Ternyata dalam Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 dalam konsiderannya menegaskan:'Kami berkeyakin- an bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut". Apakah pe- negasan itu berkaitan langsung dengan peristiwa yang di- tuturkan Saifuddin Zuhri di atas atau tidak, bukan per- soalan yang penting. Persoalannya ialah sikap NU, dalam hal ini Idham Chalid dan Saifudin Zuhri, seperti halnya pendahulu mereka Wachid Hasjim, yang memandang bah- wa perubahan kalimat 'Ketuhanan dengan Kewajiban .. seperti yang tercantum dalam Piagam Jakarta, menjadi 'Ke- tuhanan Yang Maha Esa' dalam pembukaan dan pasal 29 ayat 1 UUD 1945, bukan sekedar artifisial belaka tanpa memiliki kesinambungan makna. Bahwa hal itu ditegaskan 'menjiwai', dan 'merupakan satu rangkaian kesatuan de- ngan konstitusi', merupakan kesinambungan makna. Hal yang sama juga disebutkan dalam TAP MPRS nomer XX/1966 yang mengesahkan Memorandum DPRGR menge- nai tertib hukum dan urutan perundang-undangan Repu- blik Indonesia tanggal 9 Juni 1966. TAP MPRS itu menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945 di zaman Orde Baru ini. Pada bagian kedua dari sumber tertib hukum RI di- sebutkan "Dekrit tersebut merupakan sumber hukum bagi berlakunya kembali UUD 1945 sejak 5 Juli 1959".151 Selan- jutnya pada bagian tentang UUD Proklamasi huruf (b) dinyatakan bahwa "Penyusunan Pembukaan UUD '45 se- sungguhnya dilandasi oleh jiwa Piagam Jakarta 22 Juli 1945, sedangkan Piagam Jakarta itu dilandasi oleh jiwa pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945...." 152 Dengan demikian logis jika deklarasi munas alim ulama NU itu menegaskan bah- wa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan tauhid dalam Islam oleh karena UUD 1945, dan karena itu juga Pembukaan dan batang tubuhnya, dijiwai oleh Piagam Ja- karta. Butir ketiga deklarasi selanjutnya menegaskan bahwa Islam adalah akidah dan syari'ah, meliputi hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia. Ini berarti bahwa Islam bukanlah sejenis ideologi meskipun ia dapat dirumus- kan sebagai ideologi yaitu ideologi yang mengakarkan kon- septualnya berdasar ajaran Islam. Namun suatu ideoiogi, betapapun kompleks arti dan hal-hal yang terkandung di dalamnya sehingga mempengaruhi watak perilaku pribadi dan sosial, tetap merupakan hasil pikiran manusia.153 Demi- kian pula jika Islam hendak dirumuskan sebagai suatu ideologi, maka ia akan tidak dapat menghindari paradigma tertentu yang mempengaruhinya antara lain sistem nilai, tradisi, latar belakang sejarah dan sosial maupun budaya. Tidak terkecuali Pancasila sebagai ideologi nasional bangsa Indonesia hakekatnya merupakan cipta karsa bangsa dan rakyat Indonesia untuk merumuskan suatu ideologi yang bersumber dari nilai-nilai luhur masyarakat dan bangsa Indonesia sendiri.l54 Oleh karena itu Setiap muslim, baik secara pribadi maupun sosial, dapat dibenarkan menganut faham filsafat atau ideologi tertentu, mengembangkan nilai budaya atau menganut tatanan sosial tertentu sampai ke bentuk suatu negara nasional atau mengikatkan diri ke dalam suatu ikatan sosial yang lebih spesifik seperti organisasi kemasyarakatan atau politik, sepanjang semua itu tidak bertentangan dengan Islam dan dapat menempatkan masing- masing dalam proporsi dan kedudukan yang benar.l55 De- ngan demikian antara agama, dalam hal ini Islam, dan Pancasila, didudukkan dalam daerah masing-masing, ke- duanya dapat sejalan, saling mengokoh kuatkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Ke- duanya bisa bersama-sama dilaksanakan, tidak dipilih salah satu dengan membuang yang lain.156 Dengan kerangka pemikiran seperti itu butir keempat deklarasi menegaskan bahwa penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya ummat Islam Indonesia untuk menjalankan syari'at agamanya. Sebagai konsekuensi dari konsep pemikiran di atas ialah bahwa setiap muslim baik pribadi maupun sosial dapat menganut paham ideologi dan mengikatkan diri ke dalam ikatan- ikatan sosial dan kultural, sepanjang hal itu tidak menyim- pang atau bertentangan dengan, dan dapat mendukung perwujudan, nilai-nilai Islam; maka logis jika ideologi Pan- casila juga dipandang sebagai apresiasi dan aktualisasi diri seorang atau masyarakat muslim Indonesia. Pancasila tidak dipandang sebagai agama, melainkan sebagai subsistem yang subordinatif dari Islam itu. Seperti halnya seorang muslim dapat mengikatkan diri ke dalam suatu negara nasional atau lembaga kemasyarakatan dan politik tertentu yang tentu juga memiliki 'falsafah hidup' atau 'pandangan hidup' tertentu, maka dia dapat pula mengikatkan diri dengan, dalam arti menerima dan mengamalkan, Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara maupun masyarakat. De- ngan demikian Pancasila dan Agama (Islam) menduduki daerah dan wilayah sendiri-sendiri, tidak tumpang tindih atau salah satu menghilangkan yang lain. Orang muslim tetap muslim meski dia ber-Pancasila karena dia sebagai warga negara Indonesia dan tunduk kepada hukum dasar negaranya, dan seorang muslim yang lain tetap muslim meski dia tidak ber-Pancasila karena dia warga negara negara lain dan tentu juga tunduk kepada dasar hukum negara yang berbeda. Penerimaan Pancasila oleh NU, baik sebagai asas tunggal organisasinya maupun sebagai dasar negara, dapat disim- pulkan karena dua hal. Pertama, karena nilai-nilai Pancasila itu sendiri dianggap baik (maslahah). Islam memberi moti- vasi kepada ummatnya untuk menerima, bukan hanya Pan- casila, tetapi juga, apa saja yang baik yang memberi kontribusi bagi upaya untuk mewujudkan nilai-nilai Islam secara nyata.157 Dalam konteks seperti itu maka negara nasional Indonesia yang memiliki batas wilayah, sistem nilai dan budaya, tradisi, juga hukum dasar dan falsafah Pancasila, dapat diterima karena hal-hal tersebut memiliki signifikansi untuk mewujudkan nilai-nilai Islam. Oleh ka- rena itu ra'is 'am NU Achmad Siddiq menegaskan setelah usai muktamar NU 1984, bahwa NU menerima asas tung- gal Pancasila semata-mata karena motivasi agama, bukan politik.158 Menerima hal-hal yang baik yang memberi kon- tribusi untuk mewujudkan nilai-nilai Islam. Bagi NU, me- nurut Achmad Siddiq, Negara RI adalah upaya final seluruh bangsa, terutama kaum muslimin, untuk mendiri- kan negara di wilayah Nusantara.159 Negara RI yang ber- dasar Pancasila itu dipandang sebagai wasilah untuk me- wujudkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Kedua, alasan Pancasila diterima karena fungsinya sebagai mu'ahadah atau misaq, kesepakatan, antara ummat Islam dengan golongan lain di Indonesia untuk mendirikan nega- ra. Oleh karena itu Negara RI dianggap merupakan upaya final yang bisa dicapai dalam kesepakatan seluruh bangsa, termasuk kaum muslimin, untuk mendirikan negara di wi- layah Nusantara. Ini berarti pengakuan bahwa negara itu didirikan dengan kesepakatan atau misaq antara ummat Islam dengan golongan lain. Sebagai misaq, sejauh hal itu yang bisa dicapai, ummat Islam bertanggung jawab, demi- kian pula golongan lain, untuk memegang teguh kese- pakatan itu. Achmad Siddiq mengutip ayat al-Qur'an (13: 19-20) 'Hanyalah ulul-albab yang dapat mengambil pela- jaran, yaitu orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian itu.160 Pengertian al-mufuna bi 'ahdillah (orang yang memenuhi janji Allah) yang tidak merusak perjanjian itu dapat juga diperluas maknanya meliputi janji yang disepakati antar kelompok atau golongan, seperti yang dipraktekkan Nabi Muhammad ketika mengadakan perjanjian yang dikenal Sulh al-hudaibiyyah, maupun janji yang disepakati antar pribadi. Pancasila diterima sebagai misaq ketika itu karena dua alasan, karena perubahan kalimat 'Kehtuhanan dengan ke- wajiban..' menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa' diyakini mencerminkan tauhid dalam Islam, dan untuk menjaga keutuhan wilayah negara.161 Kritik yang muncul ialah se- jauh mana representasi golongan Islam diwakili dalam per- temuan dengan Hatta maupun dalam PPKI sehingga di- terima sebagai misaq. Seperti telah dikemukakan terdahulu sidang-sidang BPUPKI telah mencapai kesepakatan rumus- an UUD. Piagam Jakarta disepakati sebagai pembukaan UUD dan beberapa pasal UUD disesuaikan dengan rumus- an Piagam itu. Ketika saatnya untuk disahkan dalam si- dang PPKI (sebagai pengganti BPUPKI) muncul persoalan baru. Pertama, susunan keanggotaan PPKI mengalami per- ubahan dari susunan keanggotaan BPUPKI. Badan Penye- lidik beranggotakan 62 orang, 15 mewakili nasionalis mnslim. Panitia Persiapan beranggotakan 27 orang, 3 orang mewakili nasionalis muslim. Dari sembilan orang penan- datangan Piagam Jakarta empat orang diangkat kembali sebagai anggota PPKI, lima orang lainnya tidak diangkat.162 Menurut Prawoto Mangkusasmito Jepang turut berperanan dalam penyusunan PPKI.163 Dalam kaitan dengan itu, maka yang kedua, munculnya perwira angkatan laut Jepang yang menghadap Hatta me- wakili ummat Kristen Indonesia bagian timur, memperkuat dugaan Sjafrudin. Sebelumnya, ketika dalam sidang-sidang BPUPKI, mereka telah sepakat dengan golongan nasionalis muslim dalam suatu kesepakatan yang disebut gentlemen agreement yang dipertahankan mati-matian oleh Soekarno, Soepomo dan Hatta sendiri. Pernyataan yang selalu meng- ganggu ialah apakah hubungan antara susunan keanggota- an PPKI, kedatangan perwira Jepang kepada Hatta dan perubahan-perubahan rumusan UUD yang telah disepakati sebelumnya dalam BPUPKI? Apakah tepat perubahan-per- ubahan itu dinilai sebagai misaq antara golongan muslim dengan golongan lain? Bukankah justru kesepakatan telah dicapai sebelumnya dalam sidang BPUPKI? Lain mengapa tiba-tiba ada kesepakatan baru dalam sidang PPKI, badan yang nilai representasinya tidak lebih baik dari badan se- belumnya, BPUPKI? Masalah ketiga ialah siapa yang hadir dalam pem- bicaraan dengan Hatta pada hari 18 Agustus 1945 sebelum sidang PPKI. Hatta menegaskan empat orang hadir dalam pertemuan itu: Wachid Hasjim, Bagus Hadikusumo, Kas- man Singodimedjo, dan Muhammad Hasan.164 Sementara Prawoto, menegaskan Wachid Hasjim tidak hadir karena sedang bertugas ke luar kota.165 Jika benar empat orang yang hadir, hanya Wachid Hasjim sebagai anggota penan- datangan Piagam Jakarta, tiga yang lain bukan. Apakah cukup representatif kesepakatan dengan Hatta itu diwakili Wachid Hasjim dari Panitia Sembilan untuk mewakili go- longan Islam, sementara tiga lainnya (Agus Salim, Abikus- no Tjokrosoejoso dan Kahar Muzakkir) tidak hadir, bahkan tidak diangkat sebagai anggota Panitia (PPKI). Kontroversi ini memang sempat memancing perdebatan yang menegangkan.166 Sampai seberapa jauh sebenarnya campur tangan Jepang terhadap pembentukan PPKI itu ditujukan untuk menekan golongan Islam. Namun terlepas dari kemungkinan adanya penekanan itu yang membuah- kan perbedaan perimbangan jumlah perwakilan golongan Islam dan sekuler dalam kedua badan (BPUPKI dan PPKI) dan perubahan-perubahan lainnya, perdebatan yang ber- kembang selama sidang BPUPKI mengindikasikan ke- mungkinan perubahan atas kesepakatan yang telah dicapai dalam sidang BPUPKI sendiri. Menurut catatan Yamin, Bagus Hadikusumo sendiri sejak mula tidak menghendaki klausula yang kompromistis itu. Hadikusumo mempersoal- kan kata 'bagi pemeluk-pemeluknya' yang dianggapnya ti- dak tegas.167 Klausula itu dipersoalkan Hadikusumo be- berapa kali. Klimaks dari pernyataannya ialah: '.. supaya diusulkan apakah negara kita berdasar agama atau tidak. Kalau tidak, tidak, habis perkara'.168 Kata 'bagi pemeluk- nya' menurut Bagus Hadikusumo tidak memberi ketegasan dasar Islam bagi negara, sebab kata itu menimbulkan dua- lisme hukum, satu untuk ummat Islam dan satu lagi untuk bukan Islam. Sementara itu jika benar Wachid Hasjim hadir dalam pertemuan dengan Hatta, juga masih memberi kemung- kinan perubahan-perubahan terhadap kesepakatan dalam BPUPKI. Meski dia menuntut lebih jauh selama sidang BPUPKI, presiden dan wakilnya harus beragama Islam dan Islam sebagai agama negara, namun Wachid Hasjim sendiri berpendirian jika pertaruhannya dengan Piagam Jakarta (dan pasal-pasal lain sebagai konsekuensi lanjutannya) itu akan menimbulkan perpecahan dan ancaman terhadap ke- utuhan wilayah, agaknya bisa dimengerti mengapa Wachid Hasjim menerima kesepakatan baru itu. Seperti dikemuka- kan pada bagian terdahulu Wachid Hasjim melihat pen- tingnya persatuan itu dipertahankan. Wachid Hasjim antara lain mengemukakan pentingnya dipelihara dan dikem- bangkan persatuan bangsa yang tidak terpecahkan. Per- nyataan Wachid Hasjim yang ditulis 25 Mei 1945 itu dapat memberi kemungkinan tafsiran mengapa dia menerima ke- sepakatan baru. Dari kalangan muslim sendiri selama si- dang BPUPKI ada sejumlah orang yang tidak setuju dengan kesepakatan yang kompromistis, lebih-lebih dari kalangan nasionalis sekuler. Terlihat misalnya dari pendapat-penda- pat Bagus Hadikusumo, Kahar Muzakir, Sanusi, dan dalam beberapa hal termasuk Agus Salim. Dengan dasar pertim- bangan itu barangkali empat orang yang bertemu Hatta pagi hari 18 Agustus 1945 dapat memahami ajakan Hatta karena saran opsir militer Jepang. Itu pun masih disertai saling pengertian di antara mereka, dan juga 'Ketuhanan dengan kewajiban ..' menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa' mencerminkan pengertian tauhid dalam Islam. Jelas bahwa ada kekhawatiran mereka jika klausula Piagam Jakarta akan dipaksakan masuk ke dalam UUD akan membawa dampak perpecahan wilayah. Masalahnya ialah UUD yang disahkan 18 Agustus 1945 itu sejak mula dipersiapkan sebagai UUD sementara. Semua pihak menyadari bahwa suasana ketika itu tidak memung- kinkan menyusun UUD yang berlaku permanen. Ketika UUD itu disahkan para pengambil keputusan itu menyada- ri akan menghadapi masalah, bukan saja dalam hal UUD itu sendiri, melainkan terhadap nasib negara yang baru didirikan itu. Kemungkinan Belanda, dan ini akhirnya men- jadi kenyataan, akan kembali lagi telah mendorong mereka untuk mengesampingkan hal-hal yang berbeda satu dengan lainnya guna lebih mempererat persatuan menghadapi an- caman itu. Selain itu pada saat-saat terakhir menjelang kemerdekaan masih belum jelas benar apakah Jepang ber- tekuk lutut karena kekalahan dalam perang Pasifik. Kisah penculikan Soekarno dan Hatta oleh kelompok pemuda membuktikan ketidakjelasaan itu. Para pemuda itu masih merencanakan pemberontakan terhadap Jepang yang sudah 'kalah', karena kekuatan militer Jepang sebenarnya masih patut diperhitungkan sekiranya mereka melakukan per- tahanan militer di Indonesia. Keputusan-keputusan itu di- ambil dengan semangat yang mendorong untuk secepat- cepatnya dan tergesa-gesa. Ingin segera merdeka dan de- ngan demikian dapat memobilisasi kekuatan rakyat meng- hadapi ancaman musuh. Dalam konteks yang demikian dapat dipahami mengapa NU mengeluarkan resolusi jihad Oktober 1945 yang kemudian disusul keputusan muktamar 1946. Akan tetapi ketika pada akhirnya UUD 1945 itu dinyata- kan berlaku kembali melalui dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan dipertahankan hingga kini, masalahnya ialah karena kontro- versi ideologi yang terjadi ketika itu kemudian disusul dalam badan Konstituante, masih tetap dinilai dapat me- rangsang munculnya kerawanan sosial dan politik yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Keadaan status quo itu dipertahankan hingga kini barangkali agar tidak me- mancing keresahan sosial yang lebih berkepanjangan lagi, sementara kebutuhan untuk mengatur kegiatan lain yang juga prinsip menuntut pengerahan tenaga dan pikiran yang tidak kurang pentingnya. Dalam konteks ini sebenarnya juga bisa dimengerti bahwa pemerintah Orde Baru seka- rang ini mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 serta merumuskan sistem kepartaian baru dan organisasi kema- syarakatan sebagai upaya untuk meredam konflik ideologi agar tidak merusak sendi-sendi utama persatuan bangsa. Pemerintah berusaha untuk mengintegrasikan semua poten- si nasional guna diarahkan untuk menjaga persatuan dan kesatuan itu. Apa yang diuraikan di muka adalah sikap NU tentang Pancasila yang dirumuskan dalam sebuah deklarasi munas alim ulama 1983 kemudian dikokohkan kembali melalui muktamar 1984. Deklarasi itu ditutup dengan pernyataan bahwa NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuan oleh semua pihak, yaitu Pancasila yang nilai-nilai, kedudukan dan fungsinya seperti diuraikan di muka. Dari segi tradisi pemikiran NU sendiri sikap yang demi- kian sebenarnya juga memiliki konsistensi rasional. Dalam mengantisipasi gejala-gejala sosial dan politik, NU selalu melihatnya tidak dalam sikap yang mutlak-mutlakan. Salah satu prinsip yang digunakan ialah dalil "Apa yang tidak dapat dicapai seluruhnya, elemen yang sudah dicapai tidak ditinggalkan".169 Prinsip dalil ini bersumber dari hadis Nabi Muhammad 'Jika aku melarangmu tentang sesuatu tinggal- kan, tetapi jika aku memerintahkan maka kerjakan sebatas kemampuanmu'.l70 Dalam kaitan dengan dalil itu pene- rimaan Pancasila dan UUD 1945 merupakan antisipasi NU untuk merebut yang 'sebagian' telah dapat dicapai, sebab untuk memperoleh 'semua' sebagai dasar negara tidak, atau belum, memungkinkan dan barangkali juga tetap akan menghadapi kesulitan yang tidak kecil atau malah justru jadi bumerang bagi dirinya sendiri dan ummat Islam. Dalil kedua ialah 'menghindarkan bahaya didahulukan atau diutamakan daripada melaksanakan (kewajiban) yang baik'.171 Jika tantangan untuk melaksanakan kewajiban yang baik (maslahah) menghadapi masalah yang berat dan akan menimbulkan bahaya, maka diutamakan menghindari bahaya itu dan melaksanakan kewajiban sebatas kemam- puan saja. Ini juga berkaitan dengan dalil pertama, jika untuk melaksanakan pertintah karena berbagai hambatan tidak dapat dilakukan sempurna, tidak berarti perintah itu gugur, sebagian saja yang dianggap dapat dilaksanakan, maka sebagian itulah yang harus dilaksanakan. Alasannya ialah karena syari'ah Islam lebih menekankan larangan agar tidak terjadi bahaya atau keburukan daripada perintah me- laksanakan kebaikan atau maslahah.172 Dalam kaitan dengan itu maka dalil yang ketiga ialah prinsip untuk memilih bahaya yang paling ringan akibat- nya: Jika terjadi benturan dua hal yang sama buruk diper- timbangkan yang lebih besar bahayanya dan melaksanakan yang paling kecil akibat buruknya'.173 Ini berarti jika pilihan-pilihan untuk melaksanakan kewajiban (maslahah) sama-sama tidak sempurnanya, sama-sama akan menim- bulkan akibat buruk, maka dipilih yang paling ringan aki- bat buruknya. Dalil yang keempat ialah 'Jika suatu kewajiban tidak bisa dicapai dengan sempurna kecuali dengan syarat tertentu, maka syarat itu pun wajib'.174 Membangun tertib kehidup- an sosial adalah kewajiban agar dengan demikian nilai-nilai Islam dapat diaplikasikan dalam kehidupan manusia secara nyata. Perintah ini tertuang dalam konsep amr ma'ruf nahy 'an al-muhkar. Menurut al-Ghazali menjadi kewajiban setiap orang muslim untuk mewujudkan tertib agama dalam arti agama bisa diwujudkan secara nyata dalam kehidupan ma- nusia. Untuk mencapai tujuan itu tidak mungkin dilak- sanakan tanpa tertib sosial. Tertib sosial dengan demikian menjadi prasyarat bagi terwujudnya tertib agama (nizam al-dunya syart linizam al-din). Jika tertib agama adalah suatu kewajiban karena hal itu dinilai sebagai maslahah tertib sosial sebagai prasyarat untuk dapat melaksanakan kewajib- an memenuhi tertib agama, syarat tertib sosial itu pun wajib. Secara hirarkis perintah untuk mewujudkan tertib sosial itu akan sampai kepada tertib kehidupan negara dan bang- sa. Proses menuju kepada kondisi itu memerlukan pula hirarki syarat-syarat yang tersusun secara piramida, syarat inti dan syarat-syarat lanjutan yang melengkapi. Dengan logika semacam ini al-Ghazali membuat kesimpulan bahwa membangun negara adalah wajib sebagai syarat untuk membangun ketertiban sosial. Merumuskan dasar negara dan UUD juga wajib karena hal itu sebagai syarat untuk mewujudkan tertib kenegaraan. Jika untuk itu tidak dapat dirumuskan suatu dasar negara dan UUD yang memenuhi kaidah yang sempurna tidak berarti kewajiban itu gugur. Apa yang telah dicapai meski tidak sempurna itu tetap wajib dijalankan disertai dengan kewajiban untuk terus me- nerus menyempurnakannya. Usaha yang terakhir ini de- ngan berpedoman kepada kaidah mendahulukan langkah untuk menghindari bahaya yang dapat mengancam sendi- sendi ketertiban sosial. Jika langkah untuk menghindari bahaya itu dihadapkan pada pilihan yang sama-sama me- ngandung bahaya, maka langkah yang harus dilakukan memilih bahaya yang paling ringan. Keempat dalil tersebut, meski tidak dinyatakan oleh NU ketika menerima dasar negara Pancasila dan UUD 1945, baik ketika awal kemerdekaan maupun ketika dekrit 5 Juli 1959 dan terakhir di Situbondo, memperlihatkan alur pe- mikiran politik dan sosial NU yang runtut dengan nilai tertentu. Dengan kerangka pemikiran semacam itu pula barangkali NU lebih cepat dapat menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasinya, dibanding organisasi Islam lainnya. Ajakan pemerintah agar organisasi kemasya- rakatan menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal sebelum RUU keormasan disahkan DPR dilihat oleh NU sebagai ajakan yang memenuhi asas maslahah. Alternatif yang di- tawarkan NU agar memenuhi ajakan pemerintah dan se- kaligus tidak mengecewakan prinsip akidah yang dianut ummat Islam ternyata diterima semua pihak, baik pemerin- tah, golongan lain dan ummat Islam sendiri. Dalam pen- jelasan pasal 2 UU nomer 8 Tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan (pasal tentang asas) disebutkan bahwa pe- ngertian asas meliputi juga kata 'dasar', 'landasan', 'pe- doman pokok', dan kata-kata lain yang mempunyai pengertian yang sama dengan asas.175 Pemerintah tidak menolak rumusan NU untuk menghindari kontroversi itu dengan menggunakan kata asas dan akidah. Asas sebagai dasar bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Sementara akidah sebagai dasar beragama sebagai penuntun kehidup- an pribadi dan masyarakat. Organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah dan MUI juga menggunakan formulasi yang sama dengan redaksi yang berbeda dengan NU. ___________________________________________________________ ___________________________________________________________ Catatan 151. TAp MPRS nomer XX/1966. 152. Ibid 153. K.H. Achmad Siddiq, "Hubungan Agama dan Pancasila", dalam Proyek Penelitian Keagamaan, Peranan Agama dalam Peman- tapan Ideologi Negara Pancasila, Jakarta: Balitbang Agama Depar- temen Agama, 1984/1985), h. 30. Selanjutnya disingkat Hubungan. 154. Ibid. 155. Ibid. h. 31. 156. Hubungan. 157. Nurcholish Madjid, "Pembahasan atas Makalah K. H. Ach- mad Siddiq Hubungan Agama dan Pancasila", dalam Proyek Penelitian Keagamaan, Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Negara Pancasila Jakarta: Balitbang Agama Departemen Agama, 1984/1985), h. 36. 158. Tempo, 23 Februari 1985. 159. Ibid. Pengertian final tidak berarti tidak akan berubah, sebab berkaitan dengan kesepakatan atau misaq antar berbagai pihak untuk membangun negara. Selain itu pernyataan ini juga barns ditafsirkan berkaitan dengan ayat al-Qur'an "Ketahuilab bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan melalaikan, sekedar perhiasan dan bermegah-megahan antaramu tentang harta dan anak.." (Q. 57:20). Sebagai suatu "permainan" kehidupan duniawi akan beralih dari satu game ke game yang lain. 160. "Allazina yufuna bi 'ahdillahi wa la yanquzuna al-mitssaq" 161. Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 (Jakar- ta: Tintamas, 1969), h. 28, dan 57-59. Selanjutnya dikutip Sekitar. 162. Empat orang yang diangkat sebagai anggota PPKI: Soekarno, Hatta, Soebarjo, dan Wachid Hasjim. Lima orang lainnya Yamin, Maramis, Agus Salim, Abikusno Tjokrosoejoso, dan Kahar Muzak- kir 163. Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Prayeksi (Jakarta: Hudaya, 1970), h. 21-24. Selan- jutnya disingkat Pertumbuhan. 164. Hatta, Sekitar Proklamasi, h. 24. 165. Prawoto, Pertumbuhan, h. 21. Lihat pula bab VI catatan kaki nomor 62. 166. Lihat misalnya Endang Saifudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Jakarta: Rajawali, 1983). 167. Lihat bab VI pembahasan tentang Problem Ideologi. 168. Himpunan Risalah, h. 319-320. 169. "Ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh". 170. "Iza amartukum bi al-syai' fa khuzu bihi mastato'tum wa iza nahitukum 'an syai' fajtanibuhu". Lihat Ibn al-'Asyqalani, Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari, jilid 28, (al-Qahirah: Maktabah al-qahirah, 1989), h. 20-23. 171. "Dar' al-mafasid aula min jalb al-masalih". 172. Zain al-Din ibn Nujaim al-Hanafi, al-Asybah wa al-Naza'ir, (Dimasyq: Dar al-Fikr, 1982), h. 100. 173. "Iza ta'arada mafsadatani ru'iya a'zamuhuma dararan birtikabi akhaffihima". 174. Lihat al-Mahalli, Hasyiyah al-Bannani 'ala Jam' al-Jawami', (Syirkah Nur Asia), h. 192. 175. Lihat penjelasan pasal 2 UU nomer 8 Tahun 1985.