NU, ASAS TUNGGAL PANCASILA DAN KOMITMEN KEBANGSAAN: Refleksi Kiprah NU Paska Khittah 26 Einar M. Sitompul KOMITMEN kebangsaan bagi suatu organisai khususnya orga- nisasi yang bernafaskan keagamaan semacam NU sudah barang tentu tidak datang dengan sendirinya. Sudah jamak bila suatu orga- nisasi akan mengutamakan atau mengupayakan semaksimal mung- kin agar cita-citanya dapat terwujud dan menentukan perkembang- an masyarakat. Ia akan menjadi persoalan karena ia berkiprah di da- lam masyarakat. Ia akan menjadi persoalan karena ia berkiprah da- lam masyarakat yang pluralistik dan menemukan perkembangan masyarakat tidak ditentukan oleh kekuatan sospol Islam melainkan oleh kelompok-kelompok strategis (ABRI, Golkar dan birokrat) yang mendominasi pemerintahan dan yang sangat pengaruh mene- tapkan perkembangan masyarakat. Walaupun demikian NU sebagai organisasi keagamaan yang bertumpu pada kiprah ulama sebagai pemimpin umat, tidak dapat berdiam diri dan membiarkan saja perkembangan berjalan sendiri. Disadari bahwa politik bukan satu-satunya jalur untuk mawujudkan aspirasi keagamaan. Jalur politik merupakan pilihan yang mungkin tepat dalam suatu kurun waktu tetapi akan merugikan bila tetap di- pertahankan di dalam kurun waktu yang berbeda Menyadari keberadaannya tidak dapat terlepas dari kiprah ber- bagai kelompok lainnya di dalam negara Indonesia dan setelah me- lalui pergumulan panjang yang berat dan rumit, NU ingin mene- gaskan ulang komitmen kebangsaannya dengan mana ia akan ber- kiprah dalam proses transformasi sosial kultural yang sedang kita la- lui agar dimensi keagamaan masyarakat tidak diabaikan oleh pro- ses pembangunan tetapi akan semakin meresap melalui peran serta NU sebagai organisasi keagamaan. Dengan komitmen kebangsaan berlandaskan Pancasila, NU ingin menjalankan peranan keula- maannnya; tidak lagi untuk ikut-ikutan merebut "kapling politik" me- lainkan akan peka terhadap aspirasi yang hidup dan terbuka ter- hadap upaya bersama menegakkan hak asasi, demokrasi dan ke- adilan. Dalam tulisan ini saya mencoba menguraikan pergumulan NU setelah menerima asas tunggal Pancasila di dalam Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo. Sebagaimana kita ketahui dengan dite- tapkannya Pancasila sebagai asas bagi semua organisasi politik dan kemasyarakatan, maka mulailah babak baru pejalanan organisasi politik dan kemasyarakatan. Khusus bagi NU sebagai organisasi ke- agamaan (jamiyah dinniyyah) penerimaan asas Pancasila bukan seke- dar persoalan politis-organisatoris, melainkan persoalan keagamaan yang diselesaikan secara keagamaan juga melalui argumen-argu- men keagamaan yang diketengahkan dalam Muktamar Situbondo. Muktamar Situbondo sebagai tonggak sejarah perjalanan NU adalah pertanda kembali peranan ulama yang selama ini sudah ter- sudut sejak NU bergabung dengan PPP dan membuktikan ketang- guhan organisasi keagamaan tradisional seperti NU, menghadapi perkembangan sosial politik. Sebelum Muktamar itu para ulama terlebih dahulu sudah menegaskan bahwa Pancasila bagi umat Is- lam adalah wajib hukumnya. Kemudian Muktamar Situbondo - yang mengukuhkan keputusan Munas 1993- memutuskan meneri- ma Pancasila berdasarkan pertimbangan keagamaan. Pertama, NU menganut pendirian bahwa Islam adalah agama fitriah (sifat asal atau murni); sepanjang suatu nilai tidak bertentangan dengan ke- yakinan Islam, ia dapat diarahkan dan dikembangkan agar selaras dengan tujuan-tujuan di dalam Islam. Dalam hal ini ketika Islam di- terima oleh masyarakat, ia tidak harus mengganti nilai-nilai yang ter- dapat di dalam masyarakat tetapi ia akan bersikap menyempurna- kan segala kebaikan yang dimiliki masyarakat Islam bukanlah suatu totalitas yang lengkap pada dirinya dan dengan itu harus dijadikan alternatif membangun masyarakat. Karena Pancasila bukanlah aga- ma melainkan hasil pergumulan bangsa Indonesia untuk memba- ngun dirinya, maka ia tidak dicurigai sebagai saingan agama. Sila- sila dari Pancasila tidak bertentangan dengan Islam kecuali kalau di- isi dengan tafsiran yang bertentangan dengan Islam. Berangkat dari konsep fitrah, membuat NU bersipak inklusifistik-mengakui nilai- nilai yang baik yang sudah ada di dalam masyarakat untuk mengem- bangkan Islam. Dan di samping itu juga akan senantiasa bersikap positif-kritis karena NU bertujuan menyempurnakan nilai-nilai itu agar sejalan dengan tuntutan Islam. NU mampu membedakan mana nilai-nilai yang berguna ditanggap dan yang tidak berguna, serta mana yang harus diterima dan yang harus ditolak demi tujuan keagamaan. Kedua, konsep ketuhanan Pancasila dinilai mencerminkan tau- hid menurut pengertian keimanan Islam. Pengertian tentang ketu- hanan yang menjadi pokok perdebatan sengit di antara kalangan nasionalis-sekuler dengan nasionalis-muslim sejak sebelum kemer- dekaan dan terus bergema sampai beberapa dekade telah disele- saikan dengan tuntas Ketuhanan Yang Maha Esa dinilai sudah membayangkan atau menggambarkan apa yang diinginkan oleh tauhid. Kendati ia tidak identik dengan tauhid tetapi merupakan fitrah bangsa Indonesia untuk dikembangkan lebih lanjut sehingga tercapai tingkat pemahaman yang sesuai dengan Islam dan pada gi- lirannya dapat dibangun masyarakat yang sejahtera sesuai dengan aspirasi Islam. Berdasarkan sila Ketuhanan itu wawasan keagamaan negara Indonesia sudah dijamin. NU tidak lagi khawatir bahwa ne- gara akan menjadi sekuler. Wawasan keagamaan yang tercermin di dalam sila Ketuhanan sesuai dengan watak NU yang selalu meng- utamakan agar perkembangan masyarakat tetap dalam wawasan ke- agamaan-menjadikan nilai-nilai keagamaan sebagai tolok ukur per- kembangan. Ketiga, dari sudut sejarah bahwa ulama-ulama dengan cara me- reka sendiri dan NU sebagai organisasi keagamaan yang berakar kuat di dalam masyarakat, telah turut berjuang merebut kemerde- kaan sebagai kewajiban keagamaan. Mendirikan negara sebagaija- lan mengupayakan kesejahteraan bagi NU adalah wajib hukumnya. Karena itu kesepakatan mendirikan negara Republik Indonesia be- serta semua mekanismenya dan segala yang bertujuan membawa kesejahteraan adalah sah dilihat dari pandangan Islam serta meng- ikat semua pihak. Negara diperlukan untuk meningkatkan kehi- dupan manusia yang- berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Sepan- jang nili-nilai keagamaan mendapat perhatian, maka semua upaya membangun untuk kesejahteraan wajib didukung. Lagi pula kare- na umat Islam sejak semula turut serta memperjuangkan kemerde- kaan dan aktif di dalam kehidupan berbangsa, maka negara Indo- nesia adalah "upaya final" memperjuangkan bangsa khususnya kaum Muslimin. Kalau negara adalah "upaya final" seluruh bangsa khususnya kaum Muslimin dan bahwa wawasan keagamaan sudah terjamin, maka penerimaan Pancasila sebagai asas adalah sah dan logis. Yang tinggal sekarang bagaimana memberlakukan Islam me- nurut aqidah (kenyakinan) Ahlussunnah waljamaah di bumi Indo- nesia.l II Muktamar Situbondo 1984 secara formal-konsepsional telah menetapkan NU kembali kepada Khittah 1926, kembali kepada sifatnya semua sebagai organisasi keagamaan sebagaimana ia didiri- kan pada tahun 1926. Namun tidak mudah untuk memantapkan gerak langkahnya sebagai organisasi keagamaan setelah kurang lebih tiga puluh tahun berkiprah sebagai organisasi politik. Beberapa tahun setelah Muktamar Situbondo, kelompok yang menginginkan NU kembali berpolitik dengan juru bicaranya tokoh NU terkemuka Mahbub Djunaidi menggulirkan gagasan "khittah plus". Kelompok ini merasa potensi NU yang begitu besar -jika ke- adaan memungkinkan diarahkan menjadi organisasi politik. Wa laupun tidak mendapat dukungan luas, namun gagasan ini berge ma kuat sampai sampai dengan usaha menggeser Gus Dur dari ke- dudukannya sebagai Ketua kerena dianggap penghalang terwujud- nya "khittah plus".2 Tetapi NU kembali mampu membuktikan ke- kenyalannya sebagai organisasi ulama. Di samping memilih kembali Gus Dur dan KH Achmad Siddiq masing-masing sebagai Ketua dan Rois Am NU, Muktamar ke-28 1989 menjelaskan peranan politisnya setelah kembali kepada Khittah 1926 di dalam kehidupan masyara- kat Rumusan politik NU antara lin menyatakan bahwa berpolitik kini bagi NU merupakan keterlibatan warga negara dalam kehidup an berbangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1946, politik harus berwawasan kebangsaan yang menuju integrasi bangsa, mengem- bangkan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis untuk mencapai kemaslahatan bersama, dan memperkokoh konsensus nasional yang dilaksanakan sebagai pengamalan ajaran Ahlusunnah waljamaah.3 Godaan terhadap NU untuk kembali berpolitik (praktis) sebe- narya berkaitan erat dengan perkembangan eksternal. Penetapan asas Pancasila sebagai bagi semua organisasi kemasyarakatan, maka muliailah proses deideologisasi dan dealiranisasi (tidak ada lagi tempat bagi ormas atau orpol menggunakan ideologi lain atau sudah tidak ada lagi yang dapat disebut menganut aliran tertentu), karena se- mua berasaskan Pancasila. Di satu pihak bagi pemerintah hal itu makin menjamin stabilitas nasional dan mudah untuk mengarah- kan ormas ormas untuk mendukung kebijakan pemerintah. Na- mun pada pihak lain seperti yang disinyalir oleh Gus Dur, peme rintah tetap membutuhkan legitimitas bagi program-programnya dari kekuatan-kekuatan lain khususnya Islam.4 Memang NU tidak diharapkan akan menjadi parpol karena tidak sesuai dengan tata- nan politik yang dikembangkan pemerintah. Tetapi mendukung ke- bijakan pemerintah sebenarnya tugas parpol- tidak dianggap menjalankan politik praktis. Sementara kalangan merasa bahwa ki- nilah saatnya -dengan prinsip bargaining position bagi kekuatan Is lam untuk meraih konsesi atau posisi tertentu. NU menyadari peluang yang terbuka untuk mempereleh kon- sesi atau pendekatan pemerintah terhadap Islam sebagai kekuatan politik, hanya sifatnya temporer atau sesaat saja. NU tidak mau lagi hanya dijadikan alat untuk kepentingan kelompok lain. Kalau ha- nya bertujuan memperjuangkan kepentingan politis yang menjadi perhatian NU, maka hal itu sebenamya tidak sesuai dengan hakikat dan citranya sebagai organisasi keagamaan yang menjalankan tugas keulamaan. Sebagai organisasi ulama ia harus mengutamakan tugas keagamaan terhadap masyarakat Bagaimana menjabar tugas itu di dalam masyarakat, itulah yang menjadi masalah. Kemunculan ICMI yang mampu begitu muncul menarik perha- tian masyarakat merupakan fenomen betapa perlunya pemerintah menjalin hubungan dengan Islam dan memperoleh legitimitas. Se- maraknya kegiatan ICMI yang lahir di penghujung 1990 sudah ha- rang tentu tidak terlepas dari ketokohan BJ Habibie sebagai Ketua- seolah-olah ingin menunjukkan bahwa pemerintah membutuhkan dukungan kekuatan Islam dan sebaliknya bahwa pemerintah juga mendukung Islam. Tetapi masih menjadi pertanyaan, sampai bera- Pa lama ICMI dapat mempertahankan kedekatannya dengan elit kekuasaan? Apakah ia mampu menampilkan diri sebagai pembawa aspirasi Islam mengingat ia tidak berakar pada umat (grass-roots), ka- rena tidak mempunyai basis rekrutmen yangjelas, seperti NU pada pesantren dan Muhammadiyah pada lembaga pendidikan? Kiprah NU untuk kembali kepada Khittah 26 adalah menan- tapkan pejalanan sesuai garis Khittah. Dari dalam ia menghadapi godaan untuk kembali berpolitik (praktis) dan karena ia telah me- ninggalkan panggung politik (lepas dari PPP) maka terbuka untuk ditarik oleh kekuatan lain yang ingin memanfaatkan potensi NU. Beratnya tantangan yang dihadapi tercermin dari serangan yang di- lancarkan terhadap kiprah Gus Dur, Ketua NU. Mulai dari gagasan- nya mendirikan BPR (bekejasama dengan Bank Summa), kegiat- annya dalam Forum Demokrasi, kritiknya terhadap ICMI pernyata- annya mengenai kasus Monitor, soal SDSB, dan lain-lain, pertanda masih kurang difahami makna dan konsekuensi kembali kepada Khittah. Masalahnya Gus Dur tampak bergerak sendirian. Ia ditu- duh melontarkan gagasannya sendiri dan bergerak untuk kepen- tingannya pribadi (seperti keterlibatannya dalam Forum Demokra- si). Gagasan mendirikan BPR sebenarnya bagian dari program NU untuk memajukan kehidupan umat dengan memanfaatkan pe- luang yang terdapat di dalam perkembangan bisnis modern. Kritik- nya terhadap ICMI saya rasa merupakan gema sikap politik NU se- telah kembali kepada Khittah; NU akan lebih mengutamakan per- juangan demi kemaslahatan umat dan tidak ingin terjebak dalam pola tindakan sektarian serta sikap hati-hati agar NU tidak terjebak diperalat untuk kepentingan temporer. Keterlibatannya secara pri- badi di dalam Forum Demokrasi (dengan tokoh-tokoh lain yang berasal dari beerbagai latar belakang) tidak dapat dianggap sebagai suatu penyimpangan karena ia Ketua NU melainkan suatu langkah terobosan (yang patut diteladani) bahwa demokrasi sebagai suatu aspirasi adalah bersifat universal dan diperlukan oleh semua orang dan golongan, patut menjadi keprihatinan setiap orang. Begitu beratnya tantangan yang dihadapi NU sehingga diang- gap terancam retak ketika KH Ali Yafie (Wakil Rois Am) mengun- durkan diri pada Konbes (Konferensi Besar) NU di Lampung ta- hun 1992 yang lalu akibat bantuan pemerintah kepada salah satu pesantren dianggap berasal dari SDSB.5 Tetapi dengan mulus NU dapat mengatasi bahaya keretakan. Apakah telah tejadi kembali keretakan antara Syuriyah dan Tanfidziyah? Saya rasa tidak. Yang je- las NU mampu mengatasi persoalannya sendiri karena kemampu- annya melihat permasalahan tidak secara hitam-putih, saja tetapi mampu memilah mana yang prinsipil dan yang tidak prinsipil. Se- panjang masalahnya tidak bersangkut paut langsung dengan prin- sip keagamaan akan dengan mudah diselesaikan. Pengunduran diri ALi Yafie dan kritik yang dilancarkan oleh sementara ulama ke arah Gus Dur tidak.dapat disebut gejala siklus pertentangan antara Syu- riyah Tanfidziyah. Ia tidak dapat disamakan dengan pertentangan antara Syruiyah (ulama) dan Tanfidziyah (politisi) menjelang Muk- tamar Situbondo 1984. Menjelang Situbondo, NU merasa peranan ulama semakin terdesak oleh sayap politik dan selama bergabung dengan PPP manfaat yang diperoleh dirasakan tidak setimpal de- ngan potensi NU. Yang diperoleh bukan manfaat melainkan keru- gian, seperti konflik intern dan keterbatasan NU menjalankan pe rannya sebagai organisasi intern dan keterbatasan NU menjalankan perannya sebagai organisasi keagamaan (jam iyah dinniyah). Seka- rang- NU telah meninggalkan panggung politik dan berada dalam proses memberlakukan Khittah dalam transformasi sosial-kultural yang sedang terjadi di masyarakat Ini adalah suatu tahap baru - yang belum pernah terjadi sebelumnya- di mana diperlukan kepe- kaan menangkap aspirasi, keterbukaan terhadap hal-hal baru yang tidak bertentangan dengan aqidah Islam, langkah-langkah terobo- san agar organisasi tidak terkungkung dalam status quo, keberanian menggumuli perkembangan sosial-kultural secara-kritis dan.lain- lain yang bersifat kepeloporan. Langkah-langkah yang demikian hanya dapat dilakukan kalau NU tetap konsisten pada Khittah. Langkah-langkah itu memang tidak populer. bahkan cenderung mendapat perlawanan atau kri- tikan. Sementara golongan Islam mengambil langkah-langkah itu untuk memperoleh simpati umat; seperti menjalin hubungan dekat dengan kekuasaan, melancarkan manuver politik agar Islam dikata- kan dan berjasa menentukan perkembangan (kita ingat "Doa Poli- tik" yang diprakarsai oleh mantan Menag Alamsyah Ratuprawirane- · gara), ada yang asik mempopulerkan Islam sebagai altematif dian- tara sistem kapitalisme dan komunisme, dan sebagian lain sudah puas bila berhasil menyatakan identitas lahiriah Islam (busana mus lim, arabisasi istilah) dan lain-lain. NU lebih menyukai langkah-langkah yang tidak populer tetapi yang bersifat konsepsional: memikirkan masalah pembangunan dan teologi, realitas yang sedang dihadapi umat Islam, mengkaji ulang wawasan Islam, pengembangan hukum Islam, dan sebagai- nya, dengan tetap mengacu pada sumber sumber klasik dan pemi- kiran sebelumnya. Saya melihat langkah-langkah demikian lebih menguntungkan bagi NU di masa depan. Karena kita sekarang se- dang berpacu dengan proses transformasi sosial-kultural yang akan semakin rumit akibat globalisasi. Bagaimana para ulama membina umat kalau tidak mepersiapkan diri sebaik-baiknya? Dalam hal ini saya ingin menyinggung tantangan serius yang akan dihadapi NU. Pertama, sebagaimana kita ketahui bahwa basis NU terletak di pedesaan. Seiring dengan derap maju pembangun- an, kecenderungan yang kita hadapi adalah semakin banyak pendu- duk yang tinggal di perkotaan. Konsekuensinya pola pikir agraris akan bergeser ke arah pola pikir industri, ikatan emosional antara ulama dengan umat akan berubah cenderung kepada rasional. Se- mentara itu karena masih banyak bagian terbesar dari corak wila- yah, maka upaya peningkatan kehidupan sosial ekonomi harus pula dipacu. Sebenarnya itulah yang hendak dipacu dengan pengadaan BPR, untuk menyebutkan salah satu upaya NU. Sudah barang tentu juga pendidikan di pesantren harus mendapat perhatian serius; ke- majuan tranportasi dan komunikasi (khususnya elektronik) dengan cepat akan mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Kedua, proses tranformasi sosial-kultural pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan ulama-umat; artinya ulama tidak boleh hanya mengandalkan ikatan tradisional saja. Makin dibutuhkan ula- ma yang berwawasan luas dan kritis agar mampu menjadijuru bica- ra umat dan mampu mengkomunikasikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat luas yang pluralistik. NU membutuhkan lebih banyak lagi ulama yang berwawasan luas dan kritis untuk menapak masa depan yang penuh gejolak. Kembali ke Khittah 26, penerimaan asas Pancasila, dan ke- luarnya NU dari PPP, bagian yang tidak terpisahkan dari komitmen kebangsaan NU. untuk itu ia tidak cukup hanya dengan mening- galkan panggung politik, tetapi juga harus terus mengembangkan kemandirian. Hal ini sebenarnya dihadapi oleh organaisasi lainnya, keagamaan maupun non keagamaan. Karena tatanan politik kita sudah menempatkan pemerintah berada dalam posisi dominan se- hingga rajin untuk "membantu" ormas-ormas menyelesaikan perso alan mereka. Untuk itu diperlukan konsolidasi ke dalam agar selalu utuh dan terpadu. Ia harus mampu menjaga jarak dengan penguasa agar da- pat menjalankan komitmen kebangsaan. Karena komitmen ke- bangsaan berarti bahwa NU memahami adalah bagian dari tang- gungjawabnya untuk turut mengembangkan kehidupan yang sejah- tera di dalam semangat persatuan bangsa. Kalau NU dan tokoh-to- kohnya mengambil sikap kritis (vokal) menanggapi berbagai per- kembangan, terbuka terhadap aspirasi (keadilan, demokrasi), ada- lah bagian dari komitmen kebangsaan. Justru karena ia telah me- ninggalkan panggung politik, maka NU mampu melakukan hal ter- sebut NU memang sering tampil fleksibel tetapi mengenai masa- lah keagamaan akan radikal (dalam arti tidak sloganis tetapi akan meninjau sedalam dalamnya) yang ditetapkan tidak sewenang-we- nang karena lebih dahulu dirujuk dengan tradisi. Karena itu sikap kritisnya bukanlah suatu hal baru dan bukan ikut-ikutan melainkan bersesuaian dengan watak NU sebagai organisasi ulama yang ber- akar pada umat Tampaknya tidak mudah bagi NU menjalankan komitmen ke- bangsaan paska-khittah. Adalah lebih mudah berjuang untuk ke- pentingan kelompok atau golongan sendiri terlebih bagi umat Is- lam yang terjebak ke dalam mayoritas-kompleks, merasa patut men- dapat perlakuan khusus dikarenakan jumlahnya mayoritas (walau- pun kenyataan mayoritas jumlah tidak pernah terwujud menjadi mayoritas politik; dalam arti mayoritas jumlah itu tidak menjadi acu- an penentu kebijakan politik negara, karena Pancasila merupakan konsensus nasional). Itu sebabnya ketika NU ingin mengadakan Rapat Akbar dua tahun lalu, banyak kalangan menanggapi sinis. Buat apa mengadakan Rapat Akbar kalau itu pernah dilakukan pa- da tahun 1966 adalah untuk membubarkan PKI dan menyatukan umat Islam, kalau sekarang untuk apa, demikian kira-kira komentar sementara orang? pemrakarsa rapat, Gus Dur. merasa perlu meng- adakan Rapat Akbar, karena NU mengamati masih kuat tendensi sektarianisme dan eksklusifisme di masyarakat.6 Melalui rapat itu NU mau menegaskan kepada semua pihak ko- mitmen kebangsaannya. Ia ingin menciptakan momentum politis, bahwa sekarang umat Islam khususnya NU telah memasuki era ba- ru, masa mengamalkan nilai-nilai Islam dalam konteks persatuan dan kesatuan bangsa serta tranformasi sosial-kultural. NU ingin me negaskan kemandiriannya agar dapat menjalankan peranannya se- cara bebas, kritis, dan integralistik. NU menyadari setelah mening- galkan panggung politik tantangan belum tentu makin ringan, se- bab kekuatan di luar NU akan selalu berusaha menarik NU men-ja- di kekuatan pendukung pencapai tujuan atau diperlukan sebagai pemberi legitimasi kegiatan yang pada gilirannya akan memperalat Seluruh kekuatan Islam untuk kepentingan politik. Karena komit- men NU ditujukan pada bangsa dan negara sekarang adalah upaya final kaum muslimin, maka ia ingin menjadi subyek melaksanakan komitmennya -tercapainya tujuan Islam ahlusunnah waljamaah dalam konteks negara Indonesia sebagaimana digariskan di dalam Muktamar ke-28 tahun 1989: Landasan pembinaan dan pengembangan Nahdlatul Ulama mencer- minkan ke-Indonesia-an dalam berkiprah menjalankan fungsi Ketuhan- an nya. Landasan landasan tersebut terjabarkan sebagai berikut: a Aqidah. Aqidah yang melandasi pembinaan dan perjuangan Jamiyah Nah- dlatul Ulama dalam melaksanakan fungsi Ketuhanan adalah Islam Ahlus sunnah walJamah. b. Landasan Kenegaraan. Pemahaman dan penghayatan terhadap aqidah Islam Ahlusunnah wal Jamaah melahirkan tanggungjawab dan komitmen kebangsaan Nah- dlatul Ulama yang menyatakan pejuangan mewujudkan Negara Repu- blik Indonesia yang bercirikan baldatun thayibatun warobbun ghafur ber- Landaskan Pancasila dan UUD 1945.7 Komitmen kebangsaan tidak hanya sekadar menjadi kekuatan politik yang berkiprah untuk diri sendiri atau hanya menjadi pen- dukung kebijakan pemerintah. Komitmen kebangsaan NU meru- pakan concern terhadap kehidupan bangsa agar nilai-nilai keagama- an tetap menjadi acuan kehidupan bangsa. Sikap sinis terhadap pelaksanaan Rapat Akbar, serangan terha- dap kiprah Gus Dur, pertanda komitmen kebangsaan NU masih kurang- dipahami oleh kalangan dalam dan luar NU. Sehubungan dengan komitmen kebangsaan, beberapa hal pen- ting harus dilakukan oleh NU. Pertama, komitmen kebangsaan me- merlukan penjabaran yang jelas dan rinci agar dapat dilaksanakan secara operasional oleh Pengurus NU. Selama ini komitmen ke- bangsaan saya lihat dilakukan oleh Ketua Umum, Gus Dur, secara individual. Akibatnya ia sering dicap terlalu maju, kontroversial, aneh-aneh dan semau gue. Kedua, perlu terus menerus dilakukan upaya penyadaran agar komitmen kebangsaan dipahami oleh war- ga NU. Ketiga, komitmen kebangsaan menuntut kepekaan terha- dap berbagai masalah yang muncul di masyarakat seiring proses transformasi sosial-kultural. Keempat, komitmen kebangsaan me- merlukan komunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat yang akan memperluas wawasan pejuangan NU dan memperkuat jalin- an persatuan dan kesatuan negara. IV Hampir sepuluh tahun sejak NU mencanangkan kembali kepada Khittah 1926. Suatu keputusan yang tidak mudah yang di- ambil setelah menempuh perjalanan panjang, sukar dan mele- lahkan, ternyata tidak mudah untuk melaksanakan secara konse- kuen. Karena masih ada godaan untuk kembali memasuki pang- gung politik dan kuatnya arus yang ingin menggunakan NU se- bagai kekuatan politik bagi kepentingan kekuatan tertentu. Dengan kembali kepada Khittah dan dijabarkan lebih lanjut da- lam komirmen kebangsaan terlihat bahwa NU mampu mengem- bangkan diri walaupun banyak tantangan dihadapi. Sementarn se- bagian golongan sibuk dalun pcrmainan politik tetapi NU mampu menjaga jarak dan dengan demikian berkiprab secara kritis se- hingga mampu berbicara tentang demokrasi, hak asasi, keadilan, dan lain-lain aspirasi yang berkembang dalam proses pembangun- an bangsa. Hal-hal tersebut tidak mungkin diabaikan dalam pem- bangunan bangsa. Di sini NU telah menjalankan peranan dan ke- peloparan menuju tatanan politik yang lebih demokratis dan adil. Tahun 1994 ini NU Kembali akan melangsungkan Muktamar- nya. pergumulan NU selama ini dalam kerangka kembali kepada Khittah akan diuji kembali. Apakah NU mampu mempertahankan kemandiriannya atau larut dalam "permainan politik" yang diperki- rakan akan semakin menghangat? Mtlktamar 1994 akan merupa- kan Muktamar terakhir dalam PJP I dan menjadi persiapan me- masuki PJP II. Oleh karena itu aspirasi demokrasi, hak asasi manu- Sia dan keadilan yang telah menjadi keprihatinan NU selama ini akan semakin penting. Komitmen kebangsaan NU tampaknya per- lu terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan kehidupan bangsa dan negara. ____________________________________________________________________ ____________________________________________________________________ 1. Lihat, Einar M. Sitompul, NU dan Pancasila. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989,h. 168186. 2. Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta, Erlangga, 1992, h. 185. 3. Rumusan selengkapnya lihat, Ibid, h. 187-8. 4. Abdurrahman Wahid, "Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama: Reorientasi Wa- wasan Politik" dalam Muhammadiyah dan NU, editor Yunahar Ilyas, dkk., (Yogya- karta: LPPI UMY, 1993), h. 91. 5. Tempo, 2 Februari 1992 6. Tempo, 29 Februari 1992 7. Marijan, op. cit., h. 255.