Tidak mengherankan kalau kemudian titik berat perhatian Kementerian Agama untuk menjalankan tugas dan wewe- nangnya dalam bidang ini, walaupun sebenamya bidang lain seperti penerangan, pendidikan (dahulu pengajaran) dan lain-lain juga ada. Akan tetapi dalam seal perkawinan inilah yang menyentuh langsung konsep hukum yang tentu saja memerlukan penataan kewenangan kekuasaan secara sah. Peraturan Menteri Agama nomer 4 tahun 1952 tentang wali hakim untuk luar Jawa dan Madura antara lain menetapkan wewenang penunjukan (pengangkatan) kadi-kadi nikah (pe- gawai pencatat nikah) oleh kepala kantor urusan agama kabupaten.109 Ketentuan dalam peraturan ini kemudian men- dapat reaksi ulama dari Sumatera Barat, melalui Perti ke- mudian diajukan pertanyaan kepada pemerintah dalam sidang DPRS. Di Minangkabau prosedur pengangkatan wali bagi mempelai wanita yang tidak mempunyai wali sendiri, telah melembaga sebelumnya melalui lembaga ninik mamak yang telah mereka akui sebagai lembaga ahl al-hall wa al-'aqd. Menteri Agama K.H. Masjkur menanggapi pertanyaan ter- sebut dalam sidang DPRS tanggal 3 September 1953 dan menjanjikan akan mengundang ulama yang lebih luas untuk mengadakan konferensi membicarakan seal tersebut. Kon- ferensi berlangsung tanggal 2-7 Maret 1954, dihadiri sejumlah ulama dari berbagai golongan memberikan 5 agenda masalah termasuk di antaranya masalah tauliyah (pengangkatan) wali hakim.110 Peraturan Menteri Agama nomer 4 tahun 1952 itu dike- luarkan setelah mendengar fatwa dari konferensi alim ula- ma di Tuga, Jawa Barat, tanggal 12-13 Mei 1952. Kemudian konferensi alim ulama diselenggarakan sekali lagi, tanggal 4-5 Mei 1953, untuk membahas peraturan tersebut karena adanya protes partai Islam Perti yang tidak menyetujui peraturan tersebut. Kedua konferensi itu diselenggarakan waktu Menteri Agama dijabat K.H. Faqih Usman dari Muhammadiyah (Masyumi).111 Konferensi yang kedua ini menyetujui keputusan konferensi sebelumnya dan menge- sahkan kewenangan Menteri Agama mengatur ketentuan- ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut. Konferensi juga memutuskan wali termasuk salah satu ru- kun perkawinan. Penunjukan wali hakim bagi mempelai wanita yang tidak mempunyai wali sendiri harus dilakukan oleh zu syaukah, karena itu sudah pada tempatnya urusan ini dicampuri oleh Menteri Agama.ll2 Namun terhadap keputusan dua kali konferensi alim ulama itu partai Perti masih belum merasa puas, maka diajukan pertanyaan ke- pada Menteri Agama lewat DPRS yang dijawab oleh Menteri Agama akan diselenggarakan konferensi alim ula- ma yang lebih luas lagi dan konferensi ketiga diselenggara- kan tanggal 2-7 Maret 1954. Dalam konferensi alim ulama yang terakhir ini K.H. Sulaiman Arrasuli meralat redaksi keputusan konferensi terdahulu yang tertulis sebelumnya iu syaukah diralat menjadi bi al-syaukah (bisysyaukah), sebab kata zu syaukah dalam referensi fikih berarti kepala negara yang kafir (sultan kafir), sedang kepala negara dan perdana menteri waktu itu seorang muslim.113 Istilah fikih yang dipakai untuk menunjuk seorang imam yang muslim pada negara yang belum memenuhi syarat sebagai negara me- nurut hukum Islam adalah bi al-syaukah, waliyy al-amr al- daruri bi al-syaukah.114 Pernyataan partai Islam Perti sebelumnya yang tidak menyetujui peraturan Menteri Agama nomer 4 tahun 1952 mendapat tanggapan bekas Gubernur Sumatera Tengku Moehammad Hasan. Dalam pernyataannya tanggal 11 Februan 1954, Hasan mengemukakan bahwa Pengadilan Raja (Zelfbestuurschrehclspraak) di Sumatera telah dihapuskan (Lembaran Negara R1 Nomer 23/1947), karena itu sebagai Gubernur Sumatera dan wakil pemerintah pusat telah memerintahkan pembentukan mahkamah syar'iyah di seluruh Sumatera.115 Hasan mengusulkan kepada Menteri Agama agar lembaga itu difungsikan kembali, sebab lembaga itu bukanlah lembaga partikelir dari perhimpunan Islam, akan tetapi suatu pengadilan agama, suatu instansi yang sah dari pemerintah. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Menteri Agama berwenang menetapkan peraturan dan menyempur- nakan organisasi mahkamah syar'iyah di Sumatera itu dan sekaligus tidak membenarkan pernyataan partai Islam Perti. Keputusan konferensi alim ulama dengan Menteri Agama selengkapnya ialah: 1. Presiden sebagai Kepala Negara, serta alat-alat Negara sebagai dimaksud dalam UUD pasal 44, yakni Kabinet, Parlemen dan sebagainya adalah Waliyyu'l Amri Dlaruri bi'Syaukah (waliyy al-amr al-daruri bi al-syaukah). 2. Waliyyul Amri Dlaruri wajib ditaati oleh rakyat dalam hal-hal yang tidak menyalahi Syari'at Islam. 3. Tauliyah wali hakim dari Presiden kepada Menteri Aga- ma dan seterusnya kepada siapa saja yang ditunjuk, termasuk pula Tauliah Wali Hakim yang menurut ke- biasaan yang hidup di tempat-tempat yang ditunjuk oleh Ahlu'l-halli Wa'l-aqdi, adalah sah. Untuk menjalankan aqad-aqad nikah Wali Hakim, sesuai dengan yang di- maksud oleh UU Pencatatan Perkawinan, Talaq, dan Ruju' harus ada surat peresmian (tertulis pengresmian) lebih dahulu dari pemerintah. 4. Berhubung dengan ayat 1, 2, dan 3 tersebut di atas, maka nyatalah bahwa Peraturan Menteri Agama Nomer 4 Tahun 1952 tentang Wali Hakim untuk luar Jawa dan Madura adalah sah.116 Dengan keputusan ini maka di tempat-tempat (negeri, marga dan sebagainya) yang menurut kebiasaan yang hi- dup kadi-kadi nikah dipilih oleh ahl al-hall wa al-'aqd, maka kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten dapat mengesah- kannya sebagai pejabat pencatat perkawinan yang sekaligus menjalankan wewenang sebagai wali hakim.117 Dengan menunjuk pendapat sejumlah ahli fikih dike- mukakan argumentasi mengenai dasar-dasar imamah (ke- kuasaan politik) yang dalam berbagai referensi tersebut diungkapkan dengan beberapa istilah antara lain khilafah, imarah, atau mulk.118 Diakui bahwa sultan menurut hukum Islam adalah pemegang kekuasaan yang berwenang melak- sanakan hukum Islam dalam kehidupan bernegara, tetapi kekuasaan negara RI belumlah dianggap memenuhi konsep imamah di atas. Walaupun demikian kekuasaan itu adalah defakto memiliki kekuatan (syaukah) dan diakui oleh selu- ruh rakyat Indonesia. Tidak logis di tengah kekuasaan itu kaum muslimin membangun kekuasaan politik sendiri ter- pisah dari kekuasaan kenegaraan RI untuk menjalankan hukum Islam. Dengan pertimbangan bahwa di dalam nega- ra RI ummat Islam merupakan bagian terbesar dari warga negaranya, maka dapat dimengerti kalau kemudian ke- kuasaan kenegaraan RI juga mengikat kepada ummat Islam di Indonesia. Atas dasar ini konferensi alim ulama itu kemudian memutuskan bahwa kekuasaan kenegaraan RI yang dicerminkan dalam kekusaan kepala negara dan pe- megang kekuasaan lembaga kenegaraan lainnya,119 adalah kekuasaan yang defakto memiliki kekuasaan (syaukah) de- ngan istilah waliyy al-amr al-daruri bi al-syaukah (kekuasaan temperer yang defakto). Mengingat tidak mungkin mem- bangun kekuasaan politik sendiri untuk menjalankan hu- kum Islam, maka kekuasaan yang memiliki syaukah itu diterima dalam keadaan darurat atau temporer.120 Konferensi itu kemudian menyatakan setuju dan me- nguatkan peraturan Menteri Agama nomer 4 tahun 1952 dan mengakui hak Menteri Agama untuk mengangkat serta menunjuk (tauliyah) wali hakim bagi perkawinan wanita yang tidak mempunyai wali nasb (sedarah), atau walinya sendiri gaib,'udl (menolak), dan sebagainya.121 Dalam per- aturan Menteri Agama tersebut kewenangan tersebut dilim- pahkan kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten dan seterusnya kepada pejabat bawahan mereka para kadi atau pegawai pencatat perkawinan. Dengan demikian tra- disi pengangkatan (tauliyah) wali hakim yang biasanya di- lakukan oleh ninik mamak di Minangkabau tidak berlaku lagi dengan alasan tidak mungkin dua kekuasaan sama- sama berlaku untuk satu masalah tauliyah.122 Tentulah ha- rus dipahami bahwa kekuasaan Menteri Agama bukanlah Menteri Agama itu sendiri yang memiliki kekuasaan asal, sebab Menteri Agama adalah pemimpin sebuah lembaga yang berada di dalam negara RI, di bawah pemerintah. Konferensi juga menggarisbawahi pendapat 'Abd al- Rahman Ba'lawi bahwa Tanah Jawa (Indonesia) adalah Darul-Islam, dengan alasan pernah ada kekuasaan politik di tangan ummat Islam yaitu ketika zaman kerajaan-kerajaan Islam dahulu dan bagian terbesar penduduknya beragama Islam.123 Namun kenferensi itu tidak melihat arti kata Da- rul-Islam sebagai negara Islam dalam arti formal, sebab dar di situ berarti "daerah" tempat masyarakat Islam menetap bahkan menjadi bagian terbesar penduduknya. Suatu ne- gara disebut negara Islam ialah apabila negara itu berdasar Islam dan peraturan hukum perundang-undangannya ber- dasar syari'ah Islam. Negara Indonesia jelas bukan negara yang demikian itu. Prosedur pengangkatan kepala negara- nya (waktu itu) dan pejabat kenegaraan lainnya dipandang belum memenuhi ketentuan yang sah, selain persyaratan pribadi belum terpenuhi. Karena itu kepala negara RI be- lumlah memenuhi syarat disebut sebagai sultan atau imam al- a'zam pemegang kekuasaan tertinggi yang lazimnya di- gunakan dalam negara atau kerajaan Islam. Dalam hubungan dengan soal perkawinan dan tauliyah wali hakim, dasar yang digunakan ialah hadis Nabi al- sultan wa-liyy man la waliyya laha (sultan ddalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali). Ada perbedaan pen- dapat dalam penafsiran kata sultan dalam hadis tersebut. Ada yang berpendapat kata itu menunjuk kepada lembaga- lembaga masyarakat yang hidup dan berfungsi seperti ninik mamak di Minangkabau dan mungkin rembug desa di Jawa atau lembaga kyai dan organisasi-organisasi sosial formal lainnya. Di pihak lain kata itu berarti lembaga kekuasaan politik yang formal seperti khilafah, sultanah, atau negara. Ke dalam pengertian yang kedua inilah: agaknya konferensi alim ulama berkecenderungan. Dan nampaknya kecende- rungan itu beralasan mengingat hukum perkawinan Islam hendak ditata ke dalam sistem hukum nasional Negara RI. Tidak lain sultan yang dimaksud dalam hadis tersebut ada- lah lembaga politik negara, dan bagi ummat Islam Nusan- tara adalah Negara Republik Indonesia itu sendiri. Dalam hubungan sultan yang akan bertindak sebagai wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali sendiri, maka sultan yang defakto memiliki kekuasaan itu diterima sebagai ke- nyataan temporer (daruri). Tentu saja sultan tersebut tidak mungkin bertindak sendiri untuk melaksanakan tugas ditil, karena itu maka pelimpahan wewenang kekuasaannya da- pat dijabarkan melalui berbagai lembaga yang berada di bawahnya menurut hirarki dan jenjang organisasi kelem- bagaan negara. Keputusan ini ditanggapi antara lain sebagai pemberian "gelar" kepada Presiden Soekarno.124 Istilah waliyyul-amr di- anggap tidak tepat karena istilah itu hanya benar untuk kepala negara Islam.125 Persis menuduh para ulama itu tidak mampu mengambil hukum dari sumber ajaran Islam yaitu Qur'an dan hadis dan mengusulkan supaya Menteri Agama mengundang konferensi yang lebih luas lingkupnya untuk membatalkan keputusan konferensi itu. Arudji Kartawinata (PSII) mengatakan keputusan konferensi alim ulama melanggar UUD. Islam tidak mengenal kepala ne- gara konstitusional seperti yang dianut UUDS 1950. Oleh sebab itu Presiden RI tidak bisa menjadi waliyyul-amri daruri, kabinet juga tidak bisa dianggap demikian, karena tidak berdasar Islam.127 Presiden RI mengangkat sumpah setia kepada Pancasila dan UUD, bukan kepada Islam. Presiden RI tunduk kepada hukum yang bukan hukum Islam.128 Hubungan antara "gelar" dengan soal perkawinan dianggap tidak benar karena selama ini perkawinan di- lakukan tanpa menyebut atau menghubungkan dengan "ge- lar" itu, dan perkawinan itu pun sah. Tanggapan mengenai perkawinan tanpa dihubungkan de- ngan waliyy al-amr yang telah berjalan dan dinilai sah, nampaknya tidak berangkat dari pemahaman fikih yang baik. Sejak zaman Belanda perkawinan bagi wanita yang tidak mempunyai wali, maka penghulu yang bertindak se- bagai wali. Padahal penghulu itu diangkat dan diberhen- tikan oleh pemerintah kolonial Belanda yang "kafir". Lembaga kepenghuluan itu "menempel" pada lembaga ke- negaraan yang "kafir". Sementara di Minangkabau berlaku kekuasaan adat, ninik mamak, diakui sebagai lembaga ahl al-hall wa al-'aqd, untuk mengangkat dengan cara bai'ah seorang wali hakim. Menurut ketentuan fikih, pada masyarakat yang sudah teratur, seorang hakim atau qadhi diangkat atau ditunjuk oleh ahl al-hall wa al-'aqd dengan cara bai'ah. Lembaga itu biasanya terdiri dari kepala-kepala adat, pemimpin masya- rakat yang diakui secara 'urf, adat, oleh masyarakat. Dalam suatu negara atau kerajaan, pengangkatan hakim atau qadhi dilakukan oleh pemegang kekuasaan negara atau keraja- an.130 Tentu saja di Indonesia yang sudah berdiri kekuasaan kenegaraan secara sah dan diperjuangkan dengan darah dan harta, haruslah diakui sebagai kekuasaan yang sah pula untuk menjalankan hukum Islam, karena itu lembaga adat, seperti ninik mamak di Minangkabau, tidak diakui lagi agar tidak menimbulkan dualisme kekuasaan. Keterlibatan para penyusun konsep keputusan konferensi alim ulama dalam birokrasi negara menjadikan konsep pe- mikiran mereka berangkat dari asumsi kenegaraan yang telah melembaga yaitu negara RI. Tidak mengakui negara RI sebagai negara ummat Islam berarti suatu pengingkaran terhadap jerih payah perjuangan mereka sendiri dalam pe- rang kemerdekaan. Bahkan perang itu dinyatakan sebagai jihad yang wajib secara 'ainiyah (individual). Oleh sebab itu, negara RI harus diterima sebagai kenyataan adalah negara ummat Islam sendiri. Dengan asumsi ini maka upaya men- jadikan hukum Islam (dalam arti baru mungkin hukum perkawinan) sebagai bagian dari sistem hukum nasional dalam negara RI adalah suatu yang wajar karena negara ini adalah negara ummat Islam sendiri. Komentar lain mengenai keputusan konferensi umumnya juga berkaitan dengan anggapan presiden sebagai waliyy al-amr, padahal keputusan konferensi tidak menyebutkan terbatas kepada presiden dan wakil belaka, melainkan lem- baga negara lainnya seperti kabinet, parlemen, mahkamah agung dan dewan pengawas keuangan. Mengutip beberapa sumber tafsir al-Qur'an, Moenawar Chalil berpendapat bah- wa ulu al-amr (walyy al-amr) yang wajib dtaati ialah ahl al-hall wa al-'aqd, tidak terbatas para hakim atau ulama, melainkan termasuk komandan militer, pemimpin partai dan lain-lain. Kewajiban taat kepada ulu al-amr terbatas pada urusan kebajikan, hal-hal yang tidak membawa dur- haka kepada Tuhan.131 Sementara itu Arsjad Lubis mengomentari keputusan konferensi dengan judul tulisan "Soal Kepala Negara atau Waliyyul Amri di dalam Islam".132 Menurut Lubis sesuai dengan ketentuan fikih ada tiga cara pengangkatan imam. Dengan cara bai'ah, peryataan persetujuan atau kesetiaan dari ahl al-hall wa al-'aqd terhadap sesorang yang disepakati untuk diangkat menjadi imam. Dengan cara istikhlaf, pene- tapan imam sebelumnya yang masih hidup terhadap sese- orang untuk menggantikannya setelah dia meninggal. De- ngan cara istila', pengangkatan imam dengan cara militer dan paksaan. Cara yang ketiga ini ada yang sah dan tidak sah. Cara yang sah ialah jika dilakukan terhadap imam yang me- ninggal tanpa ada penggantinya (tidak ada imam) atau imam yang digulingkan dulunya mendapatkan kekuasaan karena istila' dan ternyata tidak cakap. Cara yang tidak sah ialah jika imam yang digulingkan mendapat jabatan melalui bai'ah atau yang menggulingkan (melakukan istila') orang kafir. Selanjutnya menurut Lubis, imam yang diangkat dengan cara bai'ah atau istikhlaf disebut waliyy al-amr, sementara yang memperoleh jabatan dengan cara ketiga disebut waliyy al-amr bi al-syaukah. Kepala negara yang berkuasa, dipatuhi dan perintahnya ditaati, meskipun negaranya tidak ber- dasar Islam, disebut zu syaukah. Demikian pula pemimpin pemberontak, dalam lingkungan wilayah kekuasaannya. Tentang kategori daruri, Lubis mengatakan apabila tidak ada imam yang mencukupi syarat sedang ummat Islam memerlukan imam, maka imam yang tidak memenuhi sya- rat itu diterima mengingat kebutuhan. Imam yang demi- kian ini disebut daruri, legitimasi terhadap imam yang nya- ta berkuasa. Selanjutnya mengutip kitab fikih al-Iqna' 'ala Syarh al-I'anah dikatakan wajib taat kepada imam, meskipun zalim, sepanjang tidak melanggar larangan agama (Islam). Tentang kewajiban taat ini dikatakan telah disepakati (ijma') ahli fikih. Kepala negara yang berkuasa yang tidak diangkat me- nurut cara-cara di atas dan tidak menjalankan tugas sebagai "pengganti Nabi untuk menegakkan dan memelihara agama dan siasat dunia", adalah zu syaukah, tidak dapat dianggap sebagai imam atau waliyy al-amr secara Islam, karena itu tidak ada kewajiban taat kepadanya. Namun sebelumnya Lubis menyetujui pendapat ahli fikih dan dikatakan sudah ijma' tentang keajiban taat kepada imam meskipun zalim.133 Lain bagaimana dapat dipahami seorang imam yang zalim dapat dianggap "menegakkan dan memelihara agama Islam dan siasat dunia dan menjalankan kekuasaan menurut syari'ah Islam?" Dengan keterangan di atas Lubis membuat kesimpulan bahwa pengangkatan kepala negara RT menurut UUD 1950 berbeda dengan pengangkatan kepala negara menurut UUD 1945. Kepala negara menurut UUD 1945 memiliki syaukah, sedang menurut UUD 1950 tidak. Kepala negara RI me- nurut UUD 1950 "belum mempunyai ikatan hukum secara Islam yang dapat disebut sebagai khilafah, imam, amir al- mukminin, atau waliyy al-amr menurut Islam". Sehubungan dengan itu pengangkatan wali hakim atau kadi sesuai de- ngan ketentuan fikih dapat dilakukan oleh ahl al-hall wa al-'aqd atau zu syaukah. Pemerintah Indonesia dalam hal ini Menteri Agama dinilai memiliki syaukah, bukan karena pe- merintah RI sebagai waliyy al- amr.134 Namun Lubis tidak menyinggung tentang pemberian ke- kuasaan pemerintahan kepada wazir yang menurut referen- si fikih ada dua yaitu wizarah al-tafwid (kurang lebih se- perti kabinet parlementer) dan wizarah al-tanfiz (kurang lebih seperti kabinet presidensiil).l35 Bentuk kekuasaan per- tama wazir (kabinet?) memiliki kekuasaan penuh atas pe- merintahan negara, sementara yang kedua hanya terbatas sebagai pelaksana saja, bukan sebagai penguasa atau diberi kekuasaan.l36 Walaupun secara langsung peristiwa di atas mengenai soal kebutuhan lembaga kekuasaan hukum untuk mele- gimitasi kekuasaan menjalankan hukum perkawinan Islam dalam negara RI sejauh yang bisa diterima menurut kaidah hukum, memperlihatkan kecenderungan yang dekat sekali hubungan konsep politik dengan fikih. Pendekatan fikih yang dilakukan dalam memandang soal politik merupakan salah satu alternatif menghadapi jalan buntu untuk me- lahirkan suatu kekuasaan kenegaraan sendiri yang gagal diperjuangkan secara sah dalam sidang BPUPKI awal ke- merdekaan. Meskipun demikian dengan penegasan bahwa asas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila sebagai dasar negara merupakan pencerminan asas tauhid dalam Islam, setidaknya menurut kalangan Islam sendiri, telah cukup sebagai alasan kekuasaan kenegaraan RI telah me- miliki legitimasi yang sah untuk menjalankan kekuasaan hukum Islam. Tujuan dilembagakannya kekuasaan politik (imamah), se- perti dikemukakan al-Mawardi di awal bab ini, "untuk (tujuan) menjaga agama dan mengatur dunia", untuk se- bagian kekuasaan pemerintahan negara RI telah dianggap memenuhi definisi itu. Bahwa secara nyata kekuasaan ne- gara RI telah "menjaga" agama dengan pembentukan lem- baga Kementerian Agama (sekarang Departemen Agama) merupakan alasan yang kuat terhadap pengakuan kekuasa- an kenegaraan RI itu telah memenuhi syarat berwenang untuk menjalankan kekuasaan hukum Islam, khususnya da- lam bidang perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. _________________________________________________________ _________________________________________________________ Catatan 109. Kementerian Agama, Laporan Tahunan 1954, (Jakarta: Bagian Penerbitan, 1955), h. 807. Peraturan Menteri Agama nomer 4 tahun 1952 antara lain menetapkan mencabut kekuasaan penun- jukan wali hakim dengan lisan yang telah diberikan oleh Menteri Agama kepada Kepala Kantor Urusan Agama Propinsi dan mem- batalkan tauliyah-tauliyah wali hakim yang telah diberikan instan- si-instansi pemerintah dan swapraja serta tauliyah-tauliyah wali hakim lainnya yang bertentangan dengan praturan ini. Pasal 2 peraturan tersebut menetapkan bahwa Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten diberi kuasa, untuk atas nama Menteri Agama, menunjuk kadi-kadi nikah (pembantu pegawai pencatat nikah) untuk menjalankan perkawinan wali hakim. Selanjutnya dikutip Laporan Tahunan. 110. Konferensi diselenggarakan tanggal 3-6 Maret 1954, sehari sebelumnya diselenggarakan pertemuan pendahuluan di Jakarta dan penutupan juga di Jakarta. Ulama yang diundang berasal dari 13 daerah di Indonesia, hadir 20 orang dan tidak hadir 18 orang. Pertemuan pendahuluan dihadiri 11 orang utusan, 6 orang dari Perti, 3 orang dari NU, dan 2 orang dari Muhammadiyah. Laporan Tahunan, h. 802-805. 111. K.H. Faqih Usman menjabat Menteri Agama mulai 3 April 1952 sampai 1 Agustus 1953. Setelah itu dilanjutkan K.H. Masjkur, 1 Agustus 1953 sampai 12 Agustus 1955. 112. Laporan Tahunan, h. 808. 113. Z.A.Noeh, "Walijjul-Amri Dlaruri Bissyaukah: Antara Fakta Historis dan Politis", Panji Masyarakat, Th. 1985, nomer 456. K.H. Sulaiman Arrasuli pernah menjabat sebagai ketua Mahkamah Sya'iyah Propinsi Sumatera sebelum tahun 1950. 114. Laporan Tahunan, h. 811. 115. Ibid., h. 811. Hasan pernah menulis buku yang diterbitkan kira-kira tahun 1937, isinya antara lain tidak menyetujui rencana perkawinan tercatat dan pemindahan soal waris ke pengadilan negeri biasa yang ramai dibicarakan masyarakat Islam sekitar tahun 1937. Lihat Berita NO, Th. 7, nomer 2, 1937. 116. Laporan Tahunan, h. 804. 117. Ibid. 118. Ibid 119. Alat kekuasaan negara RI sebagaimana dimaksud ialah pasal 44 UUDS tahun 1952 (yang berlaku ketika itu): presiden dan wakil presiden, menteri-menteri, dewan perwakilan rakyat, mah- kamah agung, dan dewan pengawas keuangan negara. Lihat Ke- menterian Agama, Laporan Tahunan, 809-810. Al-Mawardi sendiri mengemukakan tujuan imamah dilembagakan untuk "menjaga" agama dan mengatur dunia. Dengan adanya lembaga yang ter- sendiri yaitu Kementerian Agama yang tujuannya antara lain untuk "menjaga" agama, maka dengan sendirinya negara itu se- dikit banyak telah memenuhi kualifikasi imamah di atas. Lihat al-Ahkam, h. 5. 120. Menurut al-Ghazali, terhadap penguasa (sultan) yang zalim dan bodoh tetapi memiliki kekuatan (syaukah) dan melawan atau menjatuhkan penguasa tersebut akan menimbulkan anarki (fitnah) yang tidak tertanggung, diwajibkan meninggalkan upaya itu dan tetap wajib loyal (taat). Alasannya karena Nabi Muhammad me- merintahkan taat kepada umara' dan melarang pertumpahan da- rah (sal al-yad). Ihya' Ulum al-Din, (Misr: Syirkah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939), jilid II, h. 139-140. Lihat halaman 361, catatan kaki nomer 19. 121. Salah satu ketentuan hukum Islam mengenai perkawinan ialah seorang calon mempelai wanita harus mempunyai wali. Prinsipnya wali adalah orang tua (ayah) sedarah atau kakek, kalau tidak ada maka saudara laki-laki bertindak sebagai wali. Kalau calon mempelai wanita tidak mempunyai wali sedarah, atau walinya menolak dengan berbagai alasan atau tidak berada di tempat, maka yang bertindak sebagai wali adalah sultan, atau hakim sebagai wakil sultan. Lihat Zain al-Din al-Malibari, Fath al-Mu'in Syarh Qurah al-'Ain, (Bandung: Almaarif, t.t.), h. 136- 139. 122. Dalam suatu masyarakat yang teratur, jabatan hakim atau qadi dapat dilakukan secara pemilihan atau bai'ah oleh ahl al-hall wa al-'aqd majelis atau kumpulan'pemuka masyarakat. Sedang dalam suatu negara atau kerajaan, jabatan itu dilakukan dengan tauliyah, pengangkatan oleh pemegang kekuasaan dalam negara atau kerajaan. Ibid. 123. 'Abd al-Rahman Ibn Muhammad Ba'lawi, Bughyah al-Mustar- syidin, (Kairo: al-Masyhad al-Husaini, t.t.), h. 245. 124. Firdaus A. N., "Presiden Soekarno Walijjul Amri 'Dharuri'?", Aliran Islam, Th. VII, nomer 58, 1954, h. 13-15. M. Arsjad Th. Lubis, "Soal Kepala Negara atau Walijjul Amri di dalam Islam", Ibid., nomer 60, h. 36-46. Moenawar Chalil, "Siapakah 'Ulil-Amri, yang Wadjib Ditha'ati?" Ibid, nomer 61, h. 13-19. 125. Ibid., (tiga sumber tersebut di atas). 126. Deliar Noer, Partai Islam, h. 343. 127. Pernyataan PSII tetap hanya mengakui status Presiden, Ka- binet, dan Parlemen sesuai UUDS (1950). Belum ada aturan yang menambah status lain bagi ketiga organ kenegaraan tersebut. Perubahan hanya sah oleh lembaga yang berwenang yaitu Kon- stituante. Mengenai tauliyah wali hakim dapat ditetapkan terlepas dari persoalan waliyyul-amr, seperti zaman Belanda atau ummat Islam di negara lain yang tidak mempunyai waliyyul-amr (Tiong- kok). Menurut PSII, pemerintah tidak mempunyai wewenang mencampuri seal perkawinan ummat Islam selain dalam hal ad- ministrasi. Pendapat partai ini sudah dinyatakan sejak sebelum perang. Lihat Sikap PSII Mengenai Putusan Konferensi Alim Ula- ma di Sindanglaja tentang Walijjul-Amri Dharuri, tanggal 26 April 1954, ditandatangani Arudji Kartawinata (Presiden) dan Sukardjo (Penulis). 128. Partai Islam, h. 343. 129. Ibid., h. 344. 130. Zain al-Din al-Malibari, Fath al-Mu'in, h. 136-139. 131. Moenawal Chalil, "Siapakah Ulil Amri yang wadjib Ditha'ati?", Aliran Islam, Th. VII, nomer 61, 1954, h. 13-19. 132. M. Arsjad Th. Lubis, "Soal Kepala Negara atau Walijjul Amri di dalam Islam", Ibid., nomer 60, h. 36-46. 133. Lihat catatan kaki nomer 120 134. Keterangan ini agak membingungkan sebab sebelumnya di- katakan "apabila kekuasaan imam diperoleh dengan jalan syaukah maka kekuasaan itu disebut walyy al-amr bi al-syaukah". Bukankah kalau Menteri Agama dinilai memiliki syaukah, maka pemerintah- nya pun dapat dianggap sebagai waliyy al-amr bi al-syaukah? 135. Al-Mawardi, AI-Ahkam, h. 22-23. Sebelum abad ke-20 ini kekuasaan kenegaraan dalam Islam belum mengenal lembaga perwakilan rakyat seperti abad modern ini, karena itu imam yang berkuasa umumnya di-"pilih" melalui istikhlaf atau istila'. Ke- kuasaan wazir al-tafwid dengan sendirinya tidak dipertanggung- jawabkan kepada parlemen, tetapi diberi wewenang penuh oleh imam yang berkuasa. 136. Ibid.