Tradisi kehidupan politik NU yang begitu lama telah membudaya sehingga terasa agak sulit untuk mencabut akar budaya tradisi itu dari kehidupan NU yang baru. Setidaknya memerlukan waktu lama agar warga NU tidak lagi menjadikan politik sebagai lahan kegiatan dalam beror- ganisasi. Jika NU gagal menciptakan modus baru bagi ke- giatan warga dan organisasi NU bisa dipastikan ke- cenderungan politik akan menjadi pola kegiatan kembali. Hal ini barangkali sudah disadari oleh pemimpin NU sen- diri, karena itu sejak beberapa waktu terakhir ini pengurus besar NU giat menyelenggarakan berbagai kegiatan agar kecenderungan politik bisa dicegah. Beberapa kegiatan itu antara lain penyelenggaraan latihan dan motivasi keluarga berencana dan lingkungan hidup, latihan kepemimpinan dan pertemuan lain yang sejenis yang beraneka ragam lingkupnya mulai tingkat nasional sampai daerah dan ter- akhir yang sedang ramai dibicarakan pengembangan sektor ekonomi warga NU kerja sama dengan Bank Summa untuk membuka 2000 BPR dan rintisan usaha industri. Ini semua belumlah menyebutkan semua aktivitas NU yang sedang digalakkan, tetapi jelas jika semua itu berhasil ditata oleh pengurus NU akan mengurangi kecenderungan orientasi politik yang bagaimanapun tidak begitu mudah akan hi- lang. Tidak berkembangnya lembaga pendidikan, khusus- nya tingkat perguruan tinggi, mengakibatkan banyak warga, NU yang 'numpang' bekerja di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah yang bertebaran di mana-mana. Masih lekatnya kecenderungan orientasi politik NU juga disinggung oleh William Liddle berkaitan dengan kemung- kinan jika terjadi rekayasa demokrasi di kemudian hari yang memberi kesempatan lahirnya partai politik baru yang mengakar ke bawah, maka NU salah satu di antara or- ganisasi kemasyarakatan yang paling siap untuk itu.50 Pen- dapat itu muncul dari pengamatan bahwa NU telah memiliki jaringan organisasi sosial yang besar, rumit dan kait-mengait antar berbagai kepentingan dan golongan yang dapat dijadikan sebagai pabrik politik untuk merakit sistem kepartaian. NU memiliki sumber daya jutaan anggota, se- jumlah tokoh yang sudah fasih dengan bahasa politik dan visi yang sedang dikembangkan tentang masa depan Indo- nesia.51 Pengamatan ini memunculkan suatu sisi penting bahwa pengembangan wawasan masa depan Indonesia yang sedang digarap NU melahirkan indikasi lain dari gagasan itu sendiri sebagai perangkat strategis untuk meng- antisipasi masa depan politik di Indonesia. Pengamatan Liddle ini dikemukakan sesudah muktamar Krapyak 1989 yang menegaskan bahwa NU tidak akan menjadi partai politik lagi, tetapi karena masih lekatnya orientasi politik sebagian besar warga NU, masih sulit dipercaya hilangnya lamunan masa lalu politik mereka yang mungkin akan muncul lagi di masa depan. Namun sekiranya tidak ada perubahan politik yang me- mungkinkan lahirnya sistem kepartaian baru di masa depan yang dekat ini agaknya tekad NU untuk tetap tidak akan menjadi partai politik lagi masih terus akan bertahan. Akan tetapi sementara kalangan meragukan konsistensi sistem kepartaian di Indonesia sekerang ini akan bertahan tanpa perubahan di masa depan. Liddle membuat kesimpulan, sekalipun dinyatakan sendiri sangat tentatif, bahwa sistem kepartaian lama mungkin saja akan muncul kembali.'Bu- daya masyarakat Indonesia masih berciri penggolongan atas dasar agama, suku bangsa dan kelas sosial',52 kata Liddle. Sistem kepartaian yang direkayasa dari atas sekarang ini tidak menggambarkan sistem yang bertumpu dari realitas masyarakat sendiri. Perubahan sistem kepartaian akan ter- jadi bilamana konsensus dari atas itu gagal mengoptimal- kan perannya secara mantap. Jika Indonesia berhasil meng- atasi krisis legitimasi sistem kepartaiannya sampai waktu yang akan datang, maka harapan akan terciptanya stabilitas politik akan lebih terjamin. Akan tetapi mungkinkah hal itu bisa diwujudkan tanpa mengendurkan kran yang memberi peluang terserapnya aspirasi berbagai golongan dan kelas sosial masyarakat sehingga sistem kepartaian itu memper- oleh penyangga dukungan yang luas di masyarakat dan kesempatan partisipasi sosial dalam setiap pengambilan ke- putusan politik? Ini barangkali yang menjadi tantangan bagi terwujudnya sistem kepartaian yang kuat di Indonesia. Hal yang kedua yang masih menjadi pertanyaan tentang khittah NU ialah: dapatkah NU melepaskan kaidah logi- kanya yang 'sudah melekat dalam karakternya sendiri? Ke- tika NU berubah jadi partai politik, dasar yang dipakai untuk membenarkan tindakan itu ialah kaidah usul fiqh: al-hukm yaduru ma'a 'illatih, wujudan wa 'adaman (ada atau tidak adanya hukum tergantung kepada sebab yang men- jadi alasannya).53 Jika suatu alasan yang jadi sebab bisa dipakai sebagai dasar pembenaran keputusan hukum per- ubahan status NU dari jam'iyah menjadi partai politik, dan sebaliknya dari partai politik menjadi jam'iyah, maka tidak ada alasan jika suatu keadaan kelak dapat dijadikan alasan pembenaran, NU akan kembali menjadi partai politik. Akan tetapi ini suatu pengandaian belaka, sebab apakah alasan itu akan benar-benar terwujud atau tidak masih belum bisa diramalkan sekarang ini. Masalahnya ialah apakah bentuk kelembagaan partai politik itu merupakan satu-satunya ke- mungkinan dalam rangka upaya mencapai tujuan-tujuan NU? Terlebih-lebih lagi jika dikaitkan dengan masalah yang paling krusial dalam sejarah Islam tentang hubungan aga- ma dengan politik atau kenegaraan. Kaidah itu memang menjanjikan serba mungkin, tergan- tung ada tidaknya sebab yang dapat dipakai sebagai alasan. Dengan kaidah itu menunjukkan pragmatisme dalam peng- ambilan keputusan hukum, namun pragmatisme itu mungkin tepat jika diterapkan dalam hal-hal yang berhubungan de- ngan perilaku perorangan seperti dibolehkan-tidaknya qasr (meringkas)salat tergantung kepada ada-tidaknya sebab yang dapat dijadikan alasan kebolehannya. Akan tetapi untuk hal-hal yang berdimensi luas, ruang lingkup dan jangkuan- nya, dan menyangkut kepentingan yang beraneka ragam, agaknya penerapan kaidah itu tidak semudah yang diduga. Variabel untuk memastikan sebab yang dapat dipakai sebagai alasan penetapan keputusan hukum, skala dan jenisnya sangat beragam dan rumit sehingga sulit menghindari bias. Oleh karena itu pengalaman NU menerapkan kaidah itu mungkin dapat dijadikan pertimbangan, betapa tidak mudah- nya, mengingat skenario untuk merancang masa depan bagi kemungkinan menjadi partai politik kembali menghadapi kendala begitu rumitnya pemilihan variabel dalam jaringan hubungan antar manusia dan sosial (politik, ekonomi dan budaya) yang luas dan saling kait mengait. Terlebih lagi orientasi idiologi dari sisi strategi sulit menghindari jebakan strategi mutlak-mutlakan yang pada akhirnya mencip- takan reaksi yang berlebihan. ________________________________________________________________ ________________________________________________________________ Catatan 50. R. William Liddle, Merekayasa Demokrasi di Indonesia, Kompas, 6 dan 7 Februari 1990. 51. Ibid. 52. Merekayasa Demokrasi. 53. "Al-hukmu yaduru ma'a 'illatihi la ma'a hikmatihi wujudan wa 'adaman". Kaidah hukum ini dijadikan alasan sebagai dalil pembenaran perubahan status NU menjadi partai politik. Lihat Pokok-pokok Pikiran tentang Pemilihan Khittah NU, Keputusan Muktamar NU XXVII, h. 23. Kaidah di atas adalah kaidah usal al-fiqh yang berkaitan dengan qiyas. Syarat qiyas ialah adanya hukum asal, cabang serta 'illah yang menghubungkan cabang dengan asal. Dalam kasus di atas tidak bisa menggunakan dalil tersebut, sebab tidak dapat ditemukan hukum asal yang bersumber dari Qur'an dan hadis.