BAB II WAJAH NU: 1926-1984 SEJARAH formal NU dimulai sejak ia didirikan.31 Januari 1926 di Surabaya oleh KH Hasyim Asy'ari bersama beberapa ulama sepaham seperti KH Wahab Hasbullah serta beberapa ulama pesantren lain. Namun berdirinya jam'iyah ini sesungguhnya hanyalah pelembagaan tradisi keagamaan yang telah lama mengakar.1 Jauh sebelum lahir sebagai organisasi, NU telah ada dalam bentuk komunitas (jamaah) yang diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakter Ahlussunnah wal jamaah. Wujudnya sebagai or- ganisasi tak lain adalah "penegasan formal dari mekanisme informal para ulama sepaham."2 Arti penting dibentuknya organisasi ini tidak lepas dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya men- jaga eksistensi jamaah tradisional berhadapan dengan arus paham pem- baharuan Islam, yang ketika itu telah terlembagakan, antara lain dalam Muhammadiyah. Masuknya paham pembaharuan ke Indonesia diawali oleh semakin banyaknya umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Ta- nah Suci, sejak dibukanya Terusan Suez (1869). Bersamaan dengan itu, di Timur Tengah sedang merebak ajaran pembaharuan dan purifikasi ajaran Islam, seperti gerakan pembaharuan Muhammad Abdul Wahab yang kemudian dikenal sebagai Wahabiyah, maupun pemikiran Pan- Islamisme Jamaluddin Al-Afghani yang dilanjutkan Muhammad Ab- duh. Tak pelak, kontak pemikiran intensif antara para jemaah haji Indo- nesia dengan paham pembaharuan ini berlangsung. Ketika kembali ke tanah air, para haji membawa pemikiran itu untuk memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang dianggap berasal dari tradisi di luar Islam. Tak semua kalangan menerima paham pembaharuan itu secara bu- lat-bulat. Sekelompok ulama pesantren (yang nota bene juga haji) me- nilai bahwa penegakan ajaran Islam secara murni tidak selalu berim- plikasi perombakan total terhadap tradisi lokal. Tradisi ini bisa saja di- selaraskan dengan ajaran Islam secara luwes. Kalangan yang dikenal sebagai kelompok ulama tradisional ini mengamati upaya purifikasi ajaran Islam itu dengan cemas. Sebab tak mustahil jika hal itu dilakukan secara frontal dan radikal akan mengguncang masyarakat. Terlebih lagi, itu ternyata mulai berindikasi pendobrakan tradisi keilmuan yang selama ini dianut oleh para ulama pesantren. Perkembangan inilah yang dinilai sebagai ancaman terhadap kelestarian paham Ah- lussunnah wal Jamaah yang mereka anut. Karena itu, mereka berupaya membuat pengimbang bagi arus gerakan pembaharuan itu, dan dalam alur inilah, antara lain, NU terbentuk.3 Karena itu peristiwa Kongres Dunia Islam di Mekkah, serta pelarangan pengajaran mazhab Ahlus- sunnah wal jamaah di Masjid al-Haram, merupakan casus belli saja bagi lahirnya NU.4 Arti penting lain pembentukan NU adalah berkaitan dengan upaya pemupukan semangat nasionalisme di tengah iklim kolonialisme saat itu. Sulit dibantah bahwa perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Be- slanda tidak hanya membawa wacana politik tapi juga keagamaan. Da- lam wacana keagamaan itulah peran kepemimpinan ulama menjadi penting (sebut saja Perang Diponegoro 1825-1830, Perang Paderi 1321- 1837, perlawanan rakyat Aceh 1872-1912). Ketika pada abad XX nada perlawanan terhadap penjajah bergeser dari perjuangan bersenjata menjadi pergerakan nasional, para ulama tidak mau ketinggalan. Sepu- luh tahun sebelum berdirinya NU, KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) yang berusaha menum- buhkan rasa nasionalisme melalui pendidikan. Organisasi ini adalah langkah kongkret dari forum diskusi Taswirul Afkar (konsepsi pemi- kiran) yang sebenarnya merupakan antisipasi Wahab Hasbullah meng hadapi ekses gerakan pembaharuan yang menjadi ancaman bagi eksis- tensi tradisi Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam perkembangannya, Nahdlatul Wathanlah sebenarnya dapur pemikiran lahirnya NU.5 Agaknya, tepat kesimpulan Ziemek bahwa NU mewakili faham konservatif para ulama, namun juga sekaligus mewakili tradisi perla- wanan ratusan tahun terhadap kekuasaan kolonial Belanda, dengan kedudukan mandiri, bebas dan tersentralisasi pada masyarakat pede- saan,yang para kyaiya orang-orang paling berpengaruh dan tak di- perintah siapapun.6 Senada dengan Ziemek, dalam catatan Saifuddin Zuhri, pada pro- ses kelahiran NU tidak ada campur tangan dari pihak manapun, me- lainkan didirikan atas dasar dorongan kesadaran rasa tanggung jawab para pendirinya. Dorongan atau motivasi itu adalah: kesadaran ber- tanggungjawab kepada Islam, kepada ummat Islam, dan kepada Tanah Air.7 Latar belakang lahirnya NU ini perlu memperoleh perhatian, sebab karakteristik organisasi ini lebih berakar di sini. Satu hal perlu dicatat dan proses kelahiran yang pada hakekatnya merupakan reaksi terha- dap arus pembaharuan Islam dan situasi kolonialisme tersebut, yakni bahwa pola perilaku reaktif semacam itu ternyata menjadi inheren da- lam dinamika NU selanjutnya. Refleksi pola perilaku reaktif NU antara lain adalah keluarnya organisasi ini dari Masyumi dan belakangan PPP setelah diawali oleh rasa kecewa terhadap keduanya.8 Apa yang dapat disimpulkan dari diskusi di atas adalah bahwa be- tapapun NU terutama sekali lahir dan berdiri sebagai organisasi sosial keagamaan (jam'iyah diniyah), namun kibaran panji-panji keagamaan yang ada telah dipikul dengan semangat politis yang cukup jelas pula. Visi politis jamaah yang terwadahi dalam NU, dengan sub-sub wadah berupa pesantren-pesantren, tercermin misalnya dalam sikap eskapis- me mereka berhadapan dengan kolonialisme. Baik secara fisik dengan mengundurkan diri dan daerah urban ke daerah pedesaan yang relatif jauh dari "jangkauan" Belanda, maupun secara psikologis dengan men- jauhi segala hal yang dianggap berbau Belanda, seperti pemakaian dasi, bahkan celana panjang (dalam hal mana kalangan modernis berpan- dangan lain). Sejak awal, NU mempunyai potensi politik yang tidak bisa diang- gap kecil. Di samping sebab yang mendasar bahwa dalam karakteris- tiknya yang universal, meliputi segala aspek kehidupan manusia, Islam tak dapat dipisahkan dari politik, dan, sebaliknya, politik tidak bisa dipisahkan dengan Islam. Maka seperti dicatat oleh Saifuddin Zuhri: Sejak lahirnya, aspirasi yang melingkungi NU adalah aspirasi pe- santren,... Baik pesantren selaku persemaian (pembinaan) kader- kader ulama dan pemimpin Islam tetapi juga pesantren sebagai pembina potensi gerakan yang sejak dahulu telah diakui oleh ka- um intelektual sebagai media pendidikan yang praktis dan efektif membentuk potensi yang bergerak (tidak beku).9 Keeratan NU dengan pesantren selaras dengan tujuannya yang hendak melestarikan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, yang tercermin dari diajarkannya kitab-kitab klasik (kitab kuning). Pesantren sendiri mempunyai perkembangan yang cukup unik. Antara satu pesantren dengan pesantren-pesantren lain pada umumnya terdapat suatu jaring- an hubungan genealogis yang rumit dan kokoh. Jaringan ini tidak mun- cul dengan sendirinya. Ia lebih merupakan buah dari suatu upaya yang direncanakan secara matang dalam upaya melestarikan tradisi pesan- tren yang dilakukan dengan membangun solidaritas dan kerjasama sekuat-kuatnya antara sesama kyai. Cara praktis yang ditempuh untuk itu antara lain adalah dengan mengembangkan suatu jaringan perka- winan endogamous di antara keluarga kyai: kaitan pesantren satu sama lainnya diperkuat oleh hubungan kekerabatan serta dipererat dengan kaitan perkawinan antara putra-putri kyai satu dengan lainnya.l0 Erat- nya hubungan antar pesantren yang diikat oleh tali kekerabatan ini, yang tentu saja ditopang oleh soko guru ikatan tali akidah, menjadikan pesantren sangat potensial sebagai basis gerakan politik. Inilah akar NU. Meningkatknya Kesadaran Politik: 1934-1952 Selama beberapa waktu, orientasi politik dalam diri NU masih ber- sifat laten, dalam pengertian bahwa NU tidak terlibat dalam gerakan politik praktis. Lahan politik menjadi garapan kalangan nasionalis dan kalangan Islam modernis yang berada di SI. Orientasi politik NU baru muncul secara lebih terbuka setelah tam- pilnya beberapa tokoh muda seperti Wahid Hasyim dan Machfudz Sid- diq dalam kepemimpinan NU di pertengahan dekade tigapuluhan.11 Langkah konkret dari tumbuhnya orientasi politik itu adalah berga- bungnya NU ke dalam Majlisul Islam A'la Indonesia (MIAI) pada 1939. MIAI dibentuk pada 1937 atas dasar keinginan untuk memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia. Sekalipun dua dari empat tokoh pen- diri MIAI berasal dari NU, namun mereka hadir atas nama pribadi. Baru dua tahun kemudian NU turut bergabung di dalamnya.12 Dalam asumsi Syafi'i Ma'arif, MIAI didirikan karena terdorong oleh contoh yang kompetitif dari golongan sekuler yang juga berusaha memper- satukan diri.13 MIAI secara umum memang bergerak di bidang keagamaan. Na- mun, dalam setiap akfivitasnya sarat muatan politik. Tak lain karena politik merupakan bagian dari universalitas Islam, sebagaimana halnya bidang ekonomi dan kemasyarakatan pada umumnya. Setiap kongres yang diadakan (1938, 1939, dan 1941) selalu membuahkan upaya untuk mempengaruhi kebijakan melalui pengajuan tuntutan kepada pengua- sa baik tentang hal-hal yang secara langsung terkait dengan masalah keagamaan maupun tidak. Bahkan masalah internasional, misalnya per- soalan Palestina yang telah mulai muncul saat itu, tidak luput dari per- hatian MIAI.14 Ketika GAPI (Gabungan Politik Indonesia, sebuah ga- bungan partai politik sekuler) tampil membawa tema tuntutan Indone- sia berparlemen kepada pemerintah, MIAI memberinya dukungan. Be- tapapun dukungan itu bukannya tanpa reserve,seperti yang kemudian tergambar jelas ketika tuntutan MIAI pada akhirnya adalah Indonesia "berparlemen yang berdasarkan Islam."15 Pola interaksi yang dialami dalam MIAI membawa pengaruh besar terhadap NU. Muktamar NU XV (1940) di Surabaya menjadi ajang pe- negasan tuntutan-tuntutan yang dilontarkan MIAI, termasuk tuntutan Indonesia berparlemen. Hal-hal lain yang juga dituntut oleh NU antara lain adalah dilakukannya perbaikan-perbaikan seperti diberikannya pertolongan terhadap jemaah haji Indonesia yang terperangkap di Mek- kah akibat perang Belanda-Jerman, mencabut Guru Ordonantie 1925 yang dianggap merugikan umat Islam, termasuk hal yang menyangkut siapa yang menjadi kepala negara di negara Indonesia merdeka nanti. Dalam sebuah rapat tertutup yang dihadiri oleh 17 orang tokoh NU, di- hasilkan keputusan dua orang calon presiden: Sukarno dan Moham- mad Hatta, dengan 10 suara untuk Sukarno dan satu suara untuk Hat- ta.16 Tak satupun tuntutan-tuntutan yang diajukan itu terpenuhi. Ketika pendudukan Jepang dua tahun kemudian membuat perso- alan-persoalan itu tidak relevan lagi. Regim kolonial baru ini segera tampak jauh lebih represif daripada regim sebelumnya: semua organi- sasi politik dibekukan, dan setiap kegiatan politik dilarang sama sekali. Umat Islam yang semula menaruh harapan pada "saudara tua" yang membebaskan mereka dari kekuasaan "kafir" Belanda itu segera mene- mukan kekecewaan yang dalam. Lebih lagi karena ternyata bagi Je- pang, sebagaimana Belanda, terpisahnya Islam dari politik adalah salah satu bagian dari rencana umumnya, dan karena itu mereka tetap meng- awasi secara ketat organisasi-organisasi Islam, terutama terhadap pen- didikan Islam.17 Langkah pertama adalah mendirikan Kantor Urusan Agama (Shumubu) yang dipimpin oleh Kolonel Horrie, dengan tindak- an pertama menempatkan semua rumah ibadah Islam di bawah peng- awasan tentara Dai Nippon.18 Tindakan selanjutnya adalah meng- upayakan terbentuknya sebuah organisasi federasi Islam yang antara lain ditujukan untuk menggantikan MIAI yang berkesan anti-kolonial. Maka dibentuklah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tahun 1943 di mana NU, sebagaimana dalam MIAI, tersubordinasi di dalamnya.19 Pada masa ini NU sebenarnya memperoleh beberapa kon- sesi. Seperti Yang tampak dalam pengangkatan Rais Akbar NU, Hadratus Syeikh, KH Hasyim Asy'ari, sebagai Kepala Shumubu (me- nyusul Husein Djajadiningat yang menggantikan Horrie) serta sebagai Ketua Umum pengurus Masyumi yang pertama, sehingga NU di- mungkinkan untuk memainkan peran yang cukup berarti. Keuntungan ini kalau boleh disebut demikian-- dimungkinkan setidaknya oleh dua hal. Pertama sikap NU kepada Jepang cenderung lunak. Berbeda dengan sikapnya terhadap Relanda, maka terhadap Jepang NU ber- sikap lebih kooperatif NU bersedia duduk dalam Chou Sangiin, sementara untuk badan serupa di Jaman Helanda, Volksraad sama sekali menolak. Anam menilai bahwa sikap semacam ini didasar oleh pemikiran bahwa kemerdekaan Indonesia hanya tinggal soal waktu Saja sehigga perlu dimanfaatkan isu kolaborasi dengan jepang dalam bentuk apapun guna tercapainya kemerdekaan itu. 20 Sikap lunak NU kepada Jepang tentu saja sepanjang tidak melemahkan sendi-sendi aqidah Islam. Terhadap perintah untuk melakukan Seikerei (ritual penghormatan kepada Tenno Heika dengan cara mirip ruku' ke arah matahari terbit) misalnya, NU menentang keras, antara lain dari KH Hasyim Asy'ari sendiri serta memunculkan pemberontakan di Singaparna.21 Kedua,berkaitan dengan politik jepang untuk menggalang semua kekuatan anti Belanda ke pihaknya, sehingga mereka perlu memperla- kukan dengan baik, serta memenuhi keinginan secara baik pula ter- hadap umat Islam khususnya yang berbasis di pedesaan.22 NU mau tak mau adalah kuncinya. Suatu manfaat lain yang bisa diperoleh NU de- ngan siasat sikap lunaknya kepada Jepang adalah berupa pelatihan ketrampilan militer bagi para santri dan kyai di pesantren, yang kemu- dian melahirkan milisi-milisi revolusioner Hizbullah dan Sabilillah.23 Kedua milisi ini, pada awal kemerdekaan turut menjadi kompartemen TNI.24 Kalangan NU pada umumnya memandang bahwa saham me- reka dalam pejuangan fisik mempertahankan kemerdekaan disum- bangkan melalui kedua milisi itu. Sementara di panggung perjuangan politik, peran NU tersalur melalui Masyumi, yang dibentuk beberapa bulan setelah proklamasi. Yang disebut terakhir ini adalah sebuah partai politik resmi yang berbeda dan terlepas sama sekali dari or- ganisasi dengan nama yang sama di jaman Jepang, kecuali dalam hal tujuan moralnya.25 Partai Masyumi terbentuk sebagai buah dari keputusan Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta (7-8 Nopember 1945), yang juga memutuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik bagi umat islam di Indonesia NU' bersama Mu- hammadiyah, perserikatan umat Islam dan Persatuan umat Islam, adalah organisasi-organisasi pertama memasuki Masyumi.27 Masyumi sebagai satu-satunya partai islam tidak dapat bertahan lama, bahkan sejak awal pun sebenarnya tidak utuh. Di bulan yang sama terbentuknya Masyumi, di Bukit tinggi Perti juga menyatakan diri sebagai partai politik Islam. Dan dua tahun kemudian, karena adanya peluang untuk duduk dalam kabinet Amir Syarifudin, sementara Masyumi menolak peluang ini, PSII memutuskan keluar dari Masyumi dan tampil sebagai partai politik sendiri.28 Dengan alasan tersendiri, lima tahun kemudian NU pun keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik sendiri. Aktualisasi Peran Politik: 1952-1984 Struktur pimpinan pusat Masyumi terdiri dari pimpinan partai (yang melaksanakan tugas eksekutif sehari-hari) dan Majelis Syuro (se macam dewan pertimbangan dan pemberi fatwa). Pimpinan Partai da- lam garis besar tindakan partai). Secara tradisional posisi penting dalam majelis Syuro dipegang Oleh tokoh ulama NU. Sementara pimpinan partai, yang sangat dominan, diisi oleh kalangan pembaharu yang biasanya para intelektual.Sebenarnya struktur kepemimpinan semacam ini lebih banyak menimbulkan persoalan daripada menguntungkan,mengingat kesan yang yang timbul adalah adanya kompartementalisasi antar unsur dalam federasi ini. Terlebih lagi tidak pernah begitu jelas perincian tugas antara kedua struktur yunpman itu. Suasana hubungan itu. Suasana hubungan antara keduanya sangat kondusif bagi munculnya konflik, di mana akhinya Majelis Syuro terus-menerus digiring ke arah peran yang se- makin tidak berarti,29 menjadi "dewan penasehat" yang seringkali tidak begitu diindahkan. Di sinilah bersumber kekecewaan NU terhadap Ma- masyumi.30. Sumber lain adalah berkaitan dengan jabatan Menteri Agama dalam Kabinet Wilopo. Dalam klaim NU, kursi Menteri Agama adalah bagian mereka. Sebab di samping sudah demikian adanya sejak awal kemerdekaan, NU memulai dirinya sebagai cermin dari mayoritas umat Islam Indonesia dilihat dan segi "ilmu, akidah, dan amaliahnya." Na- mun karena pertimbangan-pertimbangan lain, Masyumi mengajukan nama Fakih Usman (Muhammadiyah) kepada formatur kabinet untuk jabatan itu. Pada 15 April 1952, hanya sepuluh hari setelah pencalonan itu disetuiui oleh formatur kabinet, NU memutuskan keluar dari Ma- syumi dan menyatakan diri sebagai parpol.31 Sebab-sebab itulah yang umumnya dipandang sebagai faktor pen- dorong keluarya NU dari Masyumi. Tapi Zamakhsyari Dhofier meli- hat suatu penyebab lain yang lebih menentukan, yaitu dinamika in- ternal NU sendiri. KH Wahid Hasyim, Ketua Umum PB NU waktu itu, memandang bahwa organisasi yang dipimpinnya telah semakin con- dong ke dalam percaturan politik. "Tokoh-tokoh NU muda seperti Idham Chalid, Saifuddin Zuhri, Syaichu dan lain-lainnya semakin me- merlukan ruang gerak yang cukup luas dalam arena politik. (Dan hal itu akan) dapat terbuka dengan lebih leluasa setelah NU dapat berdiri sebagai partai politik."32 Perubahan NU menjadi parpol membawa umat Islam Indonesia ke dalam dikotomi kepemimpinan politik: kepemimpinan politik kaum modernis di Masyumi, dan kepemimpinan politik kyai (ulama) tradi- sional di NU. Lebih jauh lagi, hal itu juga membawa perubahan dalam perimbangan kekuatan politik Indonesia saat itu. Hasil-hasil Pemilu 1955 menggambarkan dengan jelas tentang perimbangan kekuatan baru itu. Di sini, NU dengan perolehan suara sebesar 6.955.141 (18,4 % dari keseluruhan suara yang masuk) dan 45 kursi di parlemen, menempat- kan diri pada posisi ketiga setelah PNI dan Masyumi, dan setingkat di atas PKI.33 Mengingat NU adalah partai yang relatif baru, sehingga persiapan untuk menghadapi pemilu boleh dikatakan kurang jika di- bandingkan dengan partai-partai lain, maka perolehan suara NU yang menempatkannya pada posisi ketiga di atas sungguh di luar dugaan. Mahrus Irsyam (34 menilai bahwa prestasi NU itu dimungkinkan oleh adanya perubahan dalam tema kampanye yang dilakukan. Dan tema kampanye yang semula, senada dengan Masyumi (tema-tema agak naif seperti: siapa memilih NU akan masuk sorga"), menjadi tema yang lebih menonjolkan garis batas antara NU dan partai lain, khususnya Masyumi dan PKI. Karena itu NU melontarkan isu keterlibatan Ma- syumi dalam pemberontakan DI/TII, serta ulah PKI dalam Madiun Affair-nya di tahun 1948. Sehingga seolah-olah NU menawarkan "jalan selamat bagi umat dengan memberikan suaranya kepada NU. Tapi jika diingat bahwa mayoritas warga NU berada di pedesaan, maka penilaian Irsyam di atas menjadi kurang tepat. Apapun tema kampanye yang dilontarkan, efeknya akan lebih terasa pada ma- syarakat perkotaan, bukan masyarakat pada pedesaan yang voting behaviour-nya lebih ditentukan oleh pemimpin informalnya (ulama). Penilaian Syafii Maarif tampak lebih beralasan. Bagi Syafii Maarif, faktor penentu terpenting prestasi NU di atas adalah banyaknya jumlah pesantren dengan kyainya yang berpengaruh di tiga propinsi yang mejadi basis massa NU, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Ka- limantan Selatan. Sebagian besar kyai itu adalah penyokong-penyokong NU yang tangguh. Dalam memperebutkan suara bagi kepentingan kemenangan politik, para kyai mempunyai peranan strategis, khu- susnya di daerah pedesaan; sedangkan lebih dari 70 % Indonesia masih merupakan daerah pedesaan.35 _____________________________________________________________________ _____________________________________________________________________ 1. Kacung Marijan Quo, Vadis NU setelah kembali ke khittah 1926 Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), h. 1. 2. Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ulama (Sala: Jatayu, 1985), h.1 Cf. H Anas Thohir,et. al (eds.), Kebangkitan Umat Islam dan Peranan, NU di Indonesia (Surabaya: PC NU Kodya Surabaya, 1980), h. 90. 3. Tentang masuknya paham pembaharuan ke Indonesia, serta reaksi kalangan tradisionalis dari sudut pandang "orang NU", lihat Marijan, op. cit., h. 1-17; Anam, op. cit., h. 33-56. Dari sudut pandang "kaum modernis", lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta LP3ES, 1980). Dalam visi seorang pengamat asing, lihat Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, alih bahasa RB Soendjojo (Jakarta: P3M, 1986), h. 59-66. Jelas, bukan paham pembaharuan an sich yang dipersoalkan oleh para ulama pesantren. Mereka dapat menerima paham itu. Ulama-ulama NU seperfi KH Hasyim Asy'ari, KH A. Wahab Hasbullah, sebagaimana KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), pernah selama bertahun-tahun menimba ilmu di Mekkah, pengaruh gerakan Wahabiyah dan lain-lainnya. Perbedaan antara ulama tradisional dengan kalangan yang kemudian disebut sebagai kelompok Islam modernis di Indonesia bukanlah pada persoalan menolak atau menerima paham pembaharuan itu, tapi lebih pada bagaimana paham itu diterima dan diaplikasikan. Para ulama tradisional menerima paham pembaharuan, tapi menyesuaikannya dengan tradisi yang mereka anut. Lihat Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), h. 58-62. 4. Dalam Kongres Dunia Islam itu delegasi Indonesia hanya diwakili oleh kalangan Islam pembaharu, dan sama sekali tidak menyertakan kalang an Islam tradisional. Kalangan tradisional lalu membentuk delegasi sen- diri ke Mekkah untuk meminta Raja Saud menjamin kelestarian mazhab- mazhab ortodoks serta kegiatan tarekat di Hijaz (Arab Saudi kini). Dele- gasi ini semula diberi nama Komile Hijaz, tetapi kemudian mengubah nama itu menjadi Nahdlatul Oelama. Lihat Anam (1985) dan Martin van Bruinessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 32-34. 5. Lihat Anam, op. cit., h. 24-33. Cf. Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah: Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah (Yogyakarta: MW Mandala, 1992), h. 4-5. 6. Ziemek, op. cit., h. 64-65. 7. Saifuddin Zuhri, "Peranan NU dalam Pengembangan Islam dan Membela Tanah Air," dalam Thohir, op. cit., h. 93. 8. Cf. Kacung Marijan, "Respons NU terhadap Pembangunan Politik Orde Baru dalam Jurnal Ilmu Politik, No. 9 (Jakarta: PT Gramedia, 1991), h. 41-42. 9. Saifuddin Zuhri, op. cit., h. 118. 10. Tentang hubungan kekerabatan antar pesantren, khususnya antara para kyai, lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 61-99. 11. Anam menyebutkan bahwa kemunculan tokoh-tokoh muda itu merupakan satu dari tiga fenomena yang menandai awal perkembangan NU sejak Muk- tamar IX (1934). Dua fenomena lainnya adalah pemisahan sidang Syuriyah dan Tanfidziyah dalam muktamar itu, setelah sebelumnya sidang-sidang se- lalu dipimpin oleh Syuriyah; serta dibenahinya tata-cara sidang. Lihat Anam op. cit., h. X9-91. 12. MIAI didirikan oleh KH Wahab Hasbullah (NU), KH A Dahlan (NU, beda- kan dengan KH Ahmad Dahlan yang pendiri Muhammadiyah dan telah me- ninggal pada tahun 1923), KH Mas Mansur ( Muhammadiyah), dan W. Wondoamiseno (SI). Pada awalnya organisasi-organisasi yang menjadi anggota federasi MIAI adalah: SI, Al Islam (Solo), Persyarikatan Ulama (Majalengka), Muhammadiyah, Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi), Al- Khairiyah (Surabaya), dan Al-Irsyad (Surabaya). Tentang pembentukan MIAI, lihat Noer, op. cit., h. 260-267. 13. A Syafii Maarif, Islam dan Masalah kenegaraan Oakarta: LP3ES, 1985), h. 96. Agaknya, yang dimaksudkan adalah terbentuknya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Kebangsaan Indonesia kemudian Permufakatan Politik Penge- jar Kemerdekaan Indonesia) di awal 30-an. Chganisasi yang kelahirannya tu- rut dibidani oleh SI ini ternyata kemudian tak lebih dari sekadar wadah le- galisasi konflik antara golongan Islam dan golongan nasionalis sekuler. Lihat Noer, ibid., h. 261-315. 14. Noer ibid., h. 265-267. 15. Ibid., h. 289f. 16. Anam, op. cit., h. 112. 17. Tentang umat Islam Indonesia pada masa pendudukan Jepang, lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, alih bahasa Daniel Dakhidae Jakarta: Pustaka Jaya, 1980). 18. Ibid., h. 142. 19. Ibid., h. 184-204. 20. Anam, op. cit., h. 114-124. 21. Lihat Sitompul, op. cit., h. 92. 22. Belanda, op. cit., h. 141 23. Anam, op. cit., h. 119f. 24. TNI lahir sebagai paduan 3 unsur pokok yang memiliki karakteristik ber- beda-beda. Pertama, bekas tentara KNIL. Kelompok ini mempunyai kemam- puan yang cukup baik dalam tugas-tugas staf. Perwira TNI yang berasal dari kelompok ini adalah Nasution, Simatupang, Urip Sumoharjo, dan sebagai- nya. Kedua, bekas prajurit PETA. Nama-nama seperti Sudirman, Bambang Sugeng, maupun yang lebih junior seperti Ahmad Yani, Suharto, dan lain- lain, adalah dalam kelompok ini. Ketiga, bekas laskar-laskar perjuangan. Yaitu kelompok-kelompok milisi yang mempunyai afiliasi --baik politis mau- pun etnis-- beranekaragam. Hizbullah dan Sabilillah berada dalam kelom- pok ini. Mengenai unsur-unsur TNI ini, lihat Yahya A Muhaimin, Perkem- bangan Militer dalam politik di Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta Gadjah Mada University press, 1982), h. 29-31; lihat juga Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 21-22. 25. Tujuan itu adalah untuk menciptakan suatu wadah dan kepemimpinan tunggal bagi umat Islam Indonesia. Dari segi ini, maka Partai Masyumi adalah "kelanjutan dari usaha MIAI sejak 1937 dan usaha Masyumi 'made in japan' 1943." Lihat Syafii Maarif, Dinamika Islam. Potret Perkembangan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1983), h. 7. Usaha menyusun kepemimpinan tunggal semacam itu yang kemudian dikritik oleh Abdurrahman Wahid, dan dinilainya membawa implikasi negatif terhadap Umat. Bagi umat Islam Indonesia, "yang diperlukan adalah upaya untuk terus-menerus mencari konsensus melalui kepemimpinan yang beragam. 26. Deliar Noer, Partai Islam di pentas nasional (Jakarta:pt Pustaka Utama Graffiti, 1987), h. 47. 27. Masyumi mempunyai dua macam keanggotaan perorangan dan organisasi.Dualisme ini didasarkan pada pertimbangan untuk memperbanyak anggota,di samping agar dilihat sebagai wakil umat Islam tanpa ada yang merasa tidak terwakili. Lihat ibid., h.48. 28. Ibid., h. 76-77 29. Perubahan skuktur organisasi Masyumi dari periode ke periode cukup menggambarkan melemahnya peran Majelis Syuro di dalamnya. Lihat ibid., h.69-71. 30. Ibid., h. XO-til. 3l. Ibid:, h. X1-X6. 32. Zamaksyari Dhofier, "KH. A. Wahid Hasyim Kantai Penghubung Peradab- an Pesanhen dengan peradaban Indonesia Modem", dalam Prisma, Agustus 1984, h. XO. Keinginan Wahid Hasyim untuk mencari ruang gerak yang lebih leluasa bad NU tidak memudarkan obsesinya akan persatuan umat Islam dalam satu wadah. Sehingga tidak lama setelah NU keluar dari Masyumi, ia mendirikan Liga Muslimin Indonesia, yang sekali lad diharapkan dapat menjadi wadah federasi bagi umat Islam Indonesia. Lihat ibid. Dalam hal ini, Wahid Hasyim mempunyai jalan pikiran yang berbeda, kalau bukan berla- wanan, dengan puhanya yang kontroversial Abdurrahman Wahid. Cf. catatan kaki nomor 24 di atas. 33. Untuk hasil-hasil Pemilu 1955 ini selengkapnya, lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1966), Tabel 21 h. 434f. 34. Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), sebagaimana dikutip dalam Sitompul, op. cit, h. 120. 35. Syafii dan Masalah Kenegaraan op. cit., h. 116. 36. Perhatikan bahwa tidak ada partai yang memperoleh suara mayoritas dalam pemilu 1995. Sehingga kabinet yang terbentuk kemidian adalah hasil koalisasi antara PNI Masymi, dan NU. Sukarno sebenarnya mengiginkan PKI diikutkan dalam koalisasi itu itu, tapi NU dan Masyumi menolaknya dengan keras.Lihat ibid., h. 123. 37. Tentang komposisi kabinet di Indonesia dari masa ke masa, lihat antara lain Mashuri Maschab, kekuasaan eksekutif di Indonesia (Jakarta: PT Bina Aksara,1983) h. 28-110. 38. Sebuah kajian yang paling komprehensif hingga saat ini tentang era demokrasi Liberal dan kegagalannya di Indonesia pernah di lakukan oleh Herbart Feith. Lihat Feeith,The Decline, op. cit. Sementara untuk kajian ulang atas Demokrasi Liberal lihat David Bourchier dan Southeast Asia No. 3 (Clayton: Centre of Southeast Asian Studies Monash University, 1994.