BAB VII KESIMPULAN DAN PENUTUP Dari uraian bab-bab terdahulu dapat disimpulkan bahwa pembentukan organisasi NU bukanlah sebagai reaksi se- mata karena munculnya aliran baru pada permulaan abad ini. Dari berbagai fakta yang dapat dikumpulkan membuk- tikan bahwa pembentukan NU diawali suatu proses per- gulatan yang panjang sebelumnya. Mereka mencoba merefleksikan semangat dan pemikiran untuk membangun ummat Islam di Tanah Air setelah mereka pulang dari merantau belajar di luar negeri. Keterlibatan mereka dalam kegiatan-kegiatan gerakan Islam selama hampir dua dekade akhirnya mendorong mereka untuk mendirikan sebuah or- ganisasi Islam menurut visi pemikiran Islam yang mereka kembangkan. Selanjutnya dalam bab kesimpulan ini diuraikan kesim- pulan latar belakang pembentukan NU dan motivasi yang mendorongnya, tradisi sunnisme yang mempengaruhi visi dan tingkah laku NU dalam menyelesaikan problematik yang dihadapi, wawasan sosio kultural dan aspek fikih yang menjadi dasar konseptualisasi pemikiran politiknya. A. LATAR BELAKANG PEMBENTUKAN NU Kelahiran NU diawali suatu proses yang panjang sebelum- nya. Bermula dari munculnya gerakan nasionalisme yang antara lain ditandai berdirinya SI (sebelumnya bernama SDI) telah mengilhami sejumlah pemuda pesantren yang bermukim di Mekkah untuk mendirikan cabang perhim- punan itu di sana. Belum sempat berkembang mereka segera mudik kembali karena pecah perang dunia. Namun obsesi mereka masih terus berlanjut setelah mereka me- netap kembali di Tanah Air. Mereka mendirikan perhim- punan Nahdatul Watan (1914), Taswirul Afkar (1918) dan perhimpunan koperasi Nahdatut Tujjar (1918). Selain itu di Surabaya didirikan perhimpunan lokal yang sejenis antara lain Perikatan Wataniyah, Ta'mirul Masajid dan Atta'dibiyah. Ketegangan dalam kongres al-Islam sepanjang paruh per- tama tahun dua puluhan dan berlanjut dalam sidang-sidang Komite Khilafat, telah mendorong perhimpunan lokal di Surabaya itu turut serta mendirikan organisasi baru yang lebih luas dan berskala nasional. Mereka menilai lembaga- lembaga perhimpunan Islam yang ada maupun kongres al-Islam sendiri tidak bersikap akomodatif terhadap visi yang mereka coba kembangkan. Ketegangan itu kemudian berlanjut setelah delegasi yang dikirim ke Kongres Mekkah tahun 1926 ternyata mengabaikan kepentingan-kepentingan yang mereka kembangkan. Mereka kemudian mengirim de- legasi sendiri ke Mekkah. Untuk kepentingan itu mereka mendirikan perhimpunan baru NU. Namun peristiwa itu sebenarnya hanyalah lintasan proses sejarah dari suatu pergumulan sosial kultural yang panjang. Lembaga pendidikan pesantren yang dikembangkan para ulama telah merintis arah perkembangan sosial kultural masyarakat dengan visi keagamaan yang kuat. Jika mereka kemudian membentuk ikatan lembaga sosial yang lebih formal, tujuan pokoknya, seperti halnya lembaga pesantren itu, ialah untuk menegakkan kalimah Allah (i'la'i kalimatil- lah). Visi ini kemudian dikembangkan dengan rumusan yang lebih operasional yang disebut jihad fi sabilillah.1 Jihad mengandung cakupan makna yang luas sekali. Da- lam arti yang ekstrem jihad berarti perang (qital), tetapi juga berarti hal-hal dalam keseharian seperti menjawab sa- lam atau merawat jenazah.2 Jihad sebagai kewajiban kolek- tif (kifayah) bukanlah tujuan, melainkan instrumen atau wasilah. Tujuan perang hakekatnya ialah untuk menyam- paikan hidayah (petunjuk kebenaran), karena itu jika hal tersebut dapat dilakukan dengan cara lain yang resiko ne- gatifnya lebih kecil dan manfaatnya jauh lebih besar, seperti dengan cara persuasi, pendidikan, atau perbaikan ekonomi, lebih baik dilakukan tanpa perang.3 Agama Islam pada dasarnya diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh alam se- mesta, karena itu jihad sebagai medium operasionalnya mengandung dimensi yang sangat kompleks. Bukan saja menyangkut pengembangan akidah dan syariah, tetapi juga menyangkut kebutuhan dasar menusia yang lain seperti sandang, pangan dan papan dan kebutuhan dasar lainnya.4 Dalam konteks seperti ini dapat dipahami pejalanan NU selanjutnya. Melalui media pesantren para ulama mengem- ban tugas melaksanakan jihad untuk menegakkan kalimah Allah. Ketika dirasakan perlunya mengembangkan kelem- bagaan tradisi sosial dan kultural yang telah hidup di tengah masyarakat ke arah bentuk yang lebih formal de- ngan spektrum dan visi yang lebih luas maka didirikan organisasi sosial keagamaan sebagai jembatan untuk meng- antisipasi tugas tersebut. NU merupakan salah satu wujud dari upaya itu. Dimulai dari akar pesantren para ulama muda pesantren merintis kegiatan-kegiatan jihad mereka. Dari perhimpunan keagamaan seperti Nahdatul Watan, Taswirul Afkar kemudian NU. Tidak berlebihan jika dike- mukakan bahwa kegiatan ulama pesantren membentuk or- ganisasi sosial keagamaan jauh sebelum NU lahir, merupa- kan embrio bagi kelahiran NU. Suatu tahap perkembangan obsesi mereka untuk mewujudkan negeri merdeka,5 obsesi untuk menempatkan syari'ah sebagai bagian dari kehidup- an kebangsaan mereka. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa motif uta- ma yang mendasari gerakan para ulama membentuk NU ialah motif keagamaan sebagai jihad fi sabilillah. Aspek ke- dua yang mendorong mereka ialah tanggung jawab pe- ngembangan pemikiran keagamaan yang ditandai upaya pelestarian ajaran mazhab ahlussunnah waljamaah. Ini tidak berarti statis, tidak berkembang, sebab pengembangan yang dilakukan justru bertumpu pada akar kesejarahan sehingga pemikiran yang dikembangkan itu memiliki konteks his- toris. Aspek ketiga ialah dorongan untuk mengembangkan masyarakat melalui kegiatan pendidikan, sosial dan eko- nomi. Ini ditandai dengan pembentukan Nahdatul Watan, Taswirul Afkar, Nahdatut Tujjar, dan Ta'mirul Masajid. As- pek keempat ialah motif politik yang ditandai semangat nasionalisme ketika pendiri NU itu mendirikan cabang SI di Mekkah serta obsesi mengenai hari depan negeri mer- deka bagi ummat Islam. B. TRADISI SUNNISME Salah satu sebab munculnya tradisi sunni (ahlussunnah wal- jamaah) ialah upaya rekonsiliasi yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik akibat fitnah (perang saudara) yang terjadi pada awal sejarah Islam. Konflik yang berlarut-larut akibat masih mengentalnya semangat kesukuan ketika masa kekhalifahan 'Usman dan 'Ali akhirnya bisa diatasi dengan ditegakkannya supremasi kekuasaan Mu'awiyah yang kuat. Kekuasaan yang kuat dan efektif itu sedikit banyak telah berhasil meredam konflik. Namun dengan demikian harus tersedia konsesi yang diperlukan untuk mewadahi kepen- tingan-kepentingan yang beraneka ragam melalui proses rekonsiliasi politik sehingga tahun itu disebut 'am al-Jamaah (tahun rekonsiliasi) dan akhirnya berkembang menjadi ah- lussunnah waljamaah.6 Sunnisme dengan demikian merupa- kan fenomena sejarah yang mengandung semangat inklu- sifisme yang bersedia membuka proses dialog, toleransi dan rekonsiliasi dan mengakui semua kelompok yang ber- sengketa sebagai ummat yang satu. Dari akar tradisi sunnisme yang berakar pada wawasan politik untuk mempersatukan ummat, selanjutnya konsep- konsep fikih maupun kalam yang dikembangkan aliran ahlussunnah waljamaah memberi bagian yang cukup long- gar semangat rekonsiliasi dan toleransi bagi kemungkinan terwujudnya kelembagaan politik yang dapat mewadahi sebagian besar kepentingan. Konsep pemikiran ini antara lain telah merangsang NU untuk akhirnya melibatkan diri dalam panggung politik. Dari peristiwa sejarah ini selanjutnya terlihat benang me- rah hasil pemikiran sunni yang mencoba tetap berada di tengah untuk menengahi konflik-konflik politik, sosial mau- pun keagamaan. Antara lain terlihat pada konsep irja' yang mengelak untuk menghakimi keimanan seseorang dan me- nyerahkannya kepada Allah. Hal yang sama juga terjadi dalam bidang fikih dengan pengakuan kepada empat imam mazhab yang memberi kemungkinan variasi pemecahan hukum yang beragam sesuai dengan lingkungan dan kon- disi zaman. Tradisi semacam inilah yang hendak dicoba dikembangkan NU dalam menyikapi interaksi sosial-bu- dayanya di tengah masyarakat. Berbagai pemecahan masalah yang dilakukan NU untuk mengatasi problematik yang muncul di lingkungan ummat Islam sendiri maupun bangsa Indonesia umumnya selalu terlihat semangat rekonsiliasi, toleran dan dialog. Meskipun di sana sini terlihat ketegangan-ketegangan struktural yang mengesankan pendekatan yang berorientasi kalah-menang, namun secara umum tidak menutup sikap dasar NU ter- sebut. Pada umumnya NU, juga di kalangan internnya sendiri, tidak mengklaim pendapat-pendapatnya mutlak be- nar tanpa memberi kesempatan dialog yang memberi ke- mungkinan keragaman pemecahan sesuai dengan kondisi tertentu. Hal ini misalnya terlihat pada sikap-sikap NU (barangkali juga pemimpin Islam umumnya) ketika awal kemerdekaan untuk merumuskan dan mengesahkan UUD 1945, berbagai kemelut politik tahun lima puluhan dan terakhir tentang asas tunggal Pencasila. Sudah tentu semua itu dilihat dalam spektrum kese- jarahan, sebagai interaksi Islam dalam konteks sejarah, seti- daknya Islam menurut visi yang dikembangkan NU. Proses interaksi ini dengan sendirinya memiliki watak kesejarahan yang nisbi dan tidak boleh dianggap mutlak kebenarannya. Oleh karena itu dengan model-model pendekatan peme- cahan masalah sosial politik yang dilakukan NU masih tetap terbentang kemungkinan pemecahan yang solusinya berbeda. C. WAWASAN SOSIO KULTURAL Agama dan budaya adalah suatu yang berbeda, masing- masing mempunyai independensi sendiri-sendiri, tetapi wi- layah masing-masing seringkali tumpang tindih. Agama bersifat suci, berasal dari wahyu, karena itu cenderung normatif dan permanen. Sementara budaya terus menerus berubah karena watak kesejarahannya. Meski agama suci dan permanen, tetapi agama mendarat dalam budaya ka- rena agama dipeluk manusia. Proses tumpang tindih kadang-kadang membawa dampak ketegangan karena wa- tak keduanya saling berlawanan, tetapi dengan demikian timbul proses saling mengisi dan memperkaya variasi ke- hidupan manusia. Kalaupun ada ketegangan, tumpang tin- dih wilayah agama dan budaya itu akan selesai dengan sendirinya karena akan terjadi proses rekonsiliasi dari per- samaan yang ada, baik agama maupun budaya. Hukum fikih yang disusun dari kerangka teoritis ilmu usul al-fi'qh telah mengantisipasi gejala historis tersebut. Sebagai contoh kesadaran historis semacam itu ialah kaidah yang dirumuskan 'memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik' (al-muhafazah 'ala al-qadim al-salih wa al-akhzu bi al-jadid al-aslah) atau 'adat kebiasaan menjadi hukum' (al-'adah muhakkamah). Dengan kaidah semacam ini maka ketegangan yang muncul antara agama dan budaya dapat diselesaikan melalui proses re- konsiliasi untuk saling menerima, tidak bermusuhan. Tra- disi budaya seperti wayang, kenduri selamatan bagi orang yang meninggal atau apresiasi seni rakyat dapat diterima melalui modifikasi tertentu yang secara esensial dapat di- terima tata norma agama. Wayang dimodifikasi isi cerita- nya sehingga menggambarkan konsep tauhid, tradisi ken- duri selamatan dengan tahlil, dan apresiasi seni rakyat dengan Barzanji, Diba', tarekat atau mocopat dan lain se- bagainya. Dengan demikian hasil proses rekonsiliasi ini da- pat memperkaya sudut pandang dan wawasan agama agar tidak gersang yang terlepas dari konsteks apresiasi sosio- kultural. Ketika kaum pembaru Islam awal abad ini melakukan kritik dengan menekankan sentralisasi kemurnian tauhid untuk kembali kepada Qur'an dan hadis, konsekuensi yang muncul ialah penolakan terhadap tradisi keagamaan dan inovasi ibadah lainnya yang hidup di tengah rakyat itu sebagai bid'ah dan khurafat yang tidak bersumber kepada Qur'an dan hadis. Kecenderungan skriptualik semacam itu pada gilirannya akan menimbulkan keterputusan mata ran- tai sosiokultural'dan khazanah ilmu zaman awal Islam ketika Qur'an dan hadis diturunkan dengan era modern. Tidak mengherankan lalu muncul anjuran untuk melakukan ijtihad dan menolak taqlid, sebab taqlid berarti tidak bersum- ber kepada Qur'an dan hadis. Akan tetapi ijtihad yang dimunculkan lalu kehilangan makna modernitas karena ter- jebak dalam putaran rutinitas skriptualisme yang cenderung mengabaikan dimensi sosio-kultural. Ijtihad yang dimun- culkan tidak beranjak dari itu ke itu karena terlepas dari sumber-sumber sosio-kultural yang riil. Ijtihad itu tidak mampu menjawab kebutuhan spiritual dunia modern yang terus berkembang. Dalam kenyataan, di tengah pembaruan yang dilancarkan, 'agama rakyat' tetap bertahan dengan tendensi sufisme dan tarekat yang kaya dengan nuansa- nuansa sosio-kultural. Dan itu hanya bisa ditanggapi de- ngan Islam yang riil, Islam historis, Islam yang telah teruji dalam sejarah yang antara lain dipecahkan dengan pen- dekatan fikih. D. ASPEK FIKIH DALAM POLITIK Tahun 1935 muktamar NU di Banjarmasin membuat ke- putusan dalam kaitan dengan pembelaan negeri dari an- caman musuh bahwa Indonesia adalah negeri muslim (dar al-Islam). Dalam kenyataan Indonesia waktu itu dikuasai penjajah Belanda, namun tidak menghalangi NU membuat keputusan itu, karena kenyataan mayoritas penduduknya beragama Islam dan ummat Islam bebas menjalankan syari'at agama. Keputusan ini diambil dengan pertimbang- an adalah wajib membela negeri yang mayoritas penduduk- nya muslim dari ancaman musuh, Konsep hukum fikih memberi kemungkinan mengenai hal ini dengan pembagian tiga jenis negara yaitu negara Islam (dar al-Islam), negara damai (ddr al-sulh), dan negara musuh (dar al-harb). Negara Islam ialah negara yang me- menuhi kualifikasi tertentu sebagai negara Islam, undang- undang berdasar Islam dan pemegang kekuasaannya orang Islam. Negara damai ialah negara yang memberi jaminan kebebasan kepada ummat Islam menjalankan syari'at aga- ma namun tidak memuat legislasi undang-undang negara menurut syari'at Islam. Negara musuh ialah negara yang jelas memusuhi Islam dan kaum muslimin. Dua bentuk negara yang pertama harus dipertahankan dari ancaman musuh karena syari'at Islam dapat dilaksanakan oleh kaum muslimin. Walaupun syari'at Islam tidak berlaku secara formal di Indonesia waktu itu, tetapi negeri ini dahulunya merupakan negeri Islam yang diperintah oleh raja-raja Islam dan kaum muslimin bebas menjalankan agama. Ini menjadi alasan mengapa NU membuat keputusan untuk melindungi tanah air dan bangsa dari ancaman timbulnya anarki yang lebih besar tanpa melihat sistem kekuasaan yang berlaku. Menjelang kemerdekaan NU melalui wakil-wakilnya tu- rut serta merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Pergulatan perjuangan kemerdekaan itu lalu disusul resolusi jihad yang mewajibkan ummat Islam membela negara yang baru diproklamasikan sebagai jihad fi sabilillah. Sikap NU ini merupakan tahap lanjutan dari sikap sebelumnya. Sebelum- nya NU mengakui tumpah darah dan tanah air Indonesia sebagai wilayah yang harus dilindungi karena wilayah itu adalah wilayah negeri Islam, maka ketika kemerdekaan Indonesia diakui sebagai negara berdaulat yang sah harus dibela dari ancaman penjajahan Belanda. Setelah itu tahap pengakuan kepada kekuasaan pemerin- tahan negara melalui keputusan konferensi alim ulama bah- wa presiden dan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya se- bagai pemegang kekuasaan pemerintahan dan penyelenggara kenegaraan dengan sebutan waliyyul amr al-daruri bi al- syaukah. Tahap akhir dari sikap NU selanjutnya ialah pene- rimaan Pancasila sebagai asas bernegara, dan selanjutnya juga diakui sebagai asas berbangsa dan bermasyarakat. Rentetan peristiwa tersebut menunjukkan konsistensi sikap-sikap NU dalam mengaplikasikan konsep-konsep fikih yang dianutnya untuk menyelesaikan masalah dasar kehidupan kenegaraan di Indonesia. Konsep fikih sendiri tentang dar al-Islam cukup longgar dan pada tingkat tertentu tumpang tindih dengan konsep dar al-sulh. Seperti diketahui al-Ghazali mengemuka- kan kekuasaan bi al-syaukah diakui sebagai dar al-Islam sedang menurut yang lain termasuk dar al-Sulh. Dasar pemikiran NU untuk menyikapi gejala-gejala sosial politik di atas dengan pertimbangan beberapa,kaidah fikih. Kaidah pertama ialah ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh berarti kewajiban yang tidak mungkin diwujudkan secara utuh tidak boleh ditinggalkan semuanya (bagian-bagian ter- penting yang telah berhasil diwujudkan). Kenyataan bahwa negara Indonesia sudah terbentuk dan kekuasaan pemerin- tahan berfungsi melindungi esensi terpenting dari kehidup- an kenegaraan harus diterima. Sudah tentu semula wujud formal negara yang memenuhi kualifikasi menurut syari'at Islam yang diperjuangkan karena ini merupakan perintah agama yang harus diikuti. Hal itu pun dilakukan NU da- lam sidang BPUPKI maupun Majelis Konstituante. Namun setelah upaya itu gagal dilaksanakan kenyataan negara dan kekuasaan pemerintahan yang telah berfungsi tidak boleh ditinggalkan sebab kenyataan itu merupakan bagian ter- penting dari upaya ummat Islam untuk mewujudkan nega- ra merdeka yang berdaulat. Sudah tentu ini tidak berarti tanpa melakukan upaya perbaikan dan penyempurnaan te- rus menerus. Kaidah yang kedua ialah dar' al-mafasid muqaddam ala jalb al- masalih artinya mendahulukan upaya menghindari baha- ya atau kerusuhan daripada melaksanakan kemaslahatan yang mengandung resiko lebih besar. Dalam sejarah politik di Indonesia upaya untuk mewujudkan bentuk final negara Islam selalu menghadapi tantangan yang mengancam sendi-sendi utama keutuhan nasional dan bahkan mungkin perpecahan yang lebih keras di antara kaum muslimin sendiri. Kenyataan ini menjadi dasar pertimbangan NU yang memilih upaya konsensus-konsensus yang bisa di- terima semua pihak untuk menghindari kemungkinan ter- sebut. Dengan dasar pertimbangan menurut kaidah tersebut mudah dipahami mengapa NU menerima Dekrit Presiden 1959, kabinet Gotong Royong 1960 dan asas tunggal Pan- casila serta UU Kepartaian yang mereduksi peran politik praktisnya sendiri. Kaidah yang ketiga ialah memilih bahaya yang paling ringan akibatnya menurut kaidah iz'a ta'arada mafsadatani ru'iya a'zamuha dararan bi irtikabi akhaffihima artinya apabila terjadi kemungkinan komplikasi bahaya maka dipertim- bangkan bahaya yang paling besar resikonya dengan me- laksanakan yang paling kecil resikonya. Kaidah ini ber- kaitan dengan kaidah kedua mendahulukan upaya preven- tif menghindari bahaya daripada melaksanakan kemaslahat- an yang beresiko lebih tinggi. Pilihan-pilihan sikap NU dalam mengantisipasi gejala sosial politik ditempuh ber- dasar perhitungan kemungkinan akibat yang akan timbul, tidak mutlak-mutlakan. Dengan dasar pemikiran menurut kaidah ini mudah diduga mengapa NU menerima Pancasila dan UUD 1945 pada awal kemerdekaan maupun ketika Dekrit Presiden 1959 atau DPRGR yang dibentuk tanpa melalui pemilihan umum, karena NU mempertimbangkan resiko yang paling kecil. Meskipun perangkat-perangkat ke- negaraan, itu belum memenuhi kualifikasi yang dikehendaki NU untuk mewujudkan cita-cita politik sebuah negara yang secara utuh berdasar Islam, tetapi betapapun perangkat kenegaraan itu mutlak diperlukan bagi terwujudnya ke- kuasaan pemerintahan dan kenegaraan yang efektif untuk menjamin kelangsungan hidup bernegara. Oleh karena itu sesuai dengan kaidah fikih ma la yatimm al-wajib illa bihi fahuwa al-wajib artinya unsur-unsur terpenting dari suatu kewajiban termasuk wajib, NU menerima Pancasila, UUD 1945 dan DPRGR sebagai bagian terpenting bagi kelang- sungan hidup kenegaraan yang wajib ditegakkan. Ketiga komponen kenegaraan itu merupakan unsur terpenting bagi negara, karena itu termasuk wajib dibentuk, meskipun di- akui banyak kekurangannya. Satu hal lagi kaidah yang sering dipakai NU sebagai pembenaran terhadap tindakannya ialah kaidah al-hukmu yaduru ma'a illatihi wujudan wa'adaman (hukum tergantung kepada illat-nya). Kaidah ini sebenarnya bukan kaidah fikih, melainkan kaidah usul al-fiqh. Seperti diketahui, kaidah fikih berbeda dengan kaidah usul al-fiqh. Penerapan kaidah ter- sebut berkaitan dengan qiyas, bahwa untuk melakukan qiyas diperlukan illat. Adanya hukum yang bersumber dari qiyas tergantung kepada ada tidaknya illat. Untuk mengetahui hukum atas suatu peristiwa tertentu dapat dikiaskan de- ngan hukum yang lain diperlukan illat yang dapat memper- tautkan kedua hukum tersebut. Karena itu selain syarat illat, masih diperlukan syarat lain yaitu asl (hukum asal yang bersumber kepada dalil Qur'an atau sunnah) dan furu' (masalah yang hendak dikiaskan). Dalam kasus perubahan status NU dari organisasi sosial keagamaan menjadi partai politik kemudian berubah lagi dari partai politik menjadi organisasi sosial keagamaan, NU menggunakan argumen- tasi dalil tersebut. Di sini letak kerancuan penggunaan dalil, sebab dalam kasus tersebut tidak ada asl, dalil yang ber- sumber kepada Qur'an dan hadis. Tentu saja jika mengenai dasar ini tidak ada, maka tidak mungkin ditemukan 'illat yang bisa mempertautkan kasus (furu') tersebut dengan hukum asal (asl) yang bersumber dari Qur'an maupun ha- dis. Meskipun kaidah-kaidah fikih dihasilkan dari pendekatan induktif (istiqra') dengan memperhatikan kesamaan-kesama- an hukum dan masalah dalam fikih, namun penerapan operasionalnya masih terbentang kemungkinan keragaman- nya. Keragaman itu kemungkinan disebabkan karena per- bedaan situasi dan penilaian pelakunya. Misalnya dalam mengantisipasi adanya faktor bahaya, menurut kaidah dar' al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-masalih. akan berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Penilaian darurat atau baha- ya bagi orang yang sakit untuk melakukan salat sambil duduk karena tidak mampu berdiri akan berbeda dari satu orang kepada yang lain. Sampai sejauh mana penilaian seseerang atas "bahaya" berdiri karena sakit, berbeda-beda. Apalagi bila kaidah tersebut diterapkan dalam bidang so- sial, politik dan kultural. Relativitas itu akan semakin long- gar, karena perbedaan persepsi masing-masing kelompok juga makin lebar dibanding dengan persepsi masing-masing individu mengenai suatu kasus tertentu. Penerapan kaidah-kaidah tersebut eleh NU mengesankan sikap selalu melihat masalah yang dihadapi sebagai situasi darurat atau temporer, sebab pilihan-pilihan yang dihadapi NU selalu dilihatnya dengan kacamata "memilih yang ter- baik di antara yang jelek-jelek". Itulah barangkali yang me- nyebabkan NU tidak pernah, setidaknya jarang sekali, me- nawarkan kemungkinan ke arah ofensif untuk membuat kemungkinan yang terbaik di antara yang baik-baik. Tetapi ini bukanlah hal yang tidak bisa dipahami, sebab kondisi organisasi sosial ummat Islam, maupun partai Islam di masa lain, bukanlah organisasi yang kuat. Ibarat regu olah raga, kekuatan fisik dan teknik permainannya masih lemah dibanding regu yang lain. Terbukti "permainan" yang di- tempuh selama ini seringkali dikalahkan "regu" lain. Masih diperlukan waktu, tenaga, pikiran dan dana yang besar untuk menyempurnakan organisasi dan kelembagaan sosial ummat Islam agar menjadi organisasi yang kuat, memiliki teknik, kekuatan fisik, persatuan, kekompakan dan keteram- pilan yang tinggi untuk "bermain". __________________________________________________________ __________________________________________________________ Catatan 1. Lihat Hasjim Asj'ari, Ihya' 'Amal al-fudala' (Kendal: NU Jawa Tengah, 1969). 2. Abu Bakr al-Dimyati, I'anah al-Talibin IV, (al-Qahirah: Dar al-Ihya' al-Kutub al-Arabiyyah, t.t), h. 180-4. Kitab ini menjadi acuan NU dalam muktamar-muktamar. Konferensi Alim Ulama 1954 juga memakai kitab ini. 3. Ibid. 4. Ibid 5. Lihat Abdul Halim, Sejarah Perjuangan. 6. Konsesi yang diberikan penguasa Umawi bagi pemecahan konflik itu antara lain pengakuan terhadap empat khalifah per- tama. Seperti diketahui Muawiyah terlibat permusuhan dengan Khalifah Ali ibn Abi Talib dan membangkang kekuasaannya, namun setelah Ali meninggal Muawiyah mengakui kekuasaan Khalifah Ali. Tahun-tahun awal kekuasaan dinasti Umawi disebut sebagai 'am al-jamaah. Lihat Nurcholish Madjid, "Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah Waljamaah", dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun'im Saleh (ed.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta P3M, 1989), h. 61-79.