Sekarang ini dengan pengesahan UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama merupakan langkah setahap lebih maju. Jika dahulu hal-hal semacam itu ditetapkan dengan peraturan Menteri Agama, maka sekarang sudah ditetapkan melalui undang-undang yang derajat dan kekuatannya le- bih tinggi. Secara implisit kedua undang-undang itu mem- punyai substansi yang sama dengan keputusan konferensi alim ulama menyusul peraturan Menteri Agama nomer 4 tahun 1952 tentang wali hakim, bahwa pemerintah negara RI berwenang menjalankan kakuasaan (sultah) hukum Islam. Apa yang dikemukakan Hatta di depan sejumlah pemimpin Islam menjelang pengesahan UUD tahun 1945 terbukti benar menjadi kenyataan. Selain tentang hukum keluarga seperti yang diuraikan di muka, NU juga pernah menilai bahwa substansi UU Pokok Agraria yang dibahas DPRGR akhir tahun 1960 dapat di- terima menurut pertimbangan itu, selain bahwa dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa yang mempunyai fungsi sosial ekonomi. Pemilikan tanah produktif yang berlebihan yang membawa akibat pemupukan kekayaan dan ke- pincangan sosial ekonomi harus dicegah untuk melindungi petani yang lemah dan untuk menjamin pemerataan peng- hasilan dan penyediaan pangan bagi penduduk.l37 Barang- kali pertimbangan fikih yang dipakai NU ialah ijtihad 'Umar ibn Khattab yang menolak menetapkan tanah ghanimah yang subur di Irak (al-sawad al-Iraq) sebagai ram- pasan perang untuk diserahkan kepada militer yang ikut merebut daerah tersebut, melainkan menyerahkan kembali tanah tersebut sebagai milik negara kepada penduduk se- tempat dengan bagi hasil atau sewa yang harus diolah kembali untuk menjamin kebutuhan pangan rakyat. Pada- hal tradisi sebelumnya baik zaman Nabi Muhammad mau- pun zaman kekuasaan Abu Bakar tanah rampasan perang yang demikian sebagian selalu dibagikan kepada militer yang ikut berperang. Tentu saja karena studi ini tidak mengkhususkan kajian mengenai hal ini maka pendekatannya hanya dilakukan sekilas secara garis besarnya belaka untuk mendukung ide pokok tentang konsep dan perilaku politik NU dalam upa- yanya untuk memperjuangkan berlakunya syari'ah Islam menurut ajaran ahlussunnah waljamaah di bumi Nusantara. Meskipun demikian patut dikemukakan bahwa kerangka pendekatan ini jika diangkat untuk memahami suatu kon- sep politik untuk merumuskan apakah suatu negara ber- dasar Islam dan memenuhi standard pokok sebagai negara menurut Islam, agaknya bukan tanpa alasan. Selama ini pendekatan yang dilakukan dalam perjuangan politik untuk merumuskan negara Islam selalu berdasar kerangka ideo- logi politik formal yang belum pernah berhasil dan nam- paknya akan terus mendapat rintangan besar. Realitas ini barangkali juga didukung oleh kenyataan bahwa di negara-negara yang secara formal menganut ideo- logi politik Islam belum menjamin substansi yang menjadi tujuan akhir dari simbol itu, keadilan sosial, kesejahteraan yang merata dan stabilitas sosial politik, dapat diwujudkan menjadi kenyataan. Bahkan tidak sedikit malah justru me- nimbulkan konflik dan anarki politik yang berkepanjangan, yang akibatnya juga makin menjauhkan dari gambaran idealnya sendiri. Inilah barangkali yang mendorong alim ulama yang dimotori NU (juga Muhammadiyah dan Perti) untuk mengakui negara dan pemerintahan RI sah menurut hukum Islam sebagai upaya untuk secara bertahap me- mulai langkah menuangkan konsep-konsep hukum Islam, walaupun secara fragmentaris, ke dalam sistem hukum na- sional dalam kehidupan bernegara di Indonesia. D. ASAS PANCASILA DAN AKIDAH ISLAM Seperti diketahui masa tiga atau empat tahun sebelum muktamar NU 27, Desember 1984, keadaan organisasi NU seakan terbelah dalam konflik yang menegangkan. Puncak dari ketegangan itu tejadi ketika Idham Chalid, ketua umum tanfidziyah NU, mengikrarkan pengunduran diri 2 Mei 1982 (pernyataan itu resminya tertanggal 6 Mei) di hadapan sejumlah ulama senior NU dan ra'is 'am Ali Ma'shum. Ikrar itu kemudian dicabut Idham Chalid 14 Mei 1982. Timbul reaksi pro dan kontra terhadap ikrar yang dicabut kembali itu. Sebagian kalangan NU menuduh ikrar itu dilakukan dengan tekanan. Ulama senior NU di- tunggangi kepentingan tertentu untuk mengkup kepemim- pinan Idham Chalid. Oleh karena itu ikrar pengunduran diri Idham Chalid dinilai tidak sah, karena Idham Chalid terpilih dalam muktamar. 'Pengunduran diri atau penggan- tian ketua umum harus dilakukan lewat muktamar', kata mereka. Sementara itu Ali Ma'shum yang didukung sejum- lah ulama senior NU berpendapat ikrar pengunduran diri itu sah, tidak dapat dicabut. Mereka berpendapat sesuatu hak yang sudah diberikan atau direlakan menurut hukum fikih tidak dapat dicabut kembali kecuali dengan kerelaan yang menerima hak.138 Rentetan ketegangan itu selanjutnya masing-masing fihak membentuk panitia muktamar untuk mendapatkan du- kungan formal organisasi. Dari kelompok Idham Chalid ditunjuk Chalid Mawardi selaku ketua panitia, di lain fihak syuriah NU di bawah koordinasi ra'is 'am Ali Ma'shum membentuk panitia yang dikoordinasi Masjkur dan Imron Rosjadi.139 Kelompok Ulama cukup mengalami hambatan formal untuk menyelenggarakan muktamar, karena ketua umum tanfidziyah yang bertanggung jawab menyelenggara- kannya justru masih dipersoalkan. Kemungkinan penye- lenggaraan pertemuan yang sah menurut AD ialah mu- syawarah nasional (munas) alim ulama NU, sebab kegiatan itu memang di bawah tanggung jawab syuriah NU. Panitia munas ditunjuk Abdurrahman Wahid.l40 Ketika munas alim ulama NU berlangsung di Situbondo, di Jakarta kelompok Idham Chalid menyelenggarakan rapat pleno PBNU yang diperluas dengan menghadirkan pim- pinan wilayah NU seluruh Indonesia. Rapat itu diselengga- rakan untuk mempersiapkan muktamar NU yang diren- canakan April 1984. Namun rapat itu gagal karena Dinas Intel Mabes Polri memerintahkan untuk menunda rapat itu.141 Barangkali karena mereka merasa terpukul karena munas alim ulama di Situbondo mendapat dukungan pe- merintah, mereka kemudian berusaha memperoleh duku- ngan yang sama. Meski rapat pleno itu gagal, pertemuan pimpinan wilayah NU yang dikoordinasi kelompok Idham Chalid mengeluarkan kebulatan tekad menerima asas Pan- casila serta menerima dan mendukung kebijaksanaan PBNU untuk menyelenggarakan muktamar.142 Sementara itu meski akhirnya munas alim ulama menerima asas tunggal Pan- casila, perdebatan berlangsung cukup alot. Mungkin saja dua peristiwa itu terjadi secara kebetulan belaka, mengingat ketika terjadi polemik tentang Pancasila dalam sidang BPUPKI maupun Konstituante, ada indikasi kuat bahwa NU sejak mula dapat menerima Pancasila se- bagai asas bernegara maupun bermasyarakat. Akan tetapi bahwa penerimaan asas tunggal Pancasila ketika terjadi konflik yang menegangkan dalam tubuh NU sendiri se- olah-olah timbul kesan mereka berusaha mencari dukungan pemerintah, berlomba menerima asas tunggal itu. Kelom- pok alim ulama NU sendiri sebenarnya sejak mula, setelah konflik pecah, mengisyaratkan akan menerima asas tunggal Pancasila. Pernyataan As'ad Sjamsul Arifin setelah meng- hadap Presiden Soeharto menjelang munas alim ulama ta- hun 1983, memperjelas indikasi itu. Awal Agustus 1983, As'ad menemui Presiden untuk melaporkan rencana munas alim ulama NU dan menegaskan 'ummat Islam Indonesia wajib menerima Pancasila, dan haram hukumnya bila me- nolak'.143 Barangkali karena alasan itulah maka pertemuan pimpinan wilayah NU yang dikoordinasi kelompok Idham Chalid buru-buru mengeluarkan kebulatan tekad menerima asas tunggal Pancasila dengan harapan akan mendapat du- kungan pemerintah untuk menyelenggarakan muktamar. Dalam munas alim ulama NU tahun 1983 masalah asas tunggal Pancasila cukup seru diperdebatkan. Makalah uta- ma yang menjadi acuan agenda sidang tentang asas Pan- casila disampaikan Achmad Siddiq, waktu itu jabatan formalnya anggota mustasyar PB Syuriah NU. Makalah de- lapan halaman yang dikemukakan Achmad Siddiq intinya mengandung dua ha1.144 Pertama, membahas tentang ke- dudukan ulama (syuriah) dalam NU sebagai sentral orga- nisasi, pendiri, pengendali dan pembimbing organisasi dan jamaah NU. Menurut Achmad Siddiq, dalam sejarah NU telah terjadi pergeseran kedudukan ulama. Tanfidziyah yang seharusnya orang kepercayaan syuriah dan ulama, ada yang bersikap menentang. Sikap ini menurut Achmad Siddiq dapat menggoyahkan sendi-sendi NU. Sebenarnya keputusan kembali kepada khittah NU sudah lama diambil, sejak muktamar NU 1979 di Semarang, tetapi hingga kini belum terlaksana. Achmad Siddiq mengusulkan agar diam- bil langkah yang mempertegas wewenang ulama. Dari usul ini kemudian munas memutuskan bahwa pengurus NU di semua tingkatan adalah pengurus syuriah yang dipilih langsung dalam muktamar NU.145 Achmad Siddiq juga mengusulkan pemecahan mengenai hak politik warga NU. Menurutnya, hak ini merupakan hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga NU. Ditegaskan,'tetapi NU bukan wadah politik praktis', karena itu diusulkan agar NU mem- beri kebebasan penuh kepada warganya untuk 'masuk atau tidak masuk suatu organisasi politik yang mana pun'. Bagian kedua dari makalah Achmad Siddiq mengulas ten- tang Pancasila. Meskipun GBHN hanya menentukan asas Pancasila bagi partai politik dan Golkar, namun seruan dan ajakan yang 'sangat' dari pemerintah agar seluruh orga- nisasi kemasyarakatan mencantumkan asas tunggal Pan- casila dalam anggaran dasarnya 'patut dipertimbangkan de- ngan wajar dengan kejernihan pikiran dan kesungguhan'. Bagi NU, menurut Achmad Siddiq, pencantuman asas pada anggaran dasar bukan hal yang mutlak. Terbukti pada anggaran dasar NU 1926 tidak tercantum asas apa pun. Asas Islam baru dicantumkan setelah NU menjadi partai politik. Setelah itu, awal atau menjelang tahun enam puluh- an, ditambahkan landasan perjuangan NU, Pancasila dan UUD 1945. Achmad Siddiq menolak dikaitkannya asas Islam sebagai Ideologi. Islam adalah agama wahyu, semen- tara ideologi atau ideologi politik hasil pikiran manusia. Agama, menurut Achmad Siddiq, bagi suatu organisasi keagamaan, seperti halnya bagi pemeluknya, merupakan sesuatu yang prinsipil. Lebih dari sekedar ideologi. Menanggapi ajakan pemerintah, Achmad Siddiq me- ngatakan: 'Pemerintah tidak mengajak NU menerima asas tunggal Pancasila, pada saat yang sama, mengesampingkan Islam'. Oleh karena itu Achmad Siddiq menyimpulkan,'NU dapat dibenarkan memenuhi ajakan pemerintah tentang asas tunggal Pancasila, dengan pengertian hal itu tidak berarti NU mengesampingkan Islam'. Selanjutnya Achmad Siddiq mengusulkan agar anggaran dasar NU diubah se- demikian rupa agar asas tunggal Pancasila dan Islam tidak saling bertentangan. Diusulkan agar dalam AD NU dican- tumkan mukaddimah yang memuat sikap dasar NU, ter- utama mengenai orientasi NU tentang Islam. Selanjutnya pasal-pasal anggaran dasar perlu disusun kembali dengan mencantumkan asas tunggal Pancasila dan menyesuaikan beberapa pasal dengan penegasan dan pemantapan langkah kembali kepada khittah 1926. Dalam pembahasan makalah Achmad Siddiq tentang asas tunggal Pancasila dalam komisi khittah ternyata reaksi yang muncul cukup keras. Tidak kurang dari 34 orang yang menanggapi makalah itu, hanya 2 orang yang setuju, 32 lainnya menentang.146 Muncul pula pernyataan yang dis- ebarkan kepada peserta munas antara lain pernyataan yang ditandatangani 37 kyai dari 36 pesantren di Madura, peng- urus besar HMI dan KAHMI (Korps Alumni HMI) Sura- baya. Pernyataan pertama menegaskan hendaknya munas alim ulama NU tidak menerima asas tunggal Pancasila sebelum RUU keormasan ditetapkan menjadi undang-un- dang. Sementara pernyataan HMI dan KAHMI mendesak NU agar menolak asas tunggal Pancasila.147 Reaksi peserta muktamar terhadap gagasan penetapan asas tunggal Pan- casila bagi NU umumnya khawatir hilangnya identitas Islam, sebab justru orientasi Islam bagi organisasi sosial keagamaan seperti NU menjadi jiwa dan denyut nafasnya. Tanpa Islam tidak lagi berarti bagi NU. Bahkan salah se- orang peserta menolak inti makalah tentang Pancasila itu dan menuduh sikap menerima Pancasila sebagai tindakan murtad. Tampaknya sebagian besar peserta merasa takut kalau asas Islam dalam NU hilang diganti yang lain. Para ulama senior NU yang merintis gagasan untuk menerima asas tunggal Pancasila agaknya tidak menduga begitu ke- rasnya reaksi yang muncul dari peserta munas. Namun dengan kegigihan mereka akhirnya menjelang dini hari se- belum munas usai dicapai kompromi, baik yang menerima maupun yang menolak asas tunggal, keduanya sepakat me- nolak jika kata Islam ditiadakan. Ketika giliran keputusan kompromi itu hendaknya di- rumuskan terjadi lagi ketegangan baru. Abdurrahman Wahid menghendaki konsep penerimaan Pancasila itu di- tuangkan dalam rumusan kalimat secara konngkret dalam anggaran dasar, pada pasal tentang asas; dan dasar Islam pada pasal akidah. Di pihak lain, Tolchah Mansur, meng- hendaki NU menerima Pancasila sebagai asas organisasi sekaligus akidah Islam pada satu pasal. Perdebatan me- ngenai hal ini kembali menegangkan sampai larut men- jelang pagi. Namun ketika pagi dini hari akhirnya rumusan disepakati Pancasila sebagai asasi organisasi dalam anggaran dasar dan Islam sebagai akidah. Selesailah sudah suatu pekerjaan besar munas alim ula- ma NU yang sangat menegangkan itu. Pancasila diterima sebagai asas tunggal organisasi dengan rumusan yang kom- promistis, tidak mengesampingkan Islam. Mukaddimah anggaran dasar seperti yang diusulkan Achmad Siddiq di- rumuskan dengan susunan kalimat: ... untuk mengorganisir kegiatan-kegiatannya dalam suatu wadah yang disebut NU dengan tujuan untuk mengamalkan Islam menurut faham ahlussunah waljamaah ···· jam'iyah NU berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa .... Bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bagi ummat Islam merupakan kepercayaan terhadap (kepada ?) Allah SWT, sebagai inti aqidah yang meyakini tidak ada Tuhan selain Allah SWT. Selanjutnya ditambahkan pasal tentang asas,'NU berasas Pancasila' pada pasal 2; dan pasal tentang akidah,'NU sebagai jam'iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham ahlussunnah wal jamaah ..' pada pasal 3. Urutan pasal ini kemudian diubah dalam muktamar ke-28 di Kra- pyak tahun 1989. Pasal tentang akidah diletakkan pada pasal 2 dan pasal tentang asas pada pasal 3. Perubahan ini agaknya ingin menegaskan bahwa akidah lebih tinggi nilai- nya dari asas. Akidah Islam bersumber dari Wahyu dan kebenarannya mutlak, sementara asas bersumber dari nilai budaya dan tata pikir serta pandangan hidup bangsa Indo- nesia yang dituangkan sebagai dasar, filsafat dan asas ber- negara, berbangsa dan bermasyarakat. Keputusan lain dalam kaitan dengan asas tunggal Pan- casila itu dirumuskan dalam sebuah dokumen yang disebut Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Deklarasi itu memuat lima butir penegasan sikap yang menafsirkan salah satu sila terpenting dalam Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut tafsiran yang 'Islami'. Butir pertama deklarasi itu menegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara bukanlah agama, tidak dapat menggan- tikan agama dan tidak dipergunakan menggantikan agama. Selanjutnya butir kedua menegaskan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, menjiwai sila-sila yang lain. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu 'mencerminkan tauhid menurut pe- ngertian keimanan dalam Islam'. Seperti diketahui pasal 29 ayat 1 UUD 1945 ialah: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dasar negara itu menurut deklarasi munas 'mencerminkan tauhid dalam Islam', sesuai dengan sila Ke- tuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila. Penegasan ini sebenarnya bukannya tidak diduga. Seperti dikemukakan Hatta ketika bertemu dengan beberapa pe- mimpin Islam tanggal 18 Agustus 1945 menjelang sidang PPKI untuk mengesahkan UUD, mereka dapat menerima penghapusan 'tujuh kata' yang tercantum dalam Piagam Jakarta, karena dua alasan. Pertama, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme tauhid dalam Islam. Kedua, demi menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah ne- gara yang baru diproklamasikan sehari sebelumnya, sebab, seperti dikemukakan dalam bab terdahulu, ada keberatan dari masyarakat yang beragama Kristen di Indonesia bagian timur. Menurut mereka jika 'tujuh kata' dalam Piagam Jakarta dipaksakan masuk dalam UUD mereka keberatan bergabung dalam negara RI yang baru diproklamasikan itu. Salah seorang yang dipandang Hatta berpengaruh dalam kesepakatan ini ialah Wachid Hasjim, tokoh NU yang me miliki reputasi nasional ketika itu. Jadi rumusan deklarasi itu hakekatnya menegaskan kembali apa yang disepakati sejak negara ini baru dilahirkan tanggal 18 Agustus 1945 yang lalu. Selain itu peristiwa yang dituturkan Saifudin Zuhri ke- tika Konstituante dianggap mengalami deadlock oleh peme- rintah dan militer; dan pemerintah bermaksud hendak me- ngembalikan berlakunya UUD 1945, patut disimak. Saifudin Zuhri menuturkan: Suatu malam di awal Juli 1959, telepon di rumah berdering pada pukul 01.30 dini hari. Pak Idham Chalid meminta aku datang ke rumahnya di Jalan Jogja (kini Mangunsarkoro) 51. Aku diminta mendampingi beliau berhubung akan datang dua orang pejabat amat penting. Jam 02.00 lebih sedikit aku tiba di Jalan Jogja 51 dan tak berapa lama datang dua orang tamu yang sangat penting itu yang tak lain adalah Jenderal A. H. Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat/Menteri Keamanan Pertahanan. Adapun yang lain adalah Letkol CPM R. Rusli, Komandan CPM seluruh Indonesia. Kedatangan kedua perwira tinggi (satu tinggi, satu menengah. AH) itu untuk minta saran NU berhubung keduanya akan berangkat ke Tokyo untuk menghadap Presiden Soekarno yang sedang berobat di sana. Dari kalangan pimpinan ABRI (istilahnya waktu APRI) akan mengusulkan kepada Presiden agar UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden. Berhubung dengan itu kedua perwira tinggi tersebut meminta pikiran NU materi apa yang perlu dimasukkan dalam Dekrit Presiden. "Isinya terserah Pemerintah tetapi hendaklah memperhatikan suara-suara golongan Islam dalam Konstituante", kata Pak Idham Chalid. "Apa kongkretnya tuntutan golongan Islam itu?", Jenderal Nasution bertanya. "Agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai menjiwai UUD 1945", kataku. "Bagaimana sikap NU apabila Presiden menempuh jalan Dek- rit?", Jenderal Nasution bertanya. "Kami tidak bisa katakan, itu hak Presiden untuk menempuh jalan menyelamatkan negara", jawab Pak Idham Chalid.l50 ______________________________________________________________________ ______________________________________________________________________ Catatan 137. Lihat Laporan Fraksi NU/Golongan Islam dalam DPRGR tanggal 5 Agustus - 3 Oktober 1969; dan Laporan Fraksi NU dalam DPRGR kepada PB NU tanggal 1 November 1960; Arsip Nasional, Keleksi tentang NU Nomer 260. 138. Katib Sani Syuriah NU K.H. Rodli Soleh mengutip kitab fikih Bughyah al-Mustarsyidin mengemukakan bahwa ikrar yang dinyatakan Idham Chalid sah, tidak dapat dicabut kembali. Demi- kian pula K.H. Badri Masduki dari Pesantren Badriadduja, Probe- linggo, mengutip kitab Tausyikh 'Ala ibn Qlrsim dan Syarwltni 'Ala Tuhfah, mengatakan hal yang sama. 139. Tempo, 10 dan 17 Desember; 1983. Panitia Chalid Mawardi merencanakan muktamar April 1984, sementara Panitia Masjkur Juli 1984. 140. Tempo, 17 Desember 1984. 141. Ibid, Surat permohonan izin rapat pleno PBNU yang diper- luas ditandatangani Ali Yafi, Idham Chalid dan Chalid Mawardi. 142. Ibid, 17 Desember 1983. 143. Tempo, 24 Desember 1983. 144. Lihat makalah K.H. Achmad Siddiq, "Pemulihan Khittah NU 1926", disampaikan dalam munas alim ulama NU 1983 di Situbondo. Makalah itu juga disampaikan kembali dalam muk- tamar tahun berikutnya. 145. Selanjutnya keputusan ini dituangkan dalam rancangan AD/ART NU yang hendak diusulkan kepada muktamar. Seperti diketahui pasal 37 ayat 4 ART NU ditetapkan bahwa ra'is 'am dan wakil rais 'am NU dipilih langsung oleh muktamar. Ketua umum tanfidziyah juga dipilih langsung dalam muktamar, tetapi sebelumnya dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada ra'is 'am dan wakil ra'is 'am terpilih. Rancangan pasal itu kemudian disahkan muktamar ke-27 tahun berikutnya setelah munas. 146. Tempo, 31 Desember 1983. 147. Ibid, 24 Desember 1983. 148. Wawancara dengan Abdurrahman Wahid. Tempo mengemu- kakan hal yang sebaliknya antara pendapat Abdurrahman Wahid dan Talchah Mansur. Menurut Abdurraman Wahid, perdebatan ketika itu banyak menggunakan bahasa Arab, kemungkinan tidak dipahami wartawan Tempo. Lihat Tempo, 31 Desember 1983. 144. Keputusan munas alim ulama NU nomer II tentang pemi- lihan Khittah NU 1926, angka Romawi II. Keputusan Muktamar NU XXVII, (Surabaya: NU Jawa Timur, 1985) h.19-20. Singkatan nama NU dari penulis. 150. Saifudin Zuhri, Berangkat, hal. 451-452.