NU kurang tepat mengantisipasi keadaan ketika meran- cang struktur organisasi DPP PPP, tidak menyadari bahwa pola hubungan yang akan terbentuk dalam PPP berbeda dengan pola hubungan kyai-santri dalam NU. Dengan struktur kepemimpinan itu NU berharap akan dapat mem- pertahankan posisi kekuatannya dengan memilih mengua- sai presidensi dan majelis syura. Semula barangkali diha- rapkan dengan menciptakan presidensi dan majelis syura akan lebih mudah menyelesaikan konflik intern PPP seperti yang terjadi dalam NU. Konflik dengan pola hubungan kyai-santri dalam NU lebih mudah diatasi dengan lembaga semacam itu. Akan tetapi masuknya unsur lain dalam PPP, tidak disadari akan mengakibatkan buyarnya pola hubung- an santri-kyai itu. Oleh karena itu lembaga presidensi dan majelis syura tidak berdaya mengatasi konflik yang terjadi. Kasus ini mirip sekali ketika NU memperjuangkan terben- tuknya lembaga semacam yang terjadi pada dirinya untuk diterapkan ke dalam partai Masyumi. Majelis syura Masyumi juga tidak berfungsi mengatasi kemelut yang ter- jadi, bahkan majelis itu hanya berfungsi sebagai penasehat yang boleh diikuti dan boleh juga tidak diikuti. Meskipun demikian struktur baru kepemimpinan PPP tidak berarti akan menyelesaikan persoalan secara tuntas. Konflik antar unsur dalam PPP akan terus membayangi partai ini. Salah satu cara yang mesti ditempuh ialah bagai- mana menciptakan kelonggaran kepentingan antar unsur dengan membentuk kepemimpinan yang lebih proporsional menurut suara anggota. Mengetahui berapa jumlah anggota partai di satu cabang dengan melihat daftar anggota sulit didapat, sebab tidak ada cabang partai yang mampu meng- atasi soal ini. Kemungkinannya ialah dengan melihat hasil suara dari pemilihan umum sebelumnya, kemudian dicari proporsi perbandingan antara suara yang dihasilkan cabang yang paling besar suaranya dengan yang paling kecil dan menengah dengan mempertimbangkan tingkat kepadatan penduduk antar pulau dan jumlah cabang yang ada. Pola pengambilan suara untuk menentukan kepengurusan PPP semacam ini akan dapat mengurangi konflik kepentingan antar unsur, sebab suara cabang yang satu akan berbeda dengan cabang lain berdasar perolehan suara cabang itu dalam pemilihan umum. Dengan demikian pemimpin par- tai hasil muktamar benar-benar mencerminkan dukungan suara anggota. Jika cara pengambilan suara tetap seperti sekarang, satu cabang satu suara, akan terlihat kepincang- annya, sebab kekuatan cabang yang satu berbeda dengan cabang yang lain. Misalnya cabang Bangkalan di Jawa Timur yang berhasil memenangkan mayeritas dalam pe- milihan umum berbeda jauh dengan cabang Kupang di Nusa Tenggara Timur yang tidak berhasil meraih satu kursi pun dalam DPR. Jika kedua cabang itu memiliki suara yang sama di muktamar PPP, akibatnya perebutan suara tidak lagi proporsional mencerminkan suara anggota. Dalam hal ini kepentingan-kepentingan antar unsur akan terus me- mainkan peranan mempersubur konflik yang tidak propor- sional karena tidak dapat dibuktikan kekuatan unsur yang sebenarnya. Orang-orang NU sendiri mengklaim sebagai unsur yang paling kuat dalam fusi tidak dapat memainkan peran yang cukup kuat dalam persaingan dengan unsur-unsur lain ka- rena fihak lain juga menuntut peningkatan peran kekuatan mereka. Tarik menarik ini terus akan terjadi tanpa ada media yang dapat menjembatani sebagai keputusan akhir dengan proporsi perimbangan kekuatan secara obyektif. Persaingan akan terjadi dengan saling tuduh dan klaim tanpa bukti nyata. Jika kepemimpinan partai dihasilkan melalui proporsi dukungan suara anggota, maka orientasi 'kalah-menang' antar unsur yang berfusi tidak lagi dapat dilakukan dengan kasak kusuk atau melibatkan pihak luar. 'Kalah-menang' itu dihasilkan melalui suatu proses seni politik karena kemampuan para pelaku politik itu mem- pengaruhi para pendukung mereka. B. LANGKAH MENUJU KHITTAH Muktamar NU 1984 di Situbondo membuat keputusan ber- sejarah memulihkan kembali khittah NU. Muktamar menilai arah perjalanan NU selama ini telah menyimpang dari maksud dan tujuan didirikannya NU oleh para pendirinya tahun 1926. Kehidupan politik NU pada mulanya dirasakan sebagai perluasan wawasan, setidaknya sampai akhir tahun lima puluhan, tetapi ternyata perkembangannya memun- culkan realitas lain. Perubahan orientasi dari jam'iyah yang bergerak dalam bidang kemasyarakatan dan keagamaan menjadi sebuah partai politik disadari karena tuntutan ke- adaan untuk memperluas cakrawala wawasan dan kebutuh- an memperjuangkan dan menegakkan kemerdekaan Indo- nesia, namun orientasi praktis yang serba politis itu meng- akibatkan NU terjerumus ke dalam pola yang serba taktis politis untuk memperebutkan keuntungan politik yang se- mentara sifatnya.16 Sikap dan tindakan NU selalu dikaitkan dengan orientasi untung rugi dari segi kepentingan politik semata. Padahal sebagai jam'iyah kemasyarakatan, aspek politik merupakan aspek sekunder. Orientasi yang demi- kian mengakibatkan NU tidak bisa menghindari posisi yang berwatak taktis untuk mendapatkan keuntungan politik be- laka. Sedang orientasi utama NU sebagai jam'iyah untuk membina ummat, mengembangkan tradisi keagamaan me- nurut ajaran mazhab ahlussunnah waljamaah yang lebih utuh dan meningkatkan kualitas kehidupan jamaah yang menjadi karakteristik NU, terabaikan. Pengalaman NU dalam bidang politik pada mulanya mem- perlihatkan kemajuan ketika dalam pemilihan umum 1955 berhasil menempatkan posisinya sebagai empat besar yang kemudian berhasil menjaga keseimbangan tarik menarik tiga kekuatan politik: Presiden Soekarno, ABRI, dan PKI. NU berhasil memperoleh kesempatan politik yang cukup me- madai. Meskipun demikian, orientasi politik yang serba praktis itu tidak diikuti kemampuan mengembangkan wawa- san strategis yang menjangkau masa depan yang jauh, se- hingga ketika terjadi perubahan politik zaman Orde Baru, NU kehilangan arah. Bahkan dalam banyak hal politik NU ditentukan oleh kepentingan perorangan yang mempengaru- hi hakekat kepentingan NU sendiri. Akibatnya kekuatan politik NU terasa mandul, langkah-langkah politik NU lebih banyak bersifat sporadis dan partisan belaka menghadapi rekayasa politik baru penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia. NU tidak memiliki pijakan strategis menghadapi perubahan sistem kepartaian yang mendasar itu. Memang harus diakui penyederhanaan kepartaian yang dimulai awal tujuh puluhan itu berdampak menyempitnya ruang gerak organisasi sosial kemasyarakatan yang ber- afiliasi dengan partai politik tertentu seperti NU setelah difusikannya beberapa partai Islam menjadi Partai Persatu- an Pembangunan (PPP) dalam menyalurkan aspirasi poli- tiknya. Patut dicatat bahwa partai baru hasil fusi beberapa partai Islam itu tidak dalam kondisi yang memungkinkan menjalankan kepemimpinan secara baik. Ada beberapa hal yang perlu dikemukakan di sini. Pertama, kepemimpinan partai itu tidak memiliki wibawa yang disegani semua pihak yang berfusi, sehingga akibatnya benturan kepenting- an politik antara mereka yang berfusi ditambah lagi kepen- tingan perorangan yang sering muncul ke permukaan, mempersulit langkah-langkah politiknya. Dalam dua kali pemilihan umum partai itu tidak memperlihatkan wibawa yang disegani semua pihak yang berfusi. Benturan kepen- tingan dan perebutan kursi keanggotaan dewan legislatif antar fraksi yang berfusi dan perorangan yang ingin men- dapatkan kesempatan itu, tidak bisa diatasi dengan baik. Kedua, belum mantapnya tradisi demokrasi dalam ke- hidupan ummat Islam sehingga banyak issue politik di- tanggapi tanpa pijakan tradisi politik yang melembaga secara kuat. Tanggapan emosional yang serba mutlak-mut- lakan, orientasi kepentingan golongan atau perorangan le- bib sering terjadi. Ini barangkali akibat dari sempitnya wawasan konseptual politik Islam jika dikaitkan dengan kebutuhan pengembangan visi tentang masa depan Indo- nesia. Ketiga, pengotakan ummat Islam ke dalam beberapa golongan organisasi yang sejak mula belum memiliki ke- samaan wawasan politik dan orientasi pembinaan ummat yang utuh, mengakibatkan benturan kepentingan tidak bisa diatasi dan akhirnya berpengaruh pula ke dalam PPP. Hal ini juga barangkali disebabkan karena sempitnya wawasan politik ummat Islam sehingga konseptualisasi politik me- reka lebih diorientasikan untuk kepentingan taktis yang tidak berjangka panjang. NU sendiri sebagai salah satu unsur yang berfusi dalam PPP makin diperkecil peranan- nya sebagai akibat peran perorangan dalam jaringan ke- pemimpinan politiknya sendiri yang terus meningkat dari hari ke hari. Apa yang dikemukakan di atas jelas tidak menggam- barkan seluruh realitas kehidupan politik ummat Islam da- lam PPP, tetapi setidaknya memberi gambaran selintas mengapa partai itu tidak mampu memainkan peran sebagai wakil organisasi Islam yang berfusi. Ketidaktuntasan NU menyelesaikan persoalan akibat reduksi peran politiknya setelah fusi dan terbengkalainya peran yang sejak mula digeluti NU dalam bidang non politik, mengakibatkan so- sok NU seperti kehilangan arah. Kritik yang menginstro- speksi diri dan berbagai langkah kegiatan yang dilakukan untuk menyingkap jati diri makin mendapat perhatian dari sejumlah pemimpin NU.17 Gagasan untuk memulihkan NU menjadi jam'iyah yang sudah muncul sejak muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo mulai mendapat perhatian lebih serius. K.H. Idham Chalid dalam pidato pertanggungjawab- an selaku ketua umum dalam muktamar tersebut menge- mukakan adanya saran untuk mengembalikan NU sebagai jam'iyah seperti sebelum perang, namun gagasan itu tidak mendapat sambutan peserta muktamar, bahkan Idham Chalid sendiri seakan mengesampingkan gagasan tersebut. Menurut Idham Chalid, Masyumi yang dibubarkan ber- juang sampai akhir untuk mendapatkan hak hidup kembali, mengapa justru kita akan mengubur hak kepartaian sen- diri.18 Kesulitan-kesulitan NU menghadapi tekanan politik Presiden Soekarno waktu itu serta kecaman-kecaman inter- nal pemimpin Islam serta kalangan sendiri karena ketidak- mampuan mengendalikan perilaku politik sementara pemimpin NU untuk memperoleh posisi sendiri telah me- rangsang munculnya gagasan untuk mengembalikan NU sebagai jam'iyah seperti sebelum perang. Gagasan yang muncul ketika itu ada dua macam alternatif.19 Pertama, mengembalikan NU sebagai jam'iyah dan menyerahkan ke- pada para politisi NU untuk membentuk wadah baru se- bagai partai politik pengganti NU. Kedua, membentuk se- macam biro politik dalam jam'iyah NU. Biro ini berada dalam struktur jam'iyah NU yang mengurusi soal-soal poli- tik, sedang NU sendiri sebagai jam'iyah bukan sebagai partai politik. Namun usul alternatif itu hilang begitu saja dari agenda pembicaraan muktamar di tengah gelombang jargon politik yang hiruk pikuk. Dalam muktamar NU 1971 di Surabaya juga muncul gagasan itu, namun lagi-lagi hilang begitu saja di tengah ketegangan pemilihan ketua umum yang terasa sangat ketat antara K.H. Idham Chalid lawan H. M. Subchan Z. E., sebab yang terakhir ini dalam muktamar sebelumnya di Bandung mendapat dukungan yang cukup kuat. Muktamar bahkan memutuskan: 1. Mempertahankan eksistensi dan struktur Partai NU se- perti adanya sekarang ini. 2. Mempertimbangkan tentang gagasan wadah baru yang non politik untuk menampung dan membimbing aspi- rasi Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di kalangan ummat, yang oleh karena pekerjaannya atau oleh karena faktor lain, harus meninggalkan ikatan-ikatan politiknya de- ngan Partai Politik (NU, pen.).20 Hampir selama dua puluh tahun gagasan untuk me- ngembalikan NU menjadi jam'iyah sosial keagamaan belum berhasil memperoleh bentuk kongkret. Usul-usul yang di- munculkan selalu kandas begitu saja. Dalam muktamar NU 26 1979 di Semarang gagasan itu memperoleh dukungan dari kalangan muda profesional yang menyajikan konsep program dasar pengembangan lima tahun NU. Program dasar itu merupakan salah satu wujud dari niat yang kuat untuk menempatkan NU sebagai jam'iyah, mengubah NU yang serba politis menjadi organisasi yang menyeimbang- kan sektor-sektor yang terpisah ke dalam satuan kegiatan yang utuh. Barangkali tidak seorang pun yang mengesam- pingkan peran politik NU sebagai suatu yang perlu, tetapi makna 'peran politik' harus diterjamahkan menurut penger- tian baru, bukan sekedar perebutan kekuasaan politik atau distribusi kursi keanggotaan dewan legislatif atau penge- rahan massa dalam pemilihan umum, melainkan sebagai upaya yang lebih mendasar untuk mengangkat kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara,21 dan proses politik secara keseluruhan yang jauh lebih luas. Dalam hubungan dengan itu maka orientasi NU yang selalu menitik beratkan pada politik dapat diluruskan dengan menciptakan meka- nisme kepemimpinan yang dapat mengendalikan semua garapan NU dan pembagian kerja aparatnya dalam suatu strategi yang jelas.22 Salah satu keputusan muktamar itu ialah rumusan ten- tang tujuan program dasar pengembangan NU: 1. Untuk menghayati makna seruan kembali kepada jiwa 1926. 2. Untuk menetapkan upaya intern memenuhi seruan ter- sebut. 3. Untuk memantapkan cakupan partisipasi NU secara le- bih nyata dalam pembangunan bangsa.23 Rumusan tersebut mengisyaratkan dengan jelas langkah NU bertekad untuk menghidupkan kembali peran perang- kat kelembagaan yang ada dan sektor kegiatan yang men- jadi lahan khidmat NU seperti ulama dan syuriah, ke- budayaan, kepemudaan, buruh, tani dan nelayan, kade- risasi, dan bidang pembentukan kepribadian.24 Akan tetapi keputusan muktamar itu belum menjelaskan bagaimana hu- bungan NU dengan PPP selain bahwa dengan dipusatkan- nya kekuatan politik ummat Islam ke dalam PPP, maka dengan sendirinya NU kembali kepada fungsinya sebagai gerakan sosial keagamaan, karena itu semua kegiatan NU harus diarahkan kembali kepada kiprah perjuangan sosial keagamaan itu sendiri.25 Apakah dengan demikian lalu NU bebas menyalurkan aspirasi politik sendiri ataukah masih terikat dengan PPP? Terhadap pertanyaan ini muktamar tidak memberi jawaban yang kongkret. Keadaan yang me- ngambang itu berarti tetap ditafsirkan bahwa NU tidak meninggalkan afiliasinya dengan PPP. Keputusan Semarang masih mencerminkan langkah tran- sisi dari pergulatan kalangan pemimpin NU sendiri menge- nai hari depan NU dan hubungannya dengan politik. Ada beberapa pendapat yang muncul. Pertama, NU harus keluar dari PPP agar NU dapat membebaskan dirinya dari penga- ruh politik kemudian mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mengembangkan karakter NU sebagai jam'iyah sosial keagamaan yang murni. Kedua, perubahan yang dilakukan NU tidak harus dengan menarik diri dari gelanggang poli- tik, sebab menurut kalangan ini kelahiran NU sendiri se- benarnya merupakan sikap politik. Sisi politik masih tetap relevan sebagai bagian dari kegiatan NU. Mereka memang mengakui banyak segi NU yang perlu diperbaiki, tetapi mengabaikan sisi politik sama dengan mengingkari jati diri NU sendiri. Ketiga, perubahan orientasi dengan menye- imbangkan semua sektor kegiatan yang satu tidak lebih penting dari yang lain. Kegiatan politik NU yang selama ini menghabiskan seluruh energi perlu dilokalisir dalam bagian tersendiri sejajar dengan bagian lain. Untuk itu mereka mengusulkan agar dibentuk biro politik NU yang terkait secara struktural dengan NU. Sementara pendapat lain mengusulkan biro itu dibentuk terlepas dari NU.26 Pendapat-pendapat tersebut terungkap dalam forum studi dan diskusi yang diselenggarakan sejumlah kalangan muda NU di Jakarta bertempat kantor PBNU sekitar tahun 1981/1982. Bahwa muktamar Semarang belum memberi ja- waban tuntas tentang jati diri NU tercermin dalam pandang- an peserta diskusi yang masih beragam itu. Namun di sisi lain terdapat arus kuat yang menghendaki agar NU melepaskan diri dari keterikatannya dengan PPP jika NU menghendaki kembali kepada semangat jiwa 1926 ketika NU didirikan oleh para ulama. Akan tetapi arus itu masih menghadapi tembok penghalang karena kepengurusan formal NU masih dikuasai kelompok yang berorientasi politik praktis. K.H. Achmad Siddiq mengajukan gagasan untuk merumuskan karakter asli NU yang dinamainya Khittah Nahdiyah.27 Gagasan yang di- kemukakan akhir tahun enam puluhan ketika K.H. Ahcmad Siddiq menjabat ketua NU Jawa Timur semula hanya menarik kalangan muda di Jawa Timur yang disajikan dalam kegiatan perkaderan atau konferensi-konferensi. Gagasan itu belum menyinggung secara tegas hubungan NU dengan politik, sebab ketika itu belum muncul rekayasa penyederhanaan sistem kepartaian meskipun gagasan awal mengenai hal itu sudah dimunculkan. Konsep yang dimunculkan masih dalam konteks NU sebagai partai politik, karena itu karakteristik NU atau lebih tepatnya khittah NU dapat dianggap sebagai karakteristik perilaku NU yang sebagian besar untuk meng- antisipasi tujuan-tujuan politik NU. Sementara itu setelah NU memutuskan langkah yang setengah hati dalam muktamar Semarang 1979, dalam arti bertekad mengembangkan sisi nonpolitik tetapi tetap tidak meninggalkan keterikatan politik dengan PPP, maka NU menghadapi dilema yang berkepanjangan. Persoalan antar kelompok dalam PPP menghadapi pemilihan umum 1982 makin mempertajam konflik yang terjadi. Manuver kelompok MI yang mendapat dukungan pemerintah berhasil meng- gusur sejumlah nominasi calon anggota DPR dari unsur NU. Akibatnya terjadi keguncangan yang cukup menegangkan dalam NU sendiri. Kritik pun mulai muncul terhadap ke- pemimpinan K.H. Idham Chalid yang dianggap gagal memperjuangkan misi politik NU, bahkan gagasan-gagasan yang mempersoalkan urgensi eksistensi politik NU makin mendapat perhatian yang serius. Jaringan kepemimpinan NU mengalami stagnasi berat. Hampir tidak bisa menemui peng- urus NU di kantor PBNU, banyak bagian dan perangkat kelembagaan tidak berfungsi akibat dari tekanan-tekanan moril maupun politis dari berbagai jurusan dan ketakpe dulian serta sikap frustasi sejumlah kader NU sendiri. Di luar masalah politik yang kadang-kadang masih menyentuh gal- rah sejumlah pemimpin NU, maka kegiatan lain hampir tidak pernah terjamah. Di tengah suasana yang demikian itu, kabar ketua umum NU K.H. Idham Chalid dalam keadaan ke- sehatan terganggu, merangsang sejumlah ulama sepuh NU untuk bersilaturrahmi kepadanya. Di hadapan mereka K.H. Idham Chalid mengikrarkan pengunduran dirinya yang ke- mudian dicabut kembali setelah beritanya tersiar dan meng- akibatkan keguncangan di kalangan NU.28 Akibat dari kejadian itu ketegangan dalam tubuh NU semakin tampak terbelah antara kubu yang mempertahan- kan K. H. Idham Chalid yang menghendaki status quo seperti adanya ketika itu dan kubu lain yang menghendaki reformasi peran NU secara total. Umumnya kubu yang terakhir tidak berada dalam jaringan kepemimpinan formal, kalau pun mereka berada di dalamnya bukan dalam posisi kunci. Ulama dan pesantren NU pun terbias pembelahan kelompok ini, sebagian masih menghendaki kepemimpinan K.H. Idham Chalid dan keterikatan NU dengan PPP seper- ti antara lain sejumlah ulama pesantren yang tetap men- duduki jabatannya dalam kepengurusan PPP baik di pusat maupun di daerah di samping menduduki posisinya dalam NU,29 dan sebagian yang lain menghendaki netralitas poli- tik NU. Menurut mereka NU akan lebih berperan strategis dalam pembangunan budaya politik nasional jika NU me- lepaskan diri dari PPP dan mendayagunakan peran ser- tanya dalam pengembangan watak dan wawasan kebangsa- an yang bersumber dari tradisi NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang menekuni bidang-bidang sosial kemasya- rakatan, da'wah, pendidikan, kegiatan sektor ekonomi dan kebudayaan. Sementara kelompok pertama menilai bahwa kegiatan sektor politik amat penting untuk memperkuat bidang agama maupun sosial ekonomi. Untuk memperkuat posisi politik itu diperlukan dukungan sosial politik agar mereka memperoleh simbol legitimasi yang sah. Aspek po- litik tetap penting bagi NU sebagai upaya untuk membim- bing jemaah menentukan sikap politik mereka. Membiarkan jemaah NU terombang-ambing ketika keputusan politik ha- rus ditentukan, sama artinya dengan menghindari tanggung jawab sebagai pemimpin ummat dan itu berarti meng- ingkari hakekat perjuangan NU sendiri.30 Pendapat yang terakhir ini sebenarnya masih mempunyai pendukung yang cukup merata balk lapisan bawah mau- pun menengah, namun mereka menghadapi kendala yang cukup sulit mereka atasi. Pertama, ketiadaan tokoh yang kuat yang mampu merepresentasikan aspirasi mereka. Sa- lah satu tokoh yang mereka pandang mampu membawakan aspirasi itu adalah K.H. Idham Chalid, namun beliau seri- diri tampaknya ragu untuk tampil, seperti ciri kepemim- pinannya yang selalu menghindari pembenturan diri dalam konflik-konflik, lebih senang berada di tengah menunggu kesempatan konflik mereda dengan sendirinya. Selain itu sikapnya yang kontroversial seringkali dikecam banyak ka- langan NU seperti ketika tidak bersedia dipilih sebagai ketua umum pada muktamar Semarang, tahun 1979, mau- pun Yogyakarta, tahun 1989, namun ternyata tetap bersedia ketika terpilih dalam muktamar Semarang dan membiarkan diri bersaing ketat melawan K.H. Ahmad Siddiq untuk jabatan rais 'am di Yogyakarta.31 Demikian halnya ketika mengundurkan diri di hadapan ulama sepuh NU yang kemudian dicabut kembali setelah mendapat tekanan dari para pendukungnya. Tokoh lain yang diharapkan cukup kuat mewakili aspirasi itu sekuat pengaruh K.H. Idham Chalid sampai sekarang belum muncul. Kedua, tidak ada dukungan infra struktur politik yang memungkinkan aspi- rasi itu bisa diwujudkan melalui pembentukan lembaga politik sendiri setelah kelembagaan organisasi politik selesai diatur dalam undang-undang. Sikap menunggu waktu agaknya masih tetap membayangi sejumlah kalangan NU yang menghendaki pulihnya peran politik mereka, sekira- nya mungkin akan menjadi partai politik kembali atau paling tidak jika afiliasi politik NU dengan PPP tetap dapat dipertahankan akan dapat menguasai kembali PPP.32 Hal yang terakhir ini tentu memerlukan dukungan kongkret dari NU sendiri dengan jalan menempatkan NU sebagai pendukung utama kegiatan politik mereka. Sementara itu mereka tidak pernah berhasil memobilisasi gagasan-gagasan mereka dalam jaringan kepemimpinan formal NU maupun . lingkungan pesantren, kecuali hanya beberapa pesantren yang sejak mula terang-terangan mendukung gagasan itu, sehingga akibatnya gagasan mereka semakin tidak popu- ler.33 ______________________________________________________________ ______________________________________________________________ Catatan 16. Lihat keputusan muktamar NU 27 tentang Pokok-pokok Pi- kiran tentang Pemulihan Khittah NU 1926, Keputusan Muktamar NU XXVII, (Surabaya: Pengurus NU Wilayah Jawa Timur, 1985), h. 21-24. 17. Di Jakarta dibentuk sebuah grup diskusi yang mencoba mengkaji terus menerus langkah orientasi dan masa depan NU sekitar tahun 1981/1982. Dari grup diskusi ini barangkali muk- tamar NU di Situbondo memperoleh pengarahan yang lebih ma- tang. 18. "Laporan Ketua Umum PBNU", Muktamar NU XXIII, Solo, 26 Desember 1962. 19. Wawancara dengan Dr. K.H. Idham Chalid di Jakarta, 23 Januari 1989. 20. Lihat keputusan muktamar NU XXV di Surabaya, Komisi Politik dan Ekonomi, B, 1 dan 2. Keputusan ini agaknya me- rupakan kiat NU agar anggota NU yang berada dalam birokrasi pemerintah tidak tergusur karena kebijaksanaan monoloyalitas yang mulai bergaung ketika itu. Bahkan usaha menyelamatkan aset NU dalam bidang pendidikan, muktamar itu merekomendasi pendirian Yayasan Darut Tarbiyah Wat-Ta'lim (Dar al-Tarbiyyah wa al-Ta'lim pendidikan dan pengajaran) untuk mengambil alih koor- dinasi semua kegiatan pendidikan yang semula dikelola Lembaga Pendidikan Maarif NU. 21. Musfihin Dahlan, "Mencari Identitas yang Hilang", dalam Slamet Effendi Yusuf dkk., Dinamika Kaum Santri, Jakarta: Raja- wali, 1983), h. 136. Selanjutnya dikutip Mencari Identitas. 22. Musfihin Dahlan, Mencari Identitas. 23. Program Dasar Pengembangan Lima Tahun NU, Keputusan Muktamar NU XXVI, Uakarta: Pengurus Besar NU, 1979), h. 18. 24. Lihat ibid. 25. Ibid, h. 8-9. 26. Musfihin Dahlan, Mencari Identitas yang Hilang. 27. Konsep itu semula diberi judul Pedoman Berfikir NU, diterbit- kan pertama kali oleh PMII Cabang Jember 1969. Setelah revisi dan editing berulang-ulang kemudian naskah itu diberi judul Khittah Nadiyyah, diterbitkan oleh Balai Buku Surabaya, 1979. 28. Tanggal 2 Mei 1982 K. H. Idham Chalid mengikrakan pen- gunduran diri selaku ketua umum PBNU di hadapan K. H. As'ad Sjamsul Arifin, K. H. Ali Ma'shum (ra'is 'am), K. H. Masjkur (ra'is), K. H. Machrusj Ali (ra'is NU Jawa Timur) dan beberapa orang lain. Surat ikrar pengunduran diri bertanggal 6 Mei 1982, kemudian dicabut kembali tanggal 14 Mei 1982. 29. Mereka mewakili unsur NU dalam PPP dan kebanyakan masih menduduki posisi itu sampai sekarang, antara lain K. H. Badri Masduki dari Kraksaan Probolinggo dan K.H.'Alawy dari Madura. 30. Wawancara dengan beberapa peserta muktamar NU, tahun 1989 di Krapyak, Yogyakarta ketika berlangsung muktamar. 31. Dalam muktamar Semarang Idham Chalid membuat pernya- taan tertulis tidak bersedia dipilih kembali, tetapi menjelang pe- milihan muncul pernyataan kesediannya untuk dipilih. 32. Lihat antara lain R. William Liddle, "Merekayasa Demokrasi di Indonesia", Kompas, 6 dan 7 Februari 1990. Selanjutnya dikutip Merekayasa Demokrasi. 33. Mereka tidak mampu menandingi mobilitas kepemimpinan formal K.H. Abdurrahman Wahid dan kawan-kawan yang cukup gigih melakukan kunjungan ke daerah-daerah dan pesantren- pesantren setelah muktamar Situbondo.