IV Salah satu persoalan mendasar yang masih harus dipecahkan oleh NU di dalam upaya merealisasikan cita-cita kembali Khittah 1926 adalah memadukan kepentingan-kepentingan dan orientasi- orientasi yang bertentangan dalam tubuh organisasi ini. Sebagai aki- bat dari proses sejarah yang panjang dan pengaruh proses formasi sosial dalam masyarakat, maka di dalam tubuh NU pun terjadi pe- milahan-pemilahan pengelompokan berdasar orientasi, kepenting- an, terdapat tiga besar arus kelompok kepentingan dan orientasi yang saling berkait dan bersaing dalam elit NU. Mereka itu adalah 1) kelompok yang berorientasi politis, 2) kelompok yang berorien- tasi profesional-teknokratis, dan 5) kelompok yang berorientasi kul- tural-populis.42 Kelompok pertama, secara historis muncul semenjak NU aktif dalam politik praktis menjadi salah satu unsur dalam Masyumi dan kemudian menjadi dominan dalam mengarahkan perkembangan- nya. Basis sosial ini adalah para elit politik di perkotaan maupun pe- desaan, dengan latar belakang pendidikan baik pesantren tradisio- nal maupun lembaga pendidikan modern.43 Bagi kelompok ini, ke- pentingan dan aspirasi NU akan lebih terdengar dan direalisasi le- wat keterlibatan langsung dalam parlemen di bawah para politisi- nya. Keberhasilan mereka untuk mendatangkan keuntungan-keun- tungan politik dan ekonomi bagi warga NU selama ini, membuat kelompok ini memiliki basis dukungan massa yang cukup besar. Kelompok kedua semakin tumbuh dan menguat secara man- diri bersamaan dengan terjadinya differensiasi sosial dalam masyara- kat karena modernisasi yang bejalan pesat dan, pada gilirannya, mempengaruhi warga NU juga. Kelompok kepentingan ini terdiri atas kelas menengah kota yang terjun dalam sektor-sektor modern (industri, birokrasi, jasa) yang memerlukan tingkat keahlian dan profesional menengah dan tinggi. Oleh karena itu anggota kelom- pok ini rata-rata memiliki tingkat pendidikan dan keahlian yang cu- kup tinggi termasuk menikmati pendidikan sekuler.44 Kelompok yang relatif baru ini menjadi semakin strategis posisinya di dalam NU karena keahlian manajerial dan akses mereka kepada sumber- daya modem. Sementara itu, kelompok ketiga adalah mereka yang lebih me- musatkan perhatian pada kiprah kecendekiawanan berupa pemeli- haraan dan pengembangan tradisi dan kultur Islam Ahlussunnah waljama'ah sebagai landasan normatif kehidupan bermasyarakat NU bukan saja dianggap sebagai sebuah organisasi tetapi juga refe- rensi yang sah dari kultur itu sendiri. Kelompok ini sebagian besar terdiri atas para ulama dan cendekiawan yang berbasis di sekitar pe- santren-pesantren tradisional di pedesaan dan sebagian kecil di dae- rah pcrkotaan. Kelompok kultural inilah yang semenjak dahulu me- megang akses legitimasi simbolis-kultural NU dan, sampai tingkat tertentu, juga kekuatan mobilisasi massa. Pergumulan ketiga kelompok elit kepentingan dan orientasi itu- lah yang menentukan dinamika NU dalam konjungtur politik eko- nomi Indonesia di bawah Orde Raru.45 NU paska-khittah tak pelak lagi menyaksikan terbentuknya aliansi antara kelompok kultural-po- pulis dengan kelompok profesional-teknokratis dalam upaya mem- pertahankan posisi strategi NU dalam struktur politik-ekonomi Or- de Baru. Memudarnya pamor kelompok politik di mata warga Nah- dliyyin, untuk sementara telah memberi peluang bagi kedua kelom- pok yang terakhir untuk mengembangkan strategi baru yang lebih memadai bagi perkembangan NU di masa depan. Dalam perkem- bangannya, kelompok profesional-teknokratis ini nampaknya yang akan memegang peranan penting dalam pelaksanaan program ka- rena merekalah yang secara riil memiliki peluang dan keahlian. Ke- lompok kultural populis-populis, yang terdiri dari para ulama, akan tetap berfungsi sebagai pengawas dan pemberi legitimasi kultural maupun pengaruh mobilisasi sumberdaya. Bagaimanapun, kelom- pok ini juga memiliki basis massa serta kapasitas legitimasi yang cu- kup besar atau sebanding dengan kelompok elit politisi.46 Dari diskusi di atas, maka menjadi jelaslah bahwa kiprah NU paska-khittah yang menitik beratkan pada kerja-kerja sosial budaya dan pengejawantahan prinsip-prinsip seperti Amar Ma'ruf Nahi Munkar dan Mabadi Khaira Ummah dalam bentuk program-pro- gram kongkrit, akan sangat ditentukan oleh kemantapan dan kesi- nambungan aliansi kelompok kedua dan ketiga dengan menarik kerjasama terbatas dari kelompok politisi.47 Dan ini bukanlah pe- kerjaan mudah karena ia tetap berada dalam konjungtur politik makro di Indonesia. Kecenderungan politik Indonesia terakhir yang sedikit banyak mulai mengarah pada repolitisasi Islam, misal- nya, akan punya dampak tertentu terhadap stabilitas aliansi itu.48 Hal itu menyiratkan urgennya konsilidasi organisasi yang ditu- jukan untuk semakin memperkokoh posisi kelompok kultural-po- pulis dan pada saat yang sama mencarikan jalan agar kelompok profesional-teknokratis semakin mampu berperan secara aktif dan percaya diri. Ini berarti diperlukan adanya peninjauan kembali ter- hadap mekanisme organisasi secara tuntas, terutama fungsi dan pe- ran lembaga seperti Syuriah dan Tanfidziyah dan badan-badan oto- nom NU.49 Pola-pola manajemen organisasi yang tradisional harus mengalami perubahan dan penyesuaian-penyesuaian sehingga or- ganisasi ini mampu berkiprah dalam lingkungan modern tanpa ke- hilangan ciri-ciri khasnya.50 Selain dari keharusan adanya perbaikan institusional yang me- nyeluruh, tak kurang mendasarnya adalah bagaimana NU me- nembangkan muatan pemahaman sesuai tuntutan zaman. Di sini- lah nanti relevansi NU paska-khittah dengan upaya penguatan civil sociecy di negeri ini akan dapat ditemukan. Persoalan ini punya kait- an erat dengan kenyataan bahwa basis massa NU mayoritas berada pada lapisan bawah dan masih belum sepenuhnya terlepas dari per- soalan-persoalan dasar seperti partisipasi dalam pengambilan kepu- tusan yang menyangkut kehidupan mereka, jaminan hak-hak dasar, peningkatan pendidikan, taraf hidup, dst. Secara ideal, NU sebenarnya merupakan salah satu organisasi yang paling berpotensi dalam gerakan-gerakan yang diarahkan bagi pembebasan rakyat dari jeratan keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Namun dalam perkembangannya sampai kini, harus diakui bahwa organisasi ini masih tertinggal dalam penggarapan dan pemecahan masalah-masalah krusial tersebut dibanding de- ngan organisasi Islam seperti Muhammadiyah atau kerja-kerja sosial yang dikelola agama lain, terutarna Kristen dan Katolik. Salah satu akibatnya adalah banyak sekali di antara warga Nahdliyyin sendiri yang termasuk dalam kategori tertinggal, baik ekonomi, pendidik- an, kesehatan, maupun hal-hal dasar lainnya. Hal ini ikut bertang- gungjawab dalam terciptanya citra negatif bahwa NU adalah orga- nisasi tradisional yang tidak berhasil menjawab tantangan moderni- tas dan memperjuangkan kepentingan umat. Oleh karenanya, apabila NU ingin berperan aktif sebagai agen perubahan sosio-kultural dalam masyarakat jelas diperlukan kebera- nian melakukan perubahan fundamental atas konvensi-konvensi dan visi kemasyarakatan yang selama ini dipegang. Prinsip-prinsip mabda khaira ummah, amar ma'ruf nahi munkar, yang telah disinggung di atas, harus dijabarkan dan dirumuskan melampaui pemahaman konvensional. Hanya dengan keberanian inilah NU akan mungkin mengejar ketertinggalan di atas dan menempatkan dirinya sejajar dengan organisasi kemasyarakatan yang telah maju. Dalam hal ini, ide-ide yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh inte- lektual NU seperti Abdurrahman Wahid dan alm. KH Achmad Sid- diq menjadi sangat relevan. Mereka dalam berbagai kesempatan te- lah mengemukakan pentingnya peninjauan kembali ide-ide mapan dalam khazanah kultural NU dalam konteks baru. Abdurrahman Wahid, misalnya, menyerukan diperluasnya "wilayah garapan" kon- sep amar ma'ruf dengan memberi penekanan pada aspek-aspek ke- hidupan yang biasanya dianggap "di luar" kepentingan agama. De- ngan demikian kecenderungan pemahaman konsep amar ma'ruf dalam wacana legal formal agama perlu ditinjau kembali. Ia lantas dimengerti dalam konteks kepentingan kemasyarakatan luas dan bukan hanya umat Islam saja dan mencakup hal-hal yang bersifat keperluan dasar (basic needs) bagi manusia. Dalam hubungan ini, ia sering menyinggung perlunya mengembangkan prinsip umum pe- ngaturan hidup yang lima (al-kulliyat alkhams)51 yang sebetulnya su- dah dikenal dalam literatur-literatur klasik yang dipakai NU. Pada dimensi kehidupan sosial politik bangsa Indonesia, pemi- kiran kedua tokoh Khittah itu senantiasa berusaha mengupayakan sintesa-sintesa antara universalisme ajaran Islam dengan tuntutan- tuntutan partikular yang sedang dihadapi masyarakat Indonesia. Dari hasil pemikiran mereka, maka pendekatan sosial-budaya diang-- gap yang paling tepat bagi kiprah NU di tengah-tengah masyarakat negeri ini, ketimbang apa yang disebut pendekatan "Islam sebagai alternatif" dan pendekatan "budaya".52 Pendekatan sosial budaya, walaupun menginginkan berperannya ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan sosial, tetapi tidak mengharuskannya menjadi satu-sa- tunya alternatif. Yang penting, nilai-nilai dan ajaran Islam secara komplementer mampu menjiwai aspek-aspek perilaku sosial dan mendorong terjadinya transformasi sosial sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diakui secara universal. Dengan dasar pendekatan sosial budaya, NU paska-khittah akan bekerjasama dan melakukan dialog terbuka dengan siapa saja yang memiliki keprihatinan terhadap permasalahan dasar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini dan masa depan. Masalah-masalah strate- gis seperti demokratisasi, keadilan ekonomi dan sosial, pembelaan hak-hak asasi manusia, pemberantasan kemiskinan dan kebodohan, dsb. akan dibicarakan dan dipecahkan bersama-sama kelompok-ke- lompok lain dalam masyarakat sehingga NU tidak lagi menjadi or- ganisasi eksklusif yang hanya mementingkan diri sendiri atau um- mat Islam saja. Ditinjau dari kepentingan civil society diIndonesia, maka pende- katan NU di atas menjadi relevan karena beberapa hal: Pertama, NU tak lagi hanya membatasi diri pada upaya pemecahan masalah-ma- salah yang menyangkut kepentingan warga Nahdliyyin saja, tetapi di- perluas hingga mencakup kepentingan bangsa. Kedua, NU meng- akui bahwa wilayah esensi bagi sehuah civil society yang mandiri kini menjadi salah satu komitmen utama perjuangannya. Ketiga, NU pas ka-khittah berniat menitikberatkan geraknya pada level masyarakat dan ditujukan untuk memperkuat kemandirian dan kepercayaan dirinya. Dengan memperlebar wilayah garapan NU, maka kesempatan untuk berpartisipasi dalam kiprah advokasi masyarakat bawah da- lam skala makro akan terbuka. Lewat badan-badan otonomnya, NU akan lebih leluasa bekerja sama, seperti LSM-LSM baik yang berada di dalam maupun luar negeri atau organisasi sosial lain di Indo nesia. NU bisa lebih berperan aktif dalam berbagai kerja penya- daran masyarakat arus bawah tentang hak-hak dan kewajiban mere- ka sebagai warga negara. Demikian pula NU berkepentingan de- ngan bangkitnya kemampuan rakyat untuk semakin mandiri secara ekonomi dan percaya diri (self-confidence) terhadap kemampuannya melakukan pengambilan keputusan yang meyangkut kepentingan mereka. Pada bagian lain, seperti yang dikutip dari pesan Muktamar XXVII tentang visi NU mengenai politik, maka NU telah menem- patkan wacana terbuka dan wilayah publik yang bebas sebagai aspek penting dalam mencapai tujuan terciptanya organisasi masyarakat yang semakin mandiri. Dengan pendekatan sosial budayanya, NU dapat membantu proses pembentukan suatu etiruc.wacana (discourse ethics) yang akan menjadi dasar bagi proses dialog yang sehat dan rasional di antara warga masyarakat yang majemuk.53 Hal ini men- jadi penting karena masih kuatnya kecenderungan-kecenderungan orientasi sektarian dan primordial di kalangan kelompok agama di negeri ini yang pada ujungnya menghalangi terciptanya ruang pu- blik yang diinginkan.54 Komitmen terhadap terciptanya wilayah publik dan wacana yang terbuka itu juga memberi kesempatan bagi NU untuk mem- perluas dialog-dialog baik internal maupun eksternal dengan me- libatkan partisipasi berbagai elemen warga Nahdliyyin. Hal ini diper- lukan agar NU dapat mengikuti dengan seksama perkembangan- perkembangan mutakhir (current issues) yang terjadi dalam negara dan masyarakat dan akan membawa dampak bagi dirinya. Selanjutnya, dengan orientasi baru yang menitikberatkan pada pengembangan potensi masyarakat, maka NU paska-khittah akan lebih berkesempatan untuk bergerak dalam pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat Dalam konteks politik-ekonomi Orde Ba- ru, ini berarti bahwa NU bisa memperkuat strategi pembangunan dari bawah yang selama ini telah dirintis dan dilaksanakan oleh lem- baga-lembaga swadaya masyarakat (LSM). Melalui program-pro gram pengembangan ekonomi rakyat, seperti pendirian BPR, kope- rasi, pelatihan keterampilan, pendidikan wiraswasta, dsb. NU akan membantu usaha-usaha meningkatkan kemandirian dan kepercaya- an diri masyarakat bawah. Demikian pula wilayah garapan NU secara tradisional, yaitu pe- santren dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya akan mendapat perhatian yang lebih besar dengan orientasi baru ini. Tantangan terbesar di masa depan bagi lembaga-lembaga pendidikan NU ada- lah menjaga kelangsungan dan memperbesar kontribusinya bagi masyarakat pesantren-pesantren NU yang memiliki jutaan anak di- dik di seluruh tanah air merupakan asset yang tak ternilai, demikian pula dengan lembaga-lembaga pendidikannya yang lain mencakup mulai dari universitas sampai taman kanak-kanak, Secara asasi, merekalah yang sebetulnya merupakan pusat-pusat pengembangan sumberdaya NU yang utama selain sebagai pusat pemelihara dan pengembangan wawasan kulturalnya. Persoalan yang dihadapi NU adalah bagaimana pesantren dan lembaga pen- didikan yang dimilikinya mampu menjaga relevansi mereka dalam proses modernisasi dan pada saat yang sama memperbesar kontri- businya bagi kepentingan masyarakat luas. Pengkajian, penelitian dan pengembangan yang serius tentang kultur pesantren, termasuk sistem pendidikannya, dan relevansinya dalam dunia modernn meru- pakan tugas yang tak bisa ditunda lagi.55 Terlepas dari berbagai kemungkinan yang ada di atas, dalam prakteknya setelah kembali ke Khittah 1986, kemampuan NU untuk memperkuat civil society di Indonesia memang masih harus dibukti- kan oleh perjalanan sejarah. Meskipun begitu, sekurang-kurangnya pada tingkat menyumbangkan gagasan-gagasan baru bagi pema- haman dan praktek-praktek demokrasi yang selama ini cenderung dimonopoli oleh negara, NU, terutama melalui Abdurrahman Wa hid,56 telah acapkali melontarkan visi demokrasi yang lebih inklusif dengan menolak kecenderungan sektarianisme dan primordialis- me. Demikian pula penafsirannya atas Demokrasi Pancasila yang memberikan tempat utama bagi warga negara berikut hak-hak poli- tiknya seperti berorganisasi, perlakuan yang sama bagi sesama me- reka, dsb. bisa dianggap sebagai upaya peletakan fondasi utama ba- gi berkembangnya civil society yang mandiri di Indonesia.57 Terlepas dari masih adanya kontroversi, posisi Andurrahman Wahid sebagai ketua pokja Forum Demokrasi menjadi simbol kemampuan NU mem- beri kesempatan kepada warganya untuk berkiprah memperjuang- kan demokratisasi. Demikian juga, kebebasan menyalurkan aspirasi politik bagi kaum Nahdliyyin lewat semua OPP bisa dilihat pula sum- bangan nyata bagi tumbuhnya civil society. Ia merupakan pengeja- wantahan dari pemahaman yang benar terhadap konsep warga ne- gara (citizen) yang sebenarnya. Semua itu menunjukkan bahwa dengan mengambil langkah kembali ke Khittah 1926, NU bukan sekedar melakukan politik ako- modasi taktis seperti yang terjadi pada masa lalu. Ia benar-benar se- buah langkah politik strategis yang memiliki dasar-dasar pemikiran mendalam dan akan berdampak luas baik bagi warganya maupun masyarakat Indonesia di masa depan. Pada analisa terakhir, proses NU dalam merealisasikan ide Khit- tah 1926 tak akan lepas dari pergulatan terus menerus mengatsasi kendala-kendala internal dan struktural yang akan ditemuinya. Ke- inginan NU untuk berkembang secara mandiri dan melakukan ge- rakan-gerakan transformatif dalam masyarakat bukannya tidak mendapat halangan baik dari dalam maupun dari luar. Dari da- lam sendiri, mereka yang merasa dirugikan oleh kiprah non politik ini tentu akan berupaya sekuat tenaga melakukan rekayasa yang di- tujukan untuk kembali ke status quo. Sementara itu, kendala struktural akan membayangi terutama apabila NU tumbuh menjadi kekuatan dalam civil sociecy yang memi- liki potensi menandingi organinasi negara. Beberapa kasus terakhir menunjukkan, masih kuatnya skeptisisme aparat negara terhadap NU.58 Ini pertanda bahwa pekerjaan rumah NU bukan hanya me- lakukan penataan kembali ke dalam tetapi juga (dan yang lebih penting) mengantisipasi secara tepat faktor-faktor eksternal yang di- kutip di awal tulisan ini, maka sang nakhoda hana tetap harus membuka matanya dan selalu bersiap siaga, meskipun kapal telah stabil dan sauh telah dibuang. _______________________________________________________________________ _______________________________________________________________________ 42. Sebagiamana umumnya upaya pemilahan, maka kategorisasi ini tidak harus di- lihat secara kaku karena terdapat kemungkinan-kemungkinan kategori antara Pemilahan ini harus diperlakukan sebagai upaya heuristik untuk memahami dinamika internal NU. 43. Rekrutmen politik kelompok ini diambil dari ormas-ormas NU seperti Musli- mat, Ansor, Fatayat, IPNU, IPPNU, dan juga PMII walaupun yang terakhir ini merupakan organisasi independen, selain juga dari kalangan tokoh-tokoh pe- mimpin agama di pesantren-pesantren. Lihat Irsyam, M., Ulama. Op. cit., h. 105-6 passim. 44. Termasuk juga para aktivis yang tidak berorientasi politis praktis dan sebagian terlibat dalam LSM-LSM, baik di luar maupun di dalam NU. Mereka yang ter- akhir ini lebih suka bergumul dalam aktivitas-aktivitas advokasi masyarakat se- cara langsung dengan berbagai proyek peningkatan sumberdaya manusia, pen- didikan, dakwah dll. 45. Di masa sebelum Orde Baru, aliansi kelompok politis dan kelompok profe- sional-teknokratik menentukan perkembangan NU. Baik pada masa Demokra- si Liberal maupun Demokrasi Terpimpin, kelompok politislah yang sangat do- minan menentukan warna NU, sementara kelompok kedua masih belum be- gitu signifikan artinya sedangkan kelompok ketiga ditempatkan dalam posisi sebagai pemberi legitimasi bagi perilaku-perilaku kelompok pertama 46. Ini berarti kelompok profesional-teknokrat mampu pula melakukan bargain- ning dengan kelompok politis apabila yang terakhir ini mampu untuk bangkit kembali. Patut dicatat bahwa basis massa kelompok politis ini masih sangat kuat, tercermin dalam perolehan suara PPP dari massa NU yang ternyata masih tetap tinggi. Juga kasus dukungan bagi KH Idham Chalid dalam Muktamar XXVIII di Krapyak menunjukkan masih kuatnya pengaruh kelompok ini. Lihat Marijan, K. Quo Vadis. Op. cit., h. 184. Pertarungan antara kelompok kedua un- tuk masa yang akan datang tampaknya akan mewarnai dinamika internal NU. Bagaimanapun, para politisi NU akan tetap memainkan peran. Hanya saja me- reka akan dicoba untuk tidak menjadi sangat dominan seperti masa-masa sebe- lumnya. NU masih sangat berkepentingan dengan dukungan para politisinya di Golkar, PPP dan PDI maupun mereka yang berada pada birokrasi pemerin- tah. Keterlibatan NU dalam perebutan posisi Ketua Umum PPP periode yang akan datang menunjukkan keinginannya untuk tetap mempertahankan aset politik formal. Lihat laporan mass media "Bursa Bintang dalam Bayangan Men- dung."; Dalam Detik, 12-18 Januari 1994, h.4-5; "Gus Dur dan Strategi Balon Po- litik". Dalam Editor, 3 Februari 1994, h. 31 dan "Kembali Tanpa Pamrih?". Da- lam Tempo. 5 Februari 1994. 48. Kasus terbentuknya ICMI dapat dilihat sebagai gejala repolitisasi Islam (atau yang disebut confensionalisasi politik oleh Gus Dur) di Indonesia. Lihat Wa- hid, A. Islam, Politics, and Democracy in Indonesia I950s to 1990s. Makalah untuk Conference on Indonesian Democracy. Clayton, Victoria: Monash University, 17-21 December 1992. ICMI jelas berhasil memperoleh dukungan dari seba- gian tokoh NU baik dari kelompok politisi maupun kelompok profesional-tek- nokrat. Apabila terjadi kristalisasi antar keduanya dan mendapat dukungan ne- gara (lewat ICMI), maka bukan mustahil akan menjadi ancaman bagi kekom- pakan organisatoris NU paska-Khittah. 49. Kritik atas mekanisme organisasi dalam NU, terutama pembagian tugas anta- ra Syuriyah dan Tanfidziyah, sudah banyak dilontarkan baik dari dalam mau- pun dari luar. Lihat misalnya Husain, A. NU Menyongsong Tahun 2000. Kendal: CV. MA Noer,-1989, h. 40-2 passim; Irsyam, M. Ulama. Op. cit., 1984. Kebutuhan akan pendayagunaan badan-badan otonom, seperti RMI, Lakpesdam, Jam- i'atul Qurra" dst., menjadi tekanan utama setelah NU kembali ke Khittah 1926. 50. Hal ini terutama mendesak ketika badan-badan otonom NU ingin berkiprah pada sektor-sektor modern, seperti BPR dan koperasi. Keperluan mengadopsi sistem manajemen modern dan rasional menjadi conditio sine qua non bagi ke- berhasilan mereka. Sampai di mana kemampuan melakukan asimilasi antara manajemen modern (dengan segala asumsi teoretis dan epistemologis yang mendasarinya dan tata nilai yang dianut NU merupakan tantangan tersendiri yang harus dijawab secara memuaskan. 51. Ia adalah jaminan-jaminan dasar akan keselamatan jiwa, agama, keluarga, har- ta benda dan pekerjaan. Lihat Wahid, A. Universalisme Islam dan Kosmopolitan- isme Peradaban Islam Jakarta, 1991; "Amar Ma'ruf, Mabadi Khairi Ummah dan Pancasila." Panji Masyarakat. 1985, h. 51-S. 52. Pendekatan Islam sebagai alternatif mengacu pada pemikiran bahwa ajaran- ajaran Islam sudah lengkap dalam dirinya sendiri sehingga mampu untuk me- lahirkan konsep-konsep, teori-teori yang paling tepat bagi seluruh permasa- lahan sosial, politik, ekonomi dalam konteks apapun dan karenanya menolak apapun yang dianggap bukan Islami. Pendekatan ini sering dipakai oleh ke- lompok fundamentalis Islam dalam perjuangan mereka. Pendekatan budaya menganggap perlunya semacam pencerahan bagi umat Islam lewat wacana ke- islaman sehingga nanti akan muncul subyek-subyek barn yang benar-benar Islami. Struktur tidak dianggap penting dalam pendekatan seperti ini. Lihat Wahid, A. "Peranan Ummat dalam Berbagai Pendekatan." Dalam Univer- salisme. Op. cit., h. 38-9. 53. Uraian mengenai etika wacana dapat dilihat dalam Habermas, J. Moral Con- sciousness and Communicative Action Cambridge, Mas: MIT Press, 1993, h. 43-115; new, P. (ed.) Autonomy and Solidarity: Interview with Juergen Habermas. London: Verso, 1993, h. 245-71. 54. Kritik Abdurrahman Wahid terhadap kecenderungan sektarian di kalangan ummat Islam menjadi sangat relevan dalam upaya pembentukan etika wacana ini. Wahid terutama melihat reideologisasi Islam sebagai salah satu hasil- nya. Lihat Wahid, A. "Reideelogisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik." Prisma. 6, 1985, h.56. 55. Ciri-ciri utama kultur pesantren tradisional adalah kemandirian dan keber- samaan. Dalam konteks penguatan "civil society" di Indonesia, ciri-ciri tersebut menjadi sangat-relevan untuk dikaji implikasinya. Penelitian ter- hadap kultur pesantren umumnya menekankan pada dimensi epistemologis dan etis yang ada di kalangan santri. Yang terakhir ini misalnya terlihat da- lam analisa Weberian mengenai etika "wiraswasta" di kalangan kelas peda- gang santri. Lihat Geertz, C. Religion of Java. Glencoe, III: The Free Press, 1960; Castle, L. Religion, Politics and Economic Behavior in Java: The Kudus Cigarette Industry. New Haven: Yale University Southeast Asia Studies. 1967. Dhofier, Z. Tradisi Pesantren. Op. cit., 1982. 56. Ide-ide dan refleksi Abdurrahman Wahid tentang kehidupan demokrasi khu- susnya, membutuhkan kajian tersendiri. Esai-esainya yang berkaitan dengan hal itu sedang dikumpulkan dan tak lama lagi akan diterbitkan. Beberapa yang terakhir yang penulis ketahui misalnya: Negara Berkembang. HAM dan Bantuan Pembangunan Makalah Seminar Tentang HAM dan Demokratisasi YAPUS HAM. Jakarta 18 Nopember; HAM, UUD 45, dan Pengembangan SDM. Jakarta, 1993: Agama dan Perilaku Bangsa: Sebuah Tilikan Awal Atas Gerakan Islam di Indonesia. Makalah Seminar IMM. Malang, 23 Oktober 199S; dan Perwujudan Pancasila dalam Era Globalisasi. Makalah Sarasehan FKSE-66 Jakarta 17-18 November 1993. 57. Dalam tradisi Barat, masalah warga negara dan kedudukannya menjadi esensi bagi terbentuknya "civil society". Karena kewarganegaraan (citizenship)lah maka subyek diakui persamaan hak-haknya di muka hukum suatu negara Kewar- ganegaraan juga menjadi tanda representasi bagi individu untuk berpartisi- pasi dan menjadi anggota suatu kolektivitas hidup bernama negara. Lihat Seligman, A. The Idea. Op. cit., hl. 101-2. Havel juga menekankan penting- nya mengembalikan peran warganegara seperti itu. Lihat tulisannya: "An Anatomy of Reticence." Dalam "Crossurrents: A Yearbook of Central European Culture Ann Arbor: University of Michigan Press, 1986, h. 18. 58. Misalnya keterlibatan Abdurrahman Wahid dalam Forum Demokrasi dan aktivi- tas-aktivitas prodemokrasinya di Indonesia tidak disukai oleh penguasa. Statemen-statemennya terhadap kondisi politik Indonesia sering dianggap terlalu kritis dan tak jarang menimbulkan kontroversi di kalangan NU sen- diri. Keraguan pihak penguasa tercermin dalam kasus Rapat Akbar NU pada 1 Maret 1992 di Jakarta, di mana ia mengalami berbagai hambatan dari aparat negara sebelum pada akhirnya diizinkan. Ironisnya, Rapat Akbar itu sendiri diselenggarakan untuk menegaskan kembali kesetiaan NU terhadap Pancasila dan komitmennya terhadap negara RI. Lihat Ramage, D. Ideological Discousse. Op. cit., 1993.