KONJUNGTUR SOSIAL POLITIK DI JAGAT NU PASKA KHITTAH 26: Pergulatan NU Dekade 90-an.*) Martin van Bruinessen URAIAN di bawah ini dimulai dengan melihat perubahan yang terjadi selama dasawarsa delapan puluhan di tubuh NU. Perubahan apa yang terjadi sejak Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi ke- tua umum Tanfidziyah NU? Apakah perubahan itu terjadi karena faktor Gus Dur atau sebagai suatu gejala umum yang terjadi di ma- syarakat? Pertama-tama saya cenderung untuk tidak terlalu meng- anggap penting figur. Figur muncul dalam situasi tertentu kalau di- perlukan. Sebagus apapun pemikiran seorang figur, jika tidak sesuai dengan situasi sosial politik tertentu, maka tidak akan muncul figur itu. Kerangka pemahaman seperti ini akan saya gunakan dalam membicarakan NU dan Gus Dur. Gus Dur muncul dalam pentas nasional sebagai tokoh yang menonjol di masyarakat Indonesia se- lama dasawarsa delapan puluhan bukan karena pemikiran Gus Dur yang menjadi polemik di mana-mana, tetapi juga karena atmosfer politik membutuhkan orang seperti dia. Perubahan penting dalam tubuh NU sejak tahun 1980-an me- mang cukup banyak. Pertama, perubahan sikap politik yang jauh le- bih lunak terhadap pemerintah. Lalu perubahan secara formal dan konsepsional, keterkaitan NU dengan partai politik, dari politik per- juangan untuk mendapatkan 'jatah' dari atas dalam bentuk kursi parlemen, kepada kebijaksanaan yang lebih eksplisit menyuarakan kebutuhan lapisan masyarakat bawah yang sebagian besar merupa- kan warga NU. Perubahan politik seperti ini mendasar bagi NU yang sudah lama bergumul dengan politik praktis sejak masa Soe- karno yang relatif berhasil. Perjuangan politik manifestasinya adalah bersaing untuk mendapatkan sesuatu dari pemerintah: jabatan, fasi- litas, tender dan apa saja yang memiliki makna strategis dan taktis dalam proses-proses politik. Masa Soekarno, NU memang tidak kalah dalam permainan politik praktis dibanding Masyumi misal- nya. Masyumi, yang memiliki prinsip-prinsip politik dan pemikiran strategis, melakukan kritik yang tajam dan radikal kepada kebijakan Soekarno. Sedangkan NU, dengan sikapnya yang lunak, selalu me- nyesuaikan diri dengan kehendak Sukarno. Itu sebabnya, NU sela- lu mendapat jatah terus menerus. Departemen Agama dan pega- wai-pegawai Depag di semua jajaran diisi orang NU. Juga jatah ten- der untuk pemborong NU, kapling tanah di Kalimantan. Tetapi da- lam kekuasaan politik, yang mempengaruhi kebijakan pengambil- an keputusan, NU tidak banyak mendapat posisi. Hal-hal yang sifat- nya material dan peluang lapangan kerja NU dapat banyak. Atmosfer politik yang seperti itu berubah dengan munculnya Orde Baru. Semua kelompok Islam -termasuk NU, yang semula menaruh optimisme untuk diikutkan dan akan mendapat jatah le- bih banyak dalam pemerintahan Orde Baru karena jasa-jasanya da- lam menumpas PKI pada tahun 1965. Optimisme itu ternyata tak terwujud. Orde Baru tidak bersedia memberikan peran yang lebih penting untuk kelompok Islam. Perlakuan itu jelas membuat ke- lompok Islam merasa dikecewakan. Orang-orang Masyumi tetap di- curigai karena keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI pada jaman Soekarno. Tokoh-tokohnya tidak boleh menjadi pemimpin Parmusi, partai politik baru yang didirikan untuk mengganti Masyu- mi. Nasib yang sama dialami orang-orang NU. Sebagian politisi NU yang dekat dengan Soekarno pada masa demokrasi terpimpin, sedi- kit demi sedikit mundur dan munculah Subchan ZE. Orang NU yang gigih melawan demokrasi terpimpin ini memiliki peranan cu- kup penting dalam menggerakkan demonstrasi-demonstrasi maha- siswa. Subchan pun tidak diberi peran sesuai harapan kalangan NU. Muktamar Situbondo dan Latar Belakang Kesejarahan NU Ada dua hal yang diharapkan dari Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Pertama, tersusunnya PBNU pembaharuan yang bisa membawa angin segar. Kedua, menerima beberapa keputusan pen- ting yaitu menerima Pancasila sebagai asas tunggal yang dituntut oleh pemerintah. Ketiga, menerima konsepsi tentang garis per- juangan NU. Tiga point itu sudah dimatangkan sebelum muktamar berlangsung. Rapat rahasia menjelang Muktamar Situbondo antara Gus Dur dan kawan-kawan yang tergabung dalam tim tujuh di satu pihak de- ngan Kiai As'ad bersama orang-orang Kiai Idham Khalid mengha- silkan persetujuan tentang komposisi PBNU meliputi orang-orang Kiai As'ad, orang-orang Kiai Idham dan tim tujuh ini. Jalannya pe milihan PBNU itu sendiri karena masih banyak konflik tidak berani mengadakan pemilihan dengan cara yang demokratis. Pemilihan pengurus diusulkan dengan cara yang "islami" melalui ahlul halli wal aqdi. Istilah ini untuk sebagian besar masyarakat Indonesia waktu itu mungkin masih asing, tetapi sistem ini sesungguhnya tak jauh ber- beda dengan sistem formatur. Dengan sistem ahlul halli wal aqdi Kiai As'ad terpilih sebagai sesepuh NU, yang kemudian memilih bebe- rapa kiai lainnya sebagai formatur. Formatur ini memilih pengurus yang ternyata tidak sesuai dengan yang dibicarakan dalam rapat ra- hasia sebelumnya. Sebagian orang-orang Kiai Idham dicoret Kom- posisi kepengurusan didominasi orang-orangnya Kiai Achmad Sid- dig dan teman-teman Gus Dur. Beberapa orang yang dipilih oleh Kiai As'ad dan orang-orangnya Idham Khalid digusur. Kiai Alie Ya- fie misalnya, tidak mendapat tempat. Keputusan Muktamar Sitobondo lainnya adalah kembali ke Khittah 26, tetapi realitas yang terjadi di masyarakat NU tidak semua setuju dengan apa yang dimaksudkan. Ada yang mengartikan kem- bali ke Khittah 26 itu NU keluar dari politik, menjadi jam'iyyah dini- yah saja. Sebagian lagi merasa, maksud kembali ke Khittah 26 itu yang utama tidak lain adalah mengembalikan organisasi kepada pa- ra ulama, supaya yang menentukan policy di PBNU itu Syuriyah bu- kan Tanfidziyah. Sebagian lagi mengartikan bahwa khittah 26 itu berarti NU masih tetap berpolitik. Tiga persepsi ini mengalami tarik menarik yang memunculkan gejolak. Konflik paling menonjol yang mewarnai NU setelah kembali ke khittah 26 menjelang pemilu tahun 1987. Beberapa tokoh NU, ter- masuk Gus Dur sangat aktif menggembosi PPP. Sementara sebagi- an orang NU yang lain melihat, bahwa NU menjadi besar karena keterlibatannya dengan politik. Kalau NU tidak berpolitik, begitu kira-kira persepsi mereka, akan kehilangan jati dirinya dan untuk itu mereka mati-matian bertahan di PPP. Pandangan seperti itu di- pegang oleh Imron Rosyadi, KH Syansuri Badawi, seorang- ulama pesantren yang aktif di PPP bahkan berpendapat karena perjuang- an politiklah yang membawa massa besar kepada NU. Melalui Muktamar Situbondo, NU merupakan ormas Islam ter- besar yang pertama menerima asas tunggal.1 Pemerintah berterima kasih, seketika itu juga sikap pemerintah kemudian berubah, meng- anggap NU tidak oposan lagi. Perubahan sikap pemerintah ini ten- tu saja disambut gembira oleh massa NU yang berada di daerah. Pe- ngusaha NU mulai mendapatkan tender lagi, dan secara ekonomi mendapat kemajuan yang sangat bisa dirasakan. PBNU yang baru itu betul-betul membawa perubahan iklim kebijakan pemerintah yang nuansanya sangat dirasakan oleh aktivis NU di daerah. Tetapi sayangnya, dalam tubuh intern NU sendiri kepengurusan yang baru itu tidak bisa memenuhi harapan, khususnya dalam menjalankan program kerjanya. Tidak terlalu lama setelah Muktamar, muncul konflik antara Gus Dur dengan sekjennya, Anwar Nurris, sehingga dalam periode 1984-1989 ini, PBNU dalam keadaan tidak bisa be- kerja karena konflik itu kemudian menjadi permusuhan yang ter- buka. Selama Orde Baru, NU memang organisasi yang tidak pernah sepi dengan konflik. Kalau tidak karena konflik intern, konflik itu terjadi dengan pembuat kebijakan di negeri ini. Jauh sebelum Muk- tamar Situbondo, tahun 1984. Hubungan NU dengan pemerintah diwarnai iklim yang tidak harmonis. Yang paling terasa dan kon- frontatif adalah peristiwa walk out dari SU MPR, ketika sedang mem- bahas Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, serta be- berapa sikap politik NU sebelumnya yang membuat pemerintah marah. Presiden Soeharto, dalam satu ceramah tanpa teks di Rapim ABRI di Palembang, mengekpresikan satu kemarahan melihat masih ada golongan yang tidak menerima Pancasila sebagai ideo- logi negara, masih ada golongan yang tetap bersikukuh dengan ideologi-ideologi nasionalis, Islam, Kristen dan ideologi-ideologi lain semua disebut. Terhadap golongan yang tetap dengan ideologinya itu Soeharto memberi predikat sebagai golongan yang anti Panca- sila. Kepada tentara, ia menandaskan kemungkinan untuk menum- pas golongan yang anti Pancasila ini. Tidak lama setelah pidato itu berkembang satu ide yang kemudian diteruskan dalam bentuk ke- bijakan memberlakukan Pancasila sebagai ideologi negara untuk se- mua golongan. Manifestasi pertama dari kebijakan itu adalah bah- wa setiap partai dan ormas harus menanggalkan asas-asas lain yang selama ini dipegang dan diganti Pancasila sebagai satu-satunya asas. Parpol dan Ormas yang tidak mau melepaskan ideologi golongan- nya, tidak diperbolehkan eksis di negeri ini. Contoh yang paling nyata yang menjadi korban dari kebijakan ini adalah PII (Pelajar Is lam Indonesia) yang tetap bersikukuh mempertahankan asas Islam- nya. Sejak pidato Presiden Soeharto di depan Rapim ABRI itu, di mana-mana masyarakat gelisah. Reaksi banyak muncul di mana-ma- na menentang pengasastunggalan ini. Golongan Islamlah yang nam- pak paling reaksioner menyikapi kebijakan pemberlakuan asas tunggal ini. Sebagai asas ormas, golongan Islam tidak keberatan, te- tapi jika harus dijadikan sebagai asas tunggal, mereka tidak mau me- nerima. Reaksi keras ini berlangsung selama kurang lebih dua ta- hun. Demikian kerasnya reaksi dari kalangan Islam, sehingga di- pandang oleh pemerintah sebagai menentang Pancasila. Suara vo- kal bernada menentang nyaring di mana-mana. Di kampus-kam- pus, masjdi-masjid, para mubalig, dengan nada keras menentang kebijakan ini, sampai akhirnya meletus peristiwa berdarah Tanjung Priok. Di tengah kondisi yang demikian krisis, kegelisahan dirasakan di mana-mana ini, tokoh-tokoh NU berperan menentramkan kegeli- sahan masyarakat. Pertama, Kiai As'ad Syamsul Arifin mengeluar- kan satu tesis penting bahwa Pancasila itu sama dengan Tauhid ka- rena sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh kare- na itu, bagi umat Islam wajib hukumnya menerima Pancasila. Sejak memunculkan fatwa tentang tesis Pancasila adalah tauhid, pamor Kiai As'ad melonjak dalam pelataran peta politik di Indonesia. Dari kiai daerah yang semula tidak begitu banyak dikenal, berkat liputan pers, Kiai As'ad dikenal masyarakat luas. Beberapa kali pertemuan- nya dengan Presiden Soeharto, ia mendapat liputan yang sangat be- sar. Seorang ulama lain dari Jawa Timur yang sudah lama merumus- kan konsepsi khittah 26 NU, Kiai Achmad Siddiq, menemukan ru- musan yang bisa memuaskan pemerintah dan para kiai. Dulu, de- mikian formulasi konsep Kiai Achmad Siddiq, kita berasaskan Islam dan menerima Pancasila. Sekarang berasaskan Pancasila saja tetapi aqidahnya Islam. Menurut saya, konsepsi Kiai Achmad Siddiq ini berhasil secara diam-diam mengubah makna asas Pancasila tetapi tetap tidak mengubah komitmen agamanya Menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dan menempatkan Islam yang berdasar- kan Aswaja sebagai aqidahnya. Jelas dari konsepsi seperti itu tidak ada yang berubah dan secara teologis tidak bertentangan dengan ajaran agama. Sebagaimana fatwa Kiai As'ad, runusan Kiai Achmad Siddiq ini- pun dengan cepat meluas dan publik tampaknya tidak keberatan. Umat NU di kalangan bawah merasa lega, karena dengan muncul- nya konsepsi Kiai Achmad Siddiq ini merupakan isyarat bahwa tidak akan ada konfrontasi dengan pemerintah lagi. Hal yang sama juga tampak ditunjukkan oleh pemerintah, formulasi Kiai Achmad Sid- diq ini, merupakan legitimasi yang bisa menjadi preseden kalau go- longan Islam akan menerima kebijakan asas tunggalnya. Formulasi pemikiran gemilang Kiai Achmad Siddiq ini saya kira merupakan faktor penting yang mengantarkan dirinya naik menjadi Rois Aam pada Muktamar 1984 di Situbondo. Muktamar Situbondo merupakan Muktamar yang penuh kom- promi guna membebaskan NU dari berbagai konflik. Pertama, da- lam hubungan dengan negara, NU bisa menyelesaikan satu masa- lah yang cukup pelik dalam masalah asas tunggal. Di sini, NU bisa menyelesaikan secara gemilang masalah yang bagi organisasi lain merupakan suatu yang krusial. Tetapi NU, dengan berdasarkan for- mulasi teologis yang bisa diterima semua pihak tanpa mengorban- kan aqidah Islamnya. Dan bagi pemerintah, melihat NU yang me- nerima asas tunggal tanpa masalah yang serius dengan sendirinya memberi angin segar atas hubungan NU dengan pemerintah yang sebelumnya tampak oposan. Organisasi yang selama ini banyak me- lontarkan kritik tetapi kemudian tampil sebagai ormas Islam perta- ma yang menerima asas tunggal. Kedua, pada sisi internal NU sendiri, Muktamar Situbondo me- rupakan babak baru setelah sebelumnya dilanda konflik berkepan- jangan di tubuh NU sendiri. Empat tahun sebelumnya, sejak wafat- nya Kiai Bisri Syansuri sampai Muktamar Situbondo, konflik inter- nal cukup seru. Tahun 1982 misalnya, Kiai As'ad dengan beberapa kiai sepuh lainnya ke Jakarta menemui Kiai Idham Chalid meminta agar ia mundur dari jabatan Ketua Umum Tanfidziyah.2 Alasan yang dikemukakan adalah karena kesehatan Idham Chalid yang waktu itu sering sakit sakitan. Tetapi di balik itu terdapat banyak se- kali alasan. Ada alasan politis, alasan ekonomis (seperti tender yang sebelumnya mengalir tetapi karena NU kritis terhadap pemerintah, tender itu jadi tidak mengalir lagi). Kiai As'ad dan kawan-kawan me- maksa Idham Khalid untuk menandatangani surat pengunduran diri. Desakan para Kiai itu diterima dengan ditanda-tanganinya surat pengunduran dirinya. Tetapi tidak selang berapa lama Idham Cha- lid, karena desakan orang-orang dekatnya, mencabut kembali surat pengunduran diri itu. Orang-orang Idham Chalid yang umumnya politisi, keberatan dengan 'kudeta' itu. Dan kemudian merebaklah konflik yang dikenal oleh sementara orang sebagai konflik antara kubu politisi NU yang basisnya di Jakarta dan luar Jawa, serta Jawa Timur sendiri dengan beberapa kiai pesantren yang vokal terhadap Idham Chalid. Di sisi lain, Muktamar Situbondo juga bisa dianggap sebagai re- fleksi NU atas konflik yang melanda para politisi NU menjelang pe- milu 1982. Politisi senior NU, Yusuf Hasyim dan kawan-kawan tidak mendapat tempat sebagai calon jadi dalam daftar calon legislatif. Oleh Naro dirinya ditempatkan pada urutan paling bawah sehing- ga tidak masuk nominasi calon jadi. Para politisi NU ini marah ke- pada Idham Khalid, karena dalam kedudukannya sebagai wakil ke- tua PPP, menerima begitu saja. Politisi NU yang "dikerjain" Naro itu kemudian sepakat untuk meninggalkan PPP. Bagi mereka, apa gu- nanya tinggal di PPP. "Kita buktikan tanpa NU, PPP itu tidak ada apa-apanya", begitu ikrarnya. Pada masa-masa NU yang dilanda konflik yang berkepanjangan itu, Gus Dur sesungguhnya sudah mulai main dalam perca- turan elit NU. Sejak pulang ke Indonesia. 1971, ia mula-mula aktif di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Kemudian oleh Dawam Rahardjo diundang ke Jakarta untuk aktif di LP3ES. Namanya mu- lai muncul di media massa ketika ia mulai menulis kolom di Tempo dan Kompas. Ia rajin menjalin hubungan dengan kalangan yang sa- ngat luas, dengan cendekiawan-cendekiawan dari berbagai latar be- lakang yang beragam. Tahun 1979 dia dipilih menjadi wakil katib Syuriyah, suatu kedududan yang tidak begitu penting di PBNU. Begitu mencuat konflik antara Kiai As'ad dengan Idham Cha- lid, Gus Dur bersama beberapa tokoh muda lainnya. seperti Fahmi D. Saifuddin, Mustofa Bisri, Muhammad Thahir, mulai bermain da- lam peta konflik tersebut. Gus Dur mencoba mempersatukan kem- bali NU, tetapi dengan upayanya itu ia sendiri 'naik daun' di NU. Keberhasilan pertama tampak pada Munas NU di Kaliurang, 1981. Munas yang salah satu agendanya mencari pengganti Kiai Bisri, su- dah sarat dengan konflik, namun belum memungkinkan untuk munculnya seorang tokoh yang mewakili garis baru. Waktu itu, tam- paknya sudah ada rencana untuk memunculkan Kiai Achmad Sid- diq, tetapi belum matang. Lagi pula dukungannya belum begitu kuat. Munas akhirnya memilih Kiai Ali Maksum sebagai Rois Aam. Hubungan Gus Dur, Mustofa Bisri dan Fahmi dengan Rois Aam ter- pilih ini cukup dekat. Mereka pernah jadi santrinnya sehingga tahu persis bahwa Kiai Ali Maksum tidak berambisi menjadi Rois Aam se- umur hidup. Kondisi NU yang penuh konflik, memang membu- tuhkan seorang yang bisa memegang NU. Kiai Ali Maksum terpilih dengan mulus, dan yang memuluskan jalan bagi Kiai Ali adalah Kiai Achmad Siddiq. Ketika suasana penuh keragu-raguan untuk men- cari figur yang tepat untuk Rois Aam, Kiai Ahmad Siddiq menge- mukakan pandangannya. "Menurut saya yang paling pantas men- duduki jabatan Rois Aam itu Kiai Ali Maksum". Peserta lainnya sepa- kat. Tetapi sesungguhnya hal itu merupakan hasil dari proses lobi- lobi yang dilakukan oleh Gus Dur dan kawan-kawan. Segala ketram- pilan memainkan hubungan lobi-lobi dilakukan. Setelah berhasil memainkan peran pada Munas Kaliurang, kelompok empat ini ber- tambah dengan masuknya tiga orang. Belakangan kelompok dike- nal dengan sebutan kelompok tujuh, kelompok yang bekerja keras mempersiapkan ide-ide baru untuk dibawa pada Muktamar Situ- bondo pada tahun 1984. Dalam satu seri diskusi yang dilakukan oleh kelompok tujuh ini, mereka merumuskan tentang apa sebe- narnya garis perjuangan atau Khittah NU 1926 yang diterjemahkan dalam bahasa masa kini. Garis perjuangan yang dulu menjadi pemi- kiran para pendiri NU. Materi ini dipersiapkan secara masak dan berhasil digoalkan pada Muktamar Situbondo. Sementara itu, ketika Muktamar tinggal beberapa bulan lagi, Gus Dur membuat manuver yang mengherankan banyak orang. Ti- dak beberapa lama setelah peristiwa Tanjung Priok Gus Dur meng- undang Jendral Benny Moerdani ke pesantren-pesantren. Alasan- nya biar Jendral Benny, yang waktu itu menjabat sebagai Pangab, mengenal pesantren sehingga tidak mencurigai orang-orang pe- santren. Begitu juga sebaliknya, orang pesantren biar mengenal Jen- dral Benny Moerdani. Upaya yanng dilakukan Gus Dur ini, meng- hasilkan saling- pengertian antara militer dengan para Kiai. Saling pengertian antara keduanya ditandai dengan adanya kunjungan- kunjungan Jendral Benny. Dan memang, setelah proses yang diupa- yakan Gus Dur ini, tercipta satu iklim yang harmonis di kalangan tentara terhadap pesantren. Kecurigaan-kecurigaan yang sebelum- nya kental, menjadi cair. Dalam hal ini, Gus Dur sesungguhnya tengah menciptakan jem- batan untuk terciptanya iklim yang bisa mengantarkan terciptanya rasa saling pengertian antara NU dengan pemerintah, yang sebe- lumnya diwarnai dengan saling curiga. NU merupakan salah satu ormas yang vokal mengkritik kebijakan Orde Baru yang tidak demokratis. Pada Pemilu 1971, pemilu pertama sejak Orde Baru, NU tampil se- bagai orpol yang konfrontatif berhadapan dengan Partai Pemerin- tah, Golkar. Pada pemilu ini, kekuatan NU ternyata naik diban- dingkan dengan hasil pemilu yang pertama tahun 1955. Pada tahun 1971-an ini, NU sebetulnya mulai mengakomodasi keinginan pemerintah tetapi kemudian bentrok lagi karena bebe- rapa kebijakan pemerintah tidak bisa disetujui ulama NU. Pertama masalah UU Perkawinan tahun 1974. Kedua, pada Sidang Umum MPR 1978 yang membahas masalah yang sangat peka mengenai dimasukannya aliran kepercayaan dalam GBHN. Upaya pemerin- tah itu ditentang sangat keras oleh Kiai Bisri, Rois Aam NU waktu itu. Ditambah masalah mata pelajaran PMP. NU menegaskan diri- nya tidak anti Pancasila, tetapi sangat terganggu dengan rumusan buku pelajaran PMP yang didalamnya mengatakan bahwa semua agama itu sama benarnya. Rumusan itu tidak bisa diterima para ula- ma. Dua masalah ini menjadi pemicu meletupnya konflik paling ke- ras yang pernah terjadi sepanjang perjalanan Orde Baru. Satu kasus lagi yang mencerminkan konflik NU-pemerintah, saat unsur NU di PPP melakukan walk out ketika pembahasan tentang P4. Melihat kembali latar belakang politik dasawarsa tujuh puluhan hingga paruh awal delapan puluhan, NU tampak menonjol sebagai golongan Islam yang paling vokal mengkritisi kebijakan pemerintah Orde Baru. Mengapa NU paling vokal? Pertanyaan ini mungkin bi- sa dijawab dengan mengaitkan karakter khas dari pribadi Rois Aam- nya. Rois Aam memiliki peranan cukup penting dalam menentu- kan sikap NU. Pada masa Soekarno misalnya, Rois Aamnya adalah KH Wahab Chasbullah. Kiai Wahab dalam menilai keputusan Soe- karno selalu dilihat dari segi manfaat dan madlaratnya. Memakai pendekatan kaidah fiqih, mencegah madlarat itu lebih diutamakan daripada 'memburu' manfaat. Berbeda dengan Kiai Wahab, Kiai Bisri ini lebih prinsipal dalam menilai sesuatu, meskipun sama-sama dilihat dari titik pijak ushul fiqh. Satu lagi yang membedakan, Kiai Wahab adalah politisi tulen yang sungguh-sungguh kagum kepada Soekarno. Dalam menyikapi kebijakan yang dibuat Soekarno, ia se- lalu menyetujui dengan alasan manfaatnya lebih hesar dibanding madlaratnya bagi umat. Sementara Kiai Bisri, dalam kapasitasnya se- bagai ulama ahli ushul fiqh, menilai kebijakan pemerintah Orde Baru itu tidak mempertimbangkan aspek manfaat dan madlarat. Penilaiannya dilandasi pemikiran yang lebih legalistik. Selama masa- lahnya bukan menyangkut masalah prinsip, Kiai Bisri bersikap sama longgarnya dengan Kiai Wahab. Tetapi bila sudah menyangkut masalah prinsip, maka ia tidak kenal kompromi. Selama Rois Aam dipegang KH Bisri, NU tampil sebagai go- longan Islam yang paling depan dalam mengkritik kebijakan peme- rintah Orde Baru. Nakamura, pemerhati NU dari Jepang, sampai berkesimpulan setelah melakukan pengamatan bahwa NU merupa- kan organisasi tradisional tetapi tingkat radikalitasnya tinggi. Dan di mata pemerintah, NU sudah dianggap sebagai kelompok oposisi. Oposisi tidak dikenal di Indonesia dan, sebagaimana sering ditan- daskan pemerintah, oposisi itu bertentangan dengan Pancasila. Da- ri sikap politik yang oposan itu, NU menerima akibat politis cukup berat Di mana-mana, secara sistematis, orang NU harus mundur dari jabatan-jabatan publik. Jabatan Menteri Agama misalnya, yang semula menjadi jatah NU, ditarik kembali. Tampillah Mukti Ali yang tugas utamanya seolah-olah untuk melakukan de-NU-nisasi. Benar tidaknya wallahu a'lam, tetapi yang jelas setelah itu Depag ti- dak dimonopoli NU lagi, tetapi banyak dari Muhammadiyah atau dari kelompok lain. Dampaknya sangat besar bagi NU. Misalnya, madrasah milik pesantren yang ijazahnya ingin diakui pemerintah harus menerima guru dari Depag. Banyak madrasah NU didrop gu- ru yang bukan orang NU untuk mata pelajaran umum. Tidak lama kemudian, upaya de-NU-nisasi ini berhasil memisahkan lapangan yang sudah lama akrab dan seolah-olah sudah menjadi jatah NU. Tender pembangunan, yang semula mengalir pada orang NU juga dihentikan. Begitu juga dalam masalah kursi legislatif, NU pun ti- dak lepas dari proses de-NU-nisasi. Jatah tender pembangunan yang semula disalurkan lewat NU sekarang lewat PPP. Proses peminggir- an ini terus berlangsung secara sistematis. Pemerintah mendrop be- berapa orangnya ke PPP. Mintareja, ketua umum PPP pertama yang dianggap kurang memuaskan memainkan de-NU-nisasi, di- ganti oleh Naro, yang kemudian memainkan peran sebagai kuda hitam yang memiliki kontrol langsung terhadap PPP. Posisi Idham Chalid berubah, berbeda ketika berada di puncak ia sangat lincah dan pintar mencari tender-tender pembangunan untuk orang- orang NU di daerah. Tetapi akibat fusi, Idham meskipun masih me- megang posisi penting di PPP, tetapi kran yang dulu mengucurkan tender bagi orang NU sepenuhnya di bawah kontrol Naro. Akibat- nya, fasilitas yang mengalir ke orang NU menjadi sedikit Belum lagi ditambah dengan kecurigaan-kecurigaan dari pemerintah dan mili- ter. Orang-orang NU di daerah betul-betul kesulitan, pemborong NU yang mendapatkan tender dari swasta misalnya, pihak pemberi kemudian diperingatkan oleh pemerintah dengan alasan bahwa NU oposan terhadap pemerintah. Secara ekonomis sikap prinsipil NU selama tahun 70-an sangat merugikan, tidak hanya bagi peng- usaha NU. Pesantren atau masjid yang berafiliasi ke NU pun tidak akan mcndapatkan bantuan jika mereka tidak masuk secara terang- terangan ke Golkar dan ikut menyukseskan kampanyenya. NU be- tul-betul dipojokkan, dikucilkan dan akumulasi dari semua itu NU mengalami kerugian yang cukup besar. Kondisi semacam ini secara perlahan-lahan mengendapkan kehendak di arus bawah untuk me- lakukan pendekatan dengan pemerintah. Warga NU di arus bawah ini merasakan kesulitan yang luar biasa dan menghendaki agar NU fidak terus menerus mengkritik pemerintah. Benih-benih keingin- an ini sesungguhnya sudah mulai merebak sejak tahun tujuh pu- luhan. Paska Muktamar Krapyak. Pada Muktamar Krapyak, Gus Dur setelah lima tahun meme- gang tampuk kepemimpinan Tanfidziyah masih mendapat keper- cayaan dari cabang-cabang NU. Boleh jadi karena ia rajin mengun- jungi cabang-cabang di daerah menjelang pelaksanaan Muktamar. Melalui prosedur yang lebih demokratis dibandingkan dengan muktamar sebelumnya, pada Muktamar 1989 ini, ia terpilih secara langsung tanpa ada persaingan sama sekali. Sementara Kiai Ach- mad Siddiq mendapat saingan cukup berat dari orang-orang yang mencalonkan Kiai Idham Chalid. Idham Chalid sendiri sebenarnya tidak bermaksud menggantikan posisi Kiai Achmad Siddiq, tetapi saya menduga ada cabang yang memberi sinyal-sinyal kepada Kiai Achmad Siddiq bahwa ia tidak begitu disenangi di seluruh cabang. Mengapa Idham Chalid muncul dalam bursa Rois Aam? Jawabnya adalah Kiai Idham Chalid itu tetap memiliki pendukung kuat di daerah. Tidak hanya dari luar Jawa, tapi juga dari Jawa Timur yang nota benenya daerahnya Kiai Achmad Siddiq. Ada satu hal yang menarik mengamati budaya dan kecende- rungan yang terjadi di dalam massa NU dan juga masyarakat Indo- nesia umumnya bahwa orang NU itu senang pemilihan, tetapi me- reka selalu memilih orang yang 'direstui' pemerintah. Salah satu alasan mengapa pada Muktamar 1989 Gus Dur mendapat dukung- an sangat kuat dalam Muktamar 1989 itu, barangkali karena orang NU merasa bahwa Gus Dur itu masih direstui pemerintah. Gus Dur terpilih, Kiai Achmad Siddiq juga terpilih dan kemu- dian mereka membentuk satu pengurus yang terdiri dari kawan- kawan yang bisa diajak kerjasama. Kali ini mereka memberi jatah pada orang-orang Idham Chalid yang paling menonjol di antara- nya adalah KH Ali Yafie yang menjadi wakil Rois Aam. Formasi ke- pengurusannya ini untuk menyiapkan aktivitas di bidang sosial. Seperti yang dilakukan tidak lama setelah Muktamar, Gus Dur meng- umumkan berdirinya BPR NU pertama di Indonesia atas kerjasa- ma dengan Bank Summa. Melalui kerjasama dengan Summa ini, selain NU mendapatkan modal pertama untuk perbankan, juga se- bagaimana tertuang dalam pejanjian bahwa Summa akan membe- rikan latihan kepada orang NU, sehingga dari proyek kerjasama ini, selain ada modal juga ada alih teknologi pengetahuan di bidang perbankan. Pernah berencana membuat kerjasama serupa dalam bidang lain, tetapi tidak terealisir. Dalam periode kepengurusan NU ini terjadi perubahan yang cukup penting yang mencerminkan pembangunan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia yang tonggaknya ditengarai antara lain de- gan berdirinya ICMI. Berdirinya ICMI merupakan peristiwa yang cukup penting, karena melalui organisasi cendekiawan ini, para pe- mimpin dan pemuka Islam banyak terlibat. Gus Dur merupakan pemimpin Islam paling menonjol yang sejak awal tidak mau berga- bung dengan ICMI.3 Sampai sekarang, saya kira dalam tubuh NU sendiri banyak orang yang masih belum faham mengapa dia meno- lak menjadi anggota ICMI. Dan ketidak ikutsertaan Gus Dur dalam ICMI ini membuat banyak orang NU mengambil posisi kritis pa- danya. Terutama bagi warga NU yang melihat ICMI pertama-per- tama sebagai wadah atau organisasi untuk emansipasi umat Islam yang meskipun kuantitasnya 88% dari populasi penduduk negeri ini tetapi tidak mempunyai peranan yang setara dalam bidang po- litik, ekonomi aau lapangan apa saja. Peranan yang bisa dimainkan umat Islam tidak sepadan dengan jumlahnya. Mayoritas dalam kuantitas tetapi minoritas dalam peran-peran strategis. Di tengah si- tuasi seperti itu, maka ICMI merupakan satu wadah untuk memper- juangkan peranan umat Islam yang lebih besar lagi sebagai sarana dalam memperjuangkan hal-hal penting untuk seluruh umat seper- ti perundang-undangan, misalnya, partisipasi dalam proses politik sampai jatah yang paling kasat: fasilitas dan dana. Gus Dur menen- tang cara pandang seperti ini. Tidak terlalu lama setelah ICMI be, diri, berdirilah Forum Demokrasi. Kelahirannya yang tidak terlalu lama setelah ICMI, sehingga orang banyak melihat sebagai mani- festasi dari anti-ICMI. Secara kebetulan pula yang mendirikan Fo- rum Demokrasi ini tak banyak orang Islamnya. Beberapa orang Is lam yang mulanya mau dilibatkan, mengundurkan diri sehingga praktis tinggal beberapa teman Islamnya saja yang masih aktif di Fo- rum Demokrasi ini. Selebihnya, dari agama lain dan tokoh-tokoh "sekuler". Dilihat dari basis pendukungnya, orang kadang secara kasar dan hitam putih menyebut ICMI itu semacam Neo-Masyumi sementara Forum Demokrasi itu Neo-PSI. Jelas pemilahan seperti ini terlalu me- nyederhanakan masalah dan bisa menyesatkan. Meskipun ia terlibat dalam Forum Demokrasi, sejak awal Gus Dur telah menandaskan bahwa dirinya tidak ingin mendirikan organisasi semacam partai atau organisasi yang besar. Forum Demokrasi tidak akan dijadikan organisasi besar tapi cukup seperti sekarang ini sebagai forum un- tuk bertemu, bertukar pikiran dan melontarkan konsepsi-konsepsi baru tentang demokrasi di Indonesia. Gus Dur menyadari bahwa demokrasi merupakan satu proses yang panjang dan tidak mungkin selesai dalam waktu dekat. Satu kebetulan orang yang mendirikan Forum Demokrasi itu adalah ketua ormas Islam yang bernama NU. NU, bagaimanapun juga merupakan organisasi Islam terbesar di negeri ini yang masih memiliki akar ke bawah di daerah pedesaan. Pada masa Soekarno, banyak ormas yang mempunyai akar sampai ke desa, tetapi setelah kebijakan massa mengambang, ketika partai politik dipotong jalur ke bawahnya, banyak organisasi bubar, sehingga yang masih kuat mengakar tinggal NU. Dalam hal ini NU bisa dianggap sebagai satu organisasi yang tak terorganisir secara sangat ketat. NU itu lebih merupakan satu ide daripada sesuatu yang nyata. NU dianggap mewakili 30 juta manusia, tetapi 30 juta manusia itu tidak pernah bertemu dan banyak yang mungkin tidak ikut aktif dalam aktivitas NU. Hanya secara emosional terlibat dalam NU. NU lain dari orga- nisasi yang lain. Organisasi ini tidak memiliki organisasi yang ketat dari atas ke bawah. Organisasi lainnya seperti Muhammadiyah,jauh lebih rapi dan dalam banyak hal lebih berhasil dalam program karena mereka mempunyai pengurus pengambil kebijakan dan keputusan yang ditaati di daerah. Sistem sekolah, pendidikan, ru- mah sakit semuanya diatur sangat rapi dan kalau ada perintah dari atas, perintah itu pasti sampai ke bawah. Sementara yang terjadi di NU tidak. Karena setiap kiai pesantren adalah "raja", maka tidak dapat menerima perintah lain begitu saja, termasuk dari PBNU. Dan hubungan yang terjadi antara PBNU dengan kiai-kiai itu ter- jadi melalui proses tawar menawar. Melihat proses interaksi PBNU dengan kiai-kiai ini, NU bisa menjadi model alternatif untuk masya- rakat Indonesia. Tidak ada peraturan dibuat dari atas, ini satu for- mulasi yang rumit memang, tetapi cukup demokratis. Dalam hal ini mungkin NU lebih merupakan bentuk nyata dari civil society (4 yang diimpikan, daripada ormas lainnya. Meskipun begitu, harus ditekankan di sini, kita jangan mengi- dealisasi NU sebagai model yang bagus untuk demokrasi. Hubung- an kiai-kiai dengan PBNU memang cukup demokratis, dalam arti kiai tidak bisa dipaksa menerima pengaruh -dan dalam banyak hal justru kiai yang banyak mempengaruhi- PBNU. Tetapi hubungan kiai dengan masyarakat di sekitarnya tidak punya hubungan yang demokratis. Di pesantren kiai itu raja, jadi kalau ada orang yang mengharapkan demokratisasi desa melalui pesantren itu suatu yang naif. LSM-LSM yang masuk pesantren, selama mereka dipandang berguna bagi kiai, berapapun jumlahnya boleh masuk. Tetapi ketika mereka mulai kritis dan mempertanyakan wibawa kiai, maka mere- ka harus berhenti. Jadi, demokrasi masih jauh dari pesantren. Lagi pula, posisi kiai dalam pesantren itu sebagai tokoh kharismatik, sementara kharisma dan demokrasi itu tidak bisa menyatu. Mes- kipun demikian, satu hal yang harus dikemukakan di sini adalah salah satu nilai yang menonjol yang kelihatan mencuat sekali dari pesantren adalah kemandirian. Ada semacam keharusan bagi kiai untuk mandiri, jangan sampai disuruh atau diperintah oleh pengurus PBNU atau pemerintah. Kemandirian, jelas merupakan satu pilar penting dalam civil society. Tadi saya berbicara bahwa demokrasi itu tidak ada dalam pe- santren. Tetapi ada satu fenomena menarik yang berkembang bela- kangan ini di mana para santri ada kehendak yang sangat kuat me- lakukan demokratisasi. Seperti tampak munculnya banyak pemikir- an-pemikiran tentang demokratisasi dari kalangan alumni pesan- tren, mahasiswa NU yang pernah nyantri. Pemikiran ini mendapat perlindungan dan legitimasi oleh Gus Dur. Kembali Kritis pada Negara? Setelah Muktamar Krapyak Yogyakarta, Gus Dur kelihatan mu- lai mengambil posisi kritis dengan pemerintah. Sikap kritisnya ini, menimbulkan persepsi di kalangan sementara orang dirinya dipe- ngaruhi dan didalangi Benny Moerdani. Persepsi semacam ini se- olah-olah bisa menjelaskan mengapa ia berbuat demikian pada saat Benny Moerdani semakin kritis terhadap Suharto. Benny Moerdani, jelas mendukung sikap kritis Gus Dur karena sikap kritis itu bi- sa mengganggu Soeharto juga. Di samping persepsi seperti itu, di kalangan orang ICMI, Gus Dur dianggap dekat dengan orang- orang Katolik. Jelas ini satu gambaran sederhana yang tidak benar. Gus Dur dekat Katolik, juga dengan agama lainnya. Tapi itu saya kira lebih dikarenakan dimensi humanismenya Gus Dur. Sebagai seorang humanis, ia memang sangat prihatin dengan munculnya konflik besar di Indonesia apalagi konflik antar umat. Konflik antar umat ini memang bahaya yang nyata, bukan khayali di negeri ini. Sebagai orang yang selalu menekankan toleransi antar agama, satu hal yang paling ditentang adalah kecenderungan menghadapi umat lain seperti tercermin pada kasus Monitor. Sikap yang ditun- jukkan Gus Dur pada peristiwa Monitor ini membuat orang banyak marah. Banyak pemimpin Islam yang marah ikut arus massa. Dan di kalangan Islam, hanya Gus Dur yang kritis terhadap umatnya sen- diri. Sebagai Muslim, ia memang tersinggung dengan apa yang di- ekspose oleh Monitor, tapi kemarahannya tidak membuatnya kehi- langan daya kritisnya. Ia menulis, "sebagai orang Islam saya mena- ngis. Mana Islam yang saya cintai, mana Islam yang berarti cinta terhadap sesama manusia. Kemana pada kasus Monitor ini ditun- jukkan, Islam yang tidak membenci. Hati saya sebagai muslim me- nangis melihat peristiwa itu." ________________________________________________________________ ________________________________________________________________ +)Disusun dari transkripsi wawancara-Editor. 1. Dari sudut pemerintah, NU sebagai ormas Islam terbesar menerima kebijakan asas tunggal merupakan angin segar untuk ormas-ormas keagamaan yang lain. Terbukti kemudian, ormas-ormas lain satu demi satu menerima asas tunggal ini. Penerimaan itu bukan tanpa reaksi, karena penerimaan asas tunggal ini NU oleh kalangan tertentu dipandang sebagai oportunis dan akomodasionis terhadap kebijakan pemerintah. Di tubuh NU sendiri, sebetulnya tidak be- gitu saja Pancasila diterima sebagai asas tunggal. Wacana yang berkembang di masyarakat bahkan sudah sampai pada satu kesimpulan melepaskan Islam dari asas organisasi sudah di luar kewajaran. 2. Banyak kalangan yang mengidentifikasi konflik antara Idham Chalid dan bebe- rapa Kiai NU itu sebagai konflik antara kubu politisi dengan kubu pesan- tren. Sebutan kubu pesantren dalam konteks ini sangat tidak tepat karena yang terjadi sesungguhnya konflik Idham Chalid dengan beberapa kiai pesan- tren. 3. Dengan sikapnya ini banyak orang Islam yang marah, sementara orang lain melihat berdirinya ICMI ini merupakan kesempatan yang baik untuk umat Is- lam yang selama ini kehilangan kekuatan politiknya. Oleh banyak orang, ICMI dipandang sebagai titik awal pemerintah untuk mengembalikan peran politik umat Islam. Sementara Gus Dur berpendapat lain, baginya ICMI merupakan upa- ya dari pemerintah untuk merangkul umat Islam dan akan menumbuhkan primordi- alisme yang selama ini dikuatirkan banyak orang. 4. NU bagi saya merupakan organisasi massa yang masih menampakkan corpus civil society. Suatu masyarakat yang tidak tergantung kepada pemerintah dan benar- benar lahir dari bawah. LSM-LSM yang belakangan ini merebak di Indonesia yang mengklaim memiliki akses ke bawah, lahir di kota dan baru kemudian men- cari massa di desa. Pada sisi lain, NU juga memiliki pola organisasi dari atas tetapi akarnya di bawah. Ini yang membuat NU unik. Ia masyarakat di luar pemerintah tetapi ia tidak anti pemerintah.