara langsung. Sedangkan Ketua Umum Tan- fidziyah juga dipilih secara langsung setelah disetujui oleh Rais Aam dan Wakilnya yang baru terpilih. Setelah ketiga jabatan itu, selanjutnya dipilih pula secara langsung empat orang mode formatur. Ketujuh orang terpilih Inilah yang kemudian membuat formasi kepengurusan lengkap.21 Cara ini berbeda sama sekali dengan mekanisme ahlul halli wal 'aqdi sebelumnya yang mengandalkan otoritas seorang kiai paling senior. Lalu, dalam rapat pertama PB NU di Jombang pada bulan Januari 1990 diadakan pembidangan tugas masing-masing Ketua, yang dimaksudkan agar masing-masing mampu melaksanakan progam secara maksimal. Di lembaga Syuriyah, pembidangan dilakukan atas komisi-komisi yang dipimpin oleh para Rais. Di antaranya Komisi Sosial-politik diketuai oleh KH Yusuf Hasyim, Komisi Pendidikan dan Kebudayaan diketuai oleh KH Sahal Mahfudh, Komisi Sosial-ekonomi oleh KH Munasir, Komisi Organisasi oleh KH Aminuddin Azis, dan seterusnya. Sedangkan Tanfidziyah dibagi dalam beberapa bidang, antara lain Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia diketuai oleh dr. Fahmi Saifuddin, MPH, Bidang Hubungan dengan Lembaga Negara oleh Chalid Mawardi, Bidang Hubungan dengan Lembaga Ke- agamawan oleh Tolchah Hasan, Bidang Pendidikan dan Kebudayaan oleh Asnawi Latif, dan sebagainya.22 Berselang setahun setelah Muk- tamar Krapyak, dalam masa yang relatif tenang NU kembali di- guncang persoalan. Januari 1991 KH Achmad Siddiq meninggal dunia dan menimbulkan masalah yang cukup serius tentang siapa yang akan menggantikannya. Sebabnya adalah, rujukan untuk mengganti Rais Aam yang wafat sebelum habis masa jabatannya belum jelas. Pernah dua kali terjadi kasus seperti itu di masa lalu. pertama ketika KH Wahab Hasbullah wafat, ia digantikan oleh wakilnya KH Bisri Syansuri. Kemudian ketika KH Bisri sendiri wafat, kedudukannya digantikan oleh KH Ali Maksum yang justru di luar jajaran Rais. Sebenarnya pasal 25 Anggaran Dasar NU 1989 cukup memberikan kejelasan: apabila terjadi lowongan jabatan antar-waktu, maka lowongan tersebut diganti oleh anggota pengurus yang berada dalam urutan langsung di bawah- nya. Jika ini diikuti, maka berarti KH Ali Yafie yang menjadi Rais Aam. Tapi persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Begitu terlontar kemungkinan diterapkannya pasal tersebut, segera muncul tanggapan yang nyata-nyata menolaknya. KH Ma'ruf Amin, Katib Syuriyah, menyatakan bahwa pasal 25 itu adalah sebuah ketentuan umum yang tidak secara khusus membahas jabatan Rais Aam, sehingga tidak dapat secara mutlak diberlakukan. Semua akhirnya tergantung`pada kese- pakatan apakah jabatan itu akan diisi ataukah dibiarkan kosong. Jika diisi, maka kedudukan keduabelas Rais Syuriyah adalah sama, sehing- ga bisa dipilih salah satu. Itu berarti tidak ada keistimewaan prioritas bagi Ali Yafie. Namun jika dikosongkan, maka tugas, kewenangan dan tanggung-jawab Rais Aam untuk sementara dibebankan kepada wa- kilnya. Ia tetap Wakil Rais Aam, tapi menjalankan fungsi Rais Aam sampai diambil keputusan dalam forum yang lebih tinggi.23 Lalu pada 2 Pebruari, diadakan Rapat Gabungan Syuriyah dan Tanfidziyah. Di sini sebuah keputusan diambil untuk tidak menunjuk Rais Aam baru, dan hanya melimpahkan tugas, tanggung jawab, hak dan wewe- nangnya kepada Wakil Rais Aam KH Ali Yafie. Keputusan yang dinyatakan berlaku hingga dilaksanakannya Muktamar 1994 ini lalu dikukuhkan dalam Rapat Pleno PB NU, 18-19 Mei.24 Mengapa pasal 25 AD NU seperti agak invalid ketika ia mesti menunjuk pada Ali Yafie? Jawaban berikut mungkin terlalu spekulatif, namun agaknya persoalan itu berkaitan dengan latar-belakang Ali yang tidak hanya bukan orang Jawa Timur (dari mana kebanyakan Rais Aam berasal), tapi juga seorang 'seberang' (Sulawesi) yang tidak memiliki rantai intelektual terhadap tokoh-tokoh referensi utama NU, KH Hasyim Asy'ari dan KH Cholil (Bangkalan). Kapasitas keulamaannya dengan demikian terasa kurang maksimal dalam pandangan keba- nyakan orang NU. Selain itu, siapapun akan ingat bahwa Ali Yafie yang pada dasarnya kurang serasi dengan Abdurrahman Wahid ini men- duduki kursi Wakil Rais Aam kurang lebih sebagai kompensasi gagal- nya Idham Chalid menjadi Rais Aam. Nama Idham serta-merta akan mengingatkan orang pada sayap politisi NU yang terpolarisasikan dengan sayap ulama. Boleh jadi Ali sendiri rikuh ketika harus berada pada posisi tertinggi kepemimpinan formal NU, meskipun sekadar sebagai pelaksana kewenangan. Dugaan ini ditopang oleh kenyataan bahwa hanya dalam Tempo enam bulan sejak dikukuhkan, Ali segera menemukan momentum untuk mengundurkan diri dari posisinya Sekarang. Pada bulan Nopember, NU diributkan telah menerima Sumbangan sebesar 50 juta rupiah dari Yayasan Dana Bakti Kese- jahteraan Sosial (YDBKS) yang mengelola SDSB. Sebenarnya sum- bangan itu diberikan kepada Yayasan Hasyimiyah sebuah yayasan pendidikan yang berafiliasi ke NU di Tuban, Jawa Timur. PB NU hanya Sebatas memberikan surat rekomendasi yang dibuat oleh Sekjen Ghaffar Rahman dan ditandatangani oleh Ketua Umum. Masalahnya, penerimaan dana itu pada 2 Nopember diekspos oleh media massa, termasuk TVRI, dan dikesankan bahwa seolah-olah NU menerima bantuan dari YDBKS.25 Maka protes berdatangan dari segala penjuru, intern dan ekstern NU.26 Ali Yafie yang tengah menghadiri pelantikan ICMI di Bali banyak mendapat pertanyaan tentang NU menerima sumbangan dari SDSB, keesokan harinya. Ali yang sangat terkejut dengan pertanyaan- pertanyaan itu segera kembali ke PB NU di Jakarta dan mencari pen- jelasan. Rupanya di situ ia menemukan bukti penting bahwa, me- nurutnya, surat yang ditandatangani Gus Dur bukan sekadar surat rekomendasi, tapi sudah berupa permintaan bantuan. Maka esoknya, 5 Nopember, Rapat Gabungan Syuriyah dan Tanfidziyah, yang tidak dihadiri Gus Dur karena ia berada di luar negeri sejak dua hari setelah penandatanganan surat rekomendasi itu, dikejutkan oleh ketidak-hadiran Ali. Yang datang adalah utusan Ali yang membawa surat pengunduran dirinya, hingga semua yang terlibat dalam penerimaan dana itu di- tindak, dan dana tersebut dikembalikan.27 Ali Yafie memang terasa berlebih-lebihan Sebenarnya, dalam ka- pasitasnya sebagai pelaksana kewenangan Rais Aam, Ali bisa berbuat banyak dan tidak perlu sampai mengundurkan diri. Pasal 70 ayat (3) Anggaran Rumah Tangga NU 1989 menugaskan Syuriyah untuk "me- ngendalikan, mengawasi dan memberikan koreksi terhadap semua pe- rangkat NU..' Sementara ayat (5) menjamin hak Syuriyah untuk mem- veto keputusan suatu perangkat NU jika keputusan itu "dinilai ber- tentangan dengan ajaran Islam menurut paham ahlussunna wal jamaah." Jadi, Ali sesungguhnya berhak untuk membatalkan rekomen- dasi yang dibuat Ghaffar, dan bahkan menjatuhkan sangsi kepada siapapun yang dianggap terlibat, termasuk Abdurrahman Wahid. Sikap naif Ali yang membawa NU kembali kepada nuansa konflik Syuriyah- Tanfidziyah ini belakangan dikritik oleh Abdurrahman Wahid. Dalam sebuah surat pribadi yang ditujukan kepada PB NU, Abdurrahman mengecam sikap Ali yang dinilainya "meninggalkan tanggungjawab ketika NU terkena guncangan."28 Namun sebelum konflik terlanjur merebak, langkah-angkah rekonsiliasi segera diambil. Tanggal 12 No- pember diadakan silaturrahmi Abdurrahman-Ali yang diprakarsai Yusuf Hasyim yang bertujuan untuk merujukkan kedua pihak yang agak memanas itu. Di sini Abdurrahman minta maaf dan mengajukan tiga usulan untuk menyelesaikan kemelut di NU. Pertama, menolak permintaan Ali Yafie untuk mengundurkan diri. Sebab sebagai Wakil Rais Aam yang menjalankan fungsi Rais Aam, ia dipilih oleh muktamar sehingga pengunduran dirinya hanya bisa diterima melalui forum yang sama. Kedua, menerima pengunduran diri Ghaffar Rahman dari jabatan Sekjen PB NU. Dan ketiga, kesalahan Ketua Umum cukup diberi peringatan keras, tidak perlu pemecatan. Silaturrahmi ini tampaknya cukup efektif, sebab Ali sendiri menyatakan merasa cukup puas, sekalipun masih tetap menunggu kelanjutannya.29 Lalu pada 28 sebuah rapat gabungan Syuriyah dan Tanfidziyah di PB NU, yang membahas ketiga usulan Abdurrahman di atas, membuat keputusan Ghaffar dibebaskan untuk sementara dari tugasnya, dan Abdurrahman diberi peringatan. Ali yang tidak hadir dalam rapat itu ternyata merasa kurang puas. Ia menganggap vonis bebas tugas sementara terlalu ringan, sebab baginya Ghaffar harus dipecat. Ali juga mempersoalkan tidak ditindaknya pimpinan Yayasan Hasyimiyah yang jelas-jelas terlibat.30 Namun langkah rekonsiliasi untuk sementara dapat diang- gap tuntas, ketika pada 6 Desember Ali Yafie, Abdurrahman Wahid, Ma'ruf Amin, dan Ihwan Sam (Wakil Sekjen PB NU) menanda-tangani "Maklumat Pengurus Besar Nahdhatul Ulama", sebuah surat terbuka yang menyatakan bahwa persoalan penerimaan bantuan dari YDBKS telah dianggap selesai, dan "... tetap mengakui kedudukan KH Ali Yafie sebagai Wakil Rais Aam PB NU." Sementara itu Junaidi Abdullah, Ketua Yayasan Hasyimiyah, dipecat dari jabatannya sebagai Katib Syuriyah PC NU Tuban.31 Namun maklumat itu ternyata tidak berarti banyak ketika Ali Yafie kembali mempergunakan masalah SDSB sebagai alasan untuk menolak hadir dalam Konperensi Besar dan Musyawarah Nasional NU di Bandarlampung 12-26 Januari 1992. Rupanya, Ali beranggapan bahwa persoalan SDSB itu sah saja dibicarakan kembali dalam Konbes, sebab maklumat tentang itu hanya diputuskan dalam sebuah rapat gabungan yang tingkatannya di bawah Konbes.32 Ketidakhadiran Ali dalam konbes ini tak urung mengundang banyak spekulasi. Karena itu, panitia konbes lalu mengutus KH Wahid Zaini, yang saat itu adalah Ketua Rabithatul Ma'ahadil Islamiyah (RMI) untuk menemui Ali di Jakarta. Namun Ali tetap menolak untuk berangkat dan hanya menitipkan surat yang harus disampaikan Wahid pada forum Konbes dan Munas. Surat Ali inilah yang kemudian memberi Konbes Bandarlampung bobot tersendiri. Dalam surat itu Ali mengulangi pernyataan pengunduran dirinya dengan disertai 3 syarat yang jika dipenuhi ia bersedia tetap pada posisinya. Pertama, Sekjen Ghaffar Rahman diberhentikan secara penuh. Kedua, harus ada bukti tertulis pengembalian dana YDBKS yang sebesar 50 juta rupiah. Dan ketiga, Abdurrahman Wahid mesti diskors selama masa satu tahun.-33 Jika syarat pertama dan kedua cukup mudah untuk dipenuhi, maka tidak demikian halnya dengan syarat ketiga. Rupanya hampir tidak ada seorang pun yang meng- inginkan dijatuhkannya vonis seperti itu kepada Abdurrahman Wahid. Maka tampaknya harus ditafsirkan bahwa dengan ketiga syarat itu KH Ali Yafie sebenarnya sedang memfait-accompli pengunduran dirinya pada Konbes. Maka tidak ada pilihan lain, pada 25 Januari sebuah rapat pleno diadakan untuk mencari siapa yang akan menjadi pengganti Ali.34 Dalam rapat yang dihadiri oleh 6 anggota PB dan 24 wakil PW ini semula muncul nama Yusuf Hasyim dan Sahal Mahfudz sebagai Rais Aam dan Wakilnya. Namun datanglah manuver dari Abdurrahman Wahid yang menilai bahwa Yusuf Hasyim bukan ulama melainkan zuama (pemimpin, administrator), sedangkan kriteria Rais Aam haruslah ulama. Kejadian ini akhirnya memaksa Yusuf untuk mundur dari pencalonan. Lalu setelah melalui serentetan perdebatan, naiklah nama KH. Ilyas Ruchiyat sebagai calon Rais Aam, sebab KH Sahal hanya bersedia dipilih sebagai Wakil Rais Aam. Sebuah voting yang dilakukan kemudian memberikan 7 suara untuk Ilyas 1 suara untuk Sahal, dan masing-masing 1 suara untuk Yusuf, Fuad Hasyim, dan Usman Abidin.35 Selain itu, Konbes juga menaikkan Ichwan Sam pada kursi Sekjen menggantikan Ghaffar. Tidak ada perubahan yang terlalu prinsipil dengan naiknya Ichwan menggantikan Ghaffar, sebab kedua- nya sama-sama pendukung Abdurrahman Wahid. Yang perlu dicatat khusus adalah bahwa dengan mundurnya Ali Yafie maka inner circle NU mulai bersih dari kubu Idham. KH Ilyas sendiri dikenal sebagai seorang yang, sebagaimana Abdurrahman, netral dari tarik menarik konflik ulama-politisi. Ia banyak digambarkan sebagai seorang yang low profile dan selalu berpikir husnuddzan (positive thinking). Se- hingga kalaupun ia tidak bisa mendampingi dan mendukung Abdur- rahman Wahid sebagaimana KH Achmad Siddiq, setidaknya ia tidak akan menghalangi langkahnya. Sementara orang kedua di Syuriyah, KH Sahal Mahfudz pada umumnya memiliki cara berpikir yang sama seperti Gus Dur. Dukungan Sahal kepadanya dirumuskan dalam se- buah penilaian bahwa ia adalah seorang "eksponen yang punya ko- mitmen tinggi terhadap Khittah 1926 dan juga memiliki wawasan luas."36 ______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________ 1. Lihat Bab II di muka, khususnya sub bab "Selangkah ke Era NU Baru: Situbondo 1981." 2. Ia adalah salah seorang anggota Majelis 24 yang pada Mei 1984 telah membentuk sebuah "Tim Tujuh Untuk Pemulihan Khittah." Tim ini diketuai oleh Abdurrahman Wahid. Lihat ibid. 3. Lihat Tempo, 21 Nopember 1987, h. 25-26. 4. Ibid. 5. Lihat Khairul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah: Prospek dengan Muhammadiyah (Yogyakarta: MW Mandala, 1992), h. 140-144. 6. Lihat Suara Karya, 14 Nopember 1989. Penjelasan "ekonomi politik" tentang kejengkelan Kiai As'ad terhadap Gus Dur, lihat Martin van Bruinessen, NU Relasi-relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994). 7. Tempo, 3 September 1988, h. 27. 8. Ibid 9. Lihat Tempo, 11 Nopember 1989, h. 25. 10. Tempo 25 Nopember 1989, h. 23. 11. Ibid., h. 30-32. 12. Lihat Soara Pembaharuan, 22 Nopember 1989. 13. Lihat Pelita, 24 Nopember 1989. 14. Lihat Suara Karya, 25 Nopember 1989. 15. Tempo, 2 Desember 1989. 16. Ibid., h. 24. 17. Lihat Kacung Marijan, Quo Vadis NU (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), h. 184. 18. Tempo, 2 Desember 1989, h. 24. 19. Lihat wawancara dengan Abdurrahman Wahid dalam Editor, 2 Desemher 1989. 20. Fathoni dan Zen, op. cit, h. 170-173. Mufaraqah adalah sebuah istilah dalam fiqh shalat berjamaah. Jika dalam shalat berjamaah seorang makmum melihat imamnya, karena satu dan lain hal, shalatnya batal sehingga tidak layak lagi menjadi imam, namun ia tetap melanjutkannya, maka makmum itu berhak untuk mengundurkan diri dari jamaah dan meneruskan shalatnya Sendirian. Tindakan makmum ini disebut mufaraqah. 21. Lihat ibid., h. 160f. 22. Ibid., h. 163. 23. Lihat Tempo, 2 Pebruari 1991, h. 23. 24. Lihat Tempo, 25 Juni 1991, h. 23. 25. Tempo, 16 Nopember 1991. 26. Reaksi paling keras, uniknya, datang dari Wilayah NU Jawa Timur. Bahkan salah satu kepengurusan cabang di wilayah itu, PC NU Sumenep, menya takan membekukan diri dari segala kegiatan, sampai persoalan "dana haram SDSB" itu diselesaikan hingga tuntas. 27. Ibid. 28. Lihat Jawa Pos, 22 Januari 1942. 29. Tempo, 23 Nopember 1991. 30. Tempo, 7 Desember 1991. 31. Tempo, 14 Desember 1991. 32. Jawa Pos, 23 Januari 1992. 33. Tempo, 1 Pebruari 1992, h. 23. 34. Ibid., h. 25. 35. Ibid., h. 26. 36. Lihat Tempo, 1 Pebruari 1992, h. 24.