BAB I PENDAHULUAN DISKUSI tentang dan sistem kepartaian di Indonesia seringkali menghasilkan kesimpulan yang kurang tuntas. Klasifikasi sistem ke- partaian yang lazim dikenal, yang antara lain dikemukakan oleh Maurice Duverger, tidak dapat secara pas membingkai sistem ke- partaian Indonesia saat ini. Dalam klasifikasi "konvensional" itu (berdasarkan jumlah partai yang ada dan pola interaksi antara me- reka), terdapat tiga sistem kepartaian: sistem partai tunggal (one- party system), sistem dua partai (two-party system), dan sistem multi partai (multy-party system).1 Terminologi "partai tunggal" dan "dua partai" tidaklah selalu berarti bahwa dalam suatu sistem politik hanya terdapat satu atau dua parpol saja. Sebab istilah itu mengacu pada jumlah parpol yang terus-menerus mendominasi se- mua porsi peran dalam pentas politik yang ada. Dalam sistem satu partai, boleh jadi terdapat dua atau lebih partai politik. Namun sua- sana kepartaian yang ada sangat tidak kompetitif: partai-partai po- litik yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan sama-sekali tidak diperkenankan bersaing secara bebas mela- wan partai itu. Pemilihan umum, dengan demikian, tidak diperlu- kan dalam sistem kepartaian ini. Dalam sistem dua partai pun, bisa saja terdapat tiga atau lebih parpol, tapi peran dominan selalu di- pegang oleh dua parpol tertentu. Jika salah satu dari keduanya ber- kuasa (karena menang mutlak dalam pemilu), maka yang lain tam- pil sebagai partai oposisi. Demikian secara bergiliran. Amerika Seri- kat adalah contoh paling jelas bagi sistem dua partai. Sementara da- lam sistem multi partai, terdapat banyak parpol dengan kekuatan kurang lebih imbang, serta terdapat pola kompetisi yang maksimal dan terbuka di antara mereka. Salah satu kesulitan yang sering muncul dalam sistem kepartaian ini adalah tidak adanya parpol yang menang mutlak (50 % tambah satu suara) dalam pemilu, se- hingga pemerintahan yang terbentuk kerapkali merupakan koalisi dari beberapa parpol. Tak jarang koalisi itu demikian longgar, se- hingga pemerintah bisa sewaktu-waktu jatuh karena partai tertentu menarik dukungannya dari koalisi. Di manakah sistem kepartaian Indonesia saat ini dapat diletak- kan dalam klasifikasi tersebut? Tidak ada jawaban yang persis te- pat. Sistem kepartaian Indonesia jelas bukan sistem dua partai. Se- mentara untuk menggolongkanya sebagai sistem satu atau multi partai pun terdapat banyak ganjalan. Sekalipun Golkar sepanjang sejarah Orde Baru selalu tampil mendominasi pentas kepartaian nasional, tapi partai-partai lain, PPP dan PDI bukan tidak memiliki peran sama sekali. Pola kompetisi antara ketiga parpol yang ada pun tetap tampak terutama menjelang pemilu setiap lima tahun. Ciri sistem partai tunggal tak terpenuhi di sini. Namun ciri sistem multi partai, yaitu kekuatan yang imbang antara partai-partai poli- tik sehingga setiap parpol akan mampu menandingi kekuatan par- pol lain, juga tak terpenuhi. PPP dan PDI, bahkan dengan meng- gabungkan kekuatan mereka pun, tidak akan mampu menandingi kekuatan Golkar. Klasifikasi sistem satu, dua, dan multi partai jeias kurang memadai untuk digunakan sebagai kacamata analisis untuk mengamati sistem kepartaian Indonesia. Sebuah jalan alternatif untuk keluar dari kebuntuan itu agaknya dapat diambil dari Dr Afan Gaffar (2 yang mengidentifikasi sistem kepartaian Indonesia saat ini sebagai sistem kepartaian hegemonik (hegemonic party system), istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh La Palombara dan Weiner.3 Ciri sistem kepartaian ini adalah, Golkar sebagai partai hegemonik terus-menerus mendominasi ke- kuasaan, sementara partai-partai politik lain hanya secara formal ada, namun tanpa kemampuan untuk menandingi kekuatan partai hegemonik itu.4 Hegemoni Golkar itu dimungkinkan oleh beberapa faktor yang telah dirancang dengan baik, yaitu: (1) Penciptaan aparatur keamanan yang represif untuk menegakkan dan menjaga kelangsungan tertib politik di dalam negeri; (2) Proses depolitisasi massa untuk sepenuhnya diarahkan pada kebijaksanaan dan pem- bangunan ekonomi; (3) Restrukturisasi partai-partai politik yang ada; dan (4) Penciptaan undang-undang pemilu serta prosesnya yang dapat menjamin Golkar menang dalam setiap pemilu.5 Dalam sistem kepartaian hegemonik ini peran PPP dan PDI praktis sangat sedikit. Akses mereka terhadap kekuasaan hanya sampai pada lembaga legislatif, Yang inferior ketika berhadapan de- ngan eksekutif. Sementara itu politik massa mengambang (floating mass) telah memotong akar mereka pada lapisan masyarakat ba- wah. Akibatnya, partai-partai politik itu mengalami kesulitan kade- risasi dan rekrutmen aktifis yang cakap. Sementara aparat peme- rintahan sampai level terendah merupakan kader Golkar. Kondisi kepartaian demikian, ditambah lagi dengan adanya ke- cenderungan bahwa dalam polifik pengambilan keputusan (the politics of policy making) hubungan yang bersifat pribadi (personal linkage) lebih menonjol daripada institusional Linkage,6 memung- kinkan lembaga-lembaga non-partai memainkan peran yang lebih berarti daripada parpol. Kelompok-kelompok kepentingan, misal- nya, dapat menjadi sarana dan wahana bagi masyarakat untuk da- pat memiliki akses terhadap pembuatan keputusan dalam sistem politik yang ada, jauh lebih efektif daripada parpol, sebab elit ke- lompok kepentingan selalu membawa citra tanpa pamrih atau ikh- las, tidak haus kekuasaan, jujur dan dengan berbagai karakter posi- tif lainnya. Sementara itu elit partai selalu dicitrakan sebaliknya, seperti selalu mementingkan kepentingan pribadi, terlampau ba- nyak politicking, berpamrih dan lain-lain.7 Dalam konteks inilah maka Jam'iyah Nahdlaful Ulama sebagai salah satu kelompok kepentingan (interest group) terbesar di Indo- nesia perlu memperoleh perhatian lebih serius dalam kajian tentang kepolitikan Indonesia kontemporer. Selama ini, Nahdhatul Ulama (8 yang dianggap "sayap tradisionalis" umat Islam Indonesia kurang memperoleh perhatian ilmiah yang memadai dari para pengamat politik, dibandingkan dengan Muhammadiyah, yang dianggap "sa- yap modernis" umat Islam Indonesia. Ward (9 misalnya mengeluh bahwa NU adalah yang paling sedikit memiliki kelemahan internal dan paling sedikit mengalami perpecahan internal, ironisnya, NU juga partai yang paling kurang dipahami dan paling sedikit ter- amati." Hal yang sama dikemukakan Anderson.lO Ia melihat bahwa sedikit sekali kalangan akademisi yang mengetahui tentang NU; be- lum ada disertasi doktor yang pernah ditulis tentang NU, dan dia meragukan apakah akan segera ada disertasi tentang NU, padahal NU merupakan kekuatan sosial, kultural, keagamaan, dan politik yang sangat berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun. Ke- luhan Ward dan Anderson itu memang dilontarkan beberapa tahun lampau, namun relevansinya belum hilang sampai sekarang. Sebuah ironi, mengingat bahwa NU adalah kelompok kepentingan dengan jumlah anggota yang sangat besar, barangkali yang terbesar, di indonesia hingga saat ini. Berapa besar massa NU? Inilah estimasi Zamakhsyari Dhofier: Dari hasil PEMILU tahun 1955 pemilih NU sebesar 18,4 % dan pada PEMILU 1971 persentase naik menjadi 18,7 %. Per- sentase sebesar itu terhadap jumlah penduduk Indonesia seka- rang yang diperkirakan sebesar 18O juta maka jumlah pendu- kung NU dapat diperkirakan sebesar 33 juta orang. Perkiraan di atas memang didasarkan pada logika yang sangat sederhana, namun angka yang disebutkan tentulah tidak jauh ber- geser dari angka riilnya. Dengan demikian, NU tidak sepatutnya mengalami nasib terabaikan, dan hanya memperoleh perhatian yang minim, dalam kajian-kajian ilmiah politik dengan 30 juta lebih massa dalam naungannya itu. Latar Belakang NU didirikan di Surabaya tahun 1926 dengan sebuah pola dasar perjuangan yang dikenal dengan "Khittah 1926". Pada awal berdi- rinya NU bukan merupakan partai atau organisasi politik, melain- kan sebuah jam'iyah diniyah atau organisasi sosial keagamaan. Na- mun, walaupun bukan organisasi politik, dimensi politik dalam ak- tifitas NU tidak kecil, terutama karena dalam tujuan pendiriannya sejak awal telah terkandung muatan politik, yaitu penggalangan na- sionalisme di tengah iklim kolonial saat itu.l2 Setelah beberapa ta- hun bergerak semata-mata dalam kegiatan sosial keagamaan, ber- gabungnya NU ke dalam MIAI (Majlisul Islam A'la Indonesia) me- nandai mulai manifesnya orientasi politik organisasi ini. Di dalam MIAI, NU bersama GAPI (Gabungan Politik Indonesia) turut aktif menyuarakan tuntutan Indonesia berparlemen.l3 MIAI, setelah me- lalui tahap-tahap metamorfosis, menjadi cikal bakal Partai Masyumi dimana NU bergabung dan menyalurkan aspirasi politiknya di ma- sa awal kemerdekaan. Tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan menyatakan diri se- bagai partai politik tersendiri, menyusul munculnya serangkaian kekecewaan NU terhadap Masyumi yang berkaitan dengan masalah distribusi kekuasaan dalam struktur pimpinan partai federasi itu.14 Keluarnya NU dari Masyumi memungkinkan organisasi ini un- tuk lebih mengaktualisasikan diri. Prestasi spektakulernya yang per- tama diukir dalam Pemilu 1955. Walaupun dengan masa persiapan yang lebih singkat dibandingkan partai-partai politik lain, NU mampu menempati peringkat ketiga perolehan suara setelah PNI dan Masyumi. NU meraih 18,4 % suara dan 45 kursi di parlemen.l5 Perkembangan selanjutnya membawa NU terlibat secara langsung dalam pasang-surut kepolitikan nasional. Pada Pemilu 1971, pemilu pertama di masa Orde Baru dan pemilu kedua dalam sejarah Indo- nesia merdeka, NU memperbaiki prestasinya dengan menempati urutan kedua setelah Golkar, dengan meraih 18,67 % suara dan 58 kursi di parlemen.16 Dua tahun setelah Pemilu 1971 dilakukan penyederhanaan ke- partaian di Indonesia. Sembilan partai politik yang ada disederha nakan sehingga hanya menjadi dua partai politik saja, di samping Golkar. NU, bersama Parmusi, PSII, Perti, bergabung dalam PPP. Sementara PNI, IPKI, Murba, Partai Katolik, dan Parkindo, berfusi dalam PDI.17 Baik PPP maupun PDI sebenarnya merupakan buah dari fusi yang tidak pernah tuntas. PDI tersusun dari unsur-unsur yang masing-masing memiliki asas yang berlainan: nasionalis, sosia- lis, Katolik dan Kristen. Benang merah yang menyatukan keaneka- ragaman asas itu sebenarnya rapuh dan mustahil dapat terikatkan tanpa adanya rekayasa pemerintah. Begitu pula PPP. Sekalipun se- mua unsurnya berasaskan Islam, tapi masing-masing memandang dan mempersepsikan asas itu dalam visi yang berbeda. Setidak- tidaknya, terdapat dua aliran pemikiran utama dalam PPP, yaitu ke- lompok modernis yang secara longgar terdapat dalam MI dan SI, serta kelompok tradisionalis dalam NU dan Perti.18 Fusi yang tidak tuntas itu menyebabkan perkembangan kedua partai tersebut selalu diwarnai oleh konflik internal antar unsur yang seakan tidak pernah usai. Bahkan akhir-akhir ini (1993), kon- flik dalam tubuh PDI telah melibatkan kekerasan fisik, sehingga ti- dak kurang dari Kwik Kian Gie, seorang tokoh PDI, dalam otokri- tiknya menyayangkan kiprah partai banteng ini yang tampak se- perti "partai kampungan yang bisanya cuma berkonflik."19 Semen- tara dalam PPP, konflik internal tampak terpola sebagai perten- tangan antara kalangan modernis dan kalangan tradisionalis, ter- utama antara MI dan NU. Pada mulanya konflik itu memang relatif laten, namun memasuki era 1980-an konflik NU-MI kian nyata, yang antara lain menyangkut kedudukan dalam partai dan DPR. Se- mentara campur tangan pemerintah dalam konflik internal itu se- makin manguatkan MI vis a vis NU, maka kronologis keluarnya NU dari Masyumi seolah terulang lagi. NU yang memendam keke- cewaan terhadap PPP, mulai menjelang Pemilu 1982 telah meng- ancam akan keiuar dari partai itu. Ancaman ini kemudian ternyata tidak main-main. _____________________________________________________________________ _____________________________________________________________________ 1. Lihat misalnya, Miriam Budiajo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gra- media, 1983), h. 167-170. 2. Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Election Under A Hegemonic Party System (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992). 3. Ibid., h. 36. Menurutnya, selama ini Indonesia telah mengalami tiga sistem kepartaian. Pertama, sistem multi partai pada masa demokrasi liberal, di mana terdapat banyak partai dengan tingkat otonomi tinggi dalam suasana kompetitif, namun tidak ada partai yang memiliki kekuatan mayoritas. Kedua, pada periode demokrasi terpimpin, yang muncul adalah apa yang disebutnya 'No-party System". Tingkat kompetisi antar partai sangat rendah. Mereka hanya menjadi pemeran pembantu bagi tiga pemeran utama dalam kepolitikan Indonesia saat itu: Bung Karno, Angkatan Darat, dan PKI. Dan ketiga adalah sistem kepartaian hegemonik yang muncul sejak kemenangan besar Golkar dalam Pemilu 1971. Ibid, h. 35-36. 4. Ibid, h. 51-61. 5. Ibid., h. 37-38. 6. Afan Gaffar, "Partai Politik, Elit dan Massa dalam Pembangunan Nasional," dalam A. Zaini Abar (ed.), Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru (Solo: CV Ramadhani), h. 21. 7. Ibid., h. 22. 8. Nahdhah al-Ulama. Nahdhah berarti bangkit atau bergerak; ulama adalah bentuk plural dari kata 'alim yang secara khusus berarti orang yang mengua- sai ilmu agama (Islam) secara mendalam. Jadi harfiah, Nahdhatul Ulama ber- arti kebangkitan ulama. Selanjutnya disebut NU saja. 9. Ken Ward, The 1971 Election in Indonesia (CSAS, Monash University Press, 1974), sebagaimana dikutip dalam Heri Wasito, NU dalam Pemilu L971 (Skripsi FISIPOL-UGM, 1989), h. 3. 1O. Benedict R.O'G. Anderson, Religion and Social Ethos in Indonesia (Clayton, Victory: Monash University, 1977), sebagaimana dikutip dalam Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3S), h. 4. 11. Zamakhsyari Dhofier, "Beberapa Aspek yang Menjadi Dasar Kekuatan dan Pengaruh NU," dalam S. Sinansari ecip (ed.) NU dalam Tantangan (Jakarta: Penerbit Al-Kautsar, 1989), h. 47. 12. Lihat Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ulama (Sala: Jatayu, 1985), h. 24-33. Lihat juga Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1986), h. 64-65. 13. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 289-290. 14. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional Jakarta: PT Pustaka Utama Graffiti, 1987), h. 80-86. 15. Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1966), Tabel 2, h. 434f. 16. M. Rusli Karim, Peialanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang- surut (Jakarta: CV Rajawali, 1983), h. 170. Sebuah penelitian tentang NU da- lam Pemilu 1971 pernah dilakukan oleh Heri Wasito. Lihat Wasito, op. cit. 17. Karim, ibid., h. 172f. 18. Syamsudin Haris, PPP dan Politik Orde Baru (Jakarta: PT Grasindo, 1991), h. 9. 19. Wawancara TPI dengan Kwik Kian Gie, disiarkan di TPI dalam acara Selamat Pagi Indonesia, 23 Juli 1993.