PEMAHAMAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG PANCASILA DAN PENERAPANNYA Dalam Era Paska Asas Tunggal (1 Douglas E. Ramage, Ph- D. (2 "Tanpa Pancasila, negara RI tidak akan pernah ada." Abdunahman Wahid 18Juni 1992 "Pancasila adalah serangkaian prinsip-prisip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa-raga saya, ter- lepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam." Abdurrahman Wahid 24 Juni,1992 (3 Tanggal 1 Maret, 1992 di stadion utuma Senayan Jakarta, terjadi sebuah peristiwa penting dalam politik kontemporer Indonesia. Di hari Minggu pagi itu, sekitar 150.000 anggota Nahdlatul Ulama me- rayakan ulang tahun organisasi mereka yang ke-68. Berbeda de- ngan tahun-tahun sebelumnya, upacara kali ini sengaja dirancang untuk menyampaikan pesan yang sifatnya khusus: menegaskan kembali kesetiaan NU kepada Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Mengapa pernyataan kesetiaan semacam itu dipandang pen- ting untuk dikemukakan oleh NU justru di saat Pancasila tidak lagi dipersoalkan keberadaannya, paling tidak secara terbuka, di dalam wacana politik kontemporer Indonesia sejak akhir tahun 1980-an? Mengapa pula kita menilai Rapat Akbar NU sebagai peristiwa poli- tik yang patut dikaji dalam tulisan ini? Jawabannya sederhana. Ra- pat Akbar itu pada dasarnya mengilustrasikan sebuah debat politik yang masih terus berlangsung sekitar makna, penggunaan dan pe- nafsiran Pancasila sebagai ideologi negara. Ia juga sekaligus meng- gambarkan bagaimana Abdurrahman Wahid, melalui NU, telah de- ngan lincah mengoper penggunaan bahasa kekuasaan yang selama ini cenderung menjadi hak monopoli pemerintah setiap kali Panca- sila dibicarakan. Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, Pancasila sangat penting dipakai sebagai landasan untuk memberi legitimasi bagi kegiatan politik organisasinya, serta sebagai titik tolak untuk menyatakan krprihatinan atas masalah-masalah dasar yang berkena- an dengan persatuan dan tujuan nasional.4 Memang bisa terkesan agak luar biasa kalau seorang tokob Islam sekaliber Abdurrahman Wahid harus berbicara tentang Pancasila dalam dimensi yang me- lampui batas-batas ritual seperti yang selama ini dilakukan banyak pejabat pemerintah.5 Jadi. ketika para pejabat itu lebih sering berbi- cara tentang Pancasila sekadar sebagai mantra untuk melengkapi pidato-pidato resmi, dan sebagai alat untuk menekankan berbagai bentuk kewajiban yang harus dipikul oleh warga negara, Abdurrah- man Wahid menampilkan Pancasila sebagai jawaban atas ma- salah-masalah inti dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan. Di sini, Abdurahman Wahid membangun citra dirinya sebagai pendu- kung kuat dari idealisme negara Pancasila. Bagi 'Abdurrahman Wa- hid, toleransi beragama yang secara implisit terkandung di dalam Pancasila merupakan pra-syarat yang sangat penting dalam pemba- ngunan sebuah masyarakat demokratis di negeri ini. Uraian yang disajikan dalam tulisan ini akan membahas lebih lanjut pokok-pokok pikiran Abdurrahman Wahid tentang penafsir- an dan pengamalan Pancasila, latar belakang dan tujuannya, baik bagi kepentingan NU maupun bangsa Indonesia secara keseluruh- an. Dari wawancara saya dengan Abdurrahman Wahid, para pendu- kung dan pengritiknya, semuanya mengesankan betapa Gus Dur te- lah secara sadar memilih strategi yang menjadikan Pancasila seba- gai wahana dan bahasa politik untuk menyampaikan gagasan-gagas- annya. Lebih dari itu, Abdurrahman Wahid bahkan secara terbuka berbicara tentang "ancaman terhadap Pancasila", yang di dalam uraian tulisan ini akan ditempatkan scbagai sisi lain dari wacana po- litik yang saat ini sedang hangat di Indonesia. Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, Pancasila adalah se- buah kesepakatan politik memberi peluang bagi bangsa Indo- nesia untuk mcngembangkan kehidupan nasional yang sehat di da- lam sebuah negara kesatuan. Namun, ia masih melihat adanya se- jumlah ancaman terhadap konsepsi Pancasila sebagai yang diha- rapkannya. Keprihatinan Abdurrahman Wahid ini tentu saja lebih mewakili sebuah citranya sebagai seorang nasionalis dari pada se- orang pemikir Islam, walaupun tidak bisa disangkal bahwa Abdur- rahman Wahid pada hakekatnya mewakili generasi baru pemikir Is- lam revolusioner Indonesia. Seperti dikatakan Greg Barton, pikiran- pikiran Abdurrahman Wahid, sebagaimana halnya Djohan Effendi, Nurcholish Madjid, dan almarhum Ahmad Wahib, sudah cukup utuh dan lengkap untuk dianggap sebagai sebuah mazhab sebagai- mana adanya. Barton, dengan mengutip Fazlur Rahman, menye- butnya sebagai "neo-modernis", dan menilai bahwa mazhab ini telah berperan sangat penting dalam merebut sebuah posisi yang baru dalam pemikiran Islam di Tndonesia. Salah satu konskuensi dari ha- dirnya kaum neo-modernis ini adalah menguatnya komitmen terha- dap nilai-nilai kemajemukan dan nilai-nilai inti demokrasi. Sebenar- nya, penghayatan atas nilai-nilai kemajemukan ini tidak asing di da- lam Islam. Itu sebabnya menurut Barton, maka Abdurrahman Wa- hid, sebagaimana kaum neo-modernis yang lainnya, mampu menja- di the vanguard of democratic reform.6 Posisi Abdurrahman Wahid yang menempatkan Pancasila seba- gai prasyarat demokratisasi dan pembangunan semangat keislaman yang sehat nampaknya harus dilihat dari perspektif neo-modernis- me ini. Suatu pandangan yang secara gamblang berbeda dengan, misalnya, dikotomi Islam versus Pancasila di masa konstituante. Inte- grasi antara kemajemukan, demokrasi, Islam dan nasionalisme ini- lah yang secara intelektual dan politis melatarbelakangi upaya peru- bahan keikutsertaan Islam di dalam wacana politik dan ideologi Pancasila selama sepuluh tahun terakhir. Dalam sebuah pidatonya di depan warga NU pada tahun 1992, Abdurrahman Wahid mengingatkan mereka bahwa penerimaan NU atas Pancasila bertolak dari beberapa alasan yang sangat masuk akal. Tetapi yang penting, katanya, adalah yang sifatnya historis. Pa- da tahun 1945 Soekarno meminta, dan menerima, nasihat para pe- mimpin NU tentang bagaimana seharusnya Pancasila disusun seba- gai dasar negara. Lagi pula, menurut Abdurrahman Wahid, tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme. Islam bisa ber- kembang sehat dan baik di dalam kerangka kenegaraan nasional: ... faham kebangsaan yang dianut NU sesuai dengan Pancasila dan UUD 45. NU menjadi pelopor dalam masalah-masalah ideologis. Pada- hal seluruh dunia Islam, hal ini masih menjadi persoalan antara Islam dan nasionalisme. Para penulis Saudi Arabia menganggap nasionalisme itu sebagai sekulerisme. Mereka belum mengetahui adanya nasionalisme seperti di Indonesia yang tidak sekuler. Melainkan menghormati pe- ranan agama."7 Untuk memahami latar belakang dari penggunaan Pancasila se- bagai kerangka politik Abdurrahman Wahid, kita perlu tahu bahwa keputusan NU untuk menarik diri dari keterlibatan politiknya seca- ra organisatoris, terutama sebagai bagian dari PPP, bukan saja be- rangkat dari keinginan yang tulus untuk memusatkan perhatian pa- da tujuan-tujuan keagamaan, sosial dan pendidikan, tetapi juga me- miliki alasan-alasan politik yang sifatnya eksplisit, yang tidak terpi- sahkan dari Pancasila. Kata Abdurrahman Wahid, kalau NU terus membiarkan dirinya terperangkap di dalam struktur politik formal yang secara ketat dikendalikan oleh pemerintah, ia harus terus digi- ring untuk melakukan penyesuaian dengan keinginan penguasa. Ini jelas akan menyulitkan upaya penyelamatan atas berbagai ke- pentingan kelembagaan NU sendiri dan kepentingan umat secara keselwuhan, yangjustru perlu diberi kesempatan untuk memberi kontribusi yang lebih besar bagi pembangunan nasional. Lembaga politik formal yang direstui oleh pemerintah, dalam penilaian Ab- durrahman Wahid, hanya ditata untuk kepentingan mendukung program pembangunan Orde Baru, dan dipakai untuk membatasi tingkah laku politik yang secara mandiri bergerak di luar pengenda- lian pemerintah. Jadi, untuk menghindari pengendalian dan mani- pulasi yang demikian itulah, maka NU kemudian memutuskan un- tuk secara organisatoris meninggalkan dunia politik. Abdurrahman Wahid menjelaskan hubungan antara keputusan NU yang kontro- versial itu dengan konsep NU sendiri tentang Pancasila sebagai ber- ikut: Jadi untuk menolak penafsiran pemerintah tentang Pancasila yang serba mencakup dan mendominasi berdasarkan konsep negara integra- listik, perlu dikembangkan penafsiran lain tentang Pancasila. Tetapi ini hanya mungkin dilakukan di luar kerangka politik yang serba diatur itu."8 NU merasa dirinya dibatasi oleh struktur politik Demokrasi Pan- casila yang diciptakan oleh Orde Baru, karena struktur itu memba- ngun persepsi seolah-olah hanya pemerintah yang berhak menen- tukan dan menafsirkan perilaku politik macam apa yang sesuai atau tidak sesuai dengan Pancasila. Dalam pada itu, penarikan diri NU dari PPP dan penegasannya bahwa Pancasila dan Republik Indone- sia yang berdasarkan UUD 1945 merupakan bentuk akhir dari ne- gara Indonesia yang dicita-citakan, telah membawa dua hasil utama yang malahan menguntungkan pemerintah. Pertama, NU un- tuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas merupakan du- kungan yang sangat menemukan keberhasilan pemerintahan Soe- harto dalam menyakinkan organisasi-organisasi yang lainnya untuk mengambil sikap yang sama. Kedua, penarikan diri NU dari PPP menyebabkan mengalirnya banyak warga NU untuk mendukung Golkar dalam Pemilihan Umum 1987. Kendatipun demikian, Abdurrahman Wahid tetap berpenda- pat bahwa penarikan diri NU dari politik justru dimaksudkan agar NU dapat ikut serta secara lebih berdayaguna dalam proses politik.9 NU melihat bahwa melanjutkan keikutsertaan di dalam struktur po- litik Orde Baru yang serba dibatasi hanya akan mengebiri organi- sasi ini lebih lanjut. Kebebasan gerak "politik" NU yang berlang- sung "di luar" struktur politik formal Orde Baru ternyata memang lebih berdayaguna, seperti yang nampak dalam keikutsertaannya "di dalam" kehidupan politik selama sepuluh tahun terakhir ini. Suatu kesimpulan yang mungkin agak rumit untuk dicerna begitu saja. Tetapi demikian adanya, sehingga ketika, misalnya, NU men- canangkan keinginan untuk melakukan Rapat Akbar tahun 1992 untuk kepentingan politiknya sendiri dengan cara mengoper tema Pancasila sebagai titik tolaknya, ia sekaligus bisa menghindari ditu- duh sebagai anti Pancasila. Makna Rapat Akbar 1 Maret 1992 Pertemuan massal ini bisa dianggap yang terbesar yang pernah dilakukan oleh organisasi non-pemerintah selama duapuluh lima tahun terakhir. Seperti telah disinggung di awal tulisan ini, Rapat Akbar dimaksudkan untuk menegaskan kembali kesetiaan NU ke- pada Pancasila, konstitusi dan demokrasi.l0 Pertanyaan yang me- nyertai keputusan ini adalah, bukankah hal yang sama telah dite- gaskan dalam Muktamar di Situbondo beberapa tahun sebelum- nya? Terkesan ada beberapa alasan bagi Abdurrahman Wahid un- tuk melakukannya, terlepas dari kenyataan bahwa Pancasila tidak lagi merupakan isu politik utama saat itu. Pertama, Abdurrahman Wahid sedang mencari jalan bagaimana menghindarkan NU dari untuk secara terbuka mengusulkan dicalonkannya kem- bali Soeharto sebagai presiden untuk masajabatan berikutnya. Ab- durrahman Wahid berpendapat bahwa karena NU sudah bukan la- gi sebuah organisasi politik, maka tidak sepantasnya membuat usul- an semacam itu. Dengan menyatakan kesetiaan kepada Pancasila, usulan semacam itu memang bisa dihindari tanpa harus merasa ri- kuh jangan sampai dianggap mempunyai maksud politik yang aneh-aneh. Kedua, Abdurrahman Wahid sebenarnya sangat gelisah atas pembentukan ICMI yang secara terbuka didukung, kalau bu- kan diprakarsai, oleh pemerintah.11 Oleh karena itu, ia tergerak un- tuk menunjukkan bahwa umat Islam, khususnya warga NU, masih berdiri di belakang dan mendukung gagasannya tentang Islam yang sifatnya lebih demokratis dan inklusif. Dalam pandangan Abdurrah- man Wahid, ICMI pada hakikatnya mengabsahkan eksklusivisme Is- lam dan dapat merendahkan toleransi kaum Muslimin terhadap masyarakat non-Muslim di Indonesia. Jadi, melalui Rapat Akbar itu, Abdurrahman Wahid ingin menunjukkan bahwa NU mendukung proses demokratisasi sejak awal dan tidak akan begitu saja membiar- kan dirinya dikooptasi, sebagaimana halnya sekelompok cendekia- wan Muslim yang menyandarkan harapannya pada ICMI. Ketiga, Abdurrahman Wahid juga melihat semakin meningkatmya penga- ruh sektarianisme dan fundamentalisme di Indonesia, sehingga ia menganggap perlu menekankan adanya Islam yang lebih toleran terhadap kemajemukan, dan tentu saja bersifat non-sektarian, mela- lui Rapat Akbar itu. Dalam hubungan ini, Abdurrahman Wahid me- nilai bahwa rumus politik Orde Baru, yang sejak dulu ingin memi- sahkan agama dan ikatan-ikatan primordial lainnya dari politik mas- sa, kini sedang terancam. Keempat yang terakhir, di samping semua yang sudah dikemukakan di atas, ada juga tujuan lain yang sifatnya lebih ke dalam tubuh NU sendiri. Abdurrahman Wahid ingin me- nunjukkan bahwa dukungan warga NU kepadanya dapat dibukti- an melalui kehadiran dua juta anggota. Hal ini penting, mengingat di kalangan NU sendiri ada pihak-pihak yang kurang begitu setuju dengan cara Abdurrahman Wahid bereaksi terhadap pembentukan ICMI. Semua isu di atas akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini, de- mi memahami secara lebih lengkap mengapa dan bagaimana Ab- durrahman Wahid dengan NU menggunakan serta menafisirkan Pancasila, dan bagaimana hubungan antara Rapat Akbar dengan penafsiran Abdurrahman Wahid tentang Pancasila. Dalam hal ini, perlu ditekankan bahwa Abdurrahman Wahid menggunakan Pan- casila sebagai bagian dari strateginya untuk mendorong perubahan politik di Indonesia. Mencalonkan kembali Presiden Soeharto atau Menjadikan Panca- sila sebagai Agen Perubahan Sejak akhir tahun 1991 hingga awal 1992, ada sejumlah tekanan tidak langsung terhadap NU agar mau mengusulkan pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden untuk masa jabatan berikutnya. Organisasi-organisasi Islam besar lainnya, termasuk Muhammadi- yah, sudah melakukannya. Tetapi, NU yang lebih berkepentingan menjaga keutuhan warganya dan memelihara kebebasan geraknya dalam menghadapi suksesi mendatang, cenderung untuk tidak ikut dalam rekayasa usul-mengusul itu. Sebagai gantinya, NU memilih tema Rapat Akbar itu tadi. Tentu saja pemerintah menghadapi ke- sulitan jika bermaksud melarang pertemuan massal yang diorgani- sasi untuk menyatakan kesetiaan kepada ideologi negara. sesuatu yang justru dianjurkan oleh Soeharto.l2 Sementara itu, bagi Abdur- rahman Wahid, Rapat Akbar juga bisa digunakan sebagai forum un- tuk mengkritik pemerintah yang tidak jarang menerapkan cara-cara yang kurang demokratis dalam menangani berbagai masalah, sesua- tu yang menurut Abdurrahman Wahid bersifat "anti-Pancasila." Jadi jelas, bahwa Abdurrahman Wahid menjadikan pancasila sebagai wa- hana untuk memperjuangkan tegaknya demokrasi. Menurut Abdurrahman Wahid, kalau NU menyerah pada te- kanan untuk menyatakan dukungan bagi pencalonan kembali Soe- harto sebagai presiden, organisasi ini akan berantakan. Pertama, ka- rena usulan semacam itu akan menghadapi tantangan dalam tubuh NU sendiri, yang akan menganggapnya sebagai tindakan politik. Karena NU bukan lagi organisasi politik, maka seyogianya ia meng- hindarkan diri dari cara mengusul-usulkan pemimpin politik. Lagi pula, di dalam tubuh NU sesungguhnya terjadi berbagai perbeda- an pandangan dan penilaian terhadap Soeharto. Sekelompok ang- gota, menurut Abdurrahman Wahid, berpendapat bahwa tidak se- patutnya NU mengusulkan Soeharto yang "tidak cukup Islami" un- tuk terus menjadi presiden; sementara yang lain berpendapat bah- wa NU seyogianya tidak ikut-ikutan mengusulkan Soeharto yang be- berapa kebijakannya jelas-jelas memanipulasi Islam dan cenderung meremehkan peranan NU sebagai salah satu wakil utama dari umat. Walaupun Abdurrahman Wahid mengakui bahwa NU masih terus saja melakukan tindakan-tindakan politik, dia mnegaskan bahwa jika NU terus terlibat di dalam urusan politik kecil-kecilan, ia akan kehilangan kekuasaan dan pengaruhnya dalam kehidupan nasional Indonesia. Menurut Abdurrahman Wahid: "NU sesungguhnya belada pada posisi yang sangat baik sebagai pen- jaga stabilitas politik Indonesia. PPP, PDI dan Golkar semuanya membu- tuhkan NU. Demikian pula halnya tentara. NU dibutuhkan oleh siapa sa- ja, karena punya basis massa, dan kami memanfaatkan dengan bijaksa- na."13 Ia kemudian menyimpulkan bahwa mengingat posisinya yang demikian itu, NU harus dengan segala daya-upayanya menghindari kemungkinan untuk secara terbuka mendukung pencalonan kem- bali Soeharto. Sikap ini penting, agar NU dapat tetap memelihara kebebasannya untuk melakukan gerakan politik. Lagi pula, seandai- nya NU melakukan pencalonan itu, ia akan menjadikan penarikan dirinya dari kegiatan politik formal sepuluh tahun yang lampau se- bagai sasaran ejekan. Jadi, dengan mengambil tema kesetiaan pada Pancasila dan UUD 1945, NU sesungguhnya telah mengambil "high road', kata Abdurrahman Wahid. Dengan cara ini, NU menekan- kan arti penting konstitusionalitas dan kejujuran, seraya menjaga haknya untuk ikut menilai kepancasilaan pihak lain.l4 Cukup me- narik memang, bahwa Abdurrahman Wahid menafsirkan penye langgaraan Rapat Akbar dan penolakannya untuk memanfaatkan rapat itu demi mendukung Soeharto sebagai bukti bahwa NU telah bertindak sebagai agen perubahan. "Dengan menolak pencalonan Soeharto secara terbuka, kami me- nangguhkan dukungan terhadap sistem pemerintahan yang sangat tidak seimbang ini. Dengan hanya mendukung Pancasila dan konstitusi, kami bisa mengatakan bahwa NU telah berupaya melicinkan jalan menuju transisi dari sistem yang ada sekarang (yang berdasarkan pada hubungan perkoncoan, dan yang jika terus dibiarkan dalam jangka panjang akan membawa negeri ini pada kehancuran), menuju sistem yang lebih demo- kratis".l5 Sikap NU itu secara tidak langsung memperlemah posisi Soe- harto, walaupun dalam kenyataan tidak membahayakan kelang- sungan kekuasaannya. Jadi, walaupun pemerintah telah gagal me- ngaitkan pengeluaran izin bagi Rapat Akbar dengan keharusan me- "geluarkan pernyataan dukungan bagi Soeharto, pemerintah juga tidak dapat begitu saja menolak permohonan izin dimaksud, ber- dasarkan alasan yang sudah kita bicarakan di atas. Abdurrahman Wahid sendiri mengatakan bahwa dengan pernyataan kesetiaan ke- pada Pancasila dan UUD 1945 itu, NU sebenarnya ingin menga- takan kepada pemerintah: "Kami adalah pendukung Pancasila dan konstitusi, tetapi kami juga ingin mengingatkan bahwa kalian be- lum cukup konsisten dalam mengamalkan keduanya."16 Juga, kata abdurrahman Wahid, "Kepada rakyat, sejarah, kawan-kawan dan pengikut saya, saya ingin menyampaikan pesan bahwa kami telah berjuang untuk mewujudkan pe- merintahkan yang dicita-citakan, yang berdasarkan Pancasila. Kami setia kepada cita-cita kenegaraan yang sesuai dengan kebenaran dan semangat Pancasila."17 Jadi, walaupun Orde Baru selalu mengakui keberadaannya sen- diri sebagai pengejawantahan dari Pancasila, Abdurrahman Wahid tidak menerima pengakuan itu sebagai kebenaran. Karena, jika se- mangat Pancasila benar-benar diserap, kita akan memperoleh suatu pemerintahan yang adil, yang menjamin dan melindungi kebebas- an menyatakan pendapat, bergerak, berkumpul dan berserikat, ka- tanya. Pokoknya, Abdurrahman Wahid melanjutkan, suatu peme- rintahan yang menjamin kesamaan kedudukan seluruh warga ne- gara di hadapan hukum: "Semua ini belum tercermin di dalam praktek pemerintahan yang ada.. karena pemerintah tidak melihat aspek demokrasi sebagai sebagai yang diperlukan di dalam penyelenggaraan pemerintahan."l8 Apa yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru, menurut Ab- durrahman Wahid, adalah menggunakan Pancasila sekadar sebagai alat untuk memperoleh "legitimasi," bukan sebagai landasan bagi pembangunan suatu masyarakat yang lebih berkeadilan atau demo- kratis. Strategi Pancasila Abdurrahman Wahid tidak hanya ditujukan untuk mengoreksi perilaku kekuasaan elit negara, tetapi juga untuk mengatakan bahwa Pancasila pada dasarnya adalah sebuah kom- promi politik untuk tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sebagai suatu bangsa yang terdiri atas berbagai suku dan agama, bangsa Indonesia menerima Pancasila sebagai pernyataan ideologis tentang toleransi dan komitmen untuk menghindari lahirnya pe- rilaku-perilaku politik yang sifatnya "eksklusif". Faktor toleransi (di antara umat beragama) inilah yang menurut Abdurrahman Wahid harus menjadi dasar bagi pengembangan demokrasi di Indonesia. Gejala menurunnya kemampuan masyarakat untuk memelihara si- kap toleransi yang demikian itu, mendorong Abdurrahman Wahid pada tahun 1992 memperingatkan betapa bahayanya jika hal itu te- rus dibiarkan, sejalan dengan kuatnya kecenderungan ke arah apa yang disebutnya sebagai rekonfensionalisasi politik di kalangan umat beragama. Karena, seperti yang sudah seringkali dikatakan- nya, tanpa toleransi di antara umat beragama, demokrasi tidak akan pernah bisa dekembangkan. Dalam hubungan ini, Abdurrhman Wahid memusatkan kecamannya kepada ICMI, yang menurut pe- nilaiannya mungkin mewakili sebuah ancaman utama terhadap to- leransi beragama yang diinginkan dalam proses membangun ma- syaraka. ICMI dan Persepsi Abdunahman Wahid tentang "Ancaman" terhadap Pancasila Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, ICMI seperti apa ada- nya saat ini jelas merupakan ancaman terhadap konsepsinya ten- tang Pancasila. Alasannya, karena ICMI memberi semacam legiti- masi dan dukungan kepada mereka yang menurut penilaian Ab- durrahman Wahid akan mengupayakan Islamisasi dalam tubuh pe- merintah dan masyarakat Jika ini dibiarkan berkermbang, maka nilai-nilai toleransi, penghargaan timbal balik di antara umat ber- agama, dan persatuan nasional akan begitu saja dikesampingkan serta ditelantarkan Tetapi, penilaian Abdurrahman Wahid yang pe- simistik ini tentu saja dibantah oleh para pendukung ICMI yang se- baliknya melihat justru melalui organisasi baru ini pelayanan kepa- da umat akan mudah dikembangkan. Para anggota ICMI juga me- nilai bahwa organisasi mereka dapat menjadi sarana yang berda- yaguna untuk mengupayakan berlangsungnya "demiliterisasi" da- lam kehidupan politik di Indonesia. Jika kita menilik kembali bagaimana Soeharto mendukung ke- lahiran ICMI, memang terdapat beberapa fakta yang menarik. Di bulan Desember 1990 itu, presiden Soeharto memberi restu bagi berdirinya ICMI.19 Ini jelas merupakan sebuab peristiwa yang luar biasa. Organisasi ini menghimpun banyak kalangan pegawai peme rintah dan tokoh-tokoh cendekiawan Islam, termasuk beberapa di antara mereka yang sejak dulu sering memberi kritikan tajam ke- pada Orde Baru dan cara-cara Soeharto menangani masalah-masa- lah yang berkaitan dengan Islam. Satu satunya tokoh cendekiawan Islam terkemuka yang menolak untuk ikut dalam ICMI adalah Ab- durrahman wahid. Ketidak setujuan Abdurrahman Wahid atas ber- dirinya ICMI bertolak dari dua alasan pokok yang saling mengisi. Pertama, ia menilai bahwa ICMI merupakan salah satu contoh te- lanjang dari bagaimana rezim ini memanipulasi Islam agar mem- peroleh dukungan dan simpati demikian mengukuhkan legitimasi kekuasaannya. Kedua, melalui ICMI para tokoh cendekiawan Islam membiarkan diri mereka dimanipulasi oleh Soeharto agar berpe- luang melaksanakan agenda politik mereka sendiri. _________________________________________________________________________ _________________________________________________________________________ 1. Tulisan ini disusun untuk keperluan yang khas: mengkaji pikiran-pikiran dan perilaku politik pemimpin NU Abdurrahman Wahid berkenaan dengan Panca- sila. Tentu saja kajian ini tidak akan mencakup seluruh keberadaan NU, ter- lebih lagi tentang politik Islam di lndonesia. Sebagian besar bahan yang disajikan dalam tulisan ini berasal dari disertasi penulis, Ideological Discourse in the Indonesia New Order: State Ideology and the Belief of an Elite, 1985-1993. (Columbia, South Carolina: University of South Carolina, 1993). 2. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Abdurrahman Wahid yang memberikan banyak kesempatan untuk diwawancarai pada tahun 1992-1993. Penulis menyampaikan terimakasih kepada beberapa pihak yang telah membe- rikan komentar atas tulisan ini, terutama Ryass Rasyid dan Muhammad AS Hikam. Penulis sangat berterimakasih atas bantuan terjemahannya dari Ryass Rasyid. 3. Kedua kutipan di atas diambil dari wawancara penulis dengan Abdurrahman Wahid. 4. Wawancara dengan Abdurrahman Wahid, 18, 24 juni 1992. Lihat juga adam Ashwarz, Islam and Democracy." Far Eastern Economic Review (FEER), 19 Maret 1992, h. 32. Untuk latarbelakangnya penerimaan Pancasila oleh NU lihat Einar M. Sitompul, NU dan Pancasila, Sinar Harapan, Jakarta 1989. 5. Lihat misalnya analisis Aris Arief Mundayat tentang bagaimana ritual Pancasila dipraktekkan oleh para pejabat pemerintah dalam makalahnya yang berjudul "The Rite of Tujuhbelasan: Ideological Dissemination Under Soeharto's Regi- me." Disampaikan pada Workshop on Ideology in the New Order, Conference on Indonesian Democracy, Monash University, 21 Desember, 1992. 6. Greg Barton, "The Impact of Neo-Modernism on Indonesian Islamic Thought." Makalah disajikan pada Conference on Indonesian Democracy, Monash Uni- versity, 18 Desember 1992. Lihat juga Abdurrahman Wahid, "Islam and Demo- cracy in Indonesia: 1950s to 1990s." Makalah dipersiapkan untuk forum konfe- rensi yang sama. 7. Kutipan ini dari Abdurrahman Wahid, "Langkah Strategis Yang Menjadi Per- timbangan NU", Aula, Juli 1992, h. 26. 8. Wawancara dengan Abdurrahman Wahid, 18 Juni 1992. Lihatjuga wawancara dengan Asia Week, 'We want to Reform Society, tanggal 20 Maret, 1992, h- 37. 9. Wawancara dengan Abdurrahman Wahid tanggal 18 dan 24 Juni 1992. 10. Untuk berita dan ulasan tentang Rapat Akbar ini, lihat Suara Karya tanggal 2 Maret 1992; Suara Pembaharuan, 1 Maret 1992. 11. Untuk salah satu contoh pandangan Abdurrahman Wahid mengenai keber- adaan ICMI, lihat wawancaranya "ICMI Jangan Ambil Jalan Pintas," Detik, 5 Ma- ret 1993, h. 6-7. 12. Wawancara dengan Abdurrahman Wahid, 18 Juni, 1992. 13. Wawancara Abdurahman Wahid, 18 Juni 1992. 14. Wawancara 18 Juni, 1992. 15. Wawancara dengan Abdurrahman Wahid, 18 Juni, 1992. 16. Wawancara dengan Abdurrahman, 18, Juni, 1992. Menurut beberapa pengamat politik Indonesia, pemerintah sebenarnya mengerti strategi Abdurrahman Wa- hid. Oleh karena itu, sangat mungkin bahwa ada pihak yang menyetujui upaya para aparat pemerintah yang berwenang menyetujui perizinan itu untuk me- ngurangi jumlah peserta Rapat Akbar sekecil mungkin. 17 .Wawancara dengan Abdurrahman Wahid, 24Juni 1992. 18. Wawancara dengan Abdurrahman Wahid, 24Juni 1992. 19. Berita dan ulasan tentang berdirinya ICMI dapat dilihat antara lain melalui Kompas, 7 Desember 1990; Tempo 9 Desember 1990; dan Merdeka, 10 Desem- ber 1990.