Sampai sejauh mana konsep politik golongan Islam da- lam Majelis Konstituante berhasil merumuskan konsep me- reka mengenai negara berdasar Islam secara matang dan utuh dan berhasil memecahkan masalah yang paling dasar, keadilan sosial dan kesejahteraan bagi semua, masih men- jadi pertanyaan besar. Baik Boland maupun Syafi'i Maarif sama-sama tidak melihat gagasan mereka berisi konsep yang lengkap dan utuh. Konsep pemikiran politik mereka "hanya sekedar permainan kata belaka, atau dengan per- kataan lain, suatu perjuangan untuk sekedar memperoleh merk sebuah negara Islam", kata Boland;75 sementara me- nurut Syafi'i Maarif, "debat retorik ini tidak lebih dari silat lidah dan tidak selalu menyentuh inti masalah".76 Beberapa kalangan Masyumi, misalnya Jusuf Wibisono, mempunyai pendirian sebaiknya dari semula partai-partai Islam lebih bersifat luwes dan menerima Pancasila sebagai dasar ne- gara. Jusuf bukan tidak setuju dengan dasar Islam, tetapi dia melihat kenyataan.77 Sementara itu Prawoto yang menggantikan Natsir selaku ketua umum Masyumi meman- dang lain. Walaupun golongan Islam akhirnya akan ke situ juga, menerima Pancasila, tetapi memperjuangkan Islam se- bagai dasar negara merupakan kewajiban. Ada tiga alasan yang dipakai sebagai dasar pendirian ini. Pertama, partai- partai Islam umumnya telah menjanjikan kepada pemilih- nya untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara; kedua, forum Konstituante dilihat sebagai forum yang tepat untuk memperjuangkan cita-cita tersebut; dan ketiga, sekali- gus sebagai da'wah untuk memberi pengertian tentang Islam kepada anggota Konstituante dan rakyat umum de- ngan pidato-pidato wakil golongan Islam yang banyak di- liput media massa.78 Perdebatan tentang dasar negasa berlangsung sampai rapatnya terakhir, 2 Juni 1959, tanpa satu pun keputusan. Pemungutan suara yang dilakukan menghasilkan suara 263 setuju dengan usul Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 seperti yang di- rumuskan tanggal 18 Agustus 1945; 203 menentang, dari golongan Islam, yang menginginkan anak kalimat yang terdiri dari "tujuh kata" dimasukkan dalam Pembukaan UUD 1945. Jelaslah tidak mungkin dihasilkan kemenangan dua per- tiga suara, baik golongan Islam maupun nasionalis yang mendukung Pancasila. Sikap keras kepala yang tidak di- ikuti kemampuan membaca peta kekuatan politik sesung- guhnya yang berkembang, akhirnya seluruh perjuangan konstitusional mereka berhenti tanpa hasil. Presiden Soekar- no dengan dukungan militer dan Suwirjo (PNI) akhirnya menyatakan dekritnya membubarkan Majelis Konstituante dan menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 tanggal 5 Juli 1959. B. PROBLEM AGAMA Sejak awal sejarah Islam hubungan agama-negara merupa- kan fenomena yang menarik, karena itu muncul ungkapan Islam adalah agama dan negara (politik), al-Islam din wa daulah. Namun realitas ini sebenarnya bukan terjadi dalam konteks Islam saja. Kebanyakan dari seluruh peristiwa se- jarah ummat manusia, agama telah melibat secara men- dalam ke seluruh kehidupan manusia di dalam masyarakat, kata Montgomery Watt.79 Ajaran Isa yang murni seperti umumnya dianggap orang, tidaklah tanpa relevansi poli- tik.80 Dalam sejarah Islam dapat dilihat perbedaan ungkapan yang dipakai untuk menyatakan sasaran risalah Nabi Muhammad SAW. Ketika di Mekkah sering diungkapkan dengan ajakan kepada manusia dalam arti universal, maka ketika di Madinah ajakan ditujukan kepada qaum, ummah, kabilah atau suku dan masyarakat, suatu badan politik yang modelnya telah dikenal masyarakat Arab ketika itu. Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan seperti diungkapkan al-Qur'an: "Sesungghunya aku pemberi peringatan yang nya- ta",81 ketika dia dituduh sebagai raja atau pemimpin politik di Mekkah. Ketika di Madinah Nabi Muhammad SAW tidak memperoleh tuduhan seperti itu, bahkan telah berhasil meng- galang solidaritas komunal antar berbagai suku ke dalam wadah ummah yang efektif. Sampai akhirnya Nabi Muham- mad wafat, warisan yang ditinggalkan adalah suatu ke- nyataan negara atau sistem politik yang telah berdiri dan menguasai sebagian besar semenanjung Arabia. Dalam perkembangannya kemudian, terutama setelah ke- kuasaan dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran, sejarah politik Islam mencatat dua hal penting. Pertama, khilafah yang semula tunggal dan bersifat sentral berubah karena munculnya lembaga serupa di Mesir, Khilafah Fatimiyyah, dan di Spanyol, Khilafah Umayyah, yang dibangun keturun- an Mu'awiyah.82 Setelah itu berubah lagi menjadi tunggal di bawah kekuasaan dinasti Ottoman di Turki yang mengam- bil alih kekuasaan dari Khalifah al-Mutawakkil, khalifah terakhir keturunan 'Abbasiyah di bawah bayang-bayang Mamalik di Mesir.83 Kedua, munculnya kesultanan (sultanah) baru yang berkuasa di daerah-daerah dan mereka tunduk kepada khalifah yang berkedudukan di pusat Ke- patuhan ini ditandai dengan pembayaran zakat, hasil ram- pasan perang dan lain-lain yang dilakukan sultan kepada khalifah dan adanya legitimasi keagamaan berupa penge- sahan kesultanan yang bersangkutan secara hukum (fi- kih).84 Tentu saja melalui proses sejarah yang panjang dan ru- mit, namun bisa disimpulkan, lambat laun kelembagaan politik dalam Islam telah mencapai bentuk yang mapan dan dalam kurun waktu yang panjang dianut secara resmi, khususnya di lingkungan sunni, dan diakui memiliki ke- benaran. Khilafah dipandang sebagai lembaga yang memiliki otoritas keagamaan, memiliki kewenangan untuk mengapli- kasikan ajaran agama ke dalam kehidupan masyarakat dan kehidupan bernegara dan memberi legitimasi keabsahan dari sudut pendangan keagamaan (fikih) terhadap semua perilaku lembaga-lembaga sosial lainnya.85 Lembaga sultanah dipandang sebagai lembaga politik yang memiliki kekuasaan mengatur dan menyelenggarakan kehidupan du- niawi dalam suatu tata sosial yang luas, namun demikian lembaga itu menjalankan kekuasaannya setelah mendapat pengesahan dari khalifah.86 Kedua konsep ini agaknya lahir didasari hadis sahih riwayat Ahmad al-A'immah min Quraisy (kekuasaan yang sah dari Quraisy). Di belakang hari makna Quraisy tidak diterjemahkan secara harfiah, tetapi berarti kemampuan. Kabilah Quraisylah ketika itu yang dipandang mampu un- tuk memegang kekuasaan setelah Nabi Muhammad, sebab dari kabilah lain tidak memungkinkan terjaminnya kesatuan ummah untuk memelihara sistem kekuasaan yang diwaris- kan Nabi Muhammad.87 Konsep hukum fikih yang diterima kemudian menjabarkan hadis tersebut berkaitan dengan ke- dua lembaga itu, kekuasaan yang sah itu adalah kekuasaan khilafah yang harus dipegang keturunan Quraisy, suku mana Nabi Muhammad berasal; sedang kekuasaan sultanah tidak harus demikian. Walaupnn secara teoritis hal ini ma- sih tidak kurang dipersoalkan, namun bukti-bukti sejarah mengungkapkan demikian. Kejatuhan khalifah terakhir di- nasti Umayyah abad VII dilakukan oleh keturunan suku yang sama walaupun dari kakek yang berbeda, kemudian keturunan mereka mendirikan khilafah baru di Spanyol per- mulaan abad IX, setelah mereka berkuasa di sana sebelum- nya kurang lebih 70 tahun. Dinasti Mamalik di Mesir abad XII dengan susah payah memboyong keturunan Abbasiyah terakhir untuk dinobatkan menjadi khalifah di Mesir. Selan- jutnya Sultan Salim dari Turki abad XVI, menjemput Khalifah al-Mutawakkil, khalifah terakhir keturunan Abbasiyah di bawah bayang-bayang Mamalik, untuk di- nobatkan menjadi khalifah di Turki.88 Pada masa kesultanan Turki ini konsep Quraisy itu ber- akhir, sebab pemegang kekuasaan khilafah selanjutnya ber- asal dari keturunan Salim sendiri yang tidak berdarah Quraisy. Namun institusi khilafah akhirnya kembali tunggal dan sentral, hanya ada satu dalam dunia Islam, sampai akhirnya dihapuskan Mustafa Kamal, pemimpin nasionalis Turki, tahun 1924.89 Pemakaian gelar sultan oleh Raja Demak Tranggana ke- mudian Raja Mataram dan Banten, jika dilihat dari perkem- bangan konsep politik yang berkembang di Timur Tengah abad yang sama, nampaknya bukan tanpa signifikansi ke- agamaan. Walaupun Sultan merupakan lembaga politik dan bersifat duniawi (karena itu perlu pengesahan khalifah), tetapi betapapun tidak bisa melepaskan fungsi kegamaan- nya. Berbagai fungsi ini seperti pengangkatan kadi (hakim), pemungutan zakat atau sedekah, pajak dan tugas-tugas keagamaan lainnya yang bertalian dengan kehidupan sosial dan masyarakat, pelaksanaan hukum syari'ah, khususnya mengenai fasl al-khusumat (sengketa perkara yang memer- lukan hakim) dan lain-iain, memerlukan perangkat kelem- bagaan di bawah wewenang sultan. Semua hal tersebut secara langsung menyangkut bidang keagamaan yang ber- talian dengan kehidupan masyarakat. Dengan demikian maka sultan memerlukan legitimasi keagamaan untuk da- pat melaksanakan fungsinya secara sah. Dalam kaitan inilah raja-raja Mataram dahulu mendapat sebutan Kalimatullah Panatagama ing Bumi (Tanah Jawi) di belakang nama kebe- sarannya. De Graaf dan Pigeaud mengungkapkan keterangan bah- wa gelar raja-raja Islam di Jawa tidak diterima langsung dari khalifah di Turki. Raja Tranggana menerima gelar dari seorang wali Syekh Nurullah yang kemudian dikenal se- bagai Sunan Gunungjati. Panembahan Senapati dan Jaka Ting- kir menerima gelar dari Sunan Giri.90 Sultan Agung Mataram dan Raja Banten bahkan berusaha memperoleh gelar dari Mekkah.91 De Graaf memang akhirnya meragu- kan berita pemberian gelar itu karena keterangan pem- berian gelar baru diungkapkan dalam naskah tertua Babad Tanah Jawi yang disusun kemudian jauh sesudah peristiwa itu sendiri terjadi. Penulisan sejarahnya, menurut De Graaf, kemungkinan diolah sedemikian rupa sehingga kerajaan Mataram yang luas itu memperoleh legitimasi kebesarannya sejak zaman keemasan Mataram yang terdahulu.92 Barangkali keraguan De Graaf itu bisa dipahami karena ketiadaan bukti yang bisa dilacak untuk mempercayai ke- benaran pemberian gelar sultan raja-raja Islam di Jawa dan kemungkinannya pemberian gelar itu dari khalifah di Turki. Kontroversi ini agaknya kurang penting jika dikait- kan dengan dua hal berikut ini. Pertama, adanya berita pemberian gelar itu dari Turki kepada raja-raja Islam di Melayu, dan kedua, adanya kelembagaan penghulu pada kerajaan Islam di Jawa. Walaupun kemungkinan pembrian gelar kepada raja-raja Islam di Jawa tidak diterima dari khalifah di Turki, namun pemberian gelar yang dilakukan oleh ulama dan para wali tampaknya memang dimaksud- kan sebagai legitimasi keagamaan, menjadikan kerajaan me- reka sah adanya.93 Adanya lembaga kepenghuluan yang berperan sebagai mata rantai kekuasaan raja untuk meng- atur masalah-masalah keagamaan dan hukum yang ber- sumber dari agama, jelas sekali kaitannya dengan konsep sultanah di atas. Kekuasaan penghulu ketika itu bukan ha- nya soal nikah atau waris, tetapi meliputi soal hukum lain, pidana maupun perdata, tugas-tugas keagamaan lain seper- ti zakat, sedekah, dan tidak ketinggalan fungsinya sebagai penasehat bagi raja agar senantiasa bisa memenuhi ke- wajibannya sebagai orang muslim yang baik.94 Memang belum seluruh konsep politik Islam dilaksanakan, sebab ternyata suatu himpunan peraturan dan tata laksana peme- rintahan yang disusun Raja Demak, Senapati Jimbun, ber- nama Salokantara, memiliki persamaan dengan dengan naskah-naskah Jawa kuna yang Hindu.95 Setelah zaman Belanda terjadi dualisme lembaga kepeng- huluan, satu pihak Belanda mengangkat penghulu yang secara administratif berada di bawah wewenangnya, di pi- hak lain masih ada penghulu yang berada di bawah ke- kuasaan keraton. Para pejabat penghulu yang diangkat Belanda sering memproleh kecaman karena mereka bekeja pada pemerintahan kafir, tetapi mereka juga tidak kehilang- an pegangan untuk melaksanakan tugas.96 Mereka ber- anggapan bahwa lembaga kepenghuluan tersebut merupa- kan alternatif yang balk untuk memecahkan persoalan, se- bab bagaimanapun kekuasaan sultanah itu perlu untuk menjamin ketertiban sosial bisa dijalankan. Tanpa kekuasa- an itu akan timbul anarki dan ketidakteraturan hukum. Dengan demikian maka lembaga penghulu itu diterima sebagai keadaan darurat, sementara dan tidak bisa tidak, karena pemerintahan yang berkuassa bukan Islam. Dalam hukum fikih kekuasaan politik non-Islam di tengah masya- rakat muslim disebut iu syaukah, pemerintah yang nyata berkuasa di tengah masyarakat muslim yang tidak berdaya membangun kekuasaan politik sendiri.97 Setelah pembentukan negara Republik Indonesia dipro- klamasikan pola pandangan keagamaan yang menghendaki pemcahan persoalan politik di bagian mana agama berada dalam sebuah negara, dan sebaliknya bagaimnana suatu negara secara maksimal diterima memenuhi konsep ke- agamaan. muncul kembali. Ketika awalnya perjuangan poli- tik diarahkan untuk memperoleh bentuk negara yang pe- nuh berdasar Islam dalam suatu perdebatan untuk me- nyusun konstitusi yang hendak ditumbuhkan ke dalam ne- gara yang baru lahir itu. Setelah ternyata upaya itu gagal, salah satu tuntutan yang muncul ialah adanya lembaga kementerian agama untuk mengisi kekosongan legitimasi keagamaan yang dianggap penting untuk menjamin ke- mungkinan terlaksananya hukum Islam, meskipun harus diakui baru terbatas pada hukum perkawinan. Tidak diragukan lagi bahwa kementerian ini merupakan kepanjangan dari lembaga yang sudah ada sebelumnya bahkan sejak zaman kerajaan Islam dahulu. Hal yang ber- beda ialah penghulu berada di bawah kekuasaan pemerin- tahan negara asing, penjajah dan kafir, sedang kementerian agama berada di bawah pemerintahan negara bangsa sen- diri yang muslim. Sejumlah lulusan lembaga pendidikan Mamba'ul-Ulum yang disiapkan untuk mengisi jabatan ke- penghuluan Yogaswara Keraton Solo maupun lembaga se- rupa di Keraton Yogyakarta, Suranata kemudian menempati berbagai posisi penting di Kementerian Agama.98 Kedua lembaga itu pada dasarnya merupakan jawaban dari pro- blem keagamaan mengenai hubungan antara agama dan negara. Bahwa pemecahan itu bukanlah yang paling baik yang secara maksimal memenuhi konsep keagamaan yang ada, bukanlah prsoalan yang paling pokok, sebab usaha ke arah itu kemudian muncul kembali dalam perdebatan sidang-sidang Konstituante yang memiliki kewenangan me- nurut aturan permainan yang telah disepakati. Akan tetapi bahwa pembentukan lembaga tersebut merupakan upaya untuk melaksanakan hukum Islam dalam negara, haruslah dinilai sebagai salah satu upaya positif untuk menempatkan negara RI sebagai negara ummat Islam di Tanah Air sen- diri. Kekuasaan kenegaraan raja-raja Islam di masa lain di Nusantara juga telah menggambarkan hal seperti itu. Para ulama yang berada dalam birokrasi pemerintahan di Indo- nesia dengan referensi fikih yang sama dengan para ulama lain melihat negara RI merupakan kelanjutan dari kerajaan- kerajaan Islam di masa lain.99 Struktur kekuasaan raja-raja itu meliputi kekuasaan administrasi yang disebut dengan istilah hingkang sinuhun, kekuasaan militer sebagai panglima perang dengan sebutan senopati hing ngaloga, dan kekuasaan keagamaan dengan sebutan sayyidin panatagama.100 Kekuasa- an yang terakhir ini tidak dinyatakan secara eksplisit za- man kekuasaan Hindia Belanda, meskipun lembaga untuk itu telah dibentuk kurang lebih setengah abad terakhir berupa kepenghuluan dan pengadilan agama. Namun se- telah negara RI terbentuk tahun 1945, para ulama berkesim- pulan bahwa negara baru itu merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sebelumnya, maka de- ngan demikian aspek kekuasaan keagamaan yang ada se- belumnya dengan sebutan sayyidin panatagama berlaku pula bagi negara baru itu.101 Akhirnya dalam konferensi alim ulama itulah kekuasaan keagamaan itu dikukuhkan kembali dengan sebutan yang berbeda waliyy al-amr al-daruri bi al-syaukah (mengenai soal ini akan dibahas dalam bab khusus selanjutnya). Perbedaan itu antara lain karena adanya perbedaan kelembagaan, se- mentara kerajaan Islam dahulu belum mengenal kelem- bagaan negara dalam pengertian modern seperti sekarang ini, maka keabsahan suatu kekuasaan lebih tercermin pada pribadi raja yang memangku jabatan dan dukungan ke- kuatan militer. Raja-raja yang muslim itu pun memangku jabatan sebagai sayyidin panatagama. Negara RI tidak selalu mutlak pada diri presiden, sebab masih ada perangkat ke- lengkapan negara lainnya seperti UUD, asas atau ideologi negara dan kelengkapan lainnya. Oleh karena itu maka penilaian kerangka kenegaraan dari sudut fikih tidak bisa hanya dilakukan terhadap pribadi presiden yang berkuasa dalam negara tersebut, melainkan kepada kelembagaan ne- gara itu dan kelengkapan-kelengkapannya. c. WALIYY AL-AMR AL-DARURI BI AL-SYAWKAH Kekuasaan politik (imamah) merupakan hal yang penting bagi kehidupan keagamaan dan kemasayarakatan muslim, sebab sebagian dari masalah-masalah agama yang me- nyangkut kehidupan sosial yang luas tidak terlepas perlunya kekuasaan itu.102 Konsep hukum kemudian menjabarkan kekuasaan ini dalam kaitan dengan kekuasaan (sultan) un- tuk menjalankan hukum Islam. Tanpa sultan barangkali pe- laksanaan hukum Islam tidak dapat dijalankan dengan teratur, setiap orang atau kelompok, tertentu akan berbuat sesuatu menurut pendapat mereka sementara di pihak lain sebaliknya. Dalam hal yang tidak menimbulkan sengketa, barangkali hal itu bukan masalah, tetapi jika tejadi sengke- ta, tentu harus ada keputusan yang mengikat dan memak- sa. Dengan kekuasaan (sultan) hukum, kata akhir dalam sengketa hukum itu bisa diputus, dan dengan demikian hukum mempunyai kepastian berlaku.l03 Praktek yang ber- laku memang kadangkala menimbulkan perselisihan antara para teoritisi dengan kalangan praktisi hukum (para qadi dan hakim) mengenai suatu keputusan hukum. Muncul ke- mudian ungkapan problematik "yasihh dinan wa la qadaan", sah menurut (teori) agama tetapi tidak menurut (praktek) pengadilan, dan sebaliknya yasihh qadaan, wa la dinan, sah menurut (praktek) pengadilan tetapi tidak sah menurut (teori) agama.l04 Dari dua latar belakang ini kemudian meuncul dua teori pemikiran fikih. Satu pihak mendasarkan pemikiran mereka pada kesimpulan-kesimpulan teoritis mengikuti penalaran tekstual akademis sumber-sumber hukum yang ada, semen- tara lainnya melihat dari sisi yang sama tetapi dikaitkan dengan kebutuhan nyata yang terjadi di pengadilan.l05 Agak sayang sumber-sumber kepustakaan yang masuk ke Indonesia justru fikih yang pertama saja, sementara pe- mikiran fikih yang nyata yang berkembang dalam yuris- prudensi yang hidup sepanjang abad pertengahan hampir sama sekali tidak tersentuh. Padahal selama hampir 12 abad lamanya lembaga-lembaga pengadilan ini telah berdiri dan mengalami pasang surut perkembangan, namun tidak satu pun yurisprudensi itu masuk ke Indonesia. Kitab-kitab fikih yang masuk ke Indonesia umumnya fikih teoritis di- kenal dengan sebutan fiqh al-taqdiri yang berisi kumpulan teori dan fatwa mengikuti alur penalaran tekstual menem- bus segala kemungkinan, walaupun sebenarnya secara fak- tual tidak akan terjadi. Kitab-kitab fiqh al-qada' tidak satu pun atau jarang sekali masuk ke Indonesia dan dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Hukum Islam yang telah melembaga di Nusantara sejak zaman sebelum perang, bahkan jauh sebelum itu, sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam dahulu, yang terpenting ialah hukum keluarga mengenai perkawinan, waris dan lain-lain yang berkaitan dengan itu. Suatu lembaga peng- hulu pada zaman Belanda telah berdiri untuk keperluan itu.106 Pemerintah Belanda tahun 1882 membuat peraturan mengenai wilayah dan komposisi priesterraad (pengadilan agama) dan pada tahun 1931 memperbarui lembaga itu dengan sebutan pengadilan penghulu yang kekuasaannya di- batasi hanya mengenai perkawinan (tidak termasuk waris) dengan Staatsblad van Nederlandsch Indie nomer 116.107 Se- telah pembentukan Kementerian Agama tanggal 3 Januari 1946 soal-soal keagamaan kemudian menjadi tanggaung ja- wab kementerian ini.l08 _____________________________________________________________ _____________________________________________________________ Catatan 75. Pergumulan, h. 95. 76. Ahmad Syafi'i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LPSES, 1985), h. 159. Selanjutnya dikutip Islam. 77. Noer, Partai Islam, h. 267. 78. Partai Islam., h. 266-267. 79. Montgomery Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), h. 32. Selanjutnya dikutip Pergolakan. 80. Ibid. 81. Banyak ayat yang searti dengan itu, antara lain Q. 67:26 Q. 22:49, atau 38:70. Ayat-ayat ini diturunkan di Mekkah, Makkiyah. 82. Khilafah 'Abbasiyah berdiri tahun 750-1258 kemudian dilanjut- kan di Mesir di bawah perlindungan dinasti Mamalik sampai tahun 1517. Khilafah Fatimiyah di Mesir tahun 909-1171. Sebenar- nya Khilafah ini beraliran syi'ah, tetapi termasuk yang moderat sehingga mereka menerima konsep khilafah aliran sunni. Menurut mereka termasuk kategori mafdul karena imam yang afdal tidak ada, selain itu karena rakyat Mesir beraliran sunni. Khilafah Umayyah di Spanyol tahun 929-1031. 83. Sultan Salim dari Turki Ottoman mengambil alih jabatan khalifah setelah menaklukkan kesultanan Mamalik tahun 1517 ke- mudian memboyong Khalifah al-Mutawakkil, khalifah terakhir ke- turunan 'Abbasiyah. Selanjutnya jabatan itu diambil alih sendiri dan seterusnya diserahkan kepada keturunannya. 84. Pengesahan seorang sultan biasanya dilakukan dalam suatu upacara di istana Khalifah. Sultan yang akan dilantik datang menghadap khalifah dengan menyerahkan sejumlah "hadiah" dari hasil rampasan perang atau zakat, pajak dan lain-lain. Seterusnya lihat Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London and Macmillan Press, 1974) dan Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Saqafi wa al-Ijtima'i, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1967). 85. Konsep khilafah semula berarti kekuasaan politik pengganti Nabi Muhammad untuk mengatur kehidupan bersama dan me- negakkan agama, kemudian mengalami perkembangan di kemu- dian hari menjadi khalifatullah, wakil Tuhan. Mengenai konsep kelembagaan politik khilafah dan sultanah selanjutnya lihat Amir Hassan Saddiqi, Caliphate and Sultanate, (Karachi: Jam'iya ul-Falah Publication, 1942). Selanjutnya dikutip Caliphate. 86. Lihat Amir Hasan Siddiqi, Calipate. 87. Lihat Hasan, Tarikh al-lslam, I, h. 206-207. 88. Lihat catatan kaki nomer 82. 89. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 151-152. 90. H.J.De Graaf dan G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, (Jakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1986), h. 5657. 91. Ibid, catatan kaki nomer 36. 92. H. J. De Craaf dan G. Th. Pigeaud, Puncak Kekuasaan Mata- ram: Politik Ekspansi Sultan Agung, Uakarta: Pustaka Grafiti Pers, 1987), h. 272-282. 93. Pengesahan oleh wali atau ulama barangkali telah dianggap memenuhi. Bukankah para wali itu telah memperoleh legitimasi dari silsilah mereka yang sampai kepada Nabi Muhammad? De- ngan keuntungan silsilah itu mereka anggap benvenang untuk mengesahkan sebuah kesultanan. 94. Pijper mengungkapkan adanya lembaga kepenghuluan ini se- jak tahun 1615 di Banten. Struktur penghulu bertingkat-tingkat mengikuti tingkat pemerintahan kerajaan. Setelah zaman Belanda, penghulu tertinggi disebut penghulu kepala, di bawahnya peng- hulu distrik, atau disebut na'ib (Arab: wakil). Lihat G. F. Pijper, Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, (Jakarta: UI Press, 1984), h. 68-71. 95. De Graaf dan Pigeaud, Kerajaan, h. 76-77. 96. Soal konflik ini bukan hanya tejadi dalam konteks Indonesia saja, sebab hal serupa juga terjadi antar pejabat-pejabat kerajaan di zaman Abbasiyah dengan ulama dan cendikiawan yang berada di luar birokrasi yang kemudian menimbulkan mihnah (peng- asingan). Lihat Watt, Pergolakan, h. 105. 97. Menurut al-Ghazali pengangkatan imam ada tiga kemungkin- an. Penentuan dari jurusan Nabi atau penentuan dari imam yang sedang berkuasa dengan cara penunjukan (pemilihan) melalui wilayatul- 'ahd, atau dengan cara tafwid (penyerahan kekuasaan) terhadap seseorang (lembaga?) yang nyata mempunyai kekuatan (zu syaukah). Jika tidak ada imam kecuali hanya seorang (al- Ghazali menyebut Quraisy, tetapi juga berarti orang seperti itu) yang ternyata dipatuhi dan membangun kekuasaan dan meme- gang kendali kekuasaan itu, bertindak dan bekerja dengan ke- kuatannya, sehingga semua orang tunduk kepadanya, maka yang demikian itu dipandang memenuhi sifat-sifat kekuasaan politik yang sah dan wajib ditaati. Hal itu ditentukan karena faktor kekuatan yang nyata (syaukah) dan kemampuannya (kifayah) un- tuk menghindarkan kerusakan. Lihat Abd Hdmid al-Ghazali, Kitab al-Iqtisad fi- al-I'tiqad, (8eirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1983), h. 150. 98. Z.A. Noeh, "Waliyyul-Amri Dharuri bisy-Syaukah, Antara Fakta Historis dan Politik", Panji Masyarakat, Th 1985, nomer 456. Selanjutnya dikutip Waliyyul-Amri. 99. Ibid. 100. Ibid. 101. Noeh, Waliyyul-Amri. 102. Al-Ghazali, al-Iqtisad, h. 148-149. 103. Mengenai kepastian berlakunya hukum bisa dijumpai dalam sejarah adanya lembaga qada', suatu lembaga yang memiliki ke- wenangan paksa (ilzam). Perbedaan antara hukm dan qada' ialah yang pertama berarti keharusan (al-luzum) sedang yang kedua berarti paksaan (ilzam). Kekuasaan seperti ini merupakan salah satu kekuasaan kenegaraan. Lihat Sa'ud ibn Sa'd, al-Tanzim al- Qada' fi al-Mamlakah al-'Arabiyyah al-Sa'udiyyah, disertasi Doktor, (Riyad., Jam'iyyah Imam Muhammad, 1983), h. 46-48. Lihat pula al-Ahkam, h. 20-68 tentang wilayat al-qada'. 104. Kemungkinan perbedaan karena adanya kebebasan ijtihad masing-masing pihak. Sementara para teoritisi bebas berijtihad dan memberi fatwa, di pihak lain para qadi juga bebas berijtihad untuk menetapkan keputusan hukum di pengadilan. Mungkin saja terhadap suatu hal yang sama terjadi hasil ijtihad yang tidak sama, seolah-olah ijtihad ulama di luar pengadilan lebih sahih daripada ijtihad qadi di pengadilan atau sebaliknya. 105. Zaman 'Abbasiyah di Baghdad maupun Umayyah di Spa- nyol sudah dikenal adanya hukum acara (qanun al-murafa'at) yang mengatur tata cara pemeriksaan perkara di pengadilan. Tentu saja keterikatan keputusan hukum di pengadilan dengan hukum ini sedikit banyak akan mempengaruhi hasil ijitihad qadi, sedang ulama yang berada di luar pengadilan bebas dari keterikatan itu. Lihat al-Tanza'im, h. 249-251. 106. G.F. Pijper, Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, (Jakarta: VI Press, 1984), h. 72. 107. Z.A.Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), h. 23. 108. Di zaman Belanda pamongpraja membawahi penghulu, anggota raad agama, pegawai pekauman, urusan masjid, zakat, haji, perkawinan dan pengajaran agama; Departemen van Justisi membawahi Mahkamah Islam Tinggi dan raad agama; Kantoor voor Indiansche Zaken merupakan badan penasehat pemerintah mengenai urusan agama; dan zaman Jepang didirikan Kantor Urusan Agama di bawah Gunseikanbu. Lihat Abu Bakar, Sejarah Hidup K.H.A. Wachid Hasjim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Panitia Penjusun Departemen Agama, 1957), h. 595-609.