Wongsonegoro merasa tercengang dengan perkembangan pembahasan oleh para anggota sidang yang mementahkan lagi kompromi yang telah disepakati. 'Jika masih mentah mungkin preambule tidak diterima', katanya menegaskan. Wongso selanjutnya menegaskan, karena mungkin diartikan negara boleh memaksa orang Islam untuk menjalankan syari'at agama, diusulkan supaya pasal 29 ayat 2 ditambah kata 'dan kepercayaannya', menjadi 'untuk beribadat me- nurut agama dan kepercayaannya masing-masing'.41 Mes- kipun terjadi perdebatan mengenai soal inti hubungan agama dan negara, namun akhirnya sidang Panitia Peran- cang UUD yang dipimpin Soekarno tanggal 11 dan 13 Juli dapat mencapai kesepakatan menerima rancangan Panitia 9 dengan perubahan redaksional yang diserahkan kepada pa- nitia penghalus bahasa,42 dan menghapuskan ayat 2 pasal 4 tentang ketentuan presiden dan wakil orang Indonesia asli.43 Selanjutnya dalam sidang lengkap Badan Penyelidik tanggal 14 Juli, persoalan yang paling krusial muncul kem- bali. Hadikusumo menguatkan usul Kyai Sanusi untuk menghapus kata 'bagi pemeluk-pemeluknya', seperti yang disebutkan di muka. Sekali lagi Soekarno selaku ketua ko- misi UUD, mengemukakan bahwa preambule itu merupakan hasil kompromi dua pihak, sehingga perselisihan dapat dihindari. Tiap kompromi hakekatnya menerima dan mem- beri. Panitia berketetapan hati untuk memegang teguh kompromi itu. Soekarno menegaskan 'Saya harap rapat be- sar suka membenarkan sikap Panitia itu'.44 Namun Hadikusumo kambali mempersoalkan kalimat yang tersu- sun dalam 'tujuh kata' itu akan mengakibatkan timbulnya dua hukum, satu untuk orang Islam dan satunya lagi untuk bukan orang Islam.45 Soekarno kembali menegaskan adanya perubahan dari hasil kompromi dengan menghilangkan kata pemeluk-pemeluknya' yang telah disetujui oleh Panitia.46 Abikusno mengulang lagi penegasan bahwa apa yang termuat dalam preambule itu merupakan buah kom- promi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Jika kompromi itu masih harus dimentahkan lagi, tentu kita sependapat dengan pendapat Hadikusumo, menghapus kata "bagi pemeluk-pemeluknya", tetapi untuk mengadakan persatuan diharapkan hendaknya kita mengadakan per- damaian.'Jangan sampai nampak kepada dunia luar bahwa kita berselisih faham', kata Abikusno yang disambut tepuk tangan peserta sidang. Sidang hari itu diakhiri dengan ke- putusan menerima naskah rancangan preambule yang di- susun Panitia 9, disertai tujuh kata "dengan kewajiban ...", dengan suara bulat dan sedikit perubahan redaksional yang diusulkan Abikusno.47 Selanjutnya rapat besar (lengkap) Badan Penyelidik tanggal 15 Juli mendengarkan penjelasan ketua Komisi UUD, Soekar- no, dan ketua Panitia Kecil Perancang UUD, Supomo. Dalam penjelasan selanjutnya Supomo mengingatkan: Tuan Ketua! Kemarin sidang ini telah menerima pembukaan preambule dari pada Undang-undang Dasar, telah menerima de- ngan suara bulat pembukaan ini, maka pembukaan ini mengan- dung cita-cita luhur dan pokok-pokok pikiran tentang dasar dan tentang sifat-sifat Negara Indonesia yang hendak kita bentuk.48 Menurut Supomo, sistem negara berdasar ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk- pemeluknya, berarti negara memperhatikan keistimewaan penduduk yang terbesar yang beragama Islam. Rumusan itu merupakan hasil gentlemen agreement dari dua golongan Islam dan kebangsaan. Artinya, sudah dapat dicapai kom- promi supaya kita bangsa Indonesia dapat bersatu atas dasar memberi dan menerima. Prinsip dari gentlemen agree- ment ialah bahwa kedua belah pihak tidak boleh menghen- daki lebih dari apa yang telah dikompromikan. Diingatkan pula bahwa kedua belah pihak telah diwakili dalam Panitia, dari golongan Islam Wachid Wasjim dan Agus Salim, se- dang fihak lain Maramis dan Latuharhary.49 Supomo selanjutnya menegaskan bahwa Panitia mene- rima dengan suara bulat pasal 28 tentang agama. Ayat 1 dari pasal ini dirumuskan 'Negara'berdasar atas ke-Tuhan- an dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.50 Menurut Supomo: Perkataan itu kita ambil dari pembukaan. Sesuai dengan gentlemen agreement itu, sebetulnya ketentuan dalam pembukaan telah cukup. Tetapi kita maju selangkah, maju juga dengan ketentuan dalam Undang-undang Dasar.51 Ayat 2 pasal tersebut juga disepakati dengan rumusan 'Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat menurut keper- cayaan masing-masing'. Ayat 2 masuk dalam pembukaan itu, dan dimajukan juga dalam kompromi itu. Supomo selanjutnya mengatakan: Sekali-kali bukan maksudnya akan mengganggu, dan mem- batasi golongan-golongan lain yang beragama lain, sama sekali tidak. Itu juga diterangkan. Memang kita menghendaki dasar ke-Tuhanan dan dasar kemanusian, dan atas dasar-dasar itu dengan sendirinya kita harus menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan beribadah menurut kepercayaan masing-masing ... Ini adalah suatu kompromis, artinya bahwa kaum kebangsaan atau salah seorang yang bukan beragama Islam tidak boleh-umpamanya-minta atau mendesak supaya mengurangi jaminan kepada kaum Islam, sebab sudah menjadi kompromis, perjanjian moral yang sangat luhur; dan begitu sebaliknya ... janganlah golongan agama minta jaminan lebih lagi untuk ditambahkan dalam pasal apapun ... Jadi kedua belah fihak sudah cukup terjamin kepentingannya. Golongan kebangsaan tidak akan mendesak terhadap agama Islam dan sebaliknya agama Islam tidak akan minta jaminan lagi terhadap agama lain.... Tetapi saya kemukakan lagi bahwa hal itu sudah menjadi gentlemen agreement yang tidak boleh dikurangi dan ditambah.52 Menurut Supomo, jika ayat 1 pasal 28 dibaca begitu saja, sudah tentu dalam hati sanubari para warga yang tidak beragama Islam akan timbul rasa khawatir.'Jangan kuatir', kata Supomo, sebab dalam ketentuan selanjutnya negara menjamin dengan pengertian 'Kamu boleh beribadat me- nurut agama dan kepercayaanmu masing-masing'.53 Penjelasan Supomo itu pun ternyata belum meredakan ketegangan yang terjadi. Dalam rapat malam harinya, per- debatan mengenai soal ini muncul lagi. Hadikusumo meng- ulangi lagi pernyataannya mengenai 'tujuh kata' dan meminta penjelasan ketua sidang apa arti kata itu dan menuntut -karena arti kata itu tidak jelas- agar diubah oleh sidang karena sidang ini menurut Hadikusumo berwenang untuk itu. Tetapi 'kalau sidang mupakat, saya terima'. Hanya perlu saya nyatakan di sini,'bahwa saya tidak mupakat, kalau saya tidak boleh berbicara'.54 Wongsonegoro kembali meng- ingatkan bahwa rumusan-rumusan itu merupakan hasil kom- promi yang telah disepakati. Hatta menyetujui usul Dahler yang menyanggah usul Abdul Patah Hasan yang menghen- daki perubahan kata 'untuk' menjadi 'yang' (untuk memeluk agama lain yang memeluk agama lain) dan disetujui pula oleh Supomo. Akhirnya sidang menyetujui dengan 'mupakat' dan diterima bulat sesuai dengan teks yang disusun Panitia.55 Akan tetapi Masjkur menegaskan tuntutan yang sejalan dengan rekannya, Wachid Hasjim, bahwa arti 'tujuh kata' dalam preambule hanya mungkin terlaksana secara nyata jika presiden dan wakil presiden orang Islam, jika diakui Islam sebagai agama negara, dan jika presiden dan wakilnya bersumpah menurut agama Islam, bukan 'menurut agama- nya'. Kata 'nya' menurut Masjkur memberi arti presiden tidak harus beragama Islam.56 Soekarno mengusulkan kompromi dengan menghilangkan kata 'menurut agamanya'. Suatu kompromi menurut Soekarno tidak mungkin 100%, harus memberi dan menerima. Suasana yang terjadi makin menegangkan. Diusulkan agar diadakan pemungutan suara untuk mendapatkan ke- putusan agar persidangan tidak berlarut-larut, ditolak si- dang. Kahar Muzakkir sambil menggebrak meja kembali mengusulkan jalan tengah baru agar semua kata mengenai agama dicoret sama sekali, mulai dari kata-kata pertama pernyataan Indonesia merdeka sampai 'tujuh kata', terma- suk pasal-pasal UUD yang mencantumkan kata Tuhan atau Allah dan agama Islam, sehingga tidak tersisa sama se- kali.57 Ketika Radjiman, ketua sidang, menawarkan untuk dilakukan pemungutan suara terhadap usul Masjkur, Ahmad Sanusi menolak 'Tidak bisa, Tuan, tidak bisa distem. Perkara agama tidak bisa distem! Kita terima usul Muzakkir atau Masjkur?'.58 Hadikusumo kembali mengusulkan, tidak setuju jalan tengah. Kalau sekiranya usulnya ditolak, dia menerima negara netral yang diusulkan Kahar Muzakkir. Hadikusumo mengatakan: Terang-terangan saja, sebab kalau memang ada keberatan akan menerima ideologi ummat Islam, siapa yang mupakat yang berdasar Islam, minta supaya menjadi negara Islam. Kalau tidak, harus netral terhadap agama. Itulah terang-terangan, itulah yang lebih tegas... supaya diusulkan apakah negara kita berdasar agama atau tidak. Kalau tidak, tidak, habis perkara.59 Dalam rapat besar keesokan harinya, Soekarno, dengan bercucuran air mata memohon dengan sangat agar sidang memberikan mufakatnya kepada pemecahan itu. Akhirnya sidang menyetujui pembukaan UUD yang disusun Panitia, dan perubahan yang diusulkan Wachid Hasjim, pasal 4 ayat 2 tentang presiden dan wakilnya dari orang Islam serta pasal 28 Islam sebagai agama negara.60 Kegigihan Soekarno untuk memperjuangkan mufakat bulat bagi se- mua aliran dapat membuka jalan yang bisa diterima se- luruh rakyat Indonesia, merupakan bagian dari obsesinya yang diperjuangkan sejak akhir tahun dua puluhan.61 Akan tetapi yang lebih penting ialah pandangannya yang realis- tis, tanpa dukungan golongan Islam sesudah suatu negara resmi dibentuk di Indonesia, akan menghadapi masalah yang serius untuk menghadapi kembalinya militer Belanda yang didukung sekutu. Pertempuran yang sudah diper- kirakan akan terjadi menghadapi ancaman itu akan mengo- barkan seluruh lapisan rakyat, dan itu akan terjadi bila peran Islam dalam negara itu jelas. Sementara itu sehari setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Komando Tertinggi Jepang di Saigon menyetujui pembentukan panitia untuk mempersiap- kan penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Balatentara Jepang. Soekarno, Hatta dan Radjiman diundang ke Saigon. Disetujui suatu majelis yang mempersiapkan kemerdekaan untuk membentuk UUD akan bersidang di Jakarta tanggal 19 Agustus dan pada tangggal 24 Agustus Indonesia akan memperoleh kemerdekaan dari Jepang.62 Dari kesepakatan itu di Jakarta dibentuk sebuah Panitia Persiapan Kemer- dekaan Indonesia tanggal 14 atau 15 Agustus. Selain ketua Soekarno dan wakil ketua Hatta, anggota Panitia terdiri dari 19 orang dan dalam rapat tanggal 18 Agustus ditambah 6 orang.63 Timbul desakan dari gerakan pemuda yang memper- soalkan apakah tepat proklamasi kemerdekaan dilakukan atas nama sebuah panitia yang dibentuk Jepang? Sejak pertengahan Februari terjadi pemberontakan Peta di Blitar yang membangkitkan semangat agitasi anti-Jepang. Sejumlah pemuda Peta di bawah pimpinan Sukami 'menculik' dwi- tunggal Soekarno Hatta untuk diselamatkan dari pemberon- takan pemuda, namun rencana itu gagal. Mereka meng- hendaki proklamasi dilakukan seorang pemimpin yang jelas anti-Jepang. Akhirnya Soekarno dan Hatta mengambil oper tanggung jawab ini, dan proklamasi secara terbuka diumum- kan tanggal 17 Agustus 1945.64 Setelah pernyataan proklamasi itu, keesokan harinya para anggota PPKI diundang untuk menghadiri rapat darurat. Pagi hari sebelum sidang dimulai Hatta mengundang se- jumlah pemimpin Islam yang menjadi anggota Panitia un- tuk meninjau kembali rumusan-rumusan yang diperdebat- kan sebelumnya. Hadir ketika itu Bagus Hadikusumo, Wachid Hasjim, Kasman Singodemejo, dan Teuku Hasan dari Sumatera.65 Hatta berpendapat bahwa masalah yang diperdebatkan itu perlu ditinjau kembali berhubung se- orang perwira angkatan laut Jepang menyampaikan ke- terangan, rakyat Kristen di bagian timur Indonesia akan menolak masuk ke dalam republik yang baru dibentuk bila rumusan itu tetap dipertahankan dalam konstitusi.66 Hatta menyarankan agar perumusan itu dihapuskan saja dari konstitusi demi kesatuan dan keutuhan wilayah Republik Indonesia. Akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bah- wa dalam kenyataan Indonesia hanya dapat bersatu dan menjadi kesatuan wilayah bila dalam UUD tidak terdapat satu ketentuan yang langsung berkaitan dengan Islam. Sidang hari itu kemudian menerima perubahan yang di- sarankan Hatta hasil pertemuan tidak resmi dengan sejum- lah pemimpin Islam tersebut. Perubahan yang terpenting ialah dihapuskannya 'tujuh kata', dan selanjutnya dalam setiap kata Ketuhanan ditegaskan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dan perubahan serupa juga dilakukan dalam setiap pasal UUD mengenai agama, dan terakhir syarat presiden dan wakil presiden harus orang Islam dihapuskan. Selain itu juga perubahan-perubahan redaksional lain yang kurang penting. Selanjutnya sidang tanggal 19 Agustus membicarakan persoalan yang harus dipecahkan mengenai pemerintahan daerah, pertahanan, dan departemen-depar- temen yang dibentuk. Usul kompromi disetujui masalah agama menjadi bagian dari kementerian pendidikan.67 Pada tanggal 29 Agustus PPKI dibubarkan dan para anggotanya dilebur ke dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebagai' badan perwakilan rakyat sementara yang bertugas antara lain membantu pemerintah. Tanggal 31 Agustus ka- binet presidensil pertama terbentuk tanpa kementerian aga- ma, yang disusul kemudian kabinet parlementer pertama (Kabinet Sjarir I), 14 November, juga tanpa kementerian ini. Demikianlah kemelut ideologi mengawali kelahiran ne- gara baru berakhir dalam suatu kompromi yang khas. In- donesia secara konstitusional bukanlah negara Islam, tetapi juga bukan negara sekuler yang memandang agama sebagai masalah pribadi yang sama sekali terlepas dari negara. Meminjam ungkapan Boland, suatu jalan tengah dicapai untuk mengatasi kemelut dari gagasan mengenai suatu ne- gara yang ingin mengakui suatu keagamaan tertentu dan ingin bersikap positif terhadap agama lain.68 Suatu ungkap- an yang dinyatakan di belakang hari untuk mendukung konsep ini bahwa agama merupakan unsur mutlak nation and character building. Penyelesaian yang secara khas yang dihasilkan bukanlah suatu UUD yang secara formal mene- gaskan asasnya menurut Islam, tetapi nilai-nilai luhur me- nurut keyakinan itu secara sungguh-sungguh hendak di- kaitkan dalam menafsirkan salah satu dari lima sila yang terpenting, Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa hanyalah Islam yang menganut prinsip Ketuhanan tersebut.69 Selanjutnya Hatta mengatakan: Pada waktu itu kami dapat menginsyafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan 'ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dan menggantinya dengan 'ke-Tuhanan Yang Maha Esa'. Dalam negara Indonesia yang kemudian me- makai semboyan Bhineka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syari'ah Islam, yang hanya mengenai orang Islam dapat dimajukan sebagai rencana UU ke DPR, yang setelah diterima DPR mengikat ummat Islam Indonesia. Dengan cara begitu lambat laun terdapat bagi ummnt Islam Indonesia suatu sistem Syari'ah Islam yang teratur dalam UU, berdasarkan Qur'an dan Hadith, yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang.70 Bagi Bagus Hadikusumo, kesepakatan di depan Hatta, bukan hal yang baru, sebab Bagus Hasikusumo sejak per- sidangan BPUKI sudah mengajukan usul suatu negara yang netral agama sekiranya tuntutan negara Islam atau negara berdasar Islam ditolak. Bagus Hadikusumo tidak menghen- daki keputusan yang setengah-setengah atau kompromi. Kata 'bagi pemeluk-pemeluknya' menurut Hadikusumo ti- dak memberi ketegasan suatu dasar Islam bagi negara, sebab kata itu akan menimbulkan dualisme hukum, satu untuk ummat Islam dan satu lagi untuk bukan Islam. Akan tetapi Hatta dalam pertemuan tidak resmi menjelang sidang tanggal 18 Agustus menegaskan 'Perbedaan hukum antara penduduk yang beragama Islam atau beragama Kristen akan terdapat terutama dalam bidang hukum keluarga',71 sedang hukum lain pidana atau perdata tidak ada per- bedaan, mesti ada persatuan. Kemungkinan ada pengaruh dari agama Islam terhadap hukum lain barangkali akan terjadi pula, sebab hukum yang diatur dalam tata hukum Indonesia seharusnya mencerminkan perasaan dan rasa ke- adilan masyarakat, dan bagian terbesar dari masyarakat Indonesia beragama Islam. Sementara bagi Wachid Hasjim yang ikut mempersiapkan preambule dalam Panitia 9, menuntut lebih jauh, presiden dan wakil presiden harus orang Islam, dan agama negara, Islam. Kesepakatan di depan Hatta itu juga sebenarnya bukan suatu hal yang tidak diduga, meskipun dikatakan bahwa Ke- tuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila berkaitan dengan monotisme tauhid menurut Islam, tetapi Wachid Hasjim melihat persatuan nasional merupakan aspek yang penting pula. Wachid Hasjim menulis tanggal 25 Mei 1945: Sejarah masa lampau kami (dia kemukakan) telah menunjukkan bahwa kami belum mencapai kesatuan. Demi kepentingan ke- satuan ini, yang sangat kami perlukan secara mendesak dan dalam usaha untuk membangun negara Indonesia kita, di dalam pikiran kami pertanyaan yang terpenting bukanlah: 'Di manakah akhirnya tempat Islam (di dalam negara itu)?' Akan tetapi pertanyaan yang terpenting ialah, 'Dengan jalan manakah akan kami jamin tempat agama (kami) di dalam Indonesia merdeka?' Karena itu sekali lagi saya ulangi: Yang sangat kita perlukan saat ini adalah persatuan bangsa yang tidak terpecahkan.72 Masa lima tahun pertama usia Republik yang baru itu ditandai hasrat bersama yang sangat kuat untuk memper- tahankan kesatuan dan keutuhan wilayah. Inilah salah satu faktor mengapa para pemimpin Islam rela mengorbankan tuntutannya menghapuskan tujuh kata dan pasal lain yang berkaitan dengan itu yang sudah dicapai dengan susah payah dan diterima kalangan nasionalis sebagai suatu kom- promi. Hasrat yang demikian selain bagi golongan Islam sendiri, pada tingkat tertentu juga tercermin antara golong- an Islam dan nasionalis, mereka dalam banyak hal memiliki persamaan, walaupun tidak dipungkiri ada perbedaan-per- bedaan. Sudah tentu juga terjadi insiden lain yang kadang- kadang menimbulkan persaingan sengit untuk mempe- rebutkan pengaruh dalam menyelesaikan persoalan khusus- nya menghadapi Belanda. Salah satu konflik yang timbul antara golongan Sjahrir, kelompok kiri anti Jepang, dengan kaum nasionalis lainnya. Setelah perjanjian Renvile awal tahun 1948, Pemerintah Republik kemudian terlibat konflik dengan gerakan Darul-Islam, dan disusul pemberontakan komunis di Madiun. Kemerdekaan Indonesia pada dasarnya tidak bisa di- lepaskan dari tuntutan ummat Islam, mereka berjuang de- ngan darah dan harta demi mencapai kemerdekaan Indonesia, karena itu wajar bila mereka menghendaki Indo- nesia merdeka itu sebagai negara Islam. Apa yang mereka lakukan dalam sidang-sidang BPUPKI merupakan cerminan dari tekad itu. Namun sayang hasil maksimal yang telah dicapai dengan jalan kompromi-kompromi yang sampai si- dang terakhir BPUPKI diterima semua pihak, akhirnya ter- henti begitu saja dongan kesepakatan baru di luar sidang, antara beberapa pemimpin Islam dengan Hatta. Walaupun terjadi semua insiden yang menegangkan itu, kurun waktu lima tahun pertama dapat dianggap suatu periode yang relatif memiliki daya tarik persatuan yang kuat untuk mempertahankan negara proklamasi. Ini ter- utama bagi golongan Islam, sebab bagi mereka perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia merupakan bagi- an dari perjuangan mereka untuk menegakkan agama, me- negakkan kalimah Allah. Dengan latar belakang itu NU pada tanggal 22 Oktober 1945 mengeluarkan pernyataan Resolusi Jihad, berperang membela tanah air Indonesia melawan pen- jajah Belanda adalah wajib bagi setiap muslim Indonesia. Penegasan ini sampai pada tingkat tertentu berhasil me- rangsang pecahnya pertempuran di Surabaya tanggal 10 November yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pah- lawan. Sepuluh tahun sesudah proklamasi barulah pemilihan umum dapat diselenggarakan, tidak satu pun partai tampil sebagai pemenang mayoritas mutlak. Pemilihan umum itu menghasilkan empat kekuatan yang berimbang, tidak bisa tidak mereka tidak bisa menghindari kompromi-kompromi, baik dalam parlemen maupun majelis konstituante. Partai- partai Islam selanjutnya meneruskan perjuangan mereka menjadikan Islam sebagai dasar negara dalam majelis konsti- tuante. Namun demikian kemajuan politik Islam dapat di- katakan tidak berhasil diperjuangkan melalui kedua lembaga tersebut. Fakta bahwa suara partai-partai Islam digabung menjadi satu tidak mungkin mencapai mayoritas mutlak tidak berhasil diikuti kemampuan politik untuk me- lakukan negosiasi dan kompromi-kompromi, bahkan dalam banyak hal partai-partai itu sendiri tidak bersatu meng- hadapi kepentingan bersama mereka. Mereka saling men- desakkan kepentingan masing-masing tanpa mampu me- lakukan kompromi untuk menggalang kekuatan yang kom- pak, akhirnya memberi peluang campur tangan Presiden Soekarno. Dari segi ini dasawarsa kedua usia Republik dapat dikatakan sebagai zaman Soekarno, suatu zaman ke- tika Presiden Soekarno makin lama makin berhasil meng- galang kekuatan di tangannya sendiri. Obsesinya tentang Indonesia Merdeka bagi semua golongan dan aliran, dan diterima seluruh lapisan rakyat, yang diperjuangkan sejak akhir tahun dua puluhan, bermuara dalam konsep politik pada bagian terakhir masa kekuasaannya, Nasakom dan Demokrasi Terpimpin.74 Gagasan yang hendak membangun bersatu padunya semua kekuatan dan aliran itu akhirnya tidak bisa menghindari realitas suatu peluang bagi kekuat- an komunis terus mengembangkan diri yang secara prinsip tidak bisa diterima dalam akar budaya politik nasional yang relegius dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Setelah bekerja beberapa tahun Majelis Konstituante ber- hasil mencapai kesepakatan mengenai beberapa masalah, namun masalah yang akhirnya berkembang menjadi issue pokok menjelma menjadi dua blok kekuatan yang sama sekali tidak dapat dikompromikan. Masalah itu ialah ten- tang rumusan dasar negara yang intinya merupakan masa- lah lama yang berkembang ketika awal kemerdekaan, yaitu apakah dasar negara itu Pancasila atau Islam. Issue pokok inilah yang kemudian menimbulkan dua blok kekuatan, satu pihak golongan Islam yang menghendaki Pancasila sebagai sebagai dasar negara itu dengan tambahan "tujuh kata" yang dirumuskan sebagai Piagam Jakarta oleh Panitia 9, dan di pihak lain golongan nasionalis dan golongan agama lain serta komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara, tanpa tambahan "tujuh kata". _________________________________________________________ _________________________________________________________ Catatan 41. Ibid., h. 196. 42. Anggota Panitia Penghalus Bahasa: Husein Djajadiningrat, Agus Salim dan Supomo. Ibid., h. 197. Meskipun sudah disepakati dengan mufakat bulat dalam sidang tersebut, tetapi dalam sidang- sidang selanjutnya kembali dipersoalkan. 43. Dengan demikian ketentuan tentang presiden dan wakil ha- rus beragama Islam juga dihapuskan. Namun lagi-lagi soal ter- sebut muncul kembali dalam sidang berikutnya. 44. Himpunan Risalah, h. 213. 45. Ibid, h. 216-7. 46. Ibid. 47. Ibid., h. 218. Untuk yang kedua kalinya preambule (dengan kewajiban ..) yang disusun Panitia 9 diterima dengan suara bulat. Usul Abikusno yang diterima dihapuskannya kalimat "Terlebih sekali ...". 48. Ibid, h. 236. 49. Lihat catatan kaki nomer 31 50. Himpunan Risalah, h. 238. 51. Ibid, h. 238. 52. Ibid. 53. Ibid, h. 251. 54. Himpunan Risalah, h. 304. 55. Ibid., h. 309. Keputusan mufakat ini diubah yang ketiga kali. 56. Ibid. 57. Ibid., h. 315. 58. Ibid., h. 317 59. Ibid. 60. Bernhard Dahm, Soekarno, h. 363. 61. Ibid., h. 364. 62. Boland, Pergumulan, h. 36. 63. Notulen rapat PPKI tanggal 18 Agustus mencatat anggota sebanyak 27 orang termasuk ketua dan wakil, termasuk 2 orang pemimpin Islam yang terkenal Wachid Hasjim dan Bagus Hadikusumo. Tidak ada keterangan apakah semua anggota itu atau hanya sebagian saja yang hadir. Himpunan Risalah, h. 333. 64. Soekarno dan Hatta dibawa kelompok Sukami yang menun- tut proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan Soekarno dan Hatta lewat corong radio, tidak dalam kapasitas sebagai ketua dan wakil ketua Panitia yang dibentuk Jepang. Lihat Hatta, Memoir, h. 441-453. 65. Tentang siapa yang hadir dalam pertemuan dengan Hatta, ada dua versi. Menurut Hatta, Wachid Hasjim hadir dalam per- temuan. Lihat Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, (Jakarta: Tinta Mas, 1969), h. 57; Memoir, h. 459-60; Deliar Noer, Partai Islam, h. 41; dan Boland, Pergumulan, h. 38, dari keterangan Sajuti Melik. Menurut Prawoto Mangkusasmito, Wachid Hasjim tidak hadir dalam pertemuan karena sedang bertugas di Jawa Timur. Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Ne- gara dan Sebuah Proyeksi, (Jakarta: Hudaya, 1970), h. 38-39. Notulen Yamin tentang rapat tanggal 18 Agustus hanya menyebutkan daftar anggota PPKI, tidak menyebutkan siapa yang hadir, tetapi notulen rapat tanggal 19 Agustus, disebutkan Wachid Hasjim dan Suroso hadir. Apakah ini mengindikasikan kedua orang itu tidak hadir dalam rapat sebelumnya? Himpunan Risalah, h. 333 dan 368. Lihat catatan kaki nomer 63. 66. Memoir, h. 459-60; Partai Islam, h. 40; dan Pergumulan, h. 38. 67. Usul pembentukan Departemen Agama didukung 6 suara, yang lain menolak. Himpunan Risalah, h. 391. 68. Lihat Boland, Pergumulan, h. 40. 69. Hatta menjelaskan, menurut Wachid Hasjim, hanya Islam yang menganut doktrin monotisme Ketuhanan Yang Maha Esa. Lihat Deliar Noer, Partai Islam, h. 43. 70. Hatta, Memoir, h. 459-60. 71. Hatta juga mengatakan mungkin di sana sini ada pengaruh hukum adat, tetapi tidak mempengaruhi pokoknya yang asasi. Apakah yang dimaksud pengaruh hukum adat itu hukum Islam atau bukan, tidak jelas. Lihat Memoir, h. 460. 72. Wachid Hasjim, "Agama dalam Indonesia Merdeka", dalam Indonesia Merdeka I, 3, 25 Mei 1945; dikutip dari Benda, The Crescent, h. 189. 73. Resolosi Jihad dikeluarkan NU dalam rapat besar wakil-wakil konsul (daerah) NU se Jawa dan Madura di Surabaya tanggal 21-22 Oktober 1945. Dalam resolusi itu NU minta agar pemerin- tah RI menentukan sikap dan tindakan yang nyata dan sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannya. Juga diminta agar melanjutkan perjuangan bersifat sabilillah untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Mer- deka dan Agama Islam. Resolusi NU tentang Jihat (lihad) fi Sabilil- lah , Kedaulatan Rakjat, 24 Oktober 1945. Selanjutnya muktamar NU 26-29 Maret 1946 mengeluarkan resolusi bahwa perang, me- nolak dan melawan penjajah itu fardu 'ain (fard 'ain) bagi semua orang Islam dalam radius 94 km. Di luar daerah itu kewajibannya bersifat kifayah (bersama). Jika musuh tidak berhasil dikalahkan oleh mereka yang berada dalam radius tersebut, mereka yang berada di luarnya wajib (fard 'ain) membantu (membela) sampai musuh dapat dikalahkan. Lihat Poetoesan-poetoesan Moe'tamar No ke 16, (Soekaradja: Tjabang NO Banjoemas, 1946), h. 14-15. 74. Selanjutnya mengenai gagasan dan pemikiran Soekarno itu, lihat Bernhard Dahm, Soekarno, khususnya bab III, h. 71-154.