NAHDLATUL ULAMA DAN NEGARA: Fleksibelitas, Legitimasi dan Pembaharuan *) Andree Feillard ISLAM tradisional Indonesia, yang terorganisir ke dalam NU sejak tahun l926, merupakan fenomena yang unik di dunia Islam. NU sendiri sesungguhnya merupakan suatu perhimpunan "ulama fiqh" (para ulama yang berpengetahuan luas dalam yurisprudensi Islam) dan ulama tarekat (sufi). Organisasi ini pernah aktif berpo litik dan merepresentasikan 18% pemilih Indonesia. Di Pakistan misalnya yang merupakan negeri Islam terdekat dengan dominasi Islam serupa tidak terdapat formasi yang mirip NU itu. Ia lebih mirip dengan kelompok tradisional Baralvis dari segi doktrin namun lebih dekat dengan kelompok reformis Deobandis dari segi struktur organisasinya karena itu NU berada di antara dua gerak- an ini. NU bukan semata-mata Organisasi para ulama, begitu pula sete- lah ia menjadi partai politik pada tahun 1952 Ia merupakan suatu perkumpulan dengan kebiasaan memilih yang sama. Sebagaimana dicatat Geertz partai-partai politik (santri Jawa) lebih merupakan organisasi sosial, ukhuwah dan keagamaan dengan ikatan-ikatan kekeluargaan ekonomi dan ideologi yang bergabung untuk menekankan komunitas rakyat ke dalam dukungan jaringan tunggalni- lai-nilai sosial yang tidak hanya bcrkaitan dengan penggunaan yang tepat terhadap kekuasaan politik namun juga kondisi perilaku da- lam wilayah kehidupan yang berbeda banyak (Geertz 1960: 163).1 NU merupakan jaringan solidaritas pedesaan yang besar terdiri dari petani para pedagang kecil, para profesional dan para pejabat ke agamaan setelah tahun 1952, ia merangkul para politisi yang me- miliki latar belakang yang lebih beragam. Di kemudian hari urbanisasi telah menghasilkan penyerapan penduduk kota yang berlatar- belakang pedesaan. Selanjutnya NU tidak hanya terdiri dari orang- orang kolot atau ketinggalan zaman, namun para pemimpinnya yang muda dan terdidik menunjukkan kecenderungan-kecenderungan yang modern. Sebagian mereka adalah anak-anak kiai(2 yang ter- didik, sedangkan yang lainnya merupakan orang-orang luar yang merasa mempunyai missi untuk memodernisasi partai "yang ketinggalan za- man itu" (Geertz 1960: 163. 371) Sejauh ini tidak ada studi yang mendalam terhadap pemikiran politik NU.3 Para ahli Indonesia, seperti Anderson dan Ward telah menunjukkan kurangnya studi tentang NU (Anderson 1977: Ward 1974:90). Dalam sebuah monograf tentang pemilu 1971, ward me- rupakan orang pertma yang melakukan analisis terhadap motif- motif keagamaan di balik perilaku politik NU yang digambarkan se- cara umum sebagai "oportunistik" atau "akomodatif' (Ward 1374: 93). Pada tahun 1977, Ben Anderson mencatat bahwa NU pada ha kikatnya merupakan suatu organisasi keagamaan yang tidak memi- liki gagasan apapun tentang "integrasi regional, nasionalisasi indus- tri dan kebijaksanaan luar negeri, namun paling berkepentingan terhadap isu-isu keagamaan murni dan sangat berhasil dalam mem- bela "kelompok inti (inner core) mereka sendiri" (Anderson 1977: 24). Secara tidak langsung Anderson mengatakan bahwa suatu ge- rakan Islam besar relatif berhasil bertahan di bawah rezim Orde Ba- ru Soeharto yang dianggap sekuler oleh sebagian besar sarjana. Mit- suo Nakamura kemudian menegaskan bahwa NU lebih tertarik pa- da isu-isu keagamaan ketimbang isu-isu politik dan menunjukkan meningkatnya keluasannya terhadap politik (Nakamura 1961). Keputusan NU tahun 1984 untuk meninggalkan partai Islam, PPP, dan menerima ideologi Pancasila sebagai asas tunggal dalam Anggaran Dasarnya, telah menambah perspektif baru bagi pemikir- an politik gerakan tersebut. Dalam tulisan ini, saya berusaha menga- nalisis bagaimana NU menerima ideologi nasional sebagai "asas tunggal" dan apa dampak tindakan tersebut saya akan mulai de ngan melukiskan hubungan NU dengan negara pada momen-mo- men kunci sejarahnya: tradisi sunni tentang legitimasi negara telah diperkuat oleh persamaan-persamaan, termasuk persamaan etnis dengan para nasionalis sekuler. Bagian kedua akan disediakan un- tuk menilai dampak reorientasi 1984. Telah dinyatakan bahwa saat ini menjadi tahun-tahun klimaks dari upaya sekularisasi dan depo- litisasi Islam yang digambarkan lebih dulu oleh banyak sarjana (MacVey 1982: 86; Jenkins 1984: 12; Wertheim 1986: 49; Railton 1989: 34). Pengamatan lapangan saya pada tahun 1991 dan 1992 menunjukkan kontradiksi bahwa NU telah memperoleh legitimasi baru dan sebagian hasilnya ia kembali memperoleh kepercayaan umat. Kehidupan keagamaan nampak lebih meningkat ketimbang yang pernah ia lakukan pada tahun 1970-an. Kecenderungan ini didukung oleh pengamatan-pengamatan mutakhir tentang Islami- sasi di Indonesia (Elefner 1985, 1987; Abdullah 1987; Pranowo 1991). NU dan Negara: 1926-1984 Sangat memperhatikan masalah-masalah keagamaan, pembela- an yang gigih terhadap prinsip-prinsip Islam dan syari ah, mening- katkan kedekatan dengan kaum nasionalis dan kesediaan untuk berkompromi demi kesatuan nasional serta penilaian yang realistik terhadap kekuatan Islam, menandai pemikiran politik NU sepan- jang periode sebelum tahun 1965. I. Periode sebelum 1965 Tujuan pertama yang dinyatakan NU pada tahun 1926 adalah untuk menciptakan hubungan antara ulama yang berpegang pada empat mazhab sunni dan meneliti buku-buku teks agama untuk mengetahui apakah buku-buku tersebut mengandung pikiran-pikir- an para reformis atau tidak. Tujuan-tujuan lainnya adalah untuk melakukan amal, pendidikan, memajukan pertanian dan perda- gangan.4 Nasionalisme tidak dinyatakan secara eksplisit sekali pun hal tersebut sudah sangat populer di kalangan beberapa kiai.5 Ken- datipun sekarang anti-kolonialisme dikutip sebagai salah satu alasan bagi pembentukan NU,6 sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan NU hanya untuk mempertahankan hegemoninya di bidang ke- agamaan. Sebagai contoh, ia mengeluh tentang ordonansi guru (di- keluarkan pada tahun 1905, diubah pada tahun 1923 dan 1925) yang memperkenalkan kriteria-kriteria yang ketat pada sekolah-se- kolah sehingga merugikan sistem pendidikan NU yang relatif ku- rang terorgarusir; NU juga protes ketika persoalan-persoalan waris an ditarik dari yurisdiksi Peradilan Islam diJawa, Madura dan Kali- mantan Selatan pada tahun 1937. Sejalan dengan keterlibatan-ke- terlibatan ini, pada tahun 1936, NU menyatakan Hindia Belanda merupakan dar al-Islam, yang memberikan legitimasi yang luar biasa kepada pemerintah kolonial. NU membenarkan keputusannya de- ngan kenyataan bahwa umat Islam ditangani oleh para pejabat ke- agamaan yang merupakan orang-orang Muslim dan melaksanakan syari'ah serta akhirnya bahwa negeri tersebut sebelumnya telah ber- ada berada di bawah perlindungan raja Muslim (Haidar 1992: 156). Karena era Belanda mendekati tujuan, nampaknya pemikiran politik NU lebih terpusat pada individu-individu ketimbang pada sistem politik. Dalam menentukan pilihan presiden Indonesia ke lak, kita bisa melihat bahwa pertimbangan-pertimbangan keagama- an bukanlah satu-satunya kriteria. Sehingga pada bulan Juni 1940 dalam suatu pertemuan rahasia di Muktamarnya yang ke-15, sebelas orang ulama terkemuka menyetujui organisasi tersebut memilih pe- mimpin- nasionalis, Soekarno sebagai presiden negara Indonesia yang akan datang. Satu-satunya calon lain yang terpikirkan adalah Mohammad Hatta, orang Sumatra. Suara yang diperoleh, 10 ber banding 1 mendukung Soekarno (Anam 1985: 112). Pilihan ini le bih mengherankan, karena jika melihat ke masa pengambilan ke- putusan tcrsebut, saatnya tidak lama setelah Soekarno menunjuk- kan kekagumannya pada model negara sekuler yang diperkenalkan Ataturk dan setelah ia menunjukkan simpati yang tegas pada refor- misme Islam. Presiden Indonesia akan datang mendukung pemisa- han agama dan negara, demokrasi gaya Barat di mana umat. Islam akan membela kepentingan-kepentingan mereka melalui parle- men (Noer 1980: 301-304). Sementara reaksi keras para reformis terhadap masalah ini telah digambarkan secara luas, namun sejauh ini reaksi NU lepas dari perhatian para sarjana. Pengamatan terha- dap pers NU pada bulan-bulan ini menunjukkan kekecewaan dan kesadaran yang mendalam pada ide-ide sekuler pemimpin masa de- pan itu. Pada tanggal 1 Juli 1940. Berita Nahdlatul Oelama menulis: Tidakkah lebih baik Soekarno berbicara secara terbuka dan me- nunjukkan wataknya yang sesungguhnya, karena sejauh yang kita ketahui umat Islam benar-benar mengakui dia sampai hari ini seba- gai pemimpin mereka yang paling menonjol.7 Namun, keputusan Juni untuk memilih pemimpin "sekuler" nampaknya tidak lagi mempertimbangkan hal ini. Pada bulan Agustus Berita Nahdlatul- Oelama menulis dengan nada yang bersahabat: Soekarno se- orang pemimpin muslim dikenal karena kecerdasannya, karena ba katnya sebagai orator, penulis dan organisator... ingin mencari du- kugan para nasionalis".8 Secara tidak langsung BNO menyatakan bahwa Soekarno hanya berusaha mencari dukungan para nasiona- lis sekuler, bukan menjadi bagian dari mereka. Hubungan-hubung- an komunal boleh jadi telah menentukan dalam memutuskan du- kungan namun mungkin juga hubungan personal: Soekarno ada- lah anak didik Tjokroaminoto, seorang nasionalis yang dekat de- ngan para pendiri NU seperti Kiai Wahab Hasbullah. Nanti, saya bermaksud mengomentari lagi tentang hubungan yang kompleks ini. Kendatipun terjadi peningkatan kepercayaan diri setelah ia di- berikan peran nasional selama pendudukan Jepang, keterlibatan NU dalam perdebatan kemerdekaan pada tahun 1945 telah ditan- dai dengan kesiapan untuk berkompromi dengan nilai-nilai nasio- nalis sekuler. Saya telah menemukan beberapa bukti sumbangan NU terhadap perdebatan awal tentang konstitusi dan ideologi na- sional. Namun suatu laporan mutakhir dari Kiai Masjkur (1988), yang ikut serta dalam panitia persiapan menyingkap keterangan menarik tentang peranan yang mungkin dari Islam tradisional. Me- nurut Masjkur, tidak lama sebelum merumuskan Pancasila pada tanggal 1Juni 1945, Soekarno minta pendapat beberapa pemimpin Islam tentang prinsip-prinsip yang akan dimasukkan dalam ideologi nasional.9 Kiai Masjkur menceritakan bagaimana dia mengatakan kepada Soekarno: "Saya menyetujui prinsip kemanusiaan, tetapi ha- rus adil, jangan sampai membela anak sendiri sementara menindak terhadap yang lainnya. Karena Nabi pernah bersabda: "Jika Fatimah mencuri saya akan memotong tangannya." Siti Fatimah adalah pu- tri Nabi".10 Saya tidak menemukan bukti otentik pertukaran pikir- an itu, tapi jika kesaksian yang terlambat ini harus dipercayai, kita bi- sa mengatakan sudah ada partisipasi langsung Islam Indonesia -ter- masuk NU- dalam mengelaborasikan ideologi negara Islam mono- teistik sekalipun tidak eksplisit. Hal ini bukan untuk mengatakan bahwa NU tidak berjuang de- mi syari'ah. Ia berbuat untuk "Piagam Jakarta" (disepakati pada tanggal 22 Juni), yang menunjuk kewajiban bagi semua umat Islam untuk melaksanakan syari'ah. Sementara kekuatan-kekuatan seku- ler menentang konsep tersebut, para pemimpin NU mendukung Piagam tersebut dengan gigih dan juga mengusulkan bahwa presi- den dan wakil presiden harus Islam. Wahid mengajukan argumen bahwa paksaan tidak boleh digunakan terhadap, rakyat agar melak- sanakan syari'ah dan prinsip musyawarah harus memperhatikan itu (Boland 1971: 28). Wahid Hasyim menunjukkan fleksibilitas na- mun ketika suatu hari setelah kemerdekaan diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus, dia menerima untuk menggugurkan "Piagam Jakarta" dari konstitusi. Wilayah berpenduduk Kristen telah me- nyampaikan pesan kepada Mohammad Hatta bahwa mereka tidak akan bergabung dengan sebuah republik yang menunjukkan iden- titas Islam seperti itu, empat pimpinan Islam termasuk Wahid Ha- syim dari NU menyetujui kompromi tersebut. Malahan Wahid Hasyim mengusulkan kepada para pimpinan Islam untuk meng- ubah asas ketuhanan dengan ditambah kata-kata yang maha esa (sa- tu dan hanya satu-satunya), suatu rumusan yang berimplikasi tauhid: (monoteisme) bagi umat Islam (Noer 1990: 255). Kesiapan berkompromi ini nampak sebagian didasarkan pada pemahaman yang relatif liberal terhadap Piagam Jakarta, Wahid Hasyim dikabarkan telah menjelaskan sikapnya dengan argumen berikut: Pertama, kondisi saat itu sangat membutuhkan persatuan untuk menghadapi Belanda yang berusaha kembali ke daerah ja- jahan mereka, kedua dia telah menerima dengan pemahaman, bahwa kewajiban mengikuti syari'at Islam bagi umat Islam akan mendapatkan tempatnya dalam penerapan yang jujur terhadap pa- sal 20 UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan mengamalkan menurut agamanya ma- sing-masing (Zuhri 1987: 302). Dengan puas pada pasal yang me- nunjukkan "kebebasan" (sedangkan Piagam Jakarta mengatakan "kewajiban"), nampak bahwa wahid hasyim memiliki penafsiran yang fleksibel terhadap Piagam Jakarta yang kabur batasannya, dan bukan yang lebih kaku yang ditakuti beberapa kalangan akan di- paksakan Islam. Saya tidak menemukan bukti ada yang menentang posisi Wahid Hasyim itu, NU mengakui republik monoteistik itu beberapa waktu kemudian pada tanggal 22 Oktober 1941, ia mendesak pemerintah republik untuk mengambil langkah-langkah kongkrit untuk meng- hadapi pasukan Inggris dan menyerukan perang suci (jihad fi sabi- lillah).l2 Pada akhir tahun 1940-an, NU berusaha menghindari orang-orangnya terlibat dalam pemberontakan Darul Islam Kartosu- wirjo sekalipun ia ikut menolak Perjanjian Linggarjati dan Renville yang dianggap "terlalu lunak" terhadap kekuatan kolonial (Zuhri 1987: 354). Pada akhir tahun 1953, para ulama menetapkan bahwa Soekarno dan Pemerintahannya diberi nama "Waliyyul Amri al-dlaru- ri bi'l-Syaukah", yang memberi legitimasi pada presiden dan menteri agama merujuk pada peradilan agama menurut aturan-aturan fiqh (Haidar; 1992: 364-377; Zuhri 1987: 426). Keputusan tersebut dike- cam oleh kelompok-kelompok Islam karena merintangi cita-cita se- buah negara berdasarkan Islam yang mereka harap akan tercapai dalam Majelis Konstituante: (Lev 1971: 50; Geertz 1960:212). Kedekatan NU dengan para nasionalis telah dipercepat oleh konflik dengan para reformis/modernis muslim pada tahun 1952." Keretakan muncul begitu Kiai Wahab Hasbullah -seorang yang sangat dinamis terpilih sebagai Rais Aam pada tahun 1950, se- telah wafatnya Kiai Hasyim Asy'ari, yang memimpin NU dengan ke- percayaan diri yang tinggi. Dalam pidato pelantikannya, Kiai dina- mis dari Jombang tersebut berbicara tentang kekuatan NU sebagai salah satu "kanon" dan menyentuh pada persoalan politik secara langsung, suatu jalan yang sama sekali tidak lazim berlangsung da- lam organisasi sosial-keagamaan (Zuhri 1987: 478)). Dua tahun ke- mudian, tahun 1952, NU mengambil langkah tegas meninggalkan Masyumi, berpisah dengan para modernis yang dirasa terlalu men- dominasi (Noer 1967: 101; Abubakar 1957: 478). Sudah dinyatakan bahwa Soekarno telah mendorong NU ke dalam konflik ini namun kita harus melihat bahwa perpisahan ini dilihat sebagai suatu tan- tangan. Dengan demikian, Kiai Wahab merespons pernyataan Isa Anshari dan kelompok reformis yang ironis tentang kurangnya ka- der politik NU:"Jika saya mau membeli mobil baru, penjualnya ti- dak akan bertannya kepada saya apakah saya memiliki surat izin me- ngemudi, bukankah begitu? Saya akan membuat iklan untuk men- cari sopir dan saya yakin akan banyak sopir yang antri menungu di depan pintu saya" (Zuhri 1987: 399). Ringkas kata NU harus sebaik para modernis yang lebih kosmopolit dan seringkali berpendidikan Barat. Untuk mengatasi kelemahannya para ulama bekerjasama de- ngan para ekonom, ahli hukum, dan pengusaha yang tidak memi- liki hubungan dengan NU (Anam 1985: 197). Keputusan tahun 1952 ini mengandung dua konsekuensi besar: Pertama, wewenang politik NU diperkuat, suatu campuran politisi agamis dan politisi se- kuler yang kadang-kadang lebih menaruh perhatian pada patrona- se ketimbang persoalan-persoalan agama. Kedua, NU menjadi lebih dekat dengan Soekarno dan kelompok nasionalis.14 Dengan du- kungan ini ia juga mengamankan bagi dirinya sendiri suatu posisi yang menyenangkan dalam kancah politik dan mempertahankan departemen agama di tangannya.15 Percampuran yang aneh fundamentalisme Islam dan nasional- isme nampak pada pemilu tahun 1955. Pada tahun 1954, Kiai Wa- hab ingin negara Indonesia didasarkan pada syari'ah dan demokra- si yang sesuai dengan ajaran Islam (Fealey 1992: 6). Dalam program resminya, NU menghendaki suatu "Negara nasional berdasarkan Is- lam" di mana kepala negara dan para menteri harus Islam kecuali untuk para administrator bisa non-Muslim. Pendidikan agama akan menjadi kewajiban namun agama non-Islam akan dihormati. Oto- nomi pada tingkat tertentu bisa diberikan kepada wilayah-wilayah yang mayoritas non-muslim "sejauh hal itu tidak merusak kepen- tingan umum".16 Dengan Pancasila, NU menyatakan ia khawatir gerakan-gerakan kebatinan akan menggunakan dasar pertamanya (Ketuhanan Yang Maha Esa) untuk bertahan hidup.17 Pada tahun 1957, sebuah biografi semi-resmi almarhum Wahid Hasyim diterbit- kan. Biografi yang mendiamkan kompromi tanggal 18 Agustus dan secara berulang-ulang menyebutkan "Piagam Jakarta", suatu legiti- masi yang jelas terhadap eksistensi Piagam Jakarta (Abubakar 1957: 187-191). Menurut Lev, NU lebih gigih membela Islam ketimbang Ma- syumi di Majelis Konstituante (Lev 1966: 263). Tentu saja usulan NU mendukung negara Islam yang menjawab usul ABRI untuk kembali ke UUD 1945, yaitu kembali ke negara non-Islam dan me- nguatnya kekuasaan presiden. Perdebatan-perdebatan sangat se- ngit, Kiai Wahab Hasbullah bahkan berbicara tentang jahiliyyah da- lam hubunganya dengan negara Pancasila (Honnef 1980: 133). Ti- dak ada usul yang memperoleh suara mayoritas dua pertiga suara.18 Pada tahun 1959, ABRI dan Soekarno mengeluarkan dekrit kem- bali ke UUD 1945.19 NU menerima kompromi mendukung UUD non-Islam dengan konsesi UUD itu diilhami oleh Piagam Jakarta (Zuhri 1987: 452). Persoalan pertama yang muncul adalah mengapa NU begitu hati-hari terhadap Pancasila setelah menerimanya selama 14 tahun sebagai ideologi nasional, Nampak bahwa di sumping kecende- rungan wajar NU akan negara Islam, secara perlahan-lahan Panca- sila telah dihubungˇhubungkan dengan perlindungan terhadap ke- batinan Jawa (dicela sebagai syirik dan dilihat sebagai perisai bagi komunisme yang telah menunjukkan kekuatannya pada pemilu ta- hun 1955: hanya 2% di bawah suara NU. Alasan mengapa NU ke- mudian begitu cepat menyerah pada Dekrit 1959, menurut Daniel Lev, itu merupakan jalan keluar yang paling tepat dari kebuntuan (Lev 1966: 275). Greg Fealy menunjuk pada penerapan hukum fiqh, bahwa menghindari kerusakan (mafsadah) harus lebih didahu- lukan ketimbang mencari kemaslahatan (maslahah) (Fealy 1992: 6). Tentu saja NU telah berjuang demi cita-cita negara Islam hingga akhir tapi ia tahu ke mana ia bisa pergi dengan adanya tekanan- tekanan ABRI dan ketidakmungkinan mencapai suara mayoritas. Perasaan was-was Kiai Bisri Syansuri terhadap demokrasi terpimpin tidak menghalangi Kiai Wahab dari keyakinannya bahwa "umat be- lum siap" untuk berkonfrontasi dengan pemerintah (Masyhuri 1933 53, 172). Dalam kata-katanya, NU harus menumpang kereta sebelum terlalu terlambat" untuk mengontrol pemerintah menu- rut formula klasik Al-Quran: "amar ma'ruf nahi munkar" atau mendo- rong untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan mungkar (Zuhri 1987: 484). Ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia yang menolak demokrasi terpimpin Soekarno, dilarang pada tahun 1960, hanya NU yang bisa bergembira karena ia belum mengikuti jalan pertai-partai tersebut: bukan hanya sekedar bertahan tetapi ka- rena hegemoninya di bidang agama menjadi meningkat. NU di bawah Orde Baru Secara ideologis, di masa Orde Baru NU lebih tidak leluasa ke- timbang di masa Orde Lama. Reaksi NU terhadap rezim baru ter- sebut menampilkan tikungan dengan banyak tanjakan: dari harap- an kekecewaan, dari kolaborasi ke oposisi dan setelah malapetaka kronis, kembali lagi ke setengah aliansi dan penerimaan final ter- hadap negara monoteistik. Ketika G 30 S PKI pecah pada tahun 1965, NU berada pada po- sisi yang paling sulit, terbelah antara berpihak pada Soekarno atau ABRI. Kerjasamanya yang erat dengan Soekarno ditandai dengan tindakan presiden telah mengundang Menteri Agama Saifuddin Zuhri untuk mengawinkannya dengan Haryati (isteri ketiganya) - poligami menjadi bahan pertentangan di kalangan elit Indonesia- sebaliknya Saifuddin meminta Soekarno untuk menghentikan ka- sus korupsi Wahib Wahab, putra Kiai Wahab Hasbullah (Zuhri 1987: 531). Di sisi lain, kedekatan dengan militer bisa dilihat dalam keterlibatan fisiknya dalam membantu ARRI menghancurkan PKI, terutama di Jawa Timur.20 Sekitar 30.000 hingga 35.000 atau 100. 000 orang komunis mati dalam beberapa bulan diJawa Timur (Hu- ghes 1967: 158). Secara terpisah ABRI bertanggungjawab, tapi tidak diragukan Ansor, kelompok pemuda NU, juga memainkan peran- an aktif dalam tindakan anti PKI. Presiden Sukarno sendiri mema- rahi Ansor karena kanibalismenya itu.21 d. Keragu-raguan NU Posisi sulit ini menimbulkan keragu-raguan. Tanggal 1 Oktober, NU mengutuk kudeta tersebut dan mengajak semua simpatisannya untuk membantu ABRI menegakkan ketertiban.22 Subchan ZE, Wakil Ketua IV Tanfidziayah diberi wewenang untuk bertindak atas nama NU pada situasi di mana para ulama kesulitan memahami- nya.23 Pada tanggal 2 Oktober, Subchan membentuk front aksi un- tuk menghancurkan G-30-S (Kesatuan Aksi Mengganyang Gerakan Kotra Revolusi 30 September). Kebulatan tekadnya membuat diri- nya berada dalam situasi pertentangan yang tajam dengan kelom- pok konservatif pimpinan Idham Chalid (Ketua Umum Tanfidzi- yah,24 yang dekat dengan Soekarno) dengan demikian tidak lama setelah pertemuan khusus antara para ulama puncak dengan para pembantu pribadi Soeharto, Sujono dan Ali Murtopo, yang pernya- taannya dikeluarkan pada tanggal 4 Oktober menghendaki pela- rangan PKI, organ-organ dan medianya, dan mengajak semua umat Islam untuk membantu ABRI menegakkan ketertiban.25 Pimpinan NU bersemangat mempertahankan hubungan baik dengan kedua belah pihak, sebagaimana bisa dilihat dari arahan-arahan yang di- berikan di medianya pada tanggal 14 Oktober: "Untuk memperta- hankan hubungan baik dengan PNI dan Soekarno serta tidak me- nyerang AU pada khususnya dan ABRI pada umumnya".26 Kehati- hatian kelompok konservatif dengan ikatan-ikatan khusus dengan Soekarno lebih jauh bisa dilihat pada tindakan Idham Chalid meng- hindar menuntut pelarangan PKI pada ulang tahun NU 31 Januari 1966. Dalam pidatonya, ia menyatakan NU terikat pada Soekarno "mati dan hidup karena Allah" (DM 31, 1, 1966). Bahkan setelah kekuasaan darurat dialihkan kepada Soeharto bulan Maret 1966, Rois Aam, Kiai Wahab Hasbullah menyatakan bahwa NU akan me- nampilkannya sebagai calon dalam semua pemilihan yang akan da- tang (Antara, 7, 6. 1966). Idham Chalid mengunjungi Soekarno se- telah bulan Maret 1966 ketika dia secara praktis dikenai tahanan rumah: dia berkata dia merasa kasihan akan kesepian presiden. 27 Ada beberapa alasan, eratnya hubungan NU dengan Soekarno ini, yang telah kita sebutkan pada tahun 1940. Soekarno di kalang- an NU diakui sebagai "pemimpin nasional": tulisan-tulisannya diba- ca di kalangan santri selama masa penjajahan. Kemudian pada ta- hun 1952, dia mendukung kelompok tradisional ketika mereka membentuk partai politik sendiri dan harus mengatasi kelemahan relatif mereka dibanding dengan para modernis yang berpendidik- an barat Juga ada ikatan klien misalnya antara Soekarno dengan Rois Aam-nya, Kiai Wahab, tetapi juga ada ikatan kesamaan yang nyata dan selera umum karena kebudayaan Jawa. Akhirnya mereka tidak jauh terpisah secara ideologis. Pada tahun 1960-an, "Demo- krasi Terpimpin" tidak haram bagi sebagian orang NU: Idham Cha- lid bahkan membela demokrasi terpimpin dengan mengatakan bahwa demokrasi bukan tujuan pada dirinya, ia bisa memiliki batas- batas demi kesejahteraan rakyat.28 Di mata mereka, kelemahan Soekarno adalah dukungannya pada PKI, tapi mereka tetap yakin dia akan menjatuhkan mereka. Pengikutsertaan merupakan prinsip yang menjadi pedoman sikap terhadap seseorang yang tidak per- nah menyakitkan NU.29 ______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________ *)Diterjemahkan oleh Amirudin Anany dari "Traditionalist Islam and the State in Indonsia. Flexibility, Legitimacy and Renewal", kertas kerja yang disampaikan dalam konferensi Islam dan Konstruksi Sosial atas Identitas: Perspektif tandingan mengenai Muslim Asia Tenggara, 4-6 AgustUS 1995, di Universitas Hawai. 1. Perbedaan yang dinyatakan Greetz adalah abangan lebih terkait dengan ritual-ritual pra-Islam seperti animisme, Hindu dan Budha. Sedangkan santri adalah mereka yang menganggap diri mereka "Muslim sejati" (Geertz 1960: 130) pebedaan di dalam NU sen- diri tidak bisa dinafikan. Bisa jadi banyak anggotanya yang lebih dekat dengan salah satu kutub tersebut. 2. Kiai adalah gelar ulama diJawa. 3. Sekarang ini Greg Fealy (Monash University) sedang mempersiapkan disertasi Ph.D ten- tang NU selama periode 1962-1968. Martin Van Bruinessen menulis sebuah buku tentang NU periode mutakhir. (Edisi berbahasa Indonesia berjudul NU Tradisi, relasi-relasi kuasa, Penemuan wacana baru, diterbitkan LKiS yogyakarta, November 1994). Beberapa orang in- donesia telah menulis tentang NU (Irsyam 1984, Anam 1985, Marijan 1992). 4. Statuten Perkoempoelan Oelama, 1926: 3. 5. Salah seorang pendiri NU, Kiai Wahab Hasbullah, sudah aktif di beberapa perhimpunan nasionalis seperti Sarekat Islam Juga membentuk sebuah perhimpunan sekolahsekolah agama, NNahdlatul Wathan, di mana lagu-lagu anti kolonial din)anyikan oleh para muridnya (Anam 1985: 25). 6. Pelajaran ke-NU-an, buku-teks mengenai NU )ang diterbitkan tahun 1968, menyatakan antikolonialisme sebagai tujuan ketiga pembentukan NU pada tahun 1926, )ang pertama penyatuan umat dan kedua pemurnian Islam terhadap penyimpangan )ang disebabkan oleh gerakan tajdid (reformisme): h. 2324). 7. Berita Nahdlnhcl Oelama, No.17, tahun 9, 1Juli 1940, h. 11/141 sampai 16/244. 8. BNO 15 Agustus 1940, No. 20 h. 1/176. 9. Pada tanggal 1Juni 1945, hari kelahiran Pancasila, Soekarno mengajukan asas-asas sebagai berikut: 1. Nasionalisme 2. Internasionalisme atau penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia 3. Mufakat atau Demokrasi 4. Kesejahteraan Sosial 5. Ketuhanan Yang Maha Esa (Bonnef 1980: 73). 10. Kiai Masjkur terus mengatakan bahwa Kiai Kahar Muzakkir, seorang pemimpin Islam non-NU, memunculkan soal etika yang sesuai dengan Islam dan zakat yang dinyatakan sebagai gagasan Islam tentang solidaritas sosial (Wawancara dengan Kiai Masjkur, 1 Okto- ber 1988 yang dibuat oleh arsip nasional). 11. Menarik untuk diperhatikan bahwa kehadiran Wahid Hasyim dalam pertemuan dengan Mohammad Hatta tanggal 18 Agustus diragukan oleh beberapa Muslim modernis (Lihat Endaang Saifuddin Ansari 1981 dan Noer 1987: 41 mengutip Prawoto Mangkusasmito 1970. Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi Jakarta, Hudaya, 1970 h. 38-39). Hal ini menunjukan betapa penting kehadiran orang itu yang sebelumnya dengan gigih telah membela "Piagam Jakarta". Sehingga keikhlasannya untuk berkompro- mi diragukan: Jika memang ikhlas, itu bisa dianggap sikap historis tentang kemauan baik terhadap orang-orang Kristen. Noer pada tahun 1990 menegaskan kehadirannya. Begitu pula Wongsonegoro (Sekretaris pribadi Hatta) dan saya. Wawancara-wawancara Wahid Hasyim yang terpisah-pisah. 12. Aula, No. 7, tahun II. 13. Pada tahun 1937 NU menyatu dengan para modernis dalam MIAI (Majlis Islam A'la Indonesia) untuk melindungi kepentingan-kepentingan umum. 14. Jumlah kursi kabinet yang diberikan kepada NU makin meningkat di samping Depar- temen Agama, juga diberikan kursi Departemen Agraria dan kursi Wakil Perdana Men- teri (Noer 1987: 285). Kemudian dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo (1956-1957) suatu koalisi yang unik dan partai-partai besar kecuali Komunis, NU memperoleh 5 kursi ka- binet. 15. Departemen tersebut yang dibentuk pada Januari 1946 kendatipun menimbulkan ke ragu-raguan kelompok sekuler, berperan memperkuat otonomi lembaga-lembaga keaga- maan (Lev 1972: 45). Ia merupakan pilar kekuatan NU dan sumber patronase yang pa- ling berharga. 16. Pokok-pokok Uraian dalam Pidato-pidato Kampanye Pemilihan Umum untuk Konstituante, 20 Ok- tober 1955, dalam Sekitar Konstituante dnn Konstitusi, diterbitkan oleh Kementrian Pene- rangan 1955: 117. 17. Duta Masjarakat 28, 7, 1955, dinyatakan dalam Sekitar Konstituante dan Konstituantei, Ke- menterian Penerangan 1955: 117. 18. Usulan NU memperoleh 201 suara "ya" dengan 265 suara menentang sementara suara kembali ke UUD 1945, 269 suara melawan 203 suara "tidak". 19. Angkatan Darat menyatakan Keadaan Darurat Perang pada bulan Maret 1957 meng- iringi pemberontakan-pemberontakan bersenjata di daerah-daerah dan telah memper- lihatkan keinginanya untuk terlibat lebih besar lagi dalam urusan-urusan politik melalui "kelompok fungsional" yang diwakili dalam parlemen. 20. Hughes 1967: 154; Crib 1990: 82. Selama periode "Demokrasi Terpimpin" reformasi ta- nah (Landreform) diputuskan di parlemen pada tahun 1960, akan merampas pemilikan para santri-tuan ranah yang besar terhadap tanah mereka. Ketika para petani yang tidak memiliki tanah berusaha menerapkannya dan mengambil alih tanah tersebut, anak-anak muda NU melindungi kepentingan para tuan tanah, sehingga menimbulkan bentrokan. 21. Wawancara dengan mantan pengurus Ansor yang terkemuka, 1991. 22. Anam (1985: 248) mengatakan pesan tersebut disiarkan pada jam 14.30 Duta Masya- kat (7, 10. 1965) juga melaporkan reaksi 1 Oktober itu. Sayang, surat kabar-surat kabar dilarang terbit pada hari-hari pertama kudeta tersebut, kecuali pers-pers resmi. Dalam arsip nasional saya manemukan pernyataan Ansor dan Muslimat yang menolak bahwa bebe- rapa orang pimpinan mereka merupakan bagian dari Dewan Revolusi. 23. Wawancara dengan Syah Manaf, 1991, yang hadir pada pertemuan itu. 24. Orang radikal dan konservatif juga terdapat dalam generasi tua dan generasi muda. 25. DM, 7, 10. 1965; Anam 1985: 243-244; beberapa wawancara dengan para pemimpin NU, 1991. 26. Surat dari PB NU, Pedoman Politik Pemberitaan Harian2 NU. 14 Oktober 1965, dikirim ke Duta Masjarakat, Mimbar Revolusi, Obor Revolusi, Duta Rakjat dan Sinar Masjarakat Me- dan (Arsip Nasional). 27. Wawancara dengan Jenderal Nasution, 1991. 28. Pidato yang berjudul "Islam dan Demokrasi Terpimpin" disampaikan dan kemudian di- terbitkan PTI NU Fakultas Hukum Islam di mana Idham adalah profesornya. Tahun ter- bitnya tidak dicantumkan. 29. Wawancara dengan Chalid Mawardi, 1991. Begitulah caranya dia menjelaskan cara "ge- nerasi tua" manbenarkan perlindungannya yang lama terhadap Soekarno.