Umumnya setiap kelompok kepentingan memiliki cara dan salur- an yang berbeda-beda untuk mencapai kelompok yang berpengaruh. Namun secara teoritis, Almond menyatakan, faktor yang paling mem- pengaruhi pemilihan penggunaan saluran untuk mengartikuiasikan kepentingan adalah distribusi kekuasaan efektif dalam suatu sistem politik.83 Itulah sebabnya, kelompok-kelompok kepentingan cenderung tersedot ke arah pusat-pusat kekuasaan efektif dalam sistem politik yang ada.84 Saluran efektif bagi kelompok kepentingan dengan demikian ber- beda antara satu sistem politik dengan sistem politik lain. Hagopian mencoba membuat pola umum bagi keanekaragaman itu. Akses ke- lompok kepentingan terhadap kekuasaan politik dapat dibedakan atas akses langsung dan akses tak langsung.85 Akses tak langsung me- nyangkut peran sebagai mediator antara parpol dan opini umum. Se- dangkan akses tak langsung dapat dilakukan pada tiga tahapan kebi jaksanaan: pra-parlementer, parlementer dan post-parlementer.86 Jika dalam suatu sistem politik terdapat transformed parliamen- tarism, maka pedoman-pedoman pokok kebijaksanaan biasanya diru- muskan oleh pemerintah sebelum rancangan undang-undang sampai ke parlemen. Tahap "pra-parlementer" ini tidak boleh diabaikan, jika kelompok kepentingan ingin mempengaruhi kebijakan. Mereka dapat memusatkan 'taktik penekanannya' pada lembaga atau departemen pemerintah yang strategis. Dalam hal ini, hubungan antara lembaga pemerintahan dan kelpompok kepentingan seringkali bersifat dua arah. Sebab pemerinntah pun sebetulnya memerlukan data dan informasi dan umpan balik dari kelompok kepentingan, terutama dari jenis asosia- sional. Pada akses parlementer, intensitas kelompok kepentingan biasanya semakin tinggi. Dalam regim kostitusional, lembaga legislatif di parle- men masih memilki wewenang yang penting bahkan lembaga ini dapat mendesakkan suatu kebijakan kepada eksekutif. Karena itu ke- lompok-kelompok kepentingan kemudian mengembangkan berbagai strategi untuk memaksimalkan pengaruh mereka kepada legislatif, misalnya dengan lobbying, pemberian dukungan kepada para kandi- dat, membuat aliansi dan semacam mekanisme balas jasa politik. Dalam setting politik Indonesia, setidak-tidaknya untuk sementara ini, akses parlementer tampaknya tidak seefektif akses praparlementer. Lembaga legislatif di Indonesia masih belum mampu untuk minimal menyamai kekuatan eksekutif. Akibatnya mereka berfungsi tak lebih dari sekadar sebuah stempel bagi setiap kebijaksanaan negara. Akses post-parlementer. Hasil kerja badan legislatif seringkali ha- nya menetapkan garis-garis besar yang luas bagi kebijaksanaan peme- rintah yang sebenarnya. Implementasi aturan yang masih abstrak itu ke dalam keputusan yang lebih rinci merupakan wewenang biro-biro pe- merintahan khusus. Di sinilah terdapat kesempatan yang sangat berarti bagi kelompok-kelompok kepentingan untuk melakukan intervensi postparlementer. Mereka dapat mempengaruhi proses implementasi garis-garis kebijaksanaan itu, atau dapat pula mencoba mengupayakan pembatalan tindakan-tindakan hukum dan adrmnistratif yang tidak mereka sukai. Di negara-negara yang memungkinkan adanya judicial review, hal ini tidak sulit dilakukan. Almond mempunyai pandangan yang positif tentang peran ke- lompok kepentingan di masa datang. Salah satu elemen penting pem- bangunan politik adalah bahwa perubahan sosial ekonomi akan me- rombak struktur dan kultur suatu sistem politik. Kekuatan yang paling nyata dalam perubahan sosio-ekonomik itu adalah industri, teknologi dan revolusi keilmuan. Perubahan sosio-ekonomi ini, bagi Almond, di samping mengembangkan kemampuan sistem politik untuk menggali sumber daya dari masyarakat, pada sisi lain juga semakin menum- buhkan kebutuhan akan tindakan sosial yang terkoordinir untuk me- ngatasi permasalahan-permasalahan baru, serta kemungkinan berkem- bangnya partisipasi dan tuntutan-tuntutan politik dan para anggota masyarakat.87 Pertumbuhan sosial dan ekonomi juga meningkatkan arus informasi dan kontak antara setiap bagian dalam masyarakat, meningkatkan pendidikan, kesehatan dan status anggota masyarakat. peningikatan derajat pendidikan dan status sosio-ekonomik berkaitan erat dengan kesadaran politik, partisipasi dan perasaan kompetensi politik.88 Kondisi-kondisi ini merupakan alur dalam mana kelompok- kelompok kepentingan, khususnya yang asosiasional, semakin mene- mukan basis bagi peranannya. Ahlussunnah wal Jamaah Pada umumnya para pengamat menilai NU sebagai organisasi ula- ma dengan stereotipe pengikutnya di pedesaan yang secara agama tradisional, secara intelektual sederhana, secara politik oportunis dan secara kiltural sinkretis. Dikotomi Islam tradisional-modern masih menjadi landasan pandangan ini. Dalam pola dikotomis itu jika Mu- hammadiyah diletakkan di sisi modern maka NU berada di ujung yang lain. Pola dikotomis ini ternyata tidak begitu tepat untuk digunakan mengamati NU dewasa ini. Tak jarang terjadi, NU yang "tradisional" tampak lebih luwes dan responsif terhadap gerak modernitas diban- dingkan dengan Muhammadiyah yang modernis.89 Adanya pola dikotomis ini berpangkal pada cara setiap kalangan itu sendiri dalam menyikapi pembaruan, dalam hal ini pembaruan Islam. Mereka yang kemudian mendirikan Muhammadiyah, misalnya, menerima penuh gerakan pembaharuan yang berupaya memurnikan Islam dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah semata, tidak ber- mazhab, memberantas segala bentuk bid'ah. Sementara mereka yang memelopori NU menerima pembaharuan ini dengan tetap berupaya menyelaraskannya dengan tradisi dan warisan budaya yang ada. De- ngan secara total hanya mengacu pada Al-Quran dan Sunnah, dengan mengabaikan warisan para intelektual Islam sepanjang sejarah yang terkristalisasikan dalam mazhab-mazhab, maka berarti telah tejadi penyia-nyiaan khazanah intelektual yang sangat berharga. Adalah mustahil suatu generasi memulai upaya pembaharuannya benar-benar dari nol., dan membuang hasil akumulasi pemikiran masa lalu. Di samping itu, penyelarasan Islam dengan tradisi dan budaya lokal di mana ia disebarkan tidaklah dapat dipandang sebagai membiarkan ajaran agama terkontaminasi sehingga perlu pemurnian. Sebab penye- larasan itu dalam batasan yang sangat jelas, justru akan membuat ajar- an agama lebih kontekstual. Keseluruhan cara pandang kalangan yang memperoleh cap tradisionalis ini terakumulasi dalam sebuah kaidah usul fiqh yang secara konsisten dipegang oleh NU: "mempertahankan milik lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik".90 Berdasarkan pemahaman di atas, buku ini dirancang tidak meng- gunakan pola dikotomi tradisional-modern dalam menganalisis NU. Hanya saja istilah tradisional dan modern pada beberapa tempat akan tetap digunakan, sekadar untuk memudahkan penunjukan. Selebihnya NU akan dilihat dalam nuansa lain dengan tetap bercorak kultural. Secara eksplisit, sejak awal NU telah menyatakan diri sebagai penganut Ahlussunnah waljamaah yang secara umum dapat diarti- kan sebagai "para penganut tradisi Nabi Muhammad dan ijma ula- ma".91 Sebenarnya paham Ahlussunnah wal jamaah tidak hanya di- anut kalangan Islam tradisional seperti NU saja, sebab kalangan Islam modernis pun mengemukakan diri sebagai penganut paham ini. Hanya saja perbedaan muncul karena paham ahlussunnah waljamaah me- miliki arti luas dan arti spesifiknya Dalam arti luas, Achmad Siddiq menjabarkan ahlussunnah wal jama'ah sebagai "Ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya."92 Penger- tian ini mengacu pada sebuah hadits yang terkenal dalam mana Nabi memprediksikan bahwa suatu saat kelak umat Islam akan terpecah dalam 73 firqah. Semua akan celaka, kecuali satu firqah, yaitu mereka yang "berpegang teguh pada peganganku dan pegangan sahabat-sa- habatku." Dalam hadits lain yang senada, golongan yang selamat ini disebut sebagai kaum ahlussunnah wal jama'ah.93. Murtadha Az Zabidi (94 mendefinisikan ahlussunnah wal jama'ah secara lebih spesifik sebagai paham yang diajarkan oleh Imam Al Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam arti ini paham ahlus- sunnah wal jamaah merupakan koreksi terhadap berkembangnya berbagai doktrin ketuhanan dan keimanan yang dipandang menyim- pang dari ajaran Nabi dan para sahabatnya. Ia, misalnya, adalah se- buah upaya jalan tengah antara pandangan Jabariyah yang fatalistik tentang nasib serta pandangan Qadariyah yang berpaham tentang ke- mampuan manusia untuk menentukan perbuatannya, seperti kaum Mu'tazilah dan Syi'ah.95 Terutama terhadap kedua kelompok inilah ahlussunnah wal jama'ah membuat garis batas yang jelas. Ketika perkembangan kelompok Mu'tazilah semakin pesat, serta doktrin ketuhanan dan keimanannya semakin menimbulkan kegon- cangan spiritual ideologis yang dahsyat,96. saat itu lahir aliran ahlussun- nah wal jama'ah dengan kedua tokoh di atas. Betapapun tokoh utama nya, Al-Asy'ari, sebelumnya adalah juga penganut aliran Mu'tazilah. Golongan ahlussunnah wal jama'ah kemudian berkembang menjadi kelompok terbesar dalam lingkungan umat Islam seluruh dunia, yang secara populer disebut sebagai kelompok Sunni yang dibedakan dari kelompok Syi'ah. Lebih dan sekedar untuk membedakan diri dari golongan Syi'ah, bagi ulama NU paham ahlussunnah wal jama'ah, dalam artian yang lebih terinci juga digunakan untuk membedakannya dari kalangan Islam modernis. KH Bisri Musthafa menguraikan bahwa Ahlussunah waljamaah adalah paham yang berpegang teguh pada tradisi berikut: 1. Dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali). Dalam praktek, para kiai adalah penganut kuat mazhab Syafi'i. 2. Dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al Maturidi. 3. Dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Abu Qasim Al junaid .97 Perbedaan antara kalangan Islam tradisional terhadap kelompok Islam modernis berkaitan dengan operasionalisasi ajaran ahlussunnah wal jamaah dalam rincian tersebut. Kalangan modernis tidak meng- ikuti ajaran imam-imam di atas, di samping (menyatakan) tidak meng- ikatkan diri pada madzhab tertentu. Perbedaan lain berkaitan dengan sumber hukum yang digunakan. Bagi mazhab Syafi'i, sumber hukum meliputi empat hal: Al Qur'an; sunnah Nabi; ijma 98. serta qiyas (ana- log, menyamakan hukum suatu hal yang belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah diketahui). Sumber hukum ketiga tiilak digunakan oleh kalangan modernis. Satu hal yang menandai karakteristik NU sebagai pengikut maz- hab Syafi'i adalah kemampuannya untuk tampil dalam segala situasi secara luwes, fleksibel, dan akomodatif, serta tidak terpaku pada kepu- tusan masa lain dalam merumuskan sikapnya. Imam Syafi'i sendiri di- kenal sebagai seorang ulama moderat. Watak ini disebabkan oleh latar belakang Syafi'i yang mengembangkan ajarannya di daerah-daerah Mekkah, Madinah, Baghdad dan terakhir Mesir, sehingga ajaran itu selalu berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat sekitarnya.99. Dengan menganut mazhab Syafi'i, bagi NU sangat dimungkinkan ada- nya pilihan untuk menyesuaikannya dengan konteks waktu. Tentu saja penyesuaian itu harus dilandasi oleh konsensus (ijma') di kalangan ulama, yang biasanya dicapai dalam suatu forum bahtsul masail diniyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan)100. Mekanisme konsensus ini merupakan faktor terpenting yang telah menjaga keutuh- an organisasi NU, yang senantiasa dipenuhi oleh perbedaan itu.101 Tiga tradisi keagamaan yang dipegang NU di atas pada gilirannya melahirkan sikap-sikap yang menjadi ciri khas organisasi, yaitu: 1. Tawasuth dan i'tidal, sikap tengah (moderat) dengan men- junjung tinggi keharusan berlaku lurus di tengah kehidupan bersama . 2. Tasamuh, sikap toleran terhadap perbedaan. 3. Tawazun, sikap seimbang dan tidak bersikap ekstrem. 4. Amar ma'ruf nahi munkar; menganjurkan kebaikan dan men- cegah kejelekan.102 Tradisi keagamaan itu juga memungkinkan terpeliharanya konti- nyuitas antara pandangan serba fiqih di satu ujung dan intensitas peng- hayatan iman yang tinggi sebagai buah dari dimensi tasawufnya, di ujung lain.103. Dari tradisi demikian, logis jika akhirnya lahir pan- danganan kemasyarakatan yang tidak bercorak hitam putih. Pandangan ini tentu memiliki implikasi tersendiri dalam persepsi kenegaraan NU' Kewajiban bernegara bagi NU adalah suatu yang final dan tidak bisa ditawar lagi. Sebagaimana digambarkan Abdurrahman Wahid, Eksistensi negara mengharuskan adanya ketaatan terhadap pe- merintah sebagai mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Ke- salahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan. Konsekuensi pandangan ini adalah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan sistem alternatif sebagai pemecahan masalah-masalah utama suatu bangsa yang telah membentuk negara. Dengan demikian, cara-cara yang digu- nakan dalam melakukan perbaikan keadaan senantiasa bercorak gradual.104 Pola pikir semacam inilah yang membuat NU menolak kehadiran Negara Islam Indonesia yang didirikan Kartosuwiryo, lepas dari persoalan bahwa unit tertentu dalam milisi NU terlibat di dalamnya. Kartosuwiryo bahkan dicap sebagai bughat (pemberontak) yang harus dibasmi. Sementara Soekarno dikukuhkan sebagai waliyul amri dha- ruri bi al-syaukah (pemegang kekuasaan sementara dengan kekuasaan penuh). konsepsi di atas, yang mendudukan pemerintah pada posisi sen- tral adalah inti dari pandangan mazhab Syafi`i tentang tiga jenis negara dar al-Islam (negeri Islam), dar al-harb (negara perang), dan dar al-sulh (negara damai) Dalam pandangan ini, negara Islam harus dipertahankan dari serangan lawan, sebab ia adalah perwujudan nor- matif dan fungsional cita-cita kenegaraan Islam sebagai konstitusi Ne- gara. Negara perang yang anti Islam harus diperangi, karena akan ber bahaya bagi kelangsungan hidup negara Islam, seperti dihilangkannya pemberlakukan syariah Islam dari konstitusi negara. Negara damai ha- rus dipertahankan pula, sebab syariah masih dilaksanakan oleh umat Islam di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk un- dang-undang negara.105 pendekatan serba fiqih inilah yang menjadikan NU relatif lebih mudah menerima penetapan pancasila sebagai satu-satunva asas. Da- lam kacamata fiqih, pancasila adalah salah satu persyaratan bagi ke- absahan negara RI, dan sama sekali bukan persyaratan keagamaan. Itu berarti "tidak ada alasan apapun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama". 106. Dengan mengembalikan semua persoalan pada legitimasi hukum fiqih NU secara akomodatif mampu beradaptasi dengan tuntutan se- buah negara modern, walaupun tak jarang pandangan serba fiqih itu menjadi hambatan bagi pemegang kekuasaan dalam beberapa aspek kenegaraan tertentu. Apapun, pandangan serupa itu membawa konse- kuensi perbenturan dengan pandangan yang memberlakukan Islam sebagai ideologi kemasyarakatan, apalagi sebagal ideologi politik.l07 Pendekatan serba fiqih, betapapun, pada akhirnya juga membe- rikan batasan yang tegas dan jelas tentang sejauh mana sikap ako- modatif NU dimungkikan. Batasan itu adalah sepanjang tidak melang- gar prinsip ajaran dan sistem nilai keagamaan yang dianutnya. Jika ini tejadi, NU bisa saja bersikap keras. Sebagai catatan akhir, konsekuensi lain dianutnya paham Ahlus- sunnah waljamaaah adalah keharusan bagi seluruh warga NU untuk menghormati otoritas dan kepemimpinan ulama. Dalam hal pemilihan nama organisasi dengan Nahdlatul Ulama pun tergambar jelas posisi sentral ulama di dalamnya. Sistematika Secara keseluruhan, buku ini dibagi dalam tujuh bab. Setelah mengemukakan pertanggung jawaban metodologis pada Bab I, maka Bah II akan memberikan gambaran tentang profil kesejarahan dan organisasi NU. Dalam tinjauan sejarah NU sebelum tahun 1984 dapat ditemukan beberapa karakteristik mendasar organisasi ini yang turut memberi warna pada pejalanannya kemudian. Hab III akan membuat ikhtisar pemikiran Abdurrahman Wahid sebagai salah satu faktor yang juga memiliki determinasi terhadap dinamika NU. Sementara Bab IV mulai melihat implementasi ke- putusan kembali ke khittah 1926 dalam dinamika internalnya. Di sini akan dilihat pejalanan dan ujian terhadap Khittah selama kurun waktu sepuluh tahunan, kesulitan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan konsekuensi organisatoris internal khittah, berupa pengembalian otoritas ulama,serta persepsi warga dan elit NU sendiri terhadap khittah. Pada Bab V diuraikan Implementasi Khittah dalam dinamika eksternalnya. Di sini akan diajukan argumentasi bahwa kembali ke khittah tidak pernah dimaksudkan untuk menghapussama sekali dimensi politik dalam gerakan NU. Khittah hanya mengamanatkan suatu reorientasi peran politik NU. Akan dilihat pula bagaimana posisi NU, atau persisnya warga NU, dalam dua pemilu --1987 dan 1992-- serta bidang-bidang garapan NU setelah tidak lagi terkonsentrasi pada politik praktis.Bab selanjutnya --VI dan VII-- masing-masing untuk mendiskusikan prospek NU dan sebuah poskripsi. ___________________________________________________________________ ___________________________________________________________________ 83. Almond, Op. cit, h. 81 84. Salisbury, Op. cit., h. 208 85. Hagopian, Op. cit., h. 362 86. Ibid., i, 362-368. 87. Almond, c,p. ul., h. 86 88. Ibid, h. 87 89. Misalnya NU pernah membuat gebrakan dengan mendirikan BPR-BPR mendahului Muhammadiyah bahkan ia bekerjasama dengan bank Summa, ketika perdebatan tentang halal-haramnya bunga bank belum usai. Barangkali yang tersisa dari tradisionalitas Nu adalah dalam bidang pendidikan yang dilakukan. Disegi ini Muhammadiyah jelas lebih modern. 90. Lihat Nurcholish Madjid, "Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah wal jama- ah:, dalam Muntaha Azhari dan AH Saleh (eds.), Islam Indonesia Mena tap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989), h. 63 91. Dhofier, Tradisi Pesantren Op. cif, h. 14X 92. Seperti dikutip dalam Anam, Op. cil., h. 135. 90. Lihat Nurcholish Madjid, "Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah wal jama- ah:, dalam Muntaha Azhari dan AH Saleh (eds.), Islam Indonesia Mena tap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989), h. 63 91. Dhofier, Tradisi Pesantren Op. cif, h. 14X 92. Seperti dikutip dalam Anam, Op. cil., h. 135. 93. Ibid. h. 136. 94. Murtadha az-Zabidi ittihad Sadatul Muttaqin, sebagaimana dikutip dalam ibid, h. 139f. 95. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin, Op, cit, h. 282L. 96. persoalan semacam ini berhulu pada metodologi agama mereka yang terlalu menomer-satukan rasio, dalam menilai sumber-sumber primer Islam, Al-Qur'an dan hadits. Mereka, misalnya. menggunakan pende katan interpretasi metamorfosis terhadap teks-teks dalam dua sumber tersebut, sehingga akhirnya terjebak dalam persepsi yang antromorfis tentang Tuhan: Ia menyerupai manusia dalam hal mempunyai tangan, mata, bertahta di sebuah singgasana ('arsy), bersifat senang, murka, den- dam, terikat pada waktu, dan seterusnya. Lihat ibid., h. 271 . 97. Seperti dikutip dalam Dhofier, Op Cil., h, 149. 98. Ijma' dapat dibedakan atas ijma' shahabi(konsensus para sahabat) dan ijma' sukuti (persetujuan para ulama akan sesuatu hal, yang ditandai dengan sikap diamnya) 99. Ali Abdul Wahid Wafi, perkembangan Mazhab dalam Islam, alih bahasa Rifyal Ka'bah (Jakarta: Minaret, 1987), h. 22-23. 97. Seperti dikutip dalam Dhofier, Op Cil., h, 149. 98. Ijma' dapat dibedakan atas ijma' shahabi(konsensus para sahabat) dan ijma' sukuti (persetujuan para ulama akan sesuatu hal, yang ditandai dengan sikap diamnya) 99. Ali Abdul Wahid Wafi, perkembangan Mazhab dalam Islam, alih bahasa Rifyal Ka'bah (Jakarta: Minaret, 1987), h. 22-23. 100. Anam, Op. cit., h. 161. 101. Abdurrahman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonnesia Dewasa ini," dalam Prisma No. 4, 1984, h. 36. 102. Marijan, Quo Vadis, Op. cit., h.36. 103. Wahid., Op. cit., h. 33-34. 104. Ibid.,h.34 105. Abdurrahman Wahid, "Kata pengantar", dalam Sitompul, Op. cit., h. 10 106. Wahid., Nahdlatul Ulama, Op. cit., h.34-35 107. Ibid.,h.35