2. Tentang Negara, Kekuasaan dan Masyarakat Fungsionalisasi ideologi dalam konteks yang terbatas, akan me- lebarkan kawasan kosong bagi rakyat mengembangkan hak-hak individu warga negara yang menjadi kebutuhan obyektif seluruh bangsa. bagi Gus Dur, negara hanya akan bermakna sejauh ia tidak mengabaikan kepentingan individu rakyatnya. Pengabaian terpenu- hinya hak-hak individual warga negara secara tuntas pada gilir- annya akan menghilangkan kepercayaan rakyat kepada sistem pe- merintahan yang ada, sebab negera lalu akan tampak sebagai ke- kuasaan pihak yang memerintah, bukannnya sebagai pelaksanaan sistem pemerintahan yang berlandaskan kedaulatan hukum.lI Pada sisi Ini Gus Dur mengkritik paham integralistik yang menempatkan negara sebagai sentrum secara berlebihan, selama ia diterapkan di Indonesia. Yang dipersoalkan adalah bagimana Faham Integ- gralistik itu menjadi argumen yang selalu dikemukakan untuk me- nolak keabsahan gagasan kebebasan politik penuh bahwa rakyat di hadapan kekuasaan pemerintah. Sehingga ia mengatakan: Dikesankan dengan cara demikian, Indonesia sebagai sebuah negara bangsa akan terancam pengepingan dan terbenam dalam kekacauan apabila tidak menempuh sistem politik yang berlandaskan faham integralistik. Liberalisme dan demokrasi liberal, sebagai tandingan bagi sistem integralistik, lalu di- angkat sebagai momok yang menakutkan bagi bangsa kita dan bahaya yang mengancam kelestarian hidup kita. Lebih, jauh lagi tuntutan akan kebebasan dan desakan untuk menerapkan hak-hak asasi manusia, lalu disamakan begitu saja dengan liberalisme sebagai paham dan dernokrasi liberal sebagai cara penerapan faham tersebut.22 Jadi permasalahannya terletak pada penggunaan paham itu sebagai justifikasi peneguhan kekuasaan negara vis a vis rakyat dengan simultanitas pengabaian pemenuhan hak-hak individual rakyat itu. jika ditilik cara pandangnya seperti disebutkan di muka bahwa pemerintahan negara tidak perlu dinilai dari norma formal eksistensinya melainkan dari fungsionalisasinya, sangat boleh jadi Gus Dur tidak mempersoalkan pemilihan faham interalistik itu ;,n sich. Apalagi ia percaya bahwa corak normatit suatu negara lebih ditentukan oleh struktur masyarakat di mana negara itu didirikan. la mencontohkan bahwa watak yang non-liberalistis dari UUD 1945 adalah ... berangkat dari kenyatan sejarah akan keragaman yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita, yang untungnya dapat ditampung dan diproses menjadi ketentuan konstitusional dalam UUD 1945. Raik itu secara kesukuan, kebahasaan, keagamaan, budaya dan ideologis bangsa kita sangat beragam. Dan tingginya derajat keragaman itu telah menumbuhkan pola hidup yang dapat disebut (dengan meminjam istilah Nikita Kruschev) 'hidup berdampingan secara damai'.23 Adalah karakteristik Gus Dur untuk selalu menghindarkan visi- nya dari etik ekstrem di antara dua kutub yang tarik-menarik. De- mikian pula pemikirannya tentang negara. Ia mengkritik penempat- an negara sebagai sentrum, sama seperti ia menolak pemberian bo- bot yang berlebihan terhadap rakyat, dan .lebih suka memilih titik moderat di antara keduanya. Itulah sebabnya jika di satu sisi ia menilai negara akan kehilangan maknanya jika terjadi pengabaian terhadap hak-hak individual rakyat, maka di sisi lain dari keping uang yang sama ia meyakini bahwa negara memegang kunci pe- nataan masyarakat.24 Yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi negara sebagai pe- nyerapan heterogenitas masyarakat dan kepentingannya. Oleh ka- renanya Gus Dur secara konsisten menolak formalisasi agama seba- gal ideologi negara, sekalipun agama itu adalah anutan mayoritas rakyat seperti Islam di Indonesia, sebab hal itu akan dapat berarti tidak terserapnya bagian-bagian tertentu dari heterogenitas masya- rakat masyarakat itu. Di sini ia menyatakan persetujuannya terha- dap Ibnu Khaldun, ketika pemikir Islam terkemuka ini mengatakan bahwa ....agama saja tidak cukup untuk dapat membentuk negara. pembentukan negara di samping paham keagamaan juga diperlukan rasa ashabiyah, (perasaan keterikatan). Tujuannya membentuk ikatan sosial-kemasyarakatan. Ini, adalah paham kebangsaan oleh Ibnu Khaldun. Sebab, menurut Ibnu Khaldun, alasan berdirinya sebuah negara karena adanya perasaan kebangsaan.25 Terlebih lagi, Gus Dur tidak yakin bahwa Islam memang memi- liki konsep pemerintahann yang definitif,26 sehingga pemaksaan diterapkannya Islam sebagai tatanan tunggal penyelenggaraan ne- gara secara konseptual tidak beralasan. la membuktikan bahwa da- lam satu aspek kenegaraan yang paling pokok tentang persoalan suksesi kepemimpinan, Islam temyata tidak menunjukkan konstan- ta tertentu. Akibatnya, hanya 13 tahun setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW, para sahabat telah menerapkan tiga model yang berbeda: Istikhlaf, Bai'at,dan Ahlul Halli Wal Aqdibagi mekanisme suksesi kekhalifahan. Kalau memang Tslam ada konsep, tidak akan demikian, apa- lagi para sahabat itu adalah orang yang paling takut dengan Rasulullah. Islam memang sengaja tidak mengatur konsep ke- negaraan yang ada hanya 'komunitas agama' (kuntum khoiro, ummatin ukhrijat linnas). Jadi khaira ummatin, bukan khaira daulatin atau khaira jumhuriyyatin apalagi khaira mam- lakatin.27 Bagi Gus Dur, yang terpenting suatu negara ditegakkan di atas banyak pilar yang mengindahkan keragaman masyarakat di mana negara itu dibangun. bersama-sama dengan ide penyeimbangan antara pemberian kekuasaan terhadap negara dan pemenuhan seca- ra baik akan kebebasan dan hak-hak individual rakyat, hal itu ada- lah butir terpenting dalam pemikiran (Gus Dur tentang negara. Dan jika diperhatikan dengan cermat, akan jelaslah bahwa sentra pe- mikiran Abdurrahman Wahid adalah rakyat. Kekuasaan negara di- pahaminya sebagai operasionalisasi kekuasaan rakyat, yang disim- pulkannya dari ketentuan Al-Qur'an yang secara eksplisit menyata- kan bnhwa prinsip utama pemerintahan adalah adanya permusya- waratan antara pemimpin dan yang terpimpin. Dengan ini Gus Dur mengkritik karya-karya para pemikir Islam tentang negara yang ke- banyakan terlalu ditekankan pada aspek legal dari negara dan un- sur-unsur pendukungnya justru bukan dari sudut keabsahan nega- ra bila dikaitkan dengan kekuasaan rakyat. Hak-hak dan kewajiban seorang pemimpin negara memang dirumuskan secara teliti, namun tidak diberikan perhatian cu- kup besar pada bagaimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu terkait secara organik dengan hak-hak dan kewajiban-kewa- jiban warga negara, baik secara individual maupun kolektiF ... Dengan kata lain, pemikiran negara ... selalu berurusan de- ngan pembagian kekuasaan antara yang memerintah dan yang diperintah.28 Selanjutnya, masyarakat yang menjadi sentra pemikirannya oleh Abdurrahman Wahid selalu dieja sebagai memiliki wujud di- mensional yang berbilang, tidak tunggal. Sehingga heterogenitas adalah fakta yang inheren dalam eksistensi masyarakat. Wacana politik suatu negara dengan demikian seharusnya mampu menjadi medan penyerapan yang sebaik-baiknya bagi heterogenitas tersebut. Itulah sebabnya ia gigih menolak penyekatan sosial-politik berda- sarkan agama sebagai salah satu variabel heterogenitas masyarakat. Dan karena itu ia tidak mau bergabung dengan ICMI serta lebih suka mendirikan Forum Demokrasi dalam mana berbagai kelompok non-santri bahkan non-muslim turut bergabung.29 Lalu bagaimana- kah struktur sosial suatu masyarakat tertata? Kekuatan apakah di balik pembentukan struktur sosial itu? Cus Dur mengakui bahwa berbagai pertanyaan seputar struktur sosial akan dapat ditemukan sebagian jawabannya dalam argumen-argumen Marxian yang me- ruyakan sudut pandang yang penting, kalau bukan yang paling penting. Tetapi ia tidak berhenti di situ, sebab jika demikian orang lalu akan menjadi deterministik. Bahwa cara produksi akan me- nentukan struktur masyarakat melalui dialektika. Bagi Gus Dur, produksi bukanlah satu-satunya pembentuk struktur masya- rakat. Masih terdapat elemen-elemen lain yang tak kalah penting- nya, yaitu agama, etnis, bahasa, juga posisi geograpis Elemen agama, misalnya, dengan caranya sendiri selalu berusaha meredefi- nisikan kehidupan dan menumbuhkan kekuatan-kekuatan baru da- lam masyarakat untuk mengatasi keadaan. Sudah barang tentu oleh karena sifat agama yang tidak semata-mata berdasarkan pada akal tapi lebih pada wahyu, maka masyarakat yang diinginkan oleh aga- ma bukanlah masyarakat yang sama sekali "ilmiah". Tentu berbeda dengan masyarakat yang ingin dibentuk dengan kerangka Marxis, suatu masyarakat yang sama sekali ilmiah. Sedangkan agama se- mata-mata berdasarkan transformasi pribadi manusia. Apakah dia kapitalis atau proletar, tak jadi soal. Yang penting dia melakukan transformasi. Melakukan kesadaran diri yang tinggi. Dengan sen- dirinya masyarakat akan berubah. jika tidak struktur, ya dalam fvngsi Di sini ada peran pembebasan dalam agama di dalam re- functioning peralatan-peralatan masyarakat. Ada fungsi agama yang struktural tapi tidak total.31 Kritik atas pemikiran Gus Dur ini dapat diajukan, apakah me- mang bisa dijamin bahwa setiap pemeluk agama akan memiliki komitmen sedemikian rupa sehingga selalu terdorong untuk mela kukan transformasi diri ke dalam keadaan yang lebih baik dalam semangat agamanya? Kalaupun ya, tidakkah heterogenitas agama yang dianut masyarakat juga akan menghasilkan corak transformasi yang heterogen? Rasanya, ragam cara produksi yang lebih bersifat universal bagaimanapun tetap lebih signifikan di dalam menentu- kan struktur sosial, sedang elemen-elemen lain hanya akan bersifat sampingan yang tidak dapat terlalu diniscayakan keberlakuannya. 3. Tentang (Umat) /slnm dan NU Cetusan-cetusan ideatif Abdurrahman tentang Islam adalah sisi pemikirannya yang paling rawan dan sangat rentan terhadap kontroversi. Di sudut inilah ia kerap memperoleh serangan sebagai pro-Kristen, agen Zionis, dan berbagai tuduhan yang minor lainnya. Persoalannya adalah karena ia sangat menentang penempatan Islam dalam pagar yang eksklusifistik, sesuatu yang disadari atau tidak begitu berurat akar dalam benak sebagian umat Islam. Ia selalu mengajak umat Islam untuk mengembangkan sikap eklektik, daya serap positif yang tinggi terhadap budaya luar yang dimungkinkan untuk memberikan manfaat bagi diri dan umat Islam pada umum- nya, sebagaimana yang dicontohkan oleh tradisi Islam selama ber abad-abad dahulu.32 Selain itu ia kerap mengejutkan kesadaran kaum muslim, bahwa dengan strategi pejuangan mereka sekarang maka kemegahan Tslam hanya akan ada dalam utopia tanpa pernah lahir dalam wujud riil. Sebagian pengkritiknya dengan sangat tidak beralasan pemah menuduhnya telah membangun gagasan-gagasan yang terlalu mu- luk-muluk dan melangit. Tuduhan ini terasa kurang benar, untuk tidak menyebutnya salah, sebab Gus Dur sendiri pun sering men- cela pemikiran yang bersifat demikian. Tentang Islam sebagai "ideo- logi alternatif' misalnya, seperti akan terlihat nanti, ia jelas-jelas me nyatakan ketidak setujuannya. Tokoh-tokoh yang kukuh dalam ideal- isme menjadikan Islam sebagai alternatif politik universal yang meng- abaikan konteks, seperti Abul A'la Al Maududi, Khomeini, Zia Ul Haq, dikritiknya, "idealisme mereka begitu tinggi sehingga tidak bisa men- darat dalam kehidupan; gagal menemukan prinsip operasional dari nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat."33 Gagasannya tentang pribu misasi Islam sebagai contoh lain, jelas merupakan konsep yang sangat membumi, di mana ia mengajak agar Islam dipahami sampai ke mfi nilai-nilai dasamya, untuk kemudian diaplikasikan secara konteks- tual.34 Agaknya alih-alih menilai gagasannya terlalu mengawang awang, lebih tepat untuk menyebutnya terlalu ke depan dan sedikit mendahului waktu, ketika tidak semua kalangan siap mencernanya. Ia, dalam hal ini, memiliki sisimilaritas dengan Nurcholish Madjid. Untuk meletakkan pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Islam dalam perspekfif, sebelumnya harus dilihat lebih dahulu pendekatan apa yang digunakannya. (Gus Dur sendiri membagi pendekatan yang digunakan oleh umat Islam dalam usaha menampilkan citra Islam ke dalam kehidupan kemasyarakatan dalam tiga varian.35 Pertama, pen dekatan sosial-politik yang menekankan perlunya keikutsertaan dalam sistem kakuasaan yang ada. Tendensinya adalah untuk menampilkan watak ideologis Islam serta menonjolnya sifat eksklusifistik Islam ter- hadap agama, paham, dan ideologi lain. "Kepentingan Islam adalah kredonya dan solidaritas Islam adalah tali pengikatnya. Sikap sektarian sangat mudah berkembang dalam pendekatan seperti ini." Kedua, pendekatan kultural semata-mata, yang berkehendak untuk mewujudkan Islam dalam kesadaran hidup sehari-hari, tanpa keterkait- an dengan kelembagaan apapun, kecuali dalam konteks penyebaran Islam secara budaya itu sendiri. Meskipun lebih menekankan wawasan universal Islam sebagai sebuah peradaban dunia, namun sering terjadi mutasi watak pendekatan ini ke dalam kehidupan ketika sejumlah proponennya berubah menjadi penuduh pihak lain mengganggu sistem kekuasaan, manakala mereka mengambil sikap hendak memasukinya. Coraknya yang semula inklusif bisa berubah menjadi pandangan historis yang menuding kelompok-kelompok agama lain sebagai pe- nyebab ketertinggalan umat Islam. Sikap ini akhirnya serupa dengan yang ditunjukkan oleh pendekatan pertama. Ketiga, pendekatan sosio-kultural, yang mengutamakan sikap mengembangkan pandangan dan perangkat kultural "yang dilengkapi oleh upaya membangun sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai itu." Pendekatan ini lebih memen- tingkan aktifitas budaya dalam konteks pengembangan lembaga-]em- baga yang dapat mendorong transformasi sistem sosial secara evolutif dan gradual. Di sini tidak dipentingakan sikap untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan atau tidak. Dalam pendekatan ini dapat dengan mu- dah dimasukkan "agenda Islam" ke dalam "agenda nasional" bangsa secara inklusifistik. Kalaupun hendak melakukan perubahan, sasaran- nya bukan pada sistem pemerintahan atau sistem politik tapi pada sub- sub sistemnya. Aksentuasinya pada perubahan perilaku tanpa merubah bentuk-bentuk lahiriah lembaga pemerintahan.36 Pemikiran Gus Dur berada dalam kategori pendekatan ketiga ini, yang menginginkan Islam menjadi kekuatan komplementer bagi kehidupan bangsa secara kese- luruhan. Ia secara konsisten menolak Islam dijadikan sebagai ideologi dan sistem alternatif, apalagi sebagai faktor tandingan yang bersifat. disintegratif terhadap kehidupan bangsa. Ia mengingatkan pelajaran yang pernah diberikan oleh sejarah, bahwa keinginan akan berlakunya "ideologi Islam" di Indonesia selalu terbentur pada kenyataan akan langkanya dukungan dari massa Islam sendiri secara konkrit. Kecuali sejumlah kecil kalangan yang menyimpan keinginan semacam itu, maka keseluruhan gerakan Islam di Indonesia justru selalu menunjuk- kan kemampuan menerima kondisi obyektif yang telah ada, dan me- nempatkan Islam sebagai faktor komplementer bagi bangsa dan nega- ra. 37 Di sinilah ia menilai bahwa, bagaimanapun, keluarnya NU dari Masyumi dahulu telah membawa hikmah tersendiri bagi umat Islam Indonesia. Jika NU tetap di dalamnya, akan tejadi penunggalan ke- pemimpinan umat di tangan Masyumi yang akan menjadi sangat do- minan. Sementara partai ini memiliki kecenderungan memperlakukan Islam secara ideologis, maka perbenturan yang keras antara "Islam" dan "Republik Indonesia" akan terjadi, dan ketika Masyumi dibubarkan, keseluruhan gerakan Islam akan merasakan akibat yang parah.38 De- ngan demikian jelaslah bahwa bagi bangsa Indonesia secara keselu- ruhan dan secara obyektif agama akan lebih berfungsi positif jika di- lepaskan dari masalah-masalah ideologis. 39 Upaya legislasi Islam ke dalam formal kenegaraan akhirnya juga akan ... merupakan pengingkaran hakekat demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga negara ktlas dua. Dalam kcadaan demikian, persamaan kedudukan sen7ua warga negara di muka undang-undang tidak tercapai. 40 Untuk umat Islam sendiri, penekanan berlebihan pada sisi legal- formalistik yang membawa Islam kepada sikap sangat ideologis dalam pengaturan masyarakat telah menyebabkan menyempitnya ruang ge- rak bagi refleksi kontemplatif yang mengembangkan arti manusia se bagai subyek kehidupan. "Setiap pengaturan masyarakat secara ter- lembagakan senantiasa cenderung untuk memperlakukan masyarakat sebagai obyek kehidupan."41. Pada sikap yang memperlakukan masya- rakat sebagai obyek inilah berakar kemiskinan di lingkungan kaum muslim yang sangat meluas. Keadaan ini lebih diperburuk oleh adanya kecenderungan spiritualitas mistik (sufisme) yang dimanifestasikan dalam pola ritualistis, yang justru cenderung mengajak manusia untuk melupakan kesulitan dan bukan memecahkannya Ironinya, kuatnya kecenderungan sufisme ini sesungguhnya adalah upaya imbangan ter- hadap kecenderungan legal-formalistik itu.42 Selanjutnya, kecenderungan di atas juga telah menimbulkan ke- rancuan dalam cara pikir sebagian besar umat Islam, yang lebih jauh membentuk logika zero sum game Abdurrahman Wahid tidak secara persis menggunakan terminologi ini, tapi ia menulis: Kita memiliki kekuatan politik, posisi bargaining yang kuat, sasaran yang cukup jelas yaitu baladatun thayyibatun wa rabbun ghafur · · (Tapi ada kerancuan yang) mencampur adukkan antara sasaran dan masalah kelembagaan Kita merasa harus menguasai lembaga politik, sistem pemerintahan, jalur-jalur pendapat umum dan mekanisme mobilisasi massa. Padahal penguasaan beberapa hal tersebut di satu tangan adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena kehidupan politik berdasarkan asas saling mengimbangi .43 Akibat obsesi yang tak pemah tenuujud adalah perasaan frustasi, yang melahirkan sikap eskapisme dari kenyataan pada sebagian umat Islam,44. dan rasa inferioritas total pada sebagian lainnya.45 Gus Dur memberikan contoh yang sangat menarik tentang manifestasi rasa frustasi dalam wujud kedua ini dalam hal kepekaan yang berlebihan dari umat. Islam terhadap kasus Monitor di tahun 1990.46. Kerancuan berpikir di sebagian kaum muslim, serta kegagalan mereka untuk menyadari bahwa gerak hidup kenegaraan mensyaratkan distribusi peran secara proporsional sehingga tidak dibenarkan pemusatan di satu kelompok mengundang satu penilaian dari Gus Dur, yang belakangan melahirkan kontroversi tersendiri, tentang ketidak-siapan sementara kalangan khususnya pemimpin umat Islam untuk berdemokrasi.47 Untuk bisa lepas dari keseluruhan persoalan di atas, Gus Dur menya- rankan perlunya kehati-hatian untuk membedakan dan memilih secara tepat di antara peran politis dan peran moral dan agama dalam upaya memberi warna proses kenegaraan dan kemasyarakatan.48 Sebuah sikap yang dewasa dari kehidupan beragama dalam kaitannya dengan kedua alternatif itu adalah kebijaksanaan untuk paling jauh meletakkan diri pada sikap berhati-hati untuk menekankan diri pada alternatif moral. Terhadap alternatif politik, kehidupan beragama sebaiknya menahan diri untuk tidak langsung menceburkan diri sepenuhnya. Kalaupun nanti terjadi perubahan dalam struktur politik dari masyarakat ...hendaknya itu terjadi dalam kewajarannya sendiri, tanpa terlalu didorong oleh kehidupan beragama.49 Dan untuk menjamin tempat Islam dalam konstelasi politik na- sional, lepas dari persoalan seperti apa corak pemerintahan itu, Gus Dur memandang perlu ditempuh strategi ganda. Di satu ujung ada ka- langan yang mengupayakan formalisasi agama dalam kehidupan bernegara (bukan dalam proses kenegaraan) melalui cara-cara dan pro duk-produk yang nantinya menampilkan syiar Islam, seperti yang saat ini dilakukan oleh Depag, MUI, dan ICMI. Dan pada ujung yang lain harus ada yang menggarap pengelolaan isu-isu umum yang tidak khas Islam. Strategi ini tidak harus dikomunikasikan secara formal, melainkan cukup dalam pemahaman yang utuh saja.50 Selanjutnya, pemikiran Gus Dur tentang NU sebagian besar sudah tercover dalam pemikiran tentang Islam dan umat Islam di atas, sebab baginya NU adalah bagian yang sama sekali integral dari umat Islam Indonesia bahkan bangsa Indonesia secara holistik. Akan tetapi tentu ada beberapa potong pemikirannya yang secara spesifik menunjuk NU dan perlu ditinjau di sini. Pertama adalah bagaimana ia menjawab berbagai pertanyaan yang muncul di seputar kepolitikan NU: mengapa NU seringkali menunjukkan watak politik yang oportunistik, lain pada kali lainnya terkesan sebagai oposan pemerintah? Ia mengembalikan semua jawaban bagi pertanyaan itu kepada pendekatan NU yang serba fiqh. Oportunisme, suatu kesan yang timbul karena NU seringkali mengeluarkan keputusan yang sepintas tampak dibuat sembarangan, dan yang memenuhi selera dan sangat bersifat akomodatif terhadap kepentingan penguasa pada suatu saat, didasari oleh cara bersikap NU yang tidak berpedoman pada "'strategi pejuangan politik' atau 'ideo- logi Islam' dalam artiannya yang abstrak, melainkan keabsahan di mata hukum fiqh".51. Orientasi inilah yang mewarnai banyak perilaku NU, termasuk penerimaan pancasila serta penentuan "absahnya Presi- den RI sebagai pemegang pemerintahan, karena itu ia harus ditunduki dan dipatuhi di hadapan sebuah Negara Islam Indonesia sekalipun."52 Tapi pada sudut yang lain, tidak berarti jalannya pemerintahan lepas sama sekali dari kendali keagamaan. Justru NU selalu menuntut agar kebijaksanaan pemerintah disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan fiqh, dan sikap ini kerap diterima oleh kalangan pemerintah sendiri sebagai hambatan saat melaksanakan kebijakan dan wewenangnya Pada bagian inilah NU menampakkan kesan sebagai oposan.53 Yang juga perlu dicatat adalah bagaimana Abdurrahman meletak- kan reorientasi politik NU 54. dalam konteks politik nasional, sebagai- mana kebanyakan perilaku NU juga harus ditinjau dalam kaitannya dengan konteks makro. Ia menggambarkan bahwa pada masa Orde Baru telah muncul perkembangan yang berlawanan arah sebagai akibat ambivalensi kebijakan-kebijakan pemenntah terhadap umat Islam.55 Di Satu pihak, pemerintah dengan sukses telah melakukan "de-aliranisasi" kehidupan politik yang telah menggeser gerakan politik formal Islam dari panggung politik. Di pihak lain, pemerintah bagaimanapun tetap memerlukan legitimitas bagi program-program pembangunannya, se- hingga pemerintah harus memperoleh legitimasi dari berbagai pihak, apalagi dari gerakan-gerakan Islam yang secara kuantitatif adalah ma- yoritas. Akibat dari ambivalensi itu, Meskipun di satu sisi terjadi pe- ngikisan kelompok formal politik Islam, namun di sisi lain kekuatan kepermimpinan non-formal Islam semakin meningkat, justru karena ia berada di luar sistem dan berperan sebagai korektor. Secara riil politik, kata Abdurrahman, kekuatan Islam tetap diperlukan sebagai kekuatan politik, dan perkembangan peran politik NU diletakkannya dalam kon- teks ini. Dengan demikian NU tidak akan sama sekali surut dari politik, sebab bagaimanapun gerakan Islam Indonesia "tidak bisa menghindar dari politik. Kalau menghindar sama saja dengan tidak mengerti per- kembangan keadaan, karena set-up Orde Baru memang sudah demi- kian."56 Lalu apa tujuan moral NU dengan reorientasi politik itu? Sebuah periodisasi sejarah NU yang dibuat Gus Dur memberikan gambaran jawabannya bagi pertanyaan ini. Ia membagi sejarah NU ke dalam tiga tahapan 57. Pertama adalah tahap murni jam'iyah diniyah antara tahun 1926-1936, sejak NU berdiri hingga muktamarnya di Banjarmasin yang menetapkan bahwa Negara dan Tanah Air Indonesia wajib dilestarikan menurut fiqh. Kewajiban fiqhiyah itu lain membuka kemungkinan munculnya orang-orang NU secara terbuka dalam pergerakan kemerdekaan serta mengantarkan NU sendiri pada tahap kedua sejarahnya, yaitu tahap perjuangan politik idealistik. Tahap ini meliputi kurun waktu yang paling panjang dibandingkan tahapan lainnya hingga saat ini, sebab baru pada tahun 1984 tahap kedua ini berakhir. Kemudian sejak tahun 1984 NU memasuki tahapan sejarahnya yang ketiga, di mana khittah mengantarkannya pada bentuk perjuang- an kemasyarakatan semesta. Semangat moral perjuangan ini mendo- rong NU untuk merumuskan peran politik yang lebih baik daripada sekadar politik kelembagaan, sehingga ikatan langsung dengan politik praktis pun ditinggalkan. Peran politik yang lebih baik yang menurut Abdurrahman Wahid harus dimainkan oleh NU adalah "peran trans- formasi, perubahan masyarakat, bahwa Nahdlatul Ulama harus mem- persiapkan warganya memasuki era industri tanpa kehilangan sendi- sendi keagamaannya."58. Aksentuasi perhatian pada warga ini jelas-jelas merupakan pergeseran yang cukup besar dari keadaan sebelumnya ketika NU menjadikan warganya lebih sebagai basis politik. Dengan perkataan lain, lebih sebagai obyek daripada subyek. _____________________________________________________________________ _____________________________________________________________________ 21. Ibid. 22. Ibid. 23. Abdurrahman Wahid, "Sejarah Undang-undang Dasar 1945 dalam Perspektif Sejarah makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari Peringatan 30 Tahun Dekrit Presiden, Jakarta, 5 Juli 1989. 24. Lihat antara lain Abdurrahman Wahid, "Mencari Paham Keagamaan," makalah, tempat dan tahun tak terlacak. Penyimpulan atas pandangan Abdurrahman ini dapat diekstraksikan dari bagaimana ia mencontohkan bahwa "Hubungan antara sesama umat beragam juga merupakan akibat saja dari penataan hubungan agama dan ideologi negara. Abdurrahman Wahid, Merumuskan, op.cit. 26. Ibid Cf. Abdurrahman Wahid, "Beberapa Aspek Teoritis dari pemikiran Politik dan Negara Islam," makalah yang disampaikan pada acara Dies Natalis XX/Lustrum IV Universitas Tslam Tribakti (UIT), Kediri. 27. Merumuskan, ibid. 28. Abdurrahman Wahid, Beberapa, op. cit. 29. Cf Fakhry Ali,..Abdurrahman Wahid dan Kiai Ali Yafie," dalam Edifor, 7 Maret1992,h.21. 30. Lihat Abdunahman Wahid, "Gerakan Sempalan dan Proyek Rintisan," dalam Denny JA, el. al. (eds.), Agama dar, Kekerasan (Jakarta: Kelompok Studi Proklamasi, 1985), h. 54-56. 3l.lbid., h. 55-56. Cetak miring sebagaimana aslinya. 32. Lihat Abdurrahman Wahid, Merumuskan, op. cil: 33. Lihat Abdurrahman Wahid, "Pribumisasi Islam," dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun'im Saleh (eds.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan (Jakarta: P3M, 19H9), h. 93. 34. Ibid., passim. 35. Lihat Abdurrahman Wahid, "NU, Pluralisme dan Demokratisasi Jangka Panjang," dalam M Imam Aziz, et. al. (eds.) Agama, Demokrasi dan Keadilan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 1993), h. 222f. Ketiga varian itu berlatar-belakang dua kecenderungan umum yang tejadi. Pertama, yang 36. Cf. Abdurrahman Wahid, pribumisasi islam, loc. cit., h. 90-9137. Abdurrahman Wahid, "Massa Islam dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara," dalam Prisma Nomor Ekstra, 1984, h. 8 37. Abdurrahman wahid,"Masa islam dalam kehidupan Berbangsa dan bernegara,"dalam prisma nomor ekstra, 1984, h.8 38. Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar," dalam Sitompul op. cil., h. 17. 39. Abdurrahman Wahid, Mencari, Op. cit. 40. Abdurrahman Wahid, "Agama dan Demokrasi," dalam Th. Sumartana, et. al. (eds.), Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat(Yogyakarta: Penerbit Interfidei, 1994), h. 274. 41. Abdurrahman Wahid, "Upaya Bersama Menanggulangi Kemiskinan,'' naskah pidato di depan Sidang Raya PGI XI, Oktober 1989 di Surabaya pidato ini belakangan dijadikan salah satu alasan oleh KH As'ad Syamsul Arifin untuk menggugat kepemimpinan Abdurrahman di NU. Lihal Bab IV di belakang 42. ibid 43. Abdurrahman Wahid, "Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Sosial-Politik," dalam Yunahar Ilyas, et al. (eds.), Muhammadiyah dan NU" Reorientasi Wawasan Keislaman (Yogyakarta: LPPI UMY, 1993), h. 93. 44. 5ikap ini adalah rasa frustasi tersembunyi" yang keluarnya dalam bentuk 'tidak usah macam-macam pun kita berperan baik, kok.' Tetapi mereka lupa bahwa orang Islam tidak ikut mendefinisikan masalah yang ditangani Agenda datang dari luar, bukan dari orang Islam. Kita tinggal 'amin' lalu kerjakan." Ibid., h. 94. 45. ". . . kita merasa gagal total, tidak pernah berhasil dan musuh begitu kuat. Maka kemudian dicari sasaran lain sebagai kambing hitam yaitu kalau tidak ABRI, ya orang Kristen. Dalam hati kecil kita merasa bahwa semua pihak menghalangi orang Islam." Ibid. 46. persoalan yang "mengubah kualitas hubungan antar agama di negeri kita secara mendasar" ini oleh Abdurrahman dinilai memiliki akar yang sederhana saja: "kesembronoan dan kepekaan berlebih". Lihat Abdurrahman Wahid, "Ada Kasus Gila dan Ada yang Gila Kasus", dalam Aula, November 1990, h. 43. Kepekaan berlebihan tentu dari umat Islam sebagai refleksi rasa frustasi mereka, sesuatu yang dikhawatirkan oleh Abdurrahman akan merusak citra Islam sebagai agama damai menjadi agama kekerasan yang menampilkan wajah kebencian yang mengerikan. Ia mengisyaratkan keraguan apakah Arswendo pemred Monitor, punya motivasi lain kecuali kesembronoannya di balik kasus tersebut, sehingga "anak muda gombal yang lebih patut dikasihani" itu mesti menanggung resiko sedemikian rupa. Orang Islam yang memilih Nabi Muhammad dalam polling itu juga dinilainya tak kalah sembrononya. Simak notasinya "Dari 33.693 responden, mayoritas tentu beragama Islam. Kalau diletakkan pada angka 85 % penduduk negeri ini memeluk agama Islam, kira-kira 29.000 berpotensi menyebut nama Nabi Muhammad SAW. Ternyata hanya 616 suara diberikan kepada Beliau, berarti hanya 2,1 % saja yang tidak tahu bahwa nama Beliau tidak boleh dipergunakan sembarangan. Selebihnya, yaitu hampir 98 % tetap waras dan mengerti bagaimana cara yang tepat untuk menghormati ketokohan Beliau." Ibid., 43-44. 47. Lihat Abdurrahman Wahid, NU, Pluralisme, loc. cit., h. 225f. Cf. Agama dan Demokrasi, loc. cit., h. 273-5. 48. Lihat Abdurrahman Wahid, "Kehidupan Beragama, Rekayasa Sosial dan Kemantapan Kehidupan Beragama," makalah, tempat dan tahun tak terlacak. "jika ia menawarkan alternatif dalam arti pola kehidupan baru dalam wadah kemasyarakatan yang sudah ada ... maka kehidupan beragama menawarkan altenatif moral ... Apabila kehidupan beragama menawarkan altenatif struktural yang sama sekali lain dari wadah yang telah ada, maka yang ditawarkan adalah altenatif politik." 49. ibid. 50. Abdurrahman Wahid, NU, Pluralisme, loc. cif., h. 228. 51. Abdurrahman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini," dalam Prisma No. 4, April 1984, h. 35. 52. Ibid. Cetak miring sebagaimana aslinya. 53. Ibid. 54. Tentang reorientasi politik NU selengkapnya akan dibahas dalam Bab V-A. 55. Lihat Abdurrahman Wahid, NU pluralisme, loc. cit., h. 215f; Muhamma- diyah dan NU, loc. cit., h. 91-2. 56. Abdurrahman Wahid, Muhammadiyah dan NU,ibid., h. 92. 57. Abdurrahman Wahid,"Nahdlatul Ulama dan Khiththah 1926", dalam M Masyhur Amin dan Ismail S Ahmad (eds.), Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik (Yogyakarta: LKPSM NU, 1993), h. 151f. 58. Ibid., h. 152.