Abdurrahman Wahid menyadari bahwa manipulasi merupakan hakikat dari permainan politik. Tetapi, masalahnya dengan ICMI adalah karena ia memberi peluang kepada beberapa tokoh Islam yang tidak menghayati visi kenegaraan yang menekankan kemaje- mukan berdasarkan toleransi beragama dan persatuan nasional. La- gi pula dalam penilaian Abdurrahman Wahid, dukungan ICMI ke- pada pemerintah jelas memperlambat datangnya momentum bagi perubahan politik. Bahkan, kelahiran ICMI telah mendorong kem- balinya faktor agama dalam proses politik, sesuatu yang selama le- bih dari dua puluh tahun telah diusahakan pemisahannya.20 Kegetiran Abdurrahman Wahid terhadap ICMI juga berkaitan dengan perbedaann faham tentang makna dari apa yang sering dise- but sebagai "masyarakat Islam". Banyak kalangan cendekiawan ter- kemuka di ICMI yang menganjurkan dibinanya masyarakat Islam di Indonesia. Suatu masyarakat yang dalam pengembangannya, kebi- jakan-kebijakan pemerintah, programp-rogram dan hukumnya di- laksanakan secara terpadu dan, serasi dengan nilai-nilai keislaman. Abdurrahman Wahid curiga bahwa mereka yang menganjurkan pembinaan masyarakat Islam itu, dalam kenyataannya, masih ber- upaya terus menerus untuk menegakkan sebuah negara Islam In- donesia.21 Terhadap mereka ini, ia menjelaskan: "Saya berbeda pendapat dengan mereka yang ingin membina sebuah 'Masyarakat islam'. Dalam pandangan saya, masyarakat islam di Indone- sia merupakan pengkhianatan telhadap konstitusi karena ia akan me- nempatkan masyarakat non Muslim sebagai warga negara kelas dua. Te- tapi, sebuah 'Masyarakat Indonesia' yang di dalamnya umat Islam menja- di kuat, dalam arti berfirngsi dengan baik, adalah sesuatu yang saya ang gap baik"22 Oleh karena itu, Abdurrahman Wahid menyimpulkan bahwa masyarakat Islam jelas bertentangan dengan masyarakat Pancasila yang bersifat toleran. Sikap dan Tanggapan ABRI Salah satu hal yang dikhawatirkan Abdurrahman Wahid de- ngan berdirinya ICMI adalah kemungkinan reaksi negatif dari ABRI yang dampaknya akan mengenai semua umat Islam. Menu- rut Abdurrahman Wahid, strategi para aktivis Islam di dalam ICMI yang mengambil keuntungan dari kenyataan bahwa mereka digu- nakan Soeharto,jelas dapat meningkatkan kekhawatiran dan me- nyulut kembali ketakutan ABRI terhadap Islam fundamentalis ABRI, menurut Abdurrahman Wahid, bisa saja waspada terhadap ICMI jika organisasi ini membiarkan dirinya dimanfaatkan oleh se- kelompok birokrat sipil untuk memperkuat posisinya sendiri dalam berhadapan dengan ABRI.23 Ia melihat bahwa setiap kegiatan, per nyataan, dan bahkan sekedar kehadiran dari para aktivis Islam itu dalam arena politik mungking saja dapat mendorong ABRI untuk kembali melakukan kewaspadaan terhadap komunitas Islam di ne- geri ini. Ia khawatir bahwa ICMI akan memberi alasan lagi kepada ABRI untuk kembali mencurigai Islam. ABRI bisa saja memainkan gejala ICMI itu untuk membenarkan adanya ancaman terhadap Pancasila dan memperkuat kembali citranya sebagai pengaman ideologi negara ini (negara Pancasila yang bersifat toleran) dari ba- haya ekstrim kanan. Celakanya jika, ABRI harus menindak para ak- tivis Islam tersebut dengan cara kekerasan berdasarkan alasan-alas- an di atas, ia hanya akan mendorong semakin tumbuhnya funda- mentalisme dan sektarianisme. Dengan kata lain, cara-cara kekeras- an yang digunakan oleh pihak manapun jelas akan bersifat counter productive terhadap upaya demokratisasi. Jalan yang sangat Sempit Inti dari dilema Abdurrahman Wahid, sebagaimana yang dili- hatnya sendiri, adalah keinginan agar gerakan Islam, dengan NU sebagai elemen utamanya, menjadi kekuatan untuk mendorong suatu proses perubahan atau peralihan menuju masyarakat demo kratis, masyarakat yang bersifat toleran, dengan cara-cara yang da- mai. Pancasila sebagai kompromi politik untuk membangun kehi- dupan politik yang toleran dan non-Islami, menurut Abdurrahman Wahid, merupakan sesuatu yang esensial bagi masa depan demo krasi di Indonesia. Tetapi, adanya ICMI dan masih terus berlang- sungnya manipulasi terhadap Islam untuk tujuan-tujuan politik akan secara potensial menempatkan kembali Islam sebagai sasaran bagi ABRI untuk dituduh dan diadili sebagai "anti Pancasila." Inije- las akan menghambat jalan menuju masa depan dari kehidupan politik yang diinginkan oleh Abdurrahman Wahid. Terhadap ICMI, Abdurrahman Wahid menyimpulkan perasaannya sebagai berikut: "Kita harus menangani urusan ini (ICMI) dengan sangat hati-hati. Di satu pihak, kami tidak ingin membiarkan Islam digunakan secara keliru oleh kawan-kawan sesama Muslim yang ingin membangun masyarakat Is lam di sini. Di lain pihak, kamijuga harus menghindari agarjangan sam pai mereka ditindak secara sewenang-wenang. Ini yang saya anggap seba- gai lorong yang sangat sempit Karena, kalau militer harus bertindak me- nurut cara yang biasa mereka lakukan, yang tentu saja tidak demokratis, untuk mempertahankan Pancasila, hal itu pada hakikatnya akan merusak Pancasila itu sendiri."24 Dari kutipan di atas kiranya cukup jelas bahwa Abdurrahman Wahid menolak, baik masyarakat Islam yang dianggapnya tidak se- suai dengan citac-cita masyarakat Pancasila, maupun cara-cara tidak demokratis yang seringkali diterapkan oleh tentara dalam mena- ngani urusan politik. Surat Abdurrahman Wahid kepada Presiden Soeharto Akibat dari kekecewaan Abdurrahman Wahid terhadap hasil Rapat Akbar yang ternyata hanya dihadiri oleh sekitar 150.000 war- ga NU, tidak seperti yang diharapkannya yaitu sekitar satu sampai dua juta orang.25 ia pun menulis surat kepada presiden Soeharto dalam bentuk memo. Surat tertanggal 2 Maret itu merupakan la- Poran Abdurrahman Wahid atas pelaksanaan pertemuan massal se- hubungan dengan peringatan hari ulang tahun NU ke68. Ia me- ngatakan di dalam surat itu bahwa tujuan-tujuan intern dari NU su- dah berhasil dicapai melalui Rapat Akbar. Ini mencakup upacara peringatan berdirinya NU secara nasional, pernyataan tegas atas ko- mitmennya terhadap Pancasila dan UUD 45, serta... '... pemberian arah yangjelas kepada warga NU untuk melaksanakan pemilu 1992 dan mengamankan SU MPR yang akan datang; dan me- nunjukkan keutuhan batang tubuh NU, setelah sekian lama dikoyak-ko- yak oleh pertentangan intern."26 Abdurrahman Wahid juga melaporkan kepada presiden Soe- harto bahwa sayang sekali tujuan-tujuan ekstern dari Rapat Akbar tersebut belum tercapai. Pertama, Dewan Pimpinan NU belum mampu merumuskan dan memantapkan visi mereka tentang se- buah Islam Indonesia yang berintikan keterbukaan dan kernaje- mukan. Ia mencatat ''jika diikuti dengan seksama pembahasan di masjid-masjid, mushalla- mushalla dan majlis-majlis ta'lim serta media massa Islam,jelas bahwa ma- sih sangat kuat isu-isu sektarian, seperti ketakutan kepada apa yang dina- makan gerakan Kristenisasi dan sebagainya. ''27 Menurut Abdurrahman Wahid, akibat dari sikap-sikap ini (keta- kutan atas Kristenisasi dan sektarianis) dan kagagalan NU melalui Rapat Akbar untuk secara tegas menghilangkannya, maka "muncu sikap tertutup dan menekankan perbedaan, yang membahayakan integritas nasional bangsa kita". 28 Ia berpendapat bahwa NU hanya akan mampu membangun dengan benar sikap-sikap keislaman yang terbuka, toleran, dan menghargai kemajemukan seandainya lebih banyak lagi anggotanya bisa hadir dalam Rapat Akbar itu. Ka- rakter Islam Indonesia yang modern dan majemuk hanya mungkin dimulai pengembangannya melalui kesepakatan umum yang dila- kukan secara besar-besaran, katanya. Tetapi ini sudah gagal dicapai, menurut Abdurrahman Wahid, akibat dari ulah sementara pejabat keamanan yang dengan berbagai cara cenderung menghalangi ke- datangan para warga NU dari luarJakarta untuk hadir pada Rapat Akbar. Jadi, ia menyimpulkan, bahwa pemerintah ikut bertang- gungjawab atas tidak tercapainya tujuan baik NU. NU tidak lagi bertanggungjawab atas pencapaian tujuan itu, dan sekarang sudah menjadi beban pemerintah untuk berurusan dengan masalah sek- tarianisme dan ketidaktoleransian dalam hubungan antar umat ber- agama. Abdurrahman Wahid dalam suratnya itu memperkirakan bah- wa jika pemerintah juga gagal mencapai apa yang ingin dicapai NU, maka keberadaan mereka yang menolak pandangan NU tentang perlunya keserasian dan keterbukaan di dalam hubungan keagama- an akan menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup Pancasila dan Republik Indonesia Masa depan politik Indonesia bisa saja senasib dengan Aljazair, yaitu akan ada lagi upaya untuk membangun ne- gara Islam, yang pada gilirannya akan mengancam kelangsungan pembangunan ekonomi kita.29 Dalam pembicaraan pribadi, Ab- durrahman Wahid menjelaskan maksudnya mengambil Aljazair se- bagai analogi. Ia melihat beberapa kelompok Muslimin, termasuk beberapa di antara mereka yang tergabung dalam ICMI, mendu- kung demokratisasi dan demiliterisasi politik Indonesia Tetapi ini, menurut Abdurrahman Wahid, bukan tujuan yang sebenarnya. "Yang ingin mereka capai sesungguhnya adalah sebuah negara Is- lam." Caranya, dengan memanipulasi Islam melalui proses demo- krasi. Tetapi, kerena hak-hak warga negara yang non musslim akan diredamkan, maka demokrasi akan kehilangan maknanya dan oleh kerena itu proyek mereka tidak akan bertahan lama.30 Analisis dan Evaluasi Gambaran ideologi Indonesia di tahun 1990-an seyogianya me- nyenangkan pemerintah Orde Baru. Bukankah organisasi Islam ter- besar di negeri ini telah menegaskan kembali kesetiaannya kepada ideologi negara Pancasila? Tetapi, jangan kaget jika mendengar be- rita, termasuk dari Abdurrahman Wahid sendiri, bahwa pemerintah justru kurang puas dengan Rapat Akbar. Namun demikian, pernya- taan NU itu tetap harus diterima oleh pemerintah karena bagai- mana pun juga ia bisa-bisa dianggap telah ikut mengukuhkan posisi Orde Baru sendiri. Pesan Pancasila yang dilontarkan oleh NU melalui Rapat Akbar- nya dapat dianggap sebagai contoh yang gamblang bahwa pemerin- tah tidak lagi menjadi satu-satunya pihak yang bisa menggunakan tema Pancasila dan menafsirkan sendiri demi kepentingan ke- kuasaan. Ia menunjukkan bahwa sebuah organisasi yang besar juga dapat menggunakan Pancasila untuk menggelar kepentingan sen- diri. Selama ini, pemerintah telah terus berusaha agar penafsiran resminya tentang Pancasila menjadi satu-satunya acuan masyarakat, dan pada saat yang sama berupaya agar masyarakat percaya bahwa isi dan mekanismne politik yang telah lebih dari dua puluh lima ta- hun di bawah kepemimpinan Orde Baru sudah merupakan cermin dari pengalaman demokrasi Pancasila". Dengan Rapat Akbar, terbukti bahwa pemerintah mengalami kesulitan untuk mendelegitiminasi NU yang titik pangkal gerakannya justru adalah Pancasila dan UUD 1945. Padahal, pandangan NU tentang negara Pancasila baik dilihat dari sudut politik maupun ekonomi jelas berbeda dari konsep penguasa. Abdurrahman Wa- hid dengan tegas mengingatkan bahwa demi terwujudnya suatu ne- gara Indonesia yang mengejawantahkan nilai-nilai yang bersumber dari lima dasar Pancasila itu, seyogianya penafsiran tunggal oleh pe- merintah atas Pancasila dapat dihindari. Karena, pada dasarnya, hal itu lebih ditujukan untuk memberi legitimasi dan memperkuat sis- tem politik yang, menurut Abdurrahman Wahid, tidak representatif ini. Perdebatan tentang Pancasila yang kita rekam di atas berkisar pada cara bagaimana ideologi negara ini seharusnya ditafsirkan dan diamalkan. Sesuatu yang secara fundamental berbeda dengan per- debatan yang berlangsung pada dekade sebelmnya. Pada masa la- in, sulit membayangkan tampilnya seorang tokoh pemimpin orga- nisasi Islam sekaliber Abdurrahman Wahid yang secara terbuka menggunakan Pancasila sebagai wahana menyampaikan pesan-pe- san politiknya. Dalam hubungan ini, pesan-pesan NU melalui Ab- durrahman Wahid jelas bersifat kompleks dan mencakup berbagai sasaran keprihatinan: Islam, demokratisasi, dan peranan tentara da- lam kehidupan politik. Dalam pada itu, juga perlu diakui bahwa keinginan Abdurrah- man Wahid untuk mewujudkan suatu civil society yang bebas dari fa- natisme politik aliran (atau yang sering disebutnya sebagai "decon fessionalized" civil society) di mana masyarakat non-Islam juga berpe- luang mengembangkan pengabdian mereka bagi kemajuan bersa- ma, adalah demi menghindari terulangnya malapetaka yang di ma- sa lampau yang pernah menyertai pejalanan sejarah bangsa Indo- nesia. Malapetaka sejarah yang dialami pada tahun 1950-an dan 1960-an itu memang melibatkan pertentangan-pertentangan keaga- maan, kedaerahan dan kesukuan. Dari sudut inilah kiranya, kita perlu memahami dukungan Abdurrahman Wahid dan NU terha- dap Pancasila sebagai satu ideologi yang bersifat inklusif -suatu kompromi politik yang mempersatukan bangsa ini. Esensinya ada- lah toleransi dan saling menghormati di antara berbagai kelompok agama, daerah, suku, bangsa dan ras. Secara lebih khusus, Abdur- rahman Wahid menghendaki agar pemisahan agama dari politik se- terusnya dipelihara.31 Di atas sudah disebutkan, bahwa-pernyataan loyalitas NU kepa- da Pancasila dan UUD 1945 juga harus dilihat sebagai jawaban Ab- durrahman Wahid terhadap apa yang dianggapnya "ancaman" ter- hadap Pancasila. Banyak kalangan di lingkungan tentara yang me- miliki kekhawatiran yang sama dengan Abdurrahman Wahid. Na mun, yang paling ditakuti oleh para pendukung demokrasi, dan mereka yang mengharapkan adanya pengurangan peranan politik militer tentara, adalah jangan sampai kelompok-kelompok minori- tas agama, nasionalis dan suku bangsa akan menengok kepada, dan meminta perlindungan dari, tentara dalam menghadapi mereka yang menginginkan terbentuknya negara Islam. Karena tujuan dari perjuangan Abdurrahman Wahid adalah semakin semaraknya de- mokratisasi, berkurangnya peranan tentara, tiadanya lagi fun- damentalisme Islam. Dari sini semakin jelas bahwa dengan menjadikan Pancasila se- bagai fokus, Abdurrahman Wahid secara garis besar berupaya mem- pengaruhi substansi dari perdebatan politik nasional. Dengan men- jadikan Pancasila sebagai wahana untuk menyatakan pikiran-pikiran dan pesan-pesannya, ia ingin membedakan dirinya dengan pihak lain yang memilih Islam untuk tujuan yang sama juga, ada ke- mungkinan bahwa Abdurrahman Wahid menjadikan Pancasila se- bagai alat untuk memperbaiki landaspijaknya di tengah gerakan Is- lam yang semakin semarak. Sudah barang tentu, banyak pengamat Indonesia yang melihat Rapat Akbar dan penggunaan Pancasila se- bagai upaya Abdurrahman Wahid untuk mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin umat Islam terkemuka, sekalipun menghadapi kenyataan lahirnya ICMI. Sejak itu, memang, Abdurrahman Wahid telah berhasil merebut perhatian yang cukup serius dari pemerin- tah. Kesimpulan Dari urain singkat di atas, terkesan bahwa strategi Pancasilanya Abdurrahman Wahid merupakan suatu usaha sadar untuk meman- faatkan dan mengambil penafsiran atas ideologi negara untuk memberi penilaian terhadap rezim Orde Baru yang dinilainya telah gagal berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Sementara itu, bagi presiden Soeharto dan pemerintah Orde Baru, Pancasila telah senantiasa dijadikan sebagai landasan ideolo- gis atas legitimasi kekuasaannya. Hal ini berhubungan dengan janji Orde Baru untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan ideologis, politik dan ekonomi dari Orde Lama Pancasila telah digunakan sebagai wahana untuk membatasi perilaku politik tertentu yang dinilai ber- tentangan dengannya. Selama duapuluh lima tahun, Pancasila te- lah seringkali dipakai sebagai alat untuk menarik garis batas yang di- izinkan dalam wacana dan tingkah laku politik masyarakat. Tetapi, Pancasila juga pada dasarnya mewakili cita-cita yang luhur untuk membangun bangsa: toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, keadilan sosial dan ekonomi, serta sistem politik yang demokratis se- suai dengan kultur politik asli nusantara. Tentang sejauhmana cita- cita ini telah terwujud dalam kenyataan, memang sedang dan masih akan terus diperdebatkan. Abdurrahman Wahid yang secara pribadi memimpin organisa- si Islam paling besar di Indonesia, dan karena itu adalah pemimpin Islam terkemuka saat ini, telah mengajukan himbauan bagi sebuah masyarakat demokratis yang prasyaratnya mengandalkan Pancasila sebagai penjamin atas terbinanya sebuah civil society yang demokra- tis, yang sifatnya non Islam dan non militer. Terpulang kepada bangsa Indonesia untuk mengikuti, menilai, menerima atau meno- laknya. ____________________________________________________________________________ _____________________________________________________________________________ 20. Wawancara dengan Abdurrahman Wahid, 15 Oktober 1992. 21. Wawancara dengan Abdurrahman Wahid, 18 Juni, 1992. 22. Wawancara dengan Abdurrahman Wahid, 24 Juni 1992. 23. Wawancara dengan Abdurrahman Wahid, 15 Oktober 1992 dan S Mei 199524. 24. Wawancara dengan Abdurrahman Wahid,18 juni,1992 25. Untuk berita dan laporan tentang Rapat Akbar, lihat Tempo, 7 Maret 1992; Editor, 7 Maret 1992. 26. Surat Abdurrahman Wahid pada presiden Soeharto, h. 1. 27. Surat Abdurrahman Wahid, h. 1-2. 28. Surat Abdurrahman Wahid, h. 2. 29. Surat Abdurrahman Wahid, h. 2. 30. Wawancara dengan Abdurrahman Wahid, 15 Oktober 1992 dan 3 Mei 1993 31. Abdurrahman Wahid, "Islam and Pancasila: Development of a-keligious Po- litical Doctrine in Indonesia," Makalah disajikan pada panel Religious Beliefs: The Transmission and Development of Doctrine, Conference of the Assembly of the World's Religious, Seoul, Korea, August 25, 1990. Juga wawancara 24 Ju- ni, 1992. Ini tidak berarti bahwa Abdurrahman Wahid menolak peranan partai- partai Islam. Tetapi, mungkin ia menghendaki mereka berperan dan berting- kah-laku seperti halnya partai-partai Kristen Demokrat di Eropa Barat Menge- nai spekulasi pers pada awal tahun 1994 tentang kemungkinan bagi Abdur- rahman Wahid untuk memimpin PPP, ia menganjurkan bahwa PPP seyogia- nya tidak berkompetisi dengan PDI, misalnya, berdasarkan orientasi keagama- an. Tetapi, kalau PPP harus berkompetisi berdasarkan program-program dan kebijakan yang masuk akal, hal itu bisa ia terima 122 PEMAHAMAN GUS DUR TENTANG PANCASILA