KHITTAH DAN PENGUATAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA: Sebuah Kajian Historis Struktural Atas NU sejak 1984 Muhammad AS Hikam I DALAM sebuah pidato menyambut Harlah NU ke LXVII di Te- gal, Jawa Tengah, pada pertengahan Desember 1993, Abdurrah- man Wahid mengibaratkan kondisi NU saat ini seperti sebuah ka- pal yang sedang mengarungi samudera yang setiap saat bisa dian- cam topan-badai.1 Namun demikian kata Ketua Umum PBNU itu, "kapal yang bernama NU ini tetap stabil dan telah siap mengha- dapi badai yang sebesar apapun". Bahkan, sedemikian stabil kondisi kapal, sehingga seandainya badai datang sang nahkoda pun bisa ti- dur lelap setelah membuang sauh dan "ketika bangun, badaipun sudah berlalu". Semua ini disebabkan oleh telah siapnya sang na- hkoda dalam mengendalikan dan mengemudikan "kapal" NU ter- sebut di tengah-tengah "samudera" Indonesia yang telah, sedang, dan akan mengalami berbagai gelombang dan badai dalam per- kembangan sejarahnya. Metafor kapal dan badai yang digunakan untuk melukiskan NU tadi, tentu saja, bukan orisinal dari Gus Dur atau baru kali itu di- ungkapkan.2 Ia pakai untuk menggambarkan self-understanding dan dinamika internal organisasi sosial keagamaan terbesar di tanah air itu, terutama setelah ia mengalami guncangan-guncangan serius dan mengancam keutuhannya di penghujung dasawarsa delapan puluhan yang bisa diakhiri dengan penyelesaian tuntas lewat upaya "kembali ke Khittah" pada awal dasawarsa delapan puluhan.3 NU paska Khittah muncul sebagai fenomen unik dalam percaturan po- litik Indonesia: keberhasilan sebuah organisasi sosial keagamaan un- tuk menduduki kembali posisinya yang strategis justru setelah de- ngan tegas melepaskan "jubah" politik praktis. Buah cerita sukses itu antara lain adalah harapan yang diberikan kepada NU, bukan saja oleh kaum Nahdliyyin, di Indonesia, tetapi juga umat Islam secara umum dan sampai tingkat tertentu bahkan kelompok non Muslim, agar ia berkiprah secara lebih substantif dalam proses-proses trans- formasi politik, sosial dan budaya dalam posisinya yang baru itu. NU dengan kekuatan sumberdaya yang besar serta pengalaman histo- risnya yang lama dalam percaturan politik, sosial dan budaya Indo- nesia sebelum dan sesudah kemerdekaan, dianggap sebagai salah satu tulang punggung utama kekuatan masyarakat yang harus di- akui posisinya masih lemah vis-a-vis kekuatan negara di bawah Orde Baru.4 Lebih jauh, NU diharapkan akan berbuat banyak dalam pro- ses pengembangan dan pengokohan civil society yang mandiri seba- gai wahana demokratisasi yang semakin hari semakin menjadi tun- tutan rakyat. Semakin disadari bahwa strategi penguatan civil society yang mandiri merupakan salah satu alternatif demokratisasi.5 Tentu saja, mengingat latar belakang historis, kultural dan geopolitis yang khas, maka proses pertumbuhan dan perkembangan civil society di negeri ini mungkin akan berbeda dengan yang ada di wilayah lain. Salah satu kenyataan historis dalam masyarakat Indonesia paska- kolonial adalah keberadaan organisasi-organisasi kemasyarakatan/ keagamaan seperti Nahdlatul Ulama. Dalam perkembangannya se- menjak didirikan pada tahun 1926 sampai hari ini, organisasi ter- sebut senantiasa tak pernah lepas dari keterlibatan dalam proses- proses politik baik langsung maupun tidak. Keberadaan NU sebagai parpol mulai 1952 sampai dengan fusi partai-partai Islam dalam PPP pada tahun 1973 menunjukkan sebuah rentetan pengalaman panjang dalam percaturan politik Indonesia dengan segala dinami- ka dan pasang surutnya. Demikian juga, khususnya komunitas Is- lam, baik lewat program-program pendidikan, ekonomi, kebudaya- an dst telah memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi pertum- buhan masyarakat dan bangsa Indonesia modern. Keputusan organisasi ini untuk kembali pada Khittah 1926, di- tandai dengan lepasnya NU dari keterlibatan politik langsung se- bagai salah satu unsur PPP, dengan demikian, bisa dilihat sebagai suatu strategi untuk menghadapi realitas yang ada. Penting untuk dicatat bahwa perdebatan-perdebatan yang berlangsung dalam tu- buh NU sebelum Muktamar XXVII di Situbondo menunjukkan bahwa keputusan itu dibuat setelah melewati suatu proses panjang, termasuk di dalamnya wacana publik (public discourse) di mass media dan forum-forum diskusi. Hal ini, di satu pihak mengusahan peme- cahan permasalahan internalnya. Di pihak lain, ia juga menunjuk- kan kemampuan organisasi ini untuk membicarakan dan mengam- bil keputusan yang akan berdampak luas bagi perkem- bangannya secara terbuka serta mengupayakan lewat prosedur-pro- sedur yang disepakati. Lebih dari itu, kemampuan NU untuk tampil secara utuh setelah keputusan penting itu di buat, merupakan se- buah prestasi tersendiri yang agak jarang terjadi dalam organisasi so- sial dan politik di Indonesia. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa NU di dalam dirinya sendiri memiliki potensi kemandirian dan ke- mampuan bermanuver yang cukup tinggi pada saat organisas-orga- nisasi sosial di Indonesia mengalami kemacetan-kemacetan, koop- tasi, dan ketergantungan besar kepada negara. Setelah NU kembali menjadi organisasi sosial keagamaan dan memfokuskan diri pada kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan ke- budayaan, tak berarti bahwa ia lantas menjadi penonton di luar are- na percaturan politik. Justru sebaliknya, organisasi ini dalam kon- teks politik Orde Baru malahan dianggap oleh banyak pengamat berhasil menempatkan dirinya dalam posisi yang lebih strategis, se- bagai wacana dan praksis politik, maka kembali ke Khittah 1926 da- pat dilihat sebagai strategi untuk memperluas kembali ruang politik (political space) yang semakin menyempit di bawah dominasi negara. Hasilnya segera tampak pada arah politik formal, di mana secara teo- ritis NU dan warganya kini menjadi lebih leluasa untuk menyalur- kan aspirasi politiknya lewat semua organisasi peserta pemilu (OPP) yang sah. Namun yang lebih penting dari keberhasilan pada arah politik formal, maka dengan wacana Khittah itu NU berhasil menemukan pijakan bagi pencarian jawaban-jawaban yang strategis untuk bisa di- pakai bukan saja untuk tetap mempertahankan keberadaannya da- lam kerangka politik ekonomi Orde Baru, tetapi juga scbagai waha- na bagi proses demokratisasi dalam jangka panjang lewat penguat- an civil society di masa depan. Untuk keperluan itu, perspektif struk- tural-historis akan digunakan untuk melengkapi kajian-kajian yang ada, yang umumnya melihat dinamika NU dari sisi institusional dan kultural semata.6 Oleh karena itu, fenomen politik NU terutama akan dilihat dalam kaitan struktural yang melibatkan proses-proses formasi sosial, pembentukan negara serta hubungannya dengan masyarakat, dan proses tumbuh dan berkembangnya kapitalisme di Indonesia paska-kolonial, terutama di bawah Orde Baru.7 Peng- hampiran seperti ini akan memperkaya pemahaman "dari dalam" yang dihasilkan oleh pendekatan institusional dan kultural yang berhasil mencermati dinamika internal organisasi dan self understan- ding dari para pemimpin dan annggotanya. Dengan memperhatikan dimensi historis-struktural yang berperan scbagai faktor kendala dan sekaligus pendorong bagi gerak NU, maka diharapkan akan di- dapatkan suatu kajian yang lebih dinamik dan komprehensif. II Salah satu hasil refleksi NU dalam upaya kembali ke Khittah ada- lah perumusan kembali pemahaman terhadap politik dan agenda organisasi ini dalam aktualisasinya. Dalam wacana Khittah, maka visi politik NU tentang Indonesia adalah "politik yang berwawasan ke- bangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju ke- bahagiaan di dunia dan kehidupan akhirat".8 Selanjutnya, tindak politik bagi NU antara lain berarti "pengembangan nilai kemerde- kaan yang hakiki dan demokratis...." yang harus dilandasi dengan "moral, etika dan budaya" berdasarkan asas Pancasila dan ditujukan untuk "memperkokoh konsensus-konsensus nasional" tanpa harus "mengorbankan kepentinngan bersama dan memecah belah persa- tuan". Khusus mengenai demokrasi, NU menegaskan bahwa salah satu konskuensi dianutnya paham itu adalah kemungkinan terdapatnya perbedaan-perbedaan pendapat yang muncul dari berbagai aktor politik, termasuk di antara warga Nahdliyyin sendiri. Namun, dalam demokrasi, perbedaan pandangan itu dijaga agar "tetap dalam sua- sana persaudaraan, tawadlu" dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesa- tuan di lingkungan NU". Situasi ini hanya akan terjadi apabila dipe- nuhi prasyarat adanya komunikasi timbal balik yang pada gilirannya mendorong tumbuh dan berkembangnya" organisasi kemasyarakat- an yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta ber- partisipasi dalam pembangunan".9 Dari refleksi politik di atas terlihat upaya organisasi keagamaan ini melakukan rekonstruksi baik ideologis maupun praksis dalam konstelasi politik di bawah Orde Baru setelah mengalami kemelut internal yang hampir saja menimbulkan perpecahan dalam batang tubuhnya. Visi ideologis NU berangkat dari kerangka ajaran agama (Islam) yang, bagaimanapun, memiliki klaim universal mengatasi ruang dan waktu. Namun visi tersebut kemudian diletakkan dalam suatu konteks historis dan struktural yang kongkrit agar ia senan- tiasa relevan, aktual dan mampu menjadi landas tumpu bagi keber- adaannya. Pengakuan NU terhadap negara RI sebagai sebuah ben- tuk final dari sistem kenegaraan yang sah (legitimate),10 appropriasi terhadap wacana nasionalisme, dan penerimaan sepenuhnya terha- dap Pancasila sebagai asasnya, semuanya dirumuskan dan ditarik dari ajaran agama dengan menggunakan dalil-dalil fiqhiyah.11 Salah satu implikasi dari refleksi ideologis tersebut adalah peno- lakan tegas organisasi ini untuk mempertentangkan antara Islam dan negara RI berdasarkan appropriasi pemahaman fundamentalis- tik dan pendekatan legal formalistik dalam upaya legitimasi ideolo- gis dan praksis politik. Pandangan fundamentalistik tentang hu- bungan agama dan negara, yang memiliki latar kesejarahan yang cukup panjang di Indonesia, bukannya tidak pernah diterima oleh NU atau setidaknya NU pernah pula berada dalam posisi mendu- kung, seperti dalam sidang-sidang Konstituante yang memperde- batkan tentang dasar negara RI.12 Demikian pula sikap-sikap wakil- wakil NU di DPR dalam menghadapi kasus-kasus seperti aliran ke- batinan dan asas tunggal yang menunjukkan masih kuatnya ele- men-elemen ideologis yang sedikit banyak dipengaruhi oleh pema- haman legal-formalistik. Pada arah praksis, perumusan NU di atas menunjukkan upaya reorientasi kegiatan politik dari yang hanya bersifat taktis menuju sebuah praksis politik yang substansial dan strategis. Seperti dikata- kan Abdurrahman Wahid, kiprah politik NU semenjak keluar dari Masyumi cenderung berorientasi "taktis, tidak bersandar pada keje- lasan strategis yang diambil."13 Akibatnya, "kehidupan NU... lain sa- ngat dipengaruhi oleh perkembangan sesaat belaka..." dan "agenda NU... lain didikte dan ditentukan dari luar."14 Kecenderungan untuk berpolitik dengan mengabaikan sendi- sendi pemikiran strategis itulah yang menyebabkan NU sulit meng- ikuti dinamika politik ekonomi di bawah Orde Baru yang berbeda dengan rezim sebelumnya. NU, sebagai pemain politik, lantas ku- rang mampu untuk mengantisipasi secara tepat manuver-manuver politik yang dilakukan oleh negara dan aparat-aparatnya dan oleh karenanya cenderung bersikap defensif dan reaktif.15 Di sisi lain, lemahnya strategi politik yang mantap dan memadai juga mempunyai andil besar bagi terciptanya benturan-benturan pandangan di dalam tubuh NU sejauh mengenai keterlibatannya dalam politik. Ini berpuncak pada menguatnya kelompok yang kri- tis terhadap kelompok politisi dan meluasnya keinginan untuk me- lakukan peninjauan kembali atas keterlibatan politik itu. Secara re- trospektif, seperti yang ditunjukkan oleh Marijan,16 kritik terhadap keterlibatan NU dalam politik telah muncul bahkan semenjak 1959. Pada Muktamar ke XXII diJakarta tahun itu juga, salah seorang se- sepuh NU, Kiai Achyat, telah mengusulkan supaya NU kembali ke Khittah 1926.17 Pada Muktamar ke XXV dan XXVI berturut-turut di Surabaya, di Semarang, kehendak serupa muncul kembali. Baru pa- da muktamar yang terakhir ini kehendak tersebut mengkristal apa- lagi ditambah dengan kian meruncingnya pertikaian internal di da- lam PBNU pang bermuara pada usaha memberhentikan Ketua Tanfidziyah pada waktu itu, KH Idham Chalid.18 Upaya kembali ke Khittah, memang tak bisa dipungkiri adalah berawal dari kejengkelan terhadap perilaku para politisi NU dalam menyelesaikan konflik mereka dengan MI di PPP. Namun, dalam perkembangannya ia lantas berevolusi ke arah yang lebih dari seke- dar manuver politik internal dan menemukan momentumnya di ta- ngan tokoh-tokoh semacam Abdurahman Wahid, KH Achmad Sid- diq, KH Sahal Mahfudh, KH Ali Maksum dsb.19 Ia lantas ber- kembang menjadi hasrat untuk membangwn kembali NU dalam se- buah kerangka baru yang strategis yang pada gilirannya mampu menopang cita-citanya sebagai sebuah kekuatan sosial yang berpe- ngaruh luas dan inklusif dalam masyarakat Indonesia. Cita-cita yang demikian, tak mungkin dicapai tanpa sebuah "dekonstruksi" keterli- batan politik NU yang selama ini dilakukan secara parsial dan tak- tis.20 Menjadi jelaslah bahwa upaya reorientasi ideologi dan praksis yang tertuang dalam wacana politik baru NU muncul sebagai hasil proses dialektis antar kekuatan masyarakat dan negara. Di satu pi- hak, ia mencerminkan suatu upaya penemuan kembali identitas (the recovery of identity) yang mencakup penafsiran ulang perangkat- perangkat signifikasi yang dipakai sebagai landasan bergerak organi- sasi dan juga upaya redefinisi peran dan fungsinya dalam struktur politik ekonomi yang ada. Di pihak lain ia juga merupakan jawaban strategis terhadap perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh pe- rombakan mendasar dalam format politik-ekonomi Indonesia di bawah Orde Baru yang tak pelak lagi menempatkan organisasi mas- sa seperti NU dalam posisi yang semakin lemah dan defensif. Keti- dak mampuan untuk membaca secara tepat akan arah perubahan dan menempatkan diri yang strategis dalam konstelasi politik-eko nomi kontemporer hanya akan membuat NU semakin tertinggal dan kehilangan relefansinya. Kalau benar bahwa sejarah perkem- bangan NU menunjukkan kemampuan yang cukup tinggi untuk melakukan adaptasi dengan perubahan sejarah, struktur sosial dan politik yang ada, maka proses penemuan identitas baru pun harus pula dilihat sebagai hasil maksimum proses tawar menawar antara NU dan Negara Seperti yang akan diuraikan pada bagian berikut- nya, hubungan dialektis NU dengan negara ini amat berperan da- lam menentukan pilihan-pilihan dalam mengambil langkah-lang- kah strategis, terutama upaya kembali ke Khittah. Faktor panting lainnya yang ikut mempercepat diambilnya ke- putusan untuk kembali ke Khittah adalah proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia sebagai akibat modernisasi yang mengimbas pula pada struktur sosial NU. Ia antara lain telah meng- akibatkan perubahan-perubahan cukup besar dalam struktur de- mografis dan basis ekonomi sosial warga Nahdliyyin, ditandai de- ngan semakin meningkatnya jumlah dan peran kelompok profe- sional dan kecenderungan pergeseran gradual basis massa NU dari desa menuju ke kota. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi dan bervariasi, taraf kehidupan ekonomi yang cenderung membaik, dan seterusnya telah membawa akibat munculnya aspirasi-aspirasi dan orientasi-orientasi baru di antara warga NU. Akibatnya dalam penentuan langkah-langkah politis strategis, NU pun harus mengi- kuti perubahan-perubahan itu. _________________________________________________________________ _________________________________________________________________ 1. Informasi ini diperoleh dari rekaman pidato pada acara itu. Kepada Abdurrah- man Wahid yang telah memberikan kaset rekaman tersebut, penulis ucapkan te- rima kasih. Juga penghargaan dan terimaksih penulis kepada Muhammad Ri- yaas Rasyid, kolega di Departemen Ilmu Politik Universitas Hawai, dan Douglas Ramage dari East West Center yang telah mengorbankan waktu mereka untuk membaca dan memberikan kritik dan komentar atas draft pertama tulisan ini. Seperti biasanya, penafsiran dan penyampaian fakta dalam tulisan ini adalah tanggungjawab penulis semata. 2. Lihat misalnya dalam tulisan mengenang almarhum KH. Ahmad Shidiq, "In Memoriam: Kiai Ahmad Shiddiq." Kompas. 26Januari 1991. Dalam tu`lisan terse- but, Gus Dur, mengutip John F. Kennedy, mengibaratkan almarhum sebagai sang nakhoda yang berhasil membawa "kapal" NU melewati gelombang cobaan (masa pra-khittah). 3. Kajian-kajian tentang kondisi NU sebelum Munas Alim Ulama Situbondo pada 1993 dan Muktamar ke XLVII di tempat yang sama pada 1984 telah banyak di- lakukan. Lihat Machfoedz, M., Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama. Surabaya: Yayasan Kesatuan Ummat, 19982(?); Yusuf, S. et al. Dinamika Kaum Santri: Menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU. Jakarta: Rajawali Press, 1983; Irsyam, M. Ulama dan Partai Politik: Upaya Mengatasi Krisis. Jakarta: Yayasan Pengkhidmatan, 1984; Anam, C. Pertumbuhan dan perkembang- an NU. Sala: Jatayu, 1985; Mudatsir, A."From Situbondo Towards a New NU: A first note". Prisma (English ed.). 35, March, 1985. h. 161-77; Sitompul, E.M. NU dan Panccrrila: Sejarah dan Peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam Rangka Penerimaan Pancasila sebagai Satu-satunya Asas Tunggal. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989. 4. Mengenai posisi lemah masyarakat vis-a-vis negara di bawah Orde Baru, li- hat antara lain: Robinson, R. "Authoritarian State, Capital Owning class and the Politics of the Newly Industrializing Countries: the Case of Indo- nesia. "Dalam Robinson, R. Power and Economy in Suharto's Indonesia. Mani- la: JCA Publisiher, 1990, p. 136-55; Mas'oed, M. "The State Reorganization of society under the New Order". Prisma 47. 1990, h. 324; Budiman, A. (ed.) State and Civil Society in Indonesia. Clayton: Monash University, 1992; Hikam, M. "Demokratisasi Lewat "Civil Society": Sebuah Tatapan Reflektif atas Indonesia." Prisma. 6, XXII, 1993, h. 57-69. 5. Pengertian dan argumen tentang strategi demokratisasi lewat penguatan civil society dapat dilihat dalam Demokratisasi Op. cit., 1993. Untuk bahan per- bandingan, lihat Tismaneau, V. Reinterventing Politics: Eastern Europe from Stalin to Havel. New York: The Free Press, 1992; Seligman, A. The Idea of Civil society. New york: The Free Press, 1992; dan Held, D. (ed.). Pros- pect for Democracy: North, South, East, West. Stanford, CA: Stanford Uni- versity Press, 1993; dan Alejandro, R. Hermeneutics, Citizenship and the Public Sphere. New York: SUNNY, 1993. 6. Ini tampak dalam kajian-kajian yang dilakukan oleh baik para ilmuan poli- tik maupun antropolog. Lihat Irsyam, M. Ulama. Op. cit., 1984; Marijan, K. Quo Vadis NU: Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta: Erlangga, 1992; Dhofier, D. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta. LPSES, 1982; Nakamura, M. Agama dan Perubahan Politik: Tradisionalisme Radikal NU di Indonesia. Sala: Hapsara, 1982. 7. Perkembangan kapitalisme merupakan faktor penting dalam, politik di Dunia Ketiga, karena ia mempengaruhi pembentukan negara dan formasi sosial di da- lamnya. Lihat Rueschmeyer, D. et al. Capitalist Development and Democracy. Chicago: University of Chicago Press, 1983. Bandingkan dengan analisa O'Donnel mengenai Argentina dalam Bureaucratic Authoritarianism: Argentine 1966-1973 in Comparative Prespective. Berkeley: University of California Press, 1988. 8. Pesan-pesan Muktamar NU ke XXVII mengenai Masalah-masalah Masyarakat, Bangsa dan Negara. Dikutip dari lampiran II buku Marijan, K. Quo Vadis. Op. cit. h. 383. 9. Lihat Bagian IV tentang Pembangunan Politik. Marijan, Quo Vadis. Op. cit., h.297-8. 10. Pandangan ini dirumuskan oleh KH. Achmad Shiddiq. Lihat" Suntingan Po- kok-pokok Pikiran KH. Achmad Siddiq pada Komisi I (Masail Fiqhiyyah) Muk- tamar XXVII, 11 Desember 1984. "Dalam PBNU. NU Kembali ke Khittah 1926. Bandung: Penerbit Risalah, 1985, h. 100-03; dan Wahid, A. In Memoriam Op. cit., 1991 11. Wahid, A. "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini." Prisma 4, April, 1984, h. 34. 12. Sikap NU dalam sidang Konstituente diuraikan oleh Anam, C. Pertumbuhan. op. cit., h. 216-19 13. Wahid, A. "NU dan Politik." KOMPAS. 23 Januari 1982. Menurutnya, keikut sertaan NU dalam kabinet Ali, penerimaan Demokrasi Terpimpin, bahkan tin- dakan NU untuk walkout di MPR dan minderheidsnota di DPR dst. merupakan contoh-contoh orientasi taktis dalam kiprah politiknya. Tak heran apabila terhadap sinisme terhadap politik NU sehingga ia dicap sebagai oportunis. 14. Ibid. 15. Radikalisme NU dalam konteks politik Orde Baru bisa dilacak semenjak Sub- chan ZE memimpin NU dengah manuver-manuver politiknya. Sikap ini berta- han dan muncul dalam berbagai bentuk seperti walkout pada 1978 ketika menghadapi proses pengambilan keputusan di MPR (tentang P4 dan Aliran Kepercayaan). Dalam perkembangannya sikap ini ternyata memperlemah po- sisi NU vis-a-vis negara yang menganggap radikalisme NU sebagai pengham- bat bagi proses pengembangan format politik baru yang sedang bejalan. Di mata negara NU lantas dikategorikan dalam kelompok yang merupakan an- caman bagi stabilitas politik. 16. Marijan, K. Quo Vadis. op. cit. 132. Kiai Achyat menegaskan alasan mengapa NU harus kembali ke Khittah antara lain karena "peranan politik oleh Partai NU telah hilang dan peranan dipe- gang oleh perorangan, hingga partai sebagai alat sudah hilang..." Dikutip dari Marijan, K. ibid. 18. Informasi lebih detil mengenai proses itu dapat dilihat lebih jauh dalam Nakamura, M. Tradisionalisme. op. cit., 1982; Machfoedz, M. Kebangkitan. op. cit., h.255 passim; Mudatsir, A from Situbondo. op.cit., 1984; Anam, C. Pertumbuhan. op. cit., h. 271 passim; Marijan, R. Quo Vadis. op. cit., h.136 19. Momentum itu semakin tampak ketika masalah asas Pancasila, yang dilontar- kan oleh Presiden Soeharto pada 1982, mulai menjadi wacana utama dalam politik Indonesia. NU mau tidak mau harus segera memberikan jawaban yang tuntas agar kecurigaan negara bisa diperlunak. Sementara para politisi NU ma- sih belum berhasil memecahkan masalah ini, para tokoh non politisi telah me- nemukan jalan keluarnya dan sekaligus memperkuat legitimasinya di mata war- ga Nahdliyyin. 20. Pandangan Machfoedz barangkali cukup mewakili kritik kubu non politisi keti- ka mengatakan: "kelihatan dengan jelas bahwa fusi NU ke dalam Partai Persa- tuan Pembangunan adalah non-konseptual, sehingga apa yang harus dikerja- kan setelah itu menjadi kabur. Apa yang dikerjakan oleh NU baik ke luar mau- pun ke dalam kelihatan tidak terkoordinir." Kebangkitan. Op. cit., h. 237. Ban- dingkan dengan argumen Wahid, A. NU. Op. cit., 1982.