Menurut keterangan, kedatangan utusan dari Makkah disam- but gegap-gempita sejak dari Jakarta, Yogyakarta, Jombang hingga Surabaya. Sambutan luar biasa tejadi diJombang: sekolah dilibur- kan dan rombongan dari beberapa kota berdatangan ke Jombang. Dari stasiun Gubeng-Surabaya rombongan disambut arak-arakan kurang lebih 350 kendaraan menuju kantor NU di Kawatan, dan masyarakat yang keluar dari kampung-kampung berjajar di pinggir jalan menyambut rombongan.24 Malam harinya upacara resmi dise- lenggarakan di Masjid Ampel yang dihadiri ribuan pengunjung. Belakangan diperoleh kejelasan dari Konsul Belanda diJiddah, penguasa Hijaz mengeluarkan penetapan tarif resmi bagi semua kegiatan haji, bahkan jamaah haji yang merasa membayar lebih dari ketentuan tarif resmi dapat mengklaim lewat wakil di Makkah. NU lalu memutuskan perhatian pada pengembangan organisasi dan upaya memperluas kiprahnya sebagai organisasi sosial-keaga- maan. Untuk kepentingan ini dapat diajukan periodisasi sebagai be rikut Periode pertama, adalah periode konsolidasi internal NU dan kalangan tradisional Islam (1926-1936). Periode kedua, masa dialog NU dengan pihak-pihak di luarnya (1936-1942). Dalam kedua pe- riode itu NU mengambil sikap abstain dari politik, namun bergu- mul dengan pendefinisian nusa-bangsa (wathan). Periode ketiga adalah zaman PendudukanJepang, ketika kiai mulai terlibat dalam politik maupun perdebatan tentang negara Indonesia merdeka (1942-1945). Periode keempat, masa revolusi (1945-1949), merupa- kan periode di mana NU terlibat secara aktif dan radikal dalam po- litik namun menunjukkan kejelasan sikapnya atas negara. konsolidasi Internal Meskipun selama akhir kolonialisme Belanda NU menahan diri dari kegiatan politik -terbukti kongres kongres NU didominasi pembicaraan tentang masalah-masalah keagamaan murni, Nu juga terlibat dalam pendefinisian nusa-bangsa dan perdebatan tentang negara Indonesia merdeka. Kongres I di Surabaya (September 1926) masih membicarakan keharusan bermazhab; kemudian meluas ke soal perkawinan anak- anak di bawah umur, usul NU agar pengangkatan penghulu mem- pertimbangkan syarat mazhab dan dimintakan persetujuan ulama dalam Kongres II, Oktober 1927. Ketika Kongres IlI (1928) memu- tuskan agar NU meminta pengesahan sebagai badan hukum de- ngan menetapkan AD/ART (statuten), jangkauan perhatian NU makin luas lagi: NU mendaftarkan merek (No. 21743), menyebut kegiatan industri kecil dan pertokoan yang dikelola, serta mencan- tumkan produk-produk berlabel NU (seperti rokok, sajadah, peci, garmen, kopi, teh, sirup dll.); Nu juga menetapkan kegiatan sosial seperti pemeliharaan anak-anak yatim atau orang sakit. 25 Jumlah madrasah yang didirikan dengan bantuan NU, baik pe- santren yang sudah ada ataupun yang sama sekali baru,juga terus bertambah. Karena kekurangan guru yang memenuhi tuntutan madrasah-madrasah ini, muktamar kedelapan (1933) mendukung rencana Kiai Wahab untuk mendirikan sebuah sekolah pendidikan guru di Solo.26 Selain itu, berlangsung pula pembaruan pendidikan di pesantren (Tebuireng) dan pembentukan lembaga Ma'arif (1938).27 Kesemua itu tejadi bersamaan dengan perluasan keanggotaan dan organisasi. dalam Kongres I hadir 90-an Kiai, Kongres II di- hadiri sekitar 150 Kiai serta 200-an pengusaha, buruh dan petani dari 30-an cabang NU. Kongres IV (September 1929) dihadiri 13 cabang dari Jawa Barat, 27 dari Jawa Tengah dan 23 dariJawa Timur. Jumlah cabang NU menjadi 68 pada tahun 1935 (67.000 anggota) , 84 pada tahun 1935 dan meningkat menjadi 120 pada tahun 1942.28 Konsolidasi internal seperti ini ditandai dengan penyeleng- garaan kongres-kongres tahunan NU dari Surabaya (1926-1928) ke Semarang(l929), Pekalongan, Cirebon, Bandung,Jakarta, Banyu- wangi, Sala, Malang, Banjarmasin, Menes-Banten (1938). Dalam masa itu terjadi pula perkembangan kelembagaan dan kegiatan di NU: pembentukan bagian wakaf ( 1930) , pembentukan usaha syirkah tijariyah dengan nama Cooperatie Kaoem Moeslimin (1929), penerbitan media cetak, pemisahan sidang syuriah dan tanfidziyah (1934), munculnya generasi kedua NU (KH Mahfoezh Siddiq dan KHA Wahid Hasyim) sejak kongres Banyuwangi, pem- bentukan .Syirkah mu'awanah (1937), serta pembentukan lembaga Ma'arif dan Nahdhatoel Oelama bagian Moeslimat (NOM) tahun 1938. NU dan Faham Kebangsaan Dalam Muktamar Banjarmasin (1936) NU menetapkan kedu- dukan Jawa (Indonesia) sebagai dar al-Islam, sehingga menegaskan keterikatan NU dengan nusa-bangsa. NU juga memprakarsai pem- bentukan MIAI (di pesanten Kebondalem, Surabaya -tempat KH Ahmad Dahlan dari NU). Namun NU menolak terlibat dalam po- litik, terbukti usulan Cabang Indramayu agar NU berusaha mendu dukkan wakilnya dalam Volksraad (Dewan Rakyat) , ditolak oleh ma- yoritas peserta Kongres di Ranten (1938).29 Pada 1937, para pemimpin NU, hluhammadiyah dan Syarikat Islam membentuk MIAI (al-Majlis al-lslami al-A'la Indonesia, Majelis Tertinggi Islam Indonesia), yang kemudian diikuti kebanyakan organisasi Islam.30 Kongres I MIAI diselenggarakan tahun 1938-SI menganggapnya sebagai kongres kesepuluh Al-islam, namun NU dan organisasi lain bersikeras bahwa acara tersebut adalah kongres yang pertama dengan menyebut Kongres Al-Islam Indonesia). Keterlibatan NU dalam MIAI mengawali keterlibatan politik or- ganisasi para ulama ini. Kongres terakhir NU pada masa Belanda di- selenggarakan di Surabaya (1940), dan antara lain memutuskan La- rangan bagi anggota NU untuk ikut dalam milisi Belanda dan me- mutuskan Soekarno sebagai presiden Indonesia merdeka. 31 Intensi tas keterlibatan NU dalam persoalan politik keindonesiaan mening kat dalam zaman pendudukanjepang. ZamanJepang Pemerintah Balatentara Jepang mendekati kalangan Islam de- ngan membentuk Kantor Urusan Agama (Shumubu), sehingga me- miliki akses langsung kepada Kiai pedesaan tanpa melelui pamong praja pribumi dan bahkan pengurus MIAI. Kantor ini menye- lenggarakan pendidikan-latihan bagi para Kiai dengan mengajar- kan sejarah, kewarganegaraan, senam dan bahasa Jepang. Tindakan Jepang ini membawa Kiai dalam arus politisasi yang berlangsung cepat Hubungan Islam dengan Jepang yang secara keseluruhan tam- pak baik itu sempat memanas, ketika Jepang meminta rakyat Indo nesia melakukan saikeirei (membungkukkan badan ke arah Kaisar Jepang di Tokyo). Ritual ini menyerupai ruku` dalam sembahyang dan dinilai sebagai tindakan yang tak dapat dibenarkan dalam Is lam.32 Ulama terkemuka NU, Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Mah- foezh Siddiq bahkan dipenjara selama beberapa bulan (1942) kare- na menolak saikeirei.33 Setelah Kiai Hasyim dan Kiai Mahfoezh dibe- baskan, pihak jepang tetap meminta umat Islam melakukan saikeirei, ketika Jepang membutuhkan dukungan aktif rakyat Indonesia, ke- beratan umat Islam terhadap saikeirei diperhatikan. Keikutsertaan sejumlah besar Kiai sebagai sukarelawan militer Indonesia dalam Peta (Pembela Tanah-Air), yang dibentuk oleh Je- pang pada tahun 1943 dan mungkin merupakan cara terbaik Je- pang untuk menjamin agar pasukan tersebut benar-benar meng- akar di masyarakat. 34 tentulah ikut mengubah posisi dan harapan peran mereka di masa depan. MIAI masih melakukan kegiatannya ketika Jepang menduduki Indonesia. Namun, September 1943 Jepang memberikan penga- kuan resmi kepada Muhammadiyah dan Nahdlahtul Ulama -secara implisit tak mengakui organisasi lain dan juga MIAI. Bulan Okto- ber 1943 MIAI membubarkan diri dan digantikan dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Majelis Permusyawaratan Umat Islam In- donesia) pada November 1943. Tujuan utama Masyumi adalah "un- tuk memperkuat persatuan semua organisasi umat Islam" dan membantu Dai Nippon demi kepentingan Asia Timur Raya." Ke- anggotaan dalam Masyumi terbuka bagi individu dan juga orga- nisasi yang berstatus badan hukum (praktis hanya Muhammadiyah dan NU). Kiai Hasyim menjabat sebagai presiden Masyumi, KHA. Wahid Hasjim dan KH Mas Mansoer (Muhammadiyah) menjabat wakil-wakil presiden yang menangani urusan harian di Jakarta, sedangkan Kiai Wahab (NU) dan Ki Bagus Hadikusumo (Muham- madiyah) menjadi penasehat Belakangan, PUII dan PUI di Jawa Barat juga resmi diakui dan bergabung ke dalam Masyumi.35 Se- orang ulama dapat menjadi anggota Masyumi dengan syarat sudah mendapat persetujuan Shumubu (Kantor Urusan Agama). Bulan Agustus 1944, Shumubu ditata ulang: KHM Hasyim Asy'ari menjadi ketua, A. Wahid Hasyim dan A. Kahar Muzakkir menem- pati kedudukan puncak di dalamnya. Melalui tokoh-tokohnya, prak- tis Masyumi telah menjadi bagian dari pemerintah untuk menan- gani urusan-urusan umat Islam. Tampaknya kedekatan dengan pe- merintah Jepang ini tak menyebabkan para pemimpin NU dan Muhammadiyah berada dalam dilema yang lebih besar dibanding- kan dengan peranan NU dalam penerapan Nasakom pada masa Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno. Melalui pernyataan PM Ku- niaki Koisho di depan parlemen (Diet), beberapa minggu kemudi- an, Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Barisan tentara sukarela yang merekrut kalangan Muslim bernama Hizbullah (Ten- tara Allah) lalu dibentuk. Para anggotanya, yang dilatih oleh para perwira Peta, telah menyatakan kesetiaannya kepada Masyumi. Wa- hid Hasjim, sebagai wakil presiden Masyumi, secara resmi memerik- sa latihan barisan-barisan Hizbullah yang pertama. Dalam sidang mempersiapkan Indonesia merdeka (BPUPK dan PPKI), tokoh-tokoh NU lalu terlibat intensif dalam perdebatan tentang dasar negara dan konstitusi Indonesia merdeka.36 ____________________________________________________________________________ _____________________________________________________________________________ 24. Haidar, 1993.25. 25. lihat Aboebakar, 1957 h. 480-491; Anam, 1985: h. 94·97 dan lampiran-lam- piran. 26. Nantinya Nahdlatul Muslimat didirikan di Solo. 27. Khususnya sebagai dilansir oleh KHA Wahid Hasyim dan KHM Ilyas. Lihat Uthman, 1988 dan Steenbrink, 1986. 28. Haidar, 1993:h. 140-141; Aboebakar, 1957: h. 477 29. Aboebakar, 1957: h. 489. mungkin karena NU hanya memiliki segelintir ang- gota yang punya tingkat pendidikan yang diperlukan untuk menjadi anggota Volksraad, sedangkan mereka dibutuhkan dalam tugas-tugas yang lebih pen- ting di NU (Haidar, 1992). 30. Benda 1958: h. 51-54, 83-90 dan Noer 1973: h. 240-244 menggambarkan peris- tiwa-peristiwa ini danjuga memberikan beberapa informasi tentang latar bela- kang pembentukan MIAI. Lihatjuga Aboebakar 1957: h. 309-319; Anam 1985: h. 97-101. Masa Revolusi Masa antara perumusan dasar dan konstitusi negara hingga Pe- milu 1955, banyak hal terjadi pada NU. Keikutsertaan wakil-wakil NU dalam pembentukan negara, penegasan sikap NU atas negara yang terancam untuk diduduki kembali oleh kekuatan Barat, afiliasi politik dalam partai Masyumi dan berakhir dengan keputusan NU untuk menjadi partai politik mandiri. Pengalaman di bawah pendudukan Jepang telah melibatkan NU dan umat Islam Indonesia dalam kegiatan politik lebih inten- sif, dan mempersiapkan mereka untuk melakukan pejuangan ber- senjata. NU dan para pendukungnya memainkan peranan aktif dan radikal pada masa revolusi. Banyak di antara mereka yang berga- bung dalam barisan Hizbullah ternyata mempunyai latar belakang NU. Komandan tertinggi Hizbullah adalah seorang pemimpin NU asal Sumatera Utara (Mandailing), Zainul Arifin. Namun, ketika perjuangan bersenjata dimulai, pasukan-pasukan gerilya Muslim non-reguler, yang bernama Sabilillah,juga muncul. Pasukan-pasuk- an ini hampir semua terdiri dari para Kiai desa bersama para peng- ikutnya, komandan tertinggi mereka juga pemimpin NU, Kiai Masjkur dari Malang (kelak menjadi politisi NU terkenal dan per- nah menjabat sebagai menteri).37 NU juga mengambil bagian menentukan dalam pejuangan di Jawa Timur dan mengukuhkan sikapnya atas negara Indonesia. Tanggal 21-22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang (konsul) NU di se- luruh Jawa-Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan per- juangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci). Pernyataan yang kemudian terkenal sebagai "Resolusi Jihad" ini, dikeluarkan di te- ngah Indonesia muda berada dalam situasi kritis.38 Tentara Inggris pertama (atas nama Netherlands indies Civil Administration, NICA) menduduki Ibukota RI Jakarta akhir September 1945. Pertengahan Oktober, pasukan Jepang merebut kembali beberapa kota Jawa yang telah jatuh ke tangan Republik yang masih muda dan menye- rahkannya kepada Inggris. Masih dalam bulan Oktober, Bandung- dan Semarang jatuh ke tangan Inggeris.39 Sementara masyarakat Jawa Timur "menunggu" kedatangan pa- sukan Sekutu di Surabaya (akhir Oktober), pemerintah Indonesia masih menahan diri dari melakukan perlawanan. Pemerintah mengharapkan adanya penyelesaian secara diplomatik dan tampak- nya menerima saja ketika bendera Belanda dikibarkan lagi diJakar- ta. Sebaliknya, "Resolusi Jihad" meminta pemerintah Republik un- tuk menyatakan perang suci.40 Tak pelak lagi, "Resolusi Jihad" telah membakar semangat perlawanan arek-arek Jawa Timur. Pada 10 No vember 1915, perlawanan massa kepada Sekutu pecah, dimana ba- nyak pengikut NCI yang terlibat aktif. Pasukan-pasukan non-reguler yang bernama Sabilillah, yang rupanya dibentuk sebagai respon langsung terhadap resolusi NU, mengambil bagian aktif. Banyak pula pejuang muda yang mengenakan jimat yang diberikan Kiai desa kepada mereka. Bung Tomo, yang membakar massa ke dalam perjuangan melalui pidato radionya, diketahui meminta nasehat ("restu") kepada Kiai Hasyim Asy'ari.41 "Resolusi Jihad" menunjukkan, pertama, NU dapat tampil seba- gal kekuatan radikal yang tak terduga; kedua, merupakan legitimasi bagi negara dan sekaligus kritik tak langsung terhadap sikap pasif pemerintah.42 Ketika Masyumi menjadi sebuah partai politik, Nopember 1945, mengikuti ajakan pemerintah republik untuk membangun demo krasi multi-partai (Makloemat iks, 16 Oktober 1945 dari Wapres Hat- ta),NU menggabungkan diri.43 Keanggotaan partai Masyumi ter- diri atas anggota kolektif maupun individual- yang termasuk ang- gota kolektif adalah NU, Muhammadiyah dan dua organisasi regio- nal kecil PUII dan PUI dariJawa Barat Kemudian organisasi-orga- nisasi Islam lainnya bergabung. NU tak benar-benar terwakili dalam kepengurusan Masyumi. Hal ini mencerminkan langkanya anggota NU yang mempunyai tingkat pendidikan umum modern yang memadai, sehingga ber- akibat pada diskriminasi terhadapnya. Tak satupun jabatan ekseku- tif Masyumijatuh ke NU, namun Kiai Hasyim dijadikan sebagai Pre- siden Badan Musyawarah (Majelis Syuro) partai, KHA Wahid Hasyim menjadi salah satu dari tiga wakil-presiden dan KHA Wahab Has- bullah sebagai anggota (penasihat eksekutif). Majelis Syuro tak ba- nyak menentukan langkah Masyumi dan statusnya diturunkan menjadi hanya penasehat belaka (1949). Dari empat belas anggota pengurus eksekutif, hanya dua orang yang mewakili NU.44 Proses cukup panjang dan menarik berlangsung antara NU di satu pihak dengan non-NU dalam Masyumi. NU kemudian keluar dari Masyurni (1952) dan menjadi kontestan Pemilu 1955.45 Secara mengejutkan NU mengantungi 18,4% dari seluruh suara yang sah dan menduduki tempat ketiga di bawah PNI (22,3% suara) dan Masyumi (20,9 % suara). Wakil NU di parlemen meningkat, dari 8 da-lam Masyumi menjadi 45 kursi (PNI 57, Masyumi 57 dan PKI 39).46 Selama demokrasi parlementer NU gagal memberikan dam- pak yang sepadan dengan besar jumlah pendukungnya. Ketika De- mokrasi Terpimpin (1959-1965),NU menjadi penyangga rejim oto- riter-populis;ini, yang menyebabkan sejumlah perselisihan inter- na1.47 Selama transisi 1965-1966, NU harus mendefinisikan ulang peranan-nya dan dalam Orde Baru (1967-sekarang), setelah tampil sebagai kekuatan oposisi kalangan "tradisionalisme-radikal",48 NU menyelam dalam arus depolitisasi Islam yang massif. jam'iyah Nahdlatul Ulama: Refleksi Dari uraian di muka dapat dimengerti, mengapa godaan Pan- Islamis yang sempat menarik generasi pendiri NU kemudian ter- abaikan. Mungkin ini pula yang menyebabkan NU, dalam tahap dini, "menengok ke dalam" kondisi Indonesia. Sebab lain, tahun 1928 telah ciitetapkan Sumpah Pemuda. Pada tahap inilah kepu- tusan Muktamar NU di Banjarmasin (1936) menyatakan, bahwa negeriJawa" (yang berada di bawah cengkeraman kolonial Belan- da) tetap merupakan dar al-islam Tatapan ke dalam ini pula yang kemudian terwujud dalam desakan NU agar MIAI (al-Majlis al-islam A'la Indunisiya) tak disebut sebagai kelanjutan kongres-kongres al- Islam (yang Pan-Islamis itu), melainkan merupakan upaya baru sa- ma sekali dari proses ukhuwah Islamiyah di Indoncsia.'Tahap ini merupakan tahap penegasan akan konsep nusa-bangsa (dar, nege- ri).49 Keterangan minimalis ini, dapat dimengerti, mungkin menye- babkan tudingan bahwa NU memang didirikan bukan sebagai or- ganisasi yang sejak awal berfaham kebangsaan (baca: seal orisinali- tas). Keterangan-keterangan lain misalnya berupa penggunaan na- ma wathan di atas, atau berupa sebuah syair dan lagu berwawasan kebangsaan yang digubah Kiai Wahab. Hanya dalam waktu kemu- dian watak kebangsaan kalangan NU terekspresikan makin menon- jol, misalnya dalam perlawanan terhadap Jepang yang dipimpin oleh Kiai Zainul Musthafa (Geger Sukamanah di Singapama, Tasik- malaya) dan kasus "anti saikerd' yang didemonstrasikan Kiai Hasyim Asy'ari.50 Persoalannya bernuansa lain ketika NU, melalui wakil-wakilnya (KHA Wahid Hasyim, KH Masjkur) bergumul dalam pembentuk- an Indonesia merdeka, dan kemudian berada dalam partai Islam Masyumi. Pada tahap ini, NU menegaskan dan menjamin penuh keberadaan negara Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno dan Hatta yang telah didahului dengan "pertemuan rahasia" sebe- lum 17 Agustus 1945 yang menetapkan persetujuan ulama NU ter- hadap kepemimpinan Soekarno, dan melalui ResolusiJihad 22 Ok- tober 1945 yang terkenal itu.51 Ketika NU kemudian memilih menjadi partai politik sendiri dan ikut berkompetisi dalam Pemilu 1955, sehingga partai Islam yang dipimpin para ulama ini berhasil menempati urutan ketiga dalam perolehan kursi (setelah PNI dan Masyumi), lacakan historis gerakan sosial-keagamaan ini seolah mengalami rupture. Namun satu hal dapat dipastikan, prestasi politik NU tersebut harus dicari- kan jawabnya pada proses-proses sosio-religio-kultural yang telah berlangsung sejak 1926. Sungguh tak dapat dimengerti bahwa ha- nya dalam waktu 3 tahun (sejak NU keluar dari Masyumi tahun 1952 hingga Pemilu 1955), organisasi ini dapat menyiapkan diri se- cara memadai untuk memperoleh suara begitu besar.52 Proses-proses "jamiyah babak pertama" tersebut telah mengha- silkan banyak hal: perkembangan organisasi, perluasan kiprah, MO- bilisasi dan integrasi massa NU dalam persoalan-persoalan Indone- sia, kelangsungan dan transmisi intelektual Islam dan konsolidasi faham keagamaan. Kesemua capaian ini memperoleh perhatian ku- rang memadai selama NU bergumul dengan politik praktis (di par- lemen dan pemerintahan). Dalam pergumulan politik antara 1955 hingga 1983 (ketika se- cara resmi NU melepaskan afiliasi politiknya dengan Partai Persa- tuan Pembangunan), enersi yang sempat terkumpul selama 1926- 1955 harus dialokasikan secara massif. Hasilnya, penyesalan tak ber- kesudahan akhirnya mendorong NU untuk menegaskan kembali ke Khittah Ashliyah al-nahdliyah (garis perjuangan NU yang asli). Demikianlah maka Muktamar NU di Situbondo (1984) meru- muskan tujuan dan usaha-usaha NU sebagai berikut (Pasal 5): Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang ber- haluan Ahlus Sunnah walJama'ah, menurut salah satu dari mazhab em- pat, di tengah-tengah kehidupan, di dalam wadah Negara Kesatuan Re- publik Indonesia yang berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan tujuan di atas maka Nahdlatul Ulama me- laksanakan usaha-usaha sebagai berikut (Pasal 7-10): (1) Di bidang agama, mengusahakan terlaksananya ajaran Islam me- nurut faham Ahlussunnah wal Jamaah dalam masyarakat dengan melak- sanakan amar ma'ruf nahi munkar serta meningkatkan ukhuwwah Isla ____________________________________________________________________________ ____________________________________________________________________________ 31. Kongres ke-lO ini diselenggarakan bulanJuni 1940. Lihat Anam, 1985: h. 112. 32. Benda, 1985: h. 123-124. 33. Anam, 1985: h. 114-115. Kedua pemimpin NU ini dipenjarakan, konon karena didakwa terlibat dalam sabotase di pabrik gula CukirJombang. Menurut Anam sebab sebenarnya adalah himbauan Kiai Hasyim agar umat Islam tak mela- kukan saikeirei. 34. Seperti dilukiskan Benda, "satuan perwira Indonesia (...) terdiri dari sejumlah besar kiai. (...) Elite militer Indonesia yang baru, karena itu, memperoleh ke- kuatan utamanya dari para pemimpin umat Islam dan kalangan aristokrasi, sementara kaum intelgensia berpendidikan Barat, walaupun menyambut baik dan menghargai tentara baru ini, tidak banyak yang menjadi personil pimpin- annya." Benda, 1985: h. 138. Lihat juga Zuhri, 1987: h. 233 untuk beberapa nama dari para pemimpin Muslim ini. 35. Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) dipimpin oieh Kiai Ahmad Sanusi (Sukabumi); Perikatan Ummat Islam (PUI)dipimpin Kiai Abdul Halim (Ma- jalengka). Lihat Noer, 1973/1987: h. 69-73 dan Iskandar, 1993. 36. Pergumulan merumuskan dasar negara dan konstitusi ini dapat dibaca dalam berbagai kajian yang berkaitan. 37. Selanjutnya baca Soebagio, 1982. 38. Resolusi ini menyatakan bahwa wajib bejuang bagi setiap Muslim yang mam- pu yang berada dalam radius 94 kilometer dari tempat berlangsungnya per- tempuran atau tempat musuh berada. Untuk mereka yang berada di luar ra- dius ini kewajiban ikut serta tidak dikenakan atas masing-masing individu teta- pi atas komunitas, yang harus mengirim sejumlah anggotanya untuk berga- bung dalam pejuangan. Lihat teks lengkap resolusi ini dalam Anam, 1985 (Lampiran). 39. Perjuangan berdarah di Palagan Ambarawa dengan bambu runcing dari Kyai Subki Parakan, Temanggung, adalah narasi terpendam tentang keterlibatan anggota NU dalam revolusi. 40. Menurut Saifuddin Zuhri, 1979: h. 636, Kyai Hasyim Asy'ari, yang memimpin rapat di Surabaya, sebelumnya telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa mempertahankan republik adalah kewajiban agama bagi semua orang Islam fardlu 'ain). 41. Peran yang dimainkan pengikut NU dalam pemberontakan 10 November di Surabaya diungkapkan dalam beberapa artikel singkat di Aula jumal NU cabangJawa Timur: Abdul Aziz Medan, ''Lasykar Hizbullah dan Perang 10 No- vember".Aula IX, no,1 dan 2 (januari dan februari 1987);anonim,"peranan Hizbbullah dalam perang 10 November 1945",Aula X no.10 (Desember 1988). 42. Bruinessen, 1994. 43. Tentang Makloemat x lihat Rose,1991: Bab 9,khususnya h.210-220. 44. Noer, 1987:h. 100-105. 45. Menarik untuk mengingat, sejak awal AD/ART NU menyatakan bahwa NU didirikan untuk waktu 29 tahun (1926-1955). Lihat pasal 1 statuten perkoem- poelan nahdlatoel oelama. 46. Feith, 1962:h 434; PKI memperoleh 39 (16,4%). 47. Lihat kondensasi Fealy, 1994. Bandingkan Maarif; 1991. 48. Nakamura, 1982. 49. Wahid, 1989. 50. Untuk syair gubahan Kyai Wahab lihat Halim, 1970: h. 8-10; Anam, 1985: h. 25-26 dan Shonhaji. 1987: h. 97-98. Untuk Geger Sukamanah lihat Aiko Kurosawa, 1994. Untuk kasus "anti saikerei' lihat H.J. Benda. 5l. Pergumulan tokoh-tokoh NU dalam perumusan dasar negara dapat dibaca dalam M. Yamin, 1959.Jil. I.Juga ES Anshari, 1980; Simanjuntak, 1994; Hai- dar, 1992. Tentang "pertemuan rahasia" baca Anam, 1985: h. 112; Feillard, 1993; h. 5. 52. Tentang faktor-Saktor keberhasilan NU dalam Pemilu 1955 lihat Naim, 1960; juga Noer, 1973/1985.