Jika selama itu gagasan untuk mengembalikan NU sebagai jam'iyah yang netral politik juga menghadapi kendala yang tidak mudah, maka terjadinya konflik yang memuncak dalam PPP antara NU dengan kelompok lain, khususnya MI, serta rasa kecemasan karena tekanan-tekanan politik pemerintah dan aparat-aparatnya di bawah, telah menciptakan kondisi yang mempermudah untuk merealisasikan gagasan tersebut. Konflik-konflik yang terjadi dalam intern PPP dan tekanan politik karena keterlibatan birokrasi pemerintah dan militer dalam kegiatan mendukung partai yang berkuasa terhadap kegiatan operasional NU yang senantiasa dianggap terkait dengan PPP, mengakibatkan jaringan kepemimpinan NU mengalami kemacetan. Sejumlah lembaga NU yang operasio- nal langsung di tengah masyarakat seperti madrasah, lem- baga sosial (mabarrat) dan lain sebagainya terpaksa mele- paskan label NU sejak pertengahan tujuh puluhan untuk menghindari tekanan-tekanan dari aparat pemerintah di dae- rah yang berpihak kepada Golkar.34 Keputusan pemulihan khittah NU dalam musyawarah nasional alim ulama NU 1983 di Situbondo yang dikukuh- kan dalam muktamar 1984 di tempat yang sama, merupa- kan langkah terobosan yang didukung kalangan profesional untuk mengatasi kemacetan organisasi yang dialami NU. Segi yang menguntungkan dari gerakan ke arab khittah itu ialah munculnya tenaga muda profesional dalam suatu ja- ringan kepemimpinan NU. Mereka muncul sejak era muk- tamar Semarang dan menjadi bayang-bayang dari skenario masa depan NU. Mereka berasal dari keluarga NU, bekerja di lapangan profesional sebagai karyawan negara dan swas- ta serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan umum- nya mereka terdidik di lingkungan perguruan tinggi secara baik. Keuntungannya mereka tidak terbias 'penyakit' poli- tik, karena itu konsep-konsep yang dituangkan sekalipun mengandung pragmatisme, tetapi bertolak dari asumsi- asumsi dengan visi yang lebih mendasar untuk mengan- tisipasi masa depan mengatasi problema kehidupan ummat Islam dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu gagasan yang dimunculkan menyangkut problema dasar masa depan ummat dan bangsa. Gagasan untuk mengubah orientasi NU yang dimulai sejak awal tahun 1962 baru mendapat bentuk kongkret dalam keputusan tentang pemulihan khittah itu. Dua hal yang penting dalam pemulihan khittah itu ialah: Pertama, dipulihkan atau tepatnya diteguhkannya kembali peran ula- ma dalam kepemimpinan formal NU. Salah satu keputusan menegaskan bahwa pengurus NU di semua tingkatan ada- lah pengurus syuriah.35 Penegasan ini merupakan refleksi dari semangat kembali kepada jati diri NU sebagai wadah para ulama mazhab ahlus-sunah waljamaah ketika mereka berhimpun membentuk wadah NU untuk berkhidmat me- ngembangkan dan melestarikan ajaran itu dalam upaya mewujudkan kemaslahatan sosial, memajukan bangsa dan meningkatkan harkat dan martabat manusia. Kedua, dipu- tuskan bahwa NU sebagai jam'iyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi ke masyarakatan yang lain. Keputusan ini sama dengan me- negaskan bahwa NU telah melepaskan ikatan afiliasinya dengan PPP. Meskipun termasuk salah satu organisasi yang berfusi ke dalam PPP, dengan keputusan ini berarti NU telah netral tidak terikat dengan organisasi politik, ter- masuk PPP. Akan tetapi keputusan tersebut mungkin tidak menjadi penting sekiranya personil kepengurusan NU hasil muk- tamar masih tetap didominasi sayap politik NU yang ber- orientasi mendukung PPP. Sayap khittah, untuk menyebut kelompok lain dari sayap politik yang tetap menghendaki status quo (sambil menunggu waktu?), masih terus meng- hadapi kerumitan melakukan negosiasi dengan pengurus lama untuk merancang susunan pengurus besar NU yang bisa diterima kedua belah pihak.37 Hal ini membuktikan masih kuatnya akar pengaruh sayap politik dalam jaringan kepemimpinan NU: Namun inilah pola khas NU, peran ulama atau kyai, meskipun tidak dalam kedudukan formal organisatoris, seringkali berpengaruh besar terhadap kebi- jaksanaan dan keputusan yang diambil NU. K.H. As'ad Sjamsul Arifin, ulama sepuh pemimpin pesantren besar yang selama ini belum pernah menduduki fungsi formal, baik level nasional maupun wilayah, berhasil diangkat men- jadi 'mediator' yang diharapkan dapat menjembatani kon- flik yang terjadi dalam muktamar sebagai ahlul halli wal-'aqd (ahl al-hall wa al-'aqd)38 bersama sejumlah uiama lain untuk menyusun pengurus NU. Gagasan ini muncul sebagai upa- ya untuk meredam konflik yang diperkirakan akan muncul sekiranya pengurus besar NU dipilih langsung oleh muk- tamar -seperti lazimnya pemilihan pengurus dalam muk- tamar sebelumnya- dengan jalan kompromi dari kedua belah pihak. Namun kompromi yang telah disepakati tiba- tiba berubah di tangan ahlul halli wal-'aqd yang dipilih muk- tamar. Betapapun pengaruh Idham Chalid yang telah mendudu- ki kursi ketua umum selama hampir tiga puluh tahun tidak bisa diabaikan begitu saja. Bahwa kelompok khittah yang non-politik berhasil merintis jalan memasuki gelanggang di medan muktamar untuk memimpin NU untuk sebagian karena negosiasi dan kompromi yang dilakukan.39 Oleh karena itu perubahan dari hasil kesepakatan kompromi itu mengakibatkan munculnya ketegangan baru. Tampaknya ahlul halli wal-'aqd yang dipilih muktamar kurang menyerap situasi yang tumbuh. Hanya mengandalkan wibawa yang dimiliki selama berlangsungnya munas maupun muktamar, tindakannya melakukan perubahan atas hasil kompromi tidak disadari akan membawa akibat-akibat tertentu. Pada- hal kemunculan mereka sebagai 'mediator' semula merupa- kan terobosan sayap khittah untuk menyeimbangkan ke- kuatan menghadapi sayap politik di bawah pengaruh Idham Chalid. Agaknya kondisi ini tidak disadari, sehingga ketika,mereka menggodok susunan pengurus NU meng- abaikan kompromi yang disepakati. Hubungan Kyai Idham Chalid dengan Kyai As'ad Sjamsul Arifin sejak mula memang kurang begitu akrab. Ini tidak berarti mereka konflik. Peristiwa tersebut justru memper- lihatkan hubungan yang kurang akrab itu. Sementara ra'is 'am Achmad Siddiq dan ketua umum Abdurrahman Wahid yang terpilih dalam muktamar beberapa waktu lamanya berusaha menciptakan hubungan yang harmonis dengan Kyai As'ad Sjamsul Arifin yang menjabat musytasyar 'am, tetapi usaha ini tidak berhasil baik. Bahkan menjelang munas alim ulama di Cilacap 1987, dimunculkan rasa ketidakpuasan terhadap Abdurrahman Wahid yang genderangnya dipukul dari Situbondo.40 Kedua belah pihak tampaknya merasakan adanya ganjalan psikologis untuk dapat menggalang ke- akraban yang harmonis. Bagi Kyai As'ad yang dilingkungi oleh orang-orang yang merasa kepentingannya tidak dapat tersalurkan dalam kepemimpinan Abdurrahman Wahid, tim- bul rasa tidak percaya kepadanya dan memberi dukungan terhadap upaya menggusur Abdurrahman Wachid dalam munas di Cilacap. Seperti diketahui upaya ini gagal setelah ra'is 'am Achmad Siddiq mempertahankan kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Meskipun demikian hubungan yang kurang harmonis itu tidak sampai mengganggu roda orga- nisasi, sebab umumnya kepemimpinan formal NU masih tetap berjalan baik. Salah satu peran ulama dalam syuriah NU yang dimain- kan ra'is 'am sebenarnya justru menjembatani konflik-kon- flik yang muncul dalam tubuh NU. Hal ini diperankan dengan baik sekali oleh Wahab Chasbullah yang menjabat ra'is 'am antara akhir empat puluhan sampai 1971. Namun ra'is 'am sesudah itu, Bishri Sjansuri, justru melibatkan diri dalam konflik, memecat Subchan Z.E., kemudian disusul Ali Ma'shum yang 'memaksa' Idham Chalid mengundur- kan diri. Konflik yang melibatkan ra'is 'am NU ini mem- bawa dampak semakin tajamnya konflik yang terjadi. Terbukti dari kedua peristiwa itu NU mengalami ketegang- an yang muncul antara kelompok As'ad Sjamsul Arifin di satu pihak, dan Achmad Siddiq serta Abdurrahman Wahid di lain pihak, mengisyaratkan peran ulama yang kurang proporsional dalam tubuh NU. Seharusnya sebagai sesepuh NU As'ad tidak meleburkan diri dalam konflik, yang akhir- nya karena tindakannya itu justru bisa lebih mempertajam dan meluasnya spektrum konflik yang terjadi. Namun agaknya karena jabatan As'ad sebagai mustasyar 'am tidak begitu kuat pengaruh formalnya dalam tubuh NU, dapat diredam oleh peran Achmad Siddiq selaku ra'is 'am syuriah NU yang tidak menghendaki konflik itu berkem- bang luas. Barangkali semua pihak sepakat mengenai khittah NU, khususnya yang menyangkut netralitas politik NU, namun dalam menjalankan prinsip tersebut terjadi tarik menarik yang alot. Sebagian kalangan NU, khususnya kelompok Achmad Siddiq dan Abdurrahman Wahid, berusaha menye- imbangkan orientasi politik NU-yang karena akar historis- nya lebih banyak yang condong ke PPP-dengan men- dorong dan memberi kesempatan aspiran politik NU untuk memasuki Golkar. Paling tidak mereka memberi dorongan moril atau bersikap diam dan merestui kader NU yang masuk Golkar. Sementara sayap lain dengan alasan ke- bebasan memerankan aspirasi politik sesuai dengan prinsip khittah NU condong untuk mendukung PPP. Tarik menarik ini terlihat pada kampanye penggembosan PPP oleh 'juru kampanye' NU menjelang pemilihan umum 1987 yang lain. Hal ini merupakan upaya mereka untuk membuktikan peran NU dalam pengumpulan suara bagi PPP dan ternyata terbukti suara PPP mengalami keme- rosotan. Namun di sisi lain penggembosan PPP itu me- rupakan refleksi dari sikap sementara kalangan NU untuk memberi angin kepada kader mereka untuk bisa diterima Golkar. Hal ini penting sebagai upaya menyeimbangkan aspirasi politik NU agar tidak terkesan condong kepada PPP saja. Kelompok pendukung PPP memanfaatkan khittah NU yang memberi kebebasan untuk menyalurkan aspirasi politik warga NU guna mendukung peran politik mereka di PPP. Mereka yang kini berada dalam PPP secara resmi tidak mewakili NU, namun mereka adalah anggota NU dan dibesarkan di lingkungan itu serta keluarga mereka juga orang-orang NU, tidak salah mereka minta dukungan ke- pada warga NU untuk pengumpulan suara dalam pemi- lihan umum. Dalam pemilihan umum yang lain tidak banyak orang NU berkampanye untuk Golkar, tetapi sejumlah pengajian keagamaan dengan alasan memperingati hari-hari keagama- an Islam diselenggarakan Golkar dengan mengundang pembicara dari NU. Abdurrahman Wahid beberapa kali menjadi pembicara acara seperti itu. Acara serupa juga diselenggarakan PDI dan dihadiri pula oleh ketua umum NU. PPP justru tidak ikut latah mengundang ketua umum NU, sebab mereka tidak mengharapkan anggota NU yang bersimpati kepada PPP akan lari jika dengan penjelasan khittah yang memberi kebebasan manyalurkan aspirasi poli- tik warga NU disebarluaskan. Bagi anggota NU yang ber- ada di PPP penegasan kkittah yang memberi kebebasan menyalurkan aspirasi politik warga NU justru menjadi ken- dala dan mungkin akan mengurangi perolehan suara dalam pemilihan umum. Mereka mengharapkan agar anggota NU yang mendukung PPP justru tidak berkurang atau berubah haluan karena kebebasan menyalurkan aspirasi politik itu. Kepemimpinan NU pasca khittah agaknya cukup berhasil mengemban amanat khittah. Keseimbangan orientasi politik mulai tampak berkembang walaupun kecenderungan ke arah PPP masih tampak dominan. Hal itu bisa dimengerti karena akar historis yang mempertautkan NU dengan PPP cukup lama berjalan. Namun di sisi lain ada pergeseran yang mulai tumbuh ke arah keragaman orientasi politik, khususnya orientasi ke Golkar, di samping sejumlah 'musa- fir' NU yang selama ini tidak mendapat tempat di dalam NU karena orientasi mereka ke Golkar, mulai tampak me lakukan pendekatan kepada NU. Beberapa muslim Golkar yang semula berasal dari NU juga mulai melakukan pen- dekatan kembali kepada NU dan banyak kalangan birokrat maupun keluarga ABRI yang mulai menampakkan diri se bagai orang NU atau keluarga NU. Gejala ini dipandang oleh sementara kalangan NU, khususnya sayap nonpolitik, sebagai buah dari khittah NU. Kebijaksanaan untuk menyeimbangkan orientasi politik NU dengan menciptakan keragaman orientasi politik agar tidak terkesan kecondongannya ke PPP ditanggapi baik oleh pemerintah dan organisasi politik yang berkuasa. Ab- durrahman Wahid diangkat sebagai anggota MPR (mewa- kili kelompok masyarakat yang diangkat) dan Slamet Effendi Yusuf (ketua umum GP Anshor) diangkat menjadi salah seorang pemimpin departemen pemuda DPP Golkar.41 Bagi Abdurrahman Wahid pengangkatan itu te- rasa menghadapi buah simalakama, menolak terasa berat karena hubungan baik dengan pejabat tinggi negara, me- nerima juga akan menghadapi dilema karena kedudukan- nya sebagai ketua umum NU dan tentu akan mengalami kesulitan menentukan keanggotaan fraksi dalam MPR, se- bab anggota MPR yang diangkat harus memutuskan fraksi mana yang dipilih. Fraksi Golkar ternyata yang dipilih sebab yang paling aman, memilih PDI atau PPP akan lebih mempersulit diri sendiri dan tidak mungkin memilih fraksi utusan daerah. Kecaman sempat juga muncul dari semen- tara kalangan NU namun pada umumnya sebagian besar pimpinan dan jemaah NU menerimanya. Hal ini terlihat ketika muktamar NU 1989 di Yogyakarta, tidak satu pun gugatan yang serius mengenai keanggotaan Abdurrahman Wahid dalam MPR yang memilih fraksi Golkar. Kalaupun ada segera tenggelam dalam kegairahan khittah yang ber- semangat. Pengangkatan Slamet Effendi Yusuf sebagai salah seorang pimpinan DPP Golkar mengindikasikan pendekatan Golkar kepada NU dalam upaya menyedot dukungan menjelang pemilihan umum yang akan datang. Gerakan Pemuda An- shor merupakan salah satu organisasi pemuda yang ter- besar. Dari sisi inilah mungkin protes yang dilakukan terhadap pengangkatan Slamet Effendi Yusuf tidak berhasil. Berbeda dengan kasus Abdurrahman Wahid, maka kasus Slamet Effendi Yusuf hampir tidak mendapat protes dari kalangan intern NU, bahkan boleh dikatakan secara diam- diam mendukungnya. Padahal muktamar Situbondo me- larang perangkapan jabatan kepengurusan NU dengan ke- pengurusan organisasi politik, namun dalam kasus Slamet Effendi Yusuf perangkapan jabatan itu dapat diterima kalangan NU. Dalam hal kebijaksanaan penyeimbangan orientasi politik NU memang diterima Golkar dengan ter- buka. Jika dalam uraian ini tidak dikemukakan orang-orang NU yang berada di PPP, sebabnya ialah karena sejak mula banyak orang NU yang berada di PPP. Justru hal inilah yang perlu diimbangi, baik oleh kalangan NU maupun Golkar, agar aspirasi politik warga NU tidak hanya con- dong kepada PPP saja, sedang yang masuk PDI atau men- jadi anggota DPR/DPRD mewakili PDI belum merupakan isu menarik karena peranan PDI yang belum begitu menon- jol dalam percaturan politik nasional. Seperti dikemukakan dalam bagian sebelumnya, kepe- mimpinan NU pasca khittah boleh dikatakan berjalan baik tanpa rintangan yang berarti. Kalaupun terjadi perbenturan pendapat justru bukan tentang khittah itu sendiri. Muk- tamar pertama sesudah khittah di Yogyakarta 1989 justru menggarisbawahi kepemimipinan NU periode pertama khit- tah dan memberi penegasan lebih kongkret tentang khittah NU dalam pesan-pesan muktamar bahwa: NU sebagai organisasi sosial keagamaan (jam'iyah) tidak mem- punyai ikatan organisatoris dalam bentuk apapun dengan orga- nisasi kekuatan sosial politik yang manapun juga. NU tidak akan menggabungkan diri secara organisatoris ke dalam organisasi sosial politik manapun, tetapi juga tidak akan bersikap menentang organisasi sosial politik yang manapun, dan tidak akan menjadi partai politik sendiri.42 Dalam kaitan dengan hal itu muktamar memberi pe- doman kepada warga NU yang menggunakan hak-hak po- litik mereka agar ikut mengembangkan budaya politik yang sehat, demokratis, konstitusional, serta musyawarah untuk memecahkan setiap masalah. NU menyadari bahwa khittah NU yang memberi kebebasan kepada warga untuk me nyalurkan aspirasi politik mereka akan menyebabkan tim- bulnya keragaman politik warga NU, karena itu muktamar memutuskan hendaknya perbedaan pandangan aspiran- aspiran politik warga NU tetap bejalan dalam suasana persaudaraan, tawaddu' (rendah hati) dan saling menghargai satu sama lain sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU.43 Sayap politik yang menghendaki pulihnya peran politik NU kehilangan dukungan dan isu penting lain untuk me- nandingi arus gelombang khittah NU di Krapyak. Issue yang dimunculkan tidak lagi soal khittah melainkan upaya untuk menampilkan tokoh yang dapat diharapkan untuk mengendalikan dukungan bagi kepentingan mereka yang berada di PPP.44 Ketegangan sempat muncul dalam per- saingan memperebutkan posisi puncak NU, namun dalam konsep strategis yang mampu mengantisipasi masa depan NU tampaknya kelompok Abdurrahman Wahid dan kawan-kawan tidak tertandingi lagi. Adurrahman Wahid terpilih sebagai ketua umum tanfdiyah, sementara jabatan ra'is 'am terpilih Achmad Siddiq yang bersaing ketat de- ngan Idham Chalid.45 Munculnya kembali Idham Chalid sebagai calon ra'is 'am menandai dua hal. Pertama, terbukti pengaruhnya masih kuat, kedua, adanya dukungan dari kelompok Situbondo yang kurang senang dengan Achmad Siddiq dan Abdurrahman Wahid. Perubahan cara pemilihan pengurus NU dari model yang ditempuh dalam muktamar Situbondo dengan cara pemi- lihan langsung di Yogyakarta mengisyaratkan mulai surut- nya pengaruh Kyai As'ad Sjamsul Arifin. Para pendukung- nya gagal mempengaruhi peserta muktamar untuk me- nempatkannya kembali sebagai ahlulhalli wal-'aqdi yang mempunyai kewenangan menyusun pengurus NU. Barang- kali kemunculan sebelumnya di Situbondo merupakan reka- yasa untuk mendapatkan legitimasi mengimbangi pengaruh Idham Chalid dan kelompok politik lain. Sehingga ketika dicoba untuk dibangun kembali di Yogyakarta mengalami kegagalan karena kelompok yang merekayasa sebelumnya telah melepaskan dukungannya. Munculnya ketegangan dalam pencalonan pengurus NU itu sebenarnya bukan disebabkan kontroversi kepemimpin- an Abdurrahman Wahid yang dikenal mempunyai gagasan 'aneh', tetapi lebih merupakan upaya untuk mendapatkan dukungan kepentingan politik mereka yang berada di da- lam PPP atau mereka yang berusaha mendapatkan posisi kembali di PPP setelah mereka tergusur akibat konflik yang terjadi antara MI dengan NU di PPP. Selama duet Achmad Siddiq-Abdurrahman Wahid masih tetap memimpin NU agaknya dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk mendapatkan dukungan NU dan legitimasi peran mereka di PPP. Kritik Abdurrahman Wahid dan ucapannya yang keras terhadap PPP sampai akhirnya dalam kasus majalah Monitor(46 telah mendorong timbulnya kesan bahwa NU di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid tidak dapat diharapkan memberi dukungan kepada mereka yang her- ada di PPP atau yang mengharap posisi itu. Soal keanehan pendapat Abdurrahman Wahid yang seringkali menggun- cangkan ummat ternyata masih diterima kalangan NU.47 Mungkin banyak dari generasi tua NU yang menganggap ke'aneh'an Abdurrahman Wahid merupakan duplikasi dari tokoh legendaris NU, Wachid Hasjim, yang pernah dikenal mempunyai gagasan yang 'aneh' pula untuk ukuran zaman itu.48 Wachid Hasjim antara lain yang mengenalkan sistem klasikal, pelajaran bahasa Inggris dan Belanda serta aljabar di Pesantren Tebuireng awal tahun tiga puluhan. Sekitar pertengahan tiga puluh para santri Tebuirang mengadakan apel mingguan tiap hari kamis di depan sekolah dan menyanyikan lagu mars Indonesia Raya dengan model peng- hormatan ala serdadu Jerman, meluruskan tangan condong ke atas. Semua upaya itu pada mulanya mendapat reaksi cukup keras, banyak orang tua murid yang menarik anak- nya dari pesantren Tebuireng, namun akhirnya reda juga.49 ____________________________________________________________ ____________________________________________________________ Catatan 34. Muktamar NU di Surabaya tahun 1971 merekomendasi pem- bentukan Yayasan Tarbiah Wat Ta'lim (Tarbiyyah wa al-Ta'lim) untuk menggantikan Lembaga Pendidikan Maarif NU. Sampai tahun 1985 belum ada sekolah atau madrasah yang menggunakan kembali nama NU setelah melepaskan nama itu sebelumnya. Setelah muktamar Situbondo, sejumlah madrasah atau sekolah atau lembaga sosial lainnya mulai ada yang menggunakan nama NU kembali. 35. Pokok pikiran tentang Pemulihan Khittah NU 1926, butir ke-3. Lihat Keputusan Muktamar NU XXVII, (Surabaya: Pengurus NU Wilayah Jawa Timur, 1985), h. 25. Selanjutnya ditulis Ke- putusan Muktamar NU XXVII. 36. Khittah NU, (Jakarta: Lajnah Ta'lif wan-Nasyr, 1985), h. 36. Selanjutnya dikutip Khittah NU. 37. Menjelang muktamar NU ke 27 di Situbondo akhir Desember 1984, ditandatangani "Maklumat Keakraban" antara Idham Chalid dengan para ulama senior NU, khususnya ra'is 'am Ali Ma'shum. Para ulama bertekad untuk rujuk kembali sebelum muktamar. Upacara ini dihadiri sekitar 50 orang kyai dari Jawa dan Madura, berlangsung tgl. 10 September 1984 di Wonocolo, Sidoajo. Tempo, 15 September 1984. 38. Arti harfiah dari istilah tersebut orang atau sekelompok orang yang ahli membuka dan mengikat. Maksudnya ialah orang atau orang-orang yang arif, mengetahui banyak problem sosial dan pemecahannya. Tugasnya semacam formatur, memilih dalam urusan politik dan'kekuasaan. Anggota dewan legislatif, pejabat tinggi negara sipil atau militer dapat dianggap memiliki wewe- nang sebagai ahI al-halli wa al-'aqd. 39. Kompromi agaknya tidak mungkin dihindari kelompok khittah karena pengaruh Idham Chalid dimuka pejabat pemerin- tah masih kuat. Terbukti antara lain, Menteri Agama Munawir Sjadzali mengemukakan, NU tidak akan diberi izin muktamar sebelum kedua belah pihak yang bersengketa rujuk kembali. Me- nurut Munawir, pemerintah ingin melihat NU utuh kembali, se- bab keretakan dalam tubuh NU sebagai organisasi besar dapat mengganggu stabilitas politik dan pembangunan. Kelompok Idham Chalid melalui juru bicara Chalid Mawardi mengemukakan beberapa syarat untuk rujuk. Keputusan muk- tamar Semarang harus dllunjung tinggi dan AD/ART barns dite- gakkan dengan segala konsekuensinya. Menurut Chalid Mawardi syarat ini tidak bisa ditawar-tawar, "kalau tidak mau, ya, tidak usah rujuk". Imam Sofwan dari kelompok Idham Chalid, menegaskan, "un- tuk mempertemukan pendapat harus dikembalikan suasana seper- ti sebelum perbedaan pendapat tejadi". Dengan penegasan ini kelompok Idham Chalid ingin mem- perkukuh diri sesnai keputusan muktamar Semarang, ketua umum NU tetap dijabat Idham Chalid. Tempo, 18 Februari 1984. 40. Diusulkan penggantian ketua umum PBNU dalam munas tetapi usul itu ditolak sebab munas alim nlama NU tidak ber- wenang mengganti atau menghentikan pengurus NU. Ra'is 'am NU K. H. Achmad Siddiq menegaskan dalam pidato pembukaan bahwa munas alim ulama NU tidak benvenang memilih pe- ngurus baru sesuai dengan ART NU pasal 28 ayat 5, dan pasal 29 ayat 4. 41. Pengangkatan Slamet Effendi Yusuf sempat mengundang protes dari kalangan muda Golkar karena tidak memenuhi syarat sebagai pimpinan Golkar yang mengharuskan masa bakti sebagai kader Golkar paling sedikit selama sepuluh tahun. Slamet Effendi Yusuf masih terdaftar sebagai calon anggota DPR PPP dari dae- rah pemilihan Yogyakarta tahun 1982. 42. Permasalahan dan Jawaban Muktamar NU ke 28, (Kudus: Menara Kudus, 1989), h. 171. Selanjutnya dikutip Permasalahan. 43. Permasalahan, h. 173. 45. Tokoh yang dimunculkan antara lain Drs. H. Sjah Manaf dan K.H. Sahal Mahfudz untuk jabatan ketua umum, dan K.H. Masjkur, K.H. Idham Chalid dan K.H. Ali Yafi untuk jabatan ra'is 'am. Dokumen rahasia bertulis Arab dengan kepala surat nama seorang ulama yang berpengaruh disampaikan kepada K.H. Ali Ma'shum memuat rancangan susunan pengurus besar NU. Dalam usulan tersebut tidak tercantum nama Abdurrahman Wahid, dan Achmad Siddiq tercantum sebagai calon anggota mustasyar (pe- nasehat). Abdurrahman Wahid terpilih sebagai calon tunggal setelah calon lain yang didesakkan untuk mengimbanginya gugur se- bagai calon karena tidak mencapai suara minimal untuk diterima sebagai calon. 46. Kasus majalah Monitor yang memuat hasil angket Nabi Muhammad berada pads urutan ke 11 ditanggapi berbagai ka- langan, termasuk PPP DKI Jakarta. Abdurrahman Wahid menge- cam PPP yang dianggapnya mencari popularitas murahan. Tempo, Nomer 35, XX, 27 Oktober 1990, h. 33. 47. Lihat Imran Hamzah dan Choirul Anam, Gus Dur Diadili Kiai-kiai, (Surabaya: Rabitah al-Ma'ahid al-lslamiyah - Jawa Pos, 1989). Buku ini menguraikan penjelasan Abdurrahman Wahid tentang masalah yang dianggap 'aneh' di hadapan para kyai. Ternyata pendapatnya yang 'aneh' itu diterima oleh para kyai atau ulama NU. 48. Tentang ke'aneh'an Wachid Hasjim pernah disinggung oleh Menteri Agama H. Munawiwr Sjadzali ketika memberi sambutan dalam acara peringatan mengenang (haul) Wachid Hasjim di Jakarta 1987. Menteri Munawwir Sjadzali menceritakan penga- lamannya tentang Wachid Hasjim ketika menerima keluhan ten- tang Abdurrahman Wahid yang dianggap sering menimbulkan keresahan ummat karena pendapat-pendapatnya. Wachid Hasjim, menurut Menteri Munawwir Sjadzali, sering mengatakan kalau kita tidak berani mengemukakan pendapat lalu apalagi yang dapat kita sumbangkan untuk kemajuan ummat. 49. Wawancara dengan K.H.M. Hasjim Latief di Tebuireng ketika peresmian Bank Nusuma Utama di Tebuireng Jombang