BAB VI PROBLEM AGAMA DALAM NEGARA INDONESIA Pembahasan dalam bab ini akan dibagi dalam tiga bagian. Pertama tentang ideologi atau dasar negara. Pembahasan terutama diarahkan di sekitar sidang-sidang BPUPKI (Ba- dan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan In- donesia) dan pengaruhnya sesudah itu. Kedua tentang hubungan agama negara dan bagaimana perspektifnya da- lam sejarah Indonesia. Ketiga pembahasan tentang keputus- an Konferensi Alim Ulama dengan Menteri Agama tahun 1954 yang menghasilkan keputusan tentang waliyy al-amr. A. PROBLEM IDEOLOGI Ketika Jepang menghadapi krisis kemungkinan akan kalah dalam perang Pasifik yang kian meningkat, tanggal 7 Sep- tember 1944 memberi janji kemerdekaan kepada Indonesia.1 Janji itu diulangi lagi tanggal 1 Maret 1945.2 Keadaan itu disadari benar oleh pemimpin-pemimpin Islam di Indo- nesia. Federasi organisasi-organisasi Islam Masyumi kemu- dian mengundang pertemuan pengurus untuk bersidang 'guna mempersiapkan kaum muslimin bagi pembebasan negeri dan agama mereka', yang akhirnya menyetujui pem- bentukan pasukan Hizbullah.3 Sebagian di antara mereka juga menjadi anggota badan penyelidik untuk mempersiap- kan kemerdekaan Indonesia. Badan yang didirikan tangal 7 Desember 1944 diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat,4 merupakan tonggak besar dalam perjalanan sejarah per- gerakan kemerdekaan. Untuk pertama kali dasar-dasar negara,yang akan dibentuk dibahas secara mendalam oleh Badan ini. Agaknya Jepang sudah menyadari kemungkinan timbul- nya pertentangan yang tajam mengenai negara yang akan didirikan. Salah satu di antaranya ialah mengenai keduduk- an agama dalam negara itu berhubung dengan kenyataan sebagian besar rakyat Indonesia beragama Islam. Melalui Jenderal Nishimura, Kepala Departemen Umum, Pemerin- tah Pendudukan Jepang, memberi tahu sikapnya berkaitan dengan rencana pembentukan negara Indonesia. Sepanjang mengenai kedudukan agama dalam pemerintahan baru itu (demikian Nishimura), izinkan saya mengatakan bahwa sikap Pemerintah Militer mengenai hal ini dapat diibaratkan selembar kertas putih. Walaupun kami amat jelas menghargai ikatan yang ada antara rakyat Indonesia dengan Islam, pejabat-pejabat Dai Nippon sama sekali tidak mempunyai gagasan mengenai tempat yang seharusnya diduduki Islam dalam pemerintahan, atau pun bagaimana seharusnya hubungan antara Islam dan agama-agama lainnya. Seperti saya jelaskan kepada Tuan-tuan sekalian, rakyat Indonesia harus mewujudkan cita-citanya sendiri dalam men- dirikan negara baru itu - Dai Nippon hanya akan memberikan bantuan dalam upaya itu.5 Jika mulanya kalangan nasionalis tidak mendapat tempat yang selayaknya dalam percaturan politik dan kekuasaan, maka ketika mendekati masa akhir kekuasaan Jepang di Indonesia terjadi titik balik munculnya elite nasionalis yang diberi kelonggaran-kelonggaran yang cukup memberi arti bagi peranan mereka di kemudian hari.6 Badan penyelidik yang dibentuk itu pun sebagian besar anggotanya dari kalangan mereka dan sebagian dari mereka memiliki ke- matangan intelektual yang cukup memadai untuk menyu- sun rancangan pemerintahan negara yang akan dibentuk. Sebuah rancangan undang-undang dasar dan peraturan me- ngenai pemerin tahan sementara Indonesia mereka persiap- kan cukup matang dalam sidang Badan Penyelidik.7 Se- baliknya dari golongan Islam tidak cukup melakukan per- siapan yang sama, bahkan mereka dalam sidang-sidang Badan Penyelidik bersikap menanggapi dan mempersoalkan bagian-bagian tertentu dari gagasan kaum nasionalis, selain dari tuntutan mereka mengenai dasar negara yang formalis- tis Islam yag memang terasa cukup keras dipejuangkan sejak mula. Agaknya cukup sulit untuk memperoleh gambaran yang orisinal gagasan dan pemikiran kalangan Islam menghadapi pembentukan negara barn dalam sidang Badan Penyelidik hanya dari reaksi mereka terhadap isu yang dikemukakan kaum nasionalis.8 Salah satu sebabnya ialah karena Yamin tidak menyertakan pidato atau catatan lengkap yang dibuat para pemimpin Islam seperti Bagus Hadikusumo, Mansur, Wachid Hasjim, Kahar Muzakkir, atau Agus Salim, selama sidang-sidang Badan Penyelidik berlangsung. Padahal catat- an pidato-pidato lain dari kalangan nasionalis dimuat cu- kup rapi dan jelas.9 Agak sayang, ketiadaan sumber otentik ini terasa ke- mudian. Kajian terhadap pemikiran dan gagasan kalangan Islam mengenai negara yang akan dibentuk hanya dimung- kinkan dengan melihat reaksi mereka terhadap kalangan nasionalis. Padahal untuk kepentingan ini seharusnya amat perlu melacak gagasan dan pikiran mereka secara orisinal, bukan sekedar reaksi mereka saja. Begitulah maka kajian ini juga tidak bisa mengelakkan realitas ini karena kurangnya sumber-sumber asli tersebut. Sidang Badan Penyelidik diselenggarakan dua kali yang pertama tanggal 29 Mei-2 Juni 1945 dan yang kedua tang- gal 10-14 Juli 1945.10 Sidang yang pertama Badan Penye- lidik diisi pidato-pidato Yamin, Supomo, Yamin lagi dan Soekarno.11 Umumnya garis besar isi pidato tersebut di- kemukakan dasar filosofi, batas wilayah dan garis besar rancangan UUD serta bentuk negara. Untuk merumuskan masalah yang dibicarakan dalam sidang tersebut dibentuk panitia yang terdiri atas 8 orang dan dalam sidang kedua berikutnya hasil rumusan panitia 8 orang itulah yang men- jadi bahan pembahasan. Selanjutnya dalam sidang kedua dibentuk lagi tiga panitia kecil. Pertama membahas rancangan UUD diketuai Soekarno, kedua, membahas ran- cangan pembelaan tanah air (militer) diketuai Abikusno Tjokrosujoso, dan ketiga, membahas rancangan keuangan dan perekonomian diketuai Hatta.12 Dari catatan Yamin mengenai beberapa pidato anggota Badan Penyelidik pembicaraan berpusat pada tiga masalah yaitu mengenai struktur dan susunan negara, negara ke satuan atau federasi; soal hubungan antara agama dan negara atau sebaliknya; dan mengenai bentuk negara, apa- kah negara republik atau kerajaan. Pada persoalan yang kedua pembahasan selanjutnya kajian ini dilakukan, untuk mengetahui sejauh mana pergumulan yang terjadi dan ba- gaimana pendapat-pendapat kalangan Islam merupakan gagasan mereka. Pendapat-pendapat mengenai dasar negara sebagian diketahui dari pidato Supomo dalam sidang tang- gal 31 Mei 1945.13 Mengutip pendapat Hatta yang menegas- kan bahwa dalam negara kesatuan seperti Indonesia, masalah kenegaraan harus dipisahkan dari masalah agama. Selanjutnya Supomo mengatakan adanya dua pendapat me- ngenai masalah tersebut. Pendapat pertama dari para ahli agama menyatakan bahwa Indonesia haruslah menjadi negara Islam, dan pendapat kedua yang disarankan Hatta, suatu negara kesatuan nasional yang memisahkan masalah kenegaraan dari masalah keagamaan, dengan lain kata bu- kan negara Islam.l4 Menurut Supomo perkataan negara Islam lain artinya dengan perkataan 'negara berdasar atas cita-cita luhur dari agama Islam'. Dalam negara Islam, ne- gara tidak bisa dipisahkan dari agama. Negara dan agama ialah satu, bersatu padu. Mengambil contoh Turki, Supomo mengatakan semula merupakan negara Islam, tetapi sejak tahun 1924 Turki mengganti sifatnya bukan menjadi negara Islam, meskipun rakyatnya beragama Islam.15 Supomo mengingatkan agar jangan sekedar meniru ne- gara lain di Timur Tengah yang dianggap sebagai negara Islam sebab berbagai kondisi dan latar belakangnya ber- beda. Dikatakan oleh Supomo bahwa di negara-negara Islam sendiri juga terjadi perbedaan, khususnya mengenai bagaimana syari'ah Islam harus disesuaikan dengan ke- butuhan internasional, dengan persyaratan masa kini, de- ngan pikiran modern. 'Jadi seandainya kita di sini men- dirikan negara Islam, pertentangan pendirian itu akan tim- bul juga.16 Supomo mengutip pendapat Muhammad 'Abduh bahwa syari'ah Islam bisa diubah melalui ijma' asal tidak bertentangan dengan Qur'an dan hadis. Juga dikutip pendapat 'Ali 'Abd al-Raziq yang dikatakan lebih radikal, bahwa agama terpisah dari hukum yang mengenai kepen- tingan negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam negara-negara Islam sendiri masih ada pertentangan pendirian tentang bagaimana seharusnya bentuk hukum negara, supaya sesuai dengan aliran zaman modern.l7 Menurut Supomo mendirikan negara Islam di Indonesia berarti bukan negara kesatuan, sebab negara itu menghu- bungkan dengan golongan terbesar yaitu golongan Islam. Akan timbul persoalan 'minderheden', persoalan golongan agama yang kecil-kecil, walaupun ditegaskan bahwa suatu negara Islam akan menjamin kepentingan golongan lain sebaik-baiknya. Oleh karena itu, kata Supomo, cita-cita ne- gara Islam tidak sesuai dengan cita-cita negara kesatuan yang kita idam-idamkan dan yang juga dianjurkan oleh Pemerintah Balatentara Jepang.l8 Supomo menganjurkan pembentukan negara nasional yang bersatu, yang mengatasi segala golongan dan akan mengindahkan dan menghormati keistimewaan segala golongan, baik golongan yang besar maupun golongan yang kecil. Dalam negara nasional yang bersatu itu, urusan agama akan diserahkan kepada golong- an agama yang bersangkutan. Setiap orang atau golongan akan merdeka memeluk agama yang disukainya. Baik golongan agama yang besar maupun yang kecil akan me- rasa bersatu dalam negara.19 Dalam masa persidangan pertama Badan Penyelidik juga mendengarkan pidato Soekarno tangal 1 Juni yang terkenal Lahirnya Pancasila.20 Soekarno mengemukakan lima asas da- sar negara yaitu kebangsaan, peri kemanusiaan, permusya- waratan melalui perwakilan (demokrasi), kesejahteraan, dan ketuhanan. Berkat bantuan ahli bahasa, Soekarno menamai lima asas itu Pancasila. Selajuntnya Pancasila bisa diringkas menjadi Trisila: peri kebangsaan dan peri kemanusian di- sebut sosio nasionalisme, demokrasi dan kesejahteraan di- sebut sosio demokrasi, dan ketuhanan. Seluruh asas ini akhirnya diringkas menjadi satu: gotong royong. Dalam penjelasannya mengenai asas ketiga, permusyawaratan per- wakilan, Soekarno mengemukakan: 'Untuk pihak Islam, ini- lah tempat terbaik untuk memelihara agama ... Badan perwakilan inilah tempat kita untuk mengemukakan tun- tutan-tuntutan Islam'.21 Diharapkan agar ummat Islam mampu mengisi badan perwakilan itu sebanyak-banyaknya melalui pemilihan umum agar bisa dicapai mayoritas mut- lak. Dengan suara mayoritas mutlak itu segala tuntutan Islam dapat diperjuangkan secara demokratis. Ditegaskan: 'Jika hal yang demikian tadi nyata terjadi, barulah dikata- kan Islam benar-benar hidup di dalam hati rakyat kita'.22 Dalam sidang Panitia Kecil 8 orang tanggal 18 Juni, kebetulan pada hari-hari itu juga diselenggarakan sidang Dewan Pengawas Pusat (Tyou Sangi-In), maka sebagian anggota Dewan yang merangkap sebagai anggota Badan Penyelidik, diikutsertakan dalam sidang sehingga Panitia Kecil bertambah menjadi 38 orang. Mereka membahas 32 masalah yang diajukan oleh 40 anggota Badan Penyelidik.23 Soekarno sebagai ketua Panitia Kecil mengakui kesulitan- kesulitan yang dihadapi Panitia untuk mempertemukan dua golongan Islam dan kebangsaan, terutama mengenai soal agama dan negara.24 Dalam sidang Panitia itu selanjutnya dibentuk sebuah Panitia Kecil 9 orang anggota untuk me- rumuskan rancangan keputusan. Panitia 9 itu ialah Hatta, Subardjo, Maramis, Soekamo, Kahar Muzakkir, Wachid Hasjim, Abikusno Tjokorsujoso, dan Agus Salim.25 Selanjut- nya Panitia inilah yang berhasil merumuskan suatu per- setujuan kompromi antara dua belah fihak yang oleh Sukiman disebut gentlemen agreement dan oleh Yamin di- sebut Jakarta Charter atau Piagam lakarta.26 Teks Rancangan Pembukaan UUD (Piagam Jakarta)27 'Pembukaan: bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan In- donesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencer- daskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indo- nesia itu dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, de- ngan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijak- sanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan me- wujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'. Rapat hari pertama masa sidang kedua tanggal 10 Juli ditandai oleh semangat persatuan yang meluap-luap dan keinginan untuk segera mencapai Indonesia merdeka. Se- lanjutnya sidang membahas tentang bentuk negara, repu- blik atau kerajaan. Pemungutan suara yang dilakukan sesuai dengan usul Yamin menghasilkan 55 republik, 6 kerajaan, 2 lain-lain dan 1 blangko.28 Kemudian dilanjutkan pemungutan suara hari berikutnya mengenai batas wilayah, 39 suara mendukung wilayah Indonesia meliputi bekas wi- layah Hindia Belanda, Malaka, Borneo utara, Papua, Timor dan kepulauan sekelilingnya.29 Rapat sore harinya disepa- kati membentuk 3 komisi masing-masing komisi UUD di- ketuai Soekarno, pertahanan (pembelaan) diketuai Abikusno Tjokrosujoso, dan ekonomi diketuai Hatta.30 Sidang Panitia Perancang UUD yang dipimpin Soekarno merupakan si- dang yang terberat karena menyangkut inti persoalan ten- tang dasar negara. Latuharhary dari golongan Protestan keberatan dengan kalimat yang terdiri dari tujuh kata 'de- ngan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-peme- luknya'.31 Akibatnya mungkin besar terhadap agama lain. Karena itu diminta supaya dalam UUD diadakan pasal yang terang; kalimat ini bisa juga menimbulkan kekacauan misalnya terhadap adat istiadat.32 Agus Salim menjawab, pertikaian hukwn agama dengan hukum adat bukan masa- lab baru dan pada umumnya telah selesai. Ketentraman orang-orang yang beragama lain tidak perlu dirisaukan, keamanan mereka tidak tergantung kepada kekuasaan ne- gara, tetapi dari adat ummat Islam yang 90%.33 Wongso- negoro dan Husein Djajadiningrat juga keberatan dengan kalimat 'tujuh kata' tersebut. Kalimat itu mungkin sekali menimbulkan fanatisme, karena kaum muslimin seolah-olah dipaksa menjalankan dan mematuhi syari'ah Islam.34 Wachid Hasjim membantah kemungkinan adanya paksaan itu, karena dalam negara demokrasi segala sesuatu diputus- kan dengan musyawarah. Juga dibantah kalimat yang ter- diri atas tujuh kata itu tajam, sebab ada anggota yang menganggap kurang tajam.35 Kontroversi mengenai tujuh kata itu terus berlangsung, meskipun untuk sementara waktu dapat diredakan oleh ketua sidang, Soekarno, yang berkali-kali menegaskan bah- wa kalimat itu merupakan kompromi yang bisa dicapai dengan susah payah dan melihat sudah tidak ada keberatan yang diajukan dalam sidang Panitia, maka pokok-pokok dalam preambule dianggap sudah diterima. Namun ketika sidang membicarakan ditil pasal-pasal UUD, Wachid Has- jim mengaitkan salah satu inti yang telah disepakati menge- nai preambule dengan pasal yang mengatur tentang presiden dan wakil presiden dan mengenai agama negara. Wachid Hasjim mengusulkan perubahan pasal 4 ayat 2 agar hanya orang yang beragama Islam yang dapat diterima sebagai presiden dan wakil presiden; dan agama negara adalah Islam, dengan jaminan kemerdekaan bagi penganut agama lain untuk beribadat menurut agama masing-masing. Pen- tingnya kedua hal tersebut menurut Wachid Hasjim untuk menjamin terciptanya peraturan yang berciri atau berbau Islam dengan alasan karena umumnya pertahanan negara yang didasarkan pada keyakinan agama akan sangat hebat, karena menurut ajaran Islam orang hanya boleh mengor- bankan jiwanya untuk ideologi Islam.36 Agus Salim yang dipandang mewakili golongan Islam yang sama dengan Wachid Hasjim menentang usul ter- sebut, karena hal itu, sekalipun penting, akan berakibat merusak jalan tengah dan kompromi yang telah disepakati. 'Apakah hal itu tidak bisa diserahkan kepada Badan Per- musyawaratan Rakyat?', kata Agus Salim. 'Jika presiden harus orang Islam, bagaimana halnya dengan duta-duta dan sebagainya? Apakah artinya dengan janji kita untuk melindungi agama lain'.37 Sukiman menyetujui usul Wachid Hasjim,38 namun Bagus Hadikusumo melangkah lebih jauh mendukung usul Sanusi untuk menghilangkan kata 'bagi pemeluk-pemeluknya', kalimat itu menjadi 'dengan ke- wajiban menjalankan syari'at Islam'. Menurut Hadikusumo tidak dapat diterima adanya suatu perundang-undangan yang ganda, satu untuk kaum muslimin dan satu lagi untuk ummat lainnya.39 Djajadiningrat tidak setuju usul Wachid Hasjim, sebab dalam prakteknya tentu presiden orang Indonesia yang beragama Islam. Malah diusulkan agar pasal 4 ayat 2 (Presiden dan wakil presiden orang Indonesia asli) dihapuskan saja.40 ________________________________________________________ ________________________________________________________ Catatan 1. Janji itu diumumkan Jepang di depan sidang Diet ke 85. 'Kekaisaran Jepang (dengan ini) mengumumkan kemerdekaan In- donesia di kelak kemudian hari bagi seluruh rakyat Indonesia, agar dengan demikian kebahagiaan rakyat Indonesia bisa terjamin untuk selama-lamanya'. Namun sebenarnya telah terjadi perse- lisihan intern yang mendahului janji itu. Angkatan Laut Jepang yang menguasai daerah bagian timur Indonesia menentang ren- cana itu. Lihat Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemer- dekaan, terjemahan Hasan Basari, Jakarta: LP3ES, 1987), h. 337-8. Selanjutnya dikutip Soekarno. 2. B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, terjemahan Sjafa- roedin Bahar, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), h. 18. Selanjutnya di- kutip Pergumulan. Dahm mengutip Asia Raya, 23 Januari 2605, pemerintah Jepang ingin selekasnya melihat terwujudnya Indo- nesia merdeka, pernyataan Menlu Shigemitsu; dan diulangi lagi 1 Maret, Asia Raya tanggal tersebut. Lihat Bernhard Dahm, Soekarno, h. 350-51 dan 504. 3. Harry Benda, The Crescent., h. 176. 4. Himpunan Risalah Sidang-sidang Penyusunan UUD 1945, Jakar- ta: Sekertariat Negara RI, t.t.), h. 79. Buku ini cetak ulang dari Yamin, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, I; Selanjutnya dikutip Himpunan Risalah. 5. The Crescent, h. 188-9. 6. The Crescent, h. 170-171. 7. Yamin mengutip teks rancangan UUD ini dan Peraturan ten- tang Pemerintahan Sementara Indonesia yang disusun Supomo, Subardjo dan Maramis. Lihat Muhhamad Yamin, Naskah, I, h. 671-672. Tidak jelas apakah Badan Penyelidik membahas rancang- an itu, tetapi naskah rancangan itu memang dipersiapkan untuk sidang-sidang Badan Penyelidik. Lihat Yamin, Naskah, I, h. 729- 752 dan 761-772. 8. Boland, Pergumulan, h. 21. 9. Himpunan Risalah. 1O. Persidangan kedua dilanjutkan sampai tanggal 16 Juli 1945. Lihat Himpunan Risalah, h. 219 dan 323. 11. Himpunan Risalah, h. 3-77. Catatan notulen sidang tidak ter- cantum dalam laporan Yamin, tetapi sidang kedua dimuat de- ngan kurang lengkap. 12. Panitia 8 orang terdiri: Bagus Hadikusumo, Wachid Hasjim, Muhammad Yamin, Sutardjo, Maramis, Oto Iskandardinata, dan Hatta, serta Soekarno sebagai ketua. Panitia ini berbeda dengan Panitia 9 yang dibentuk dalam sidang Panitia 8 yang diperluas menjadi 38 orang anggota tanggal 18 Juni 1945. Ibid., h. 82. Lihat pula Mohammad Hatta, Memoir, (Jakarta: Tinta Mas, 1982), h. 436. 13. Yamin tidak mencantumkan notulen sidang Badan Penyelidik yang pertama. Adanya perbedaan pendapat antara para ahli aga- ma dan kebangsaan diketahui dari pidato Supomo tersebut. Juga pidato Hatta tidak dimuat. 14. Menurut Hatta, ketika ketua sidang Radjiman Wedyodining- rat membuka sidang tanggal 29 Mei, melontarkan pertanyaan: 'Apakah dasar negara yang akan didirikan?', kebanyakan anggota Badan Penyelidik tidak menjawab karena khawatir akan meng- akibatkan perselisihan yang berlarut-larut. Tanggal 1 Juni, sidang hari keempat, Soekarno menjawab pertanyaan ketua sidang Rad- jiman dengan pidato yang terkenal Lahirnya Panca Sila, yag men- dapat tepuk tangan hampir seluruh anggota pada akhir pidato. Memoir, 435-6. Pendapat Hatta yang dikutip Supomo tidak dijum- pai dalam naskah Yamin, karena notulen rapat persidangan per- tama tidak tercantum. Himpunan Risalah, h. 31. 15. Himpunan Risalah, h. 32. Supomo tidak menjelaskan peryata- an kedua tentang negara menurut cita-cita luhur Islam. 16. Himpunan Risalah, h. 33.'Abduh berpendapat bahwa untuk memajukan ummat Islam tidak cukup dengan seruan kembali kepada ajaran Islam asli, zaman salaf. Menurut 'Abduh zaman dulu dan zaman sekarang berbeda. Ajaran Islam terbagi ke dalam dua bagian, ibadah dan mu'amalat (sosial kemasyarakatan). Aja- ran yang pertama bersifat jelas dan rinci, sedang yang kedua hanya prinsip dan pokok-pokoknya saja. Ajaran mengenai yang kedua ini perlu dikembangkan terus sejalan dengan kemajuan zaman. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan, h. 63-64. 17. Tentang pendapat Raziq sebenarnya sudah disanggah oleh Diya' al-Din, al-Islam wa al-Khilafah fi al-'Asr al-Hadis, (Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 1972). 18. Himpunan Risalah, h. 33. 19. Ibid. 20.Ibid., h. 57-77. Tertulis Panca Sila, ejaan c sebagai pengganti tj dari penulis. Dalam naskah tersebut pidato Soekarno tidak diberi judul. Radjiman Wedyodiningrat ketika memberi pengantar pe- nerbitan pertama teks pidato itu memberi judul "Lahirnya Pan- casila". Lihat Soekarno, "Lahirnya Pancasila", dalam Tudjuh Bahan- bahan Pokok Indoktrinasi, (Bandung: Dua R, 1965), h. 4. Naskah pidato Soekarno mengandung prinsip-prinsip yang sama dengan pidato Yamin yang diucapkan tiga hari sebelumnya (29 Mei), sehingga banyak orang meragukan kemurnian pidato Soekarno. Akan tetapi Hatta memastikan bahwa yang merumuskan Pan- casila pertamakali adalah Soekarno. Menurut Hatta, Soekarno, ketua Panitia 9, menugaskan Yamin untuk membuat pendahuluan UUD. Naskah Yamin terlalu panjang, ditolak Panitia 9, lain di- buat bersama Panitia 9 teks yang lebih pendek seperti yang tercantum dalam UUD 1945 sekarang. Yamin lain mengambil teks yang panjang itu untuk menggantikan teks pidato yang diucap- kan tanggal 29 Mei. Hatta, Memoir, h. 436. 21. Himpunan Risalah, h. 70. 22. Ibid., h. 71. 23. Dari 32 masalah selanjutnya disimpulkan lagi oleh Panitia menjadi 9 golongan masalah yaitu: 1. tuntutan Indonesia selekas- nya merdeka, 2. dasar negara, 3. unifikasi atau federasi, 4. bentuk negara dan kepala negara, 5. warga negara, 6. daerah, 7. agama dan negara, 8. pembelaan (militer), dan 9. keuangan. Himpunan Risalah, h. 82-3. 24. Ibid., h. 88. 25. Ibid. 26. Ibid., h. 213. Dalam sidang 14 Juli Soekarno antara lain me- ngatakan: "Jadi panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh yang terhormat Mohd. Yamin 'Jakarta Charter', yang disertai perkataan tuan anggota yang terhormat Sukiman 'gentlemen agreement',..". 27. Himpunan Risalah, h. 89. Ejaan disesuaikan dengan penulisan Ejaan Baru. Susunan dan paragraf dikutip sesuai dengan aslinya dari pidato Soekarno selaku ketua Panitia 9. Cetak huruf Italics dari penulis. 28. Himpunan Risalah, h. 119. Usul bentuk kerajaan diajukan anggota Badan Penyelidik dari Jawa Tengah. Menurut Sukiman, mereka telah mengadakan pertemuan di Magelang dan memutus- kan keputusan tersebut mengikat mereka. 29. Ibid., h. 148. 30. Ibid., h. 185-7. 31. Latuharhary bersama Maramis disebut oleh Supomo mewakili Kristen Protestan, tetapi belakangan Maramis, menurut Boland yang mewawancarai kedua orang itu, menolak anggapan itu dan merasa dirinya mewakili nasionalis 'sekuler', sementara Latuhar- hary menyatakan memang menjauhkan diri dari jalan tengah yang diusulkan Soekarno. Pergumulan, h. 29. 32. Himpunan Risalah, h. 193. 33. Ibid. 34. Ibid. 35. Ibid. 36. Himpunan Risalah, h. 195-6. Tuntutan Wachid Hasjim ini agak mengejutkan, sebab sejak mula disadari kemungkinan akan tim- bul perselisihan dalam soal ini, juga di fihak Islam sendiri, meng- ingat sejarah masa lain Islam yang tidak pernah bersatu. Wachid Hasjim menulis dalam Indonesia Merdeka, 25 Mei 1945,'Karena itu sekali lagi saya ulangi: Yang sangat kita butuhkan saat ini adalah persatuan bangsa yang tidak terpecahkan'. Benda, The Crescent, h.189. 37. Himpunan Risalah, h. 196. 38. Ibid. 39. Ibid., h. 212 dan 217. 40. Ibid., h. 196.