BAB V NU KEMBALI KE KHITTAH 1926 Proses NU kembali ke khittah 1926 dilalui dengan lika-liku yang panjang. Gagasan itu sebenarnya sudah muncul sejak muktamar NU 1962 di Solo. Sesudah itu dalam muktamar Bandung 1967 dan Surabaya 1971 tidak terdengar lagi isu tentang itu. Namun tidak berarti substansinya sama sekali hilang dari perhatian para pemimpin NU. Tarik menarik antara keinginan untuk menjadikan NU sebagai organisasi politik dan keinginan untuk tetap sebagai organisasi sosial keagamaan terjadi sejak lama. Muktamar Menes 1938 ketika membahas perlunya NU menempatkan wakil dalam Dewan Rakyat (Volksraad) atas usul cabang Indramayu, ditolak si- dang dengan perbandingan 39, 11, dan 3. Ketika NU me- mutuskan keluar dari Masyumi dan membentuk dirinya menjadi partai politik, muktamar Palembang 1952 memu- tuskan menerima dengan perbandingan suara 61, 9, dan 7. Hal ini menggambarkan bahwa tarik menarik itu tidak berjalan mulus. Ketika muktamar Menes keinginan untuk menjadi partai politik didukung 11 cabang dan 3 abstain. Dalam muktamar Palembang ada 9 cabang yang tidak me- nyetujui usul keluar dari Masyumi membentuk diri sebagai partai politik, 7 cabang abstain. Muktamar NU 1979 di Semarang mengisyaratkan lang- kah yang setengah hati. Sementara ingin memperkuat sisi jam'iyah dengan pengembangan program dasar lima tahun yang sarat dengan cita-cita luhur, tetapi tak hendak me- lepaskan dunia politik yang sudah digeluti sejak lama. Ibarat langkah dengan kaki sebelah, sementara kaki yang sebelah lagi ingin tetap menginjak dunia lain. Langkah yang serba pincang dan setangah hati itu bukanlah tanpa alasan. Sejarah masa lain NU dan tradisi keagamaan yang dicoba untuk dikembangkan sarat dengan pesan-pesan yang berdimensi politik. Referensi fikih yang digumuli NU tidak sepi dari pesan itu. Mulai dari bab qada (kekuasaan hukum), imamah (kekuasaan politik), imarah al-jaisy (ke- kuasaan militer), atau kitab al-buqhat (bab tentang pem- berontakan) dan lain sebagainya, mengandung implikasi pesan politik. Semua ini pada akhirnya berpengaruh lang- sung maupun tidak langsung, terhadap sikap dan perilaku NU selanjutnya. Setelah NU memasuki dunia politik lebih formal awal kemerdekaan ketika tergabung bersama organisasi Islam lain dalam Masyumi, lalu dunia politik menjadi bagian penting dari kehidupan NU. Jika pada mulanya per- singgungan itu masih dilapisi jarak untuk dapat menggeluti aspek sosial keagamaan, lambat laun keterlibatan dengan politik itu semakin intens, aspek politik akhirnya menyeret NU meninggalkan kegiatan utamanya sebagai organisasi sosial keagamaan. Langkah NU setelah berubah menjadi partai politik untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya jus- tru mengakibatkan terabaikannya sifat pelayanan sosialnya. Kepentingan-kepentingan grup dan perorangan untuk memperebutkan jabatan atau kesempatan politik tidak ter- bendung lagi. Akibat kerumitan penataan distribusi politik terus mendesak, maka kegiatan-kegiatan non politik tidak terperhatikan lagi. Fenomena ini terlihat dalam muktamar NU 1971 di Surabaya. Menghadapi gagasan pemerintah untuk menyederhana- kan sistem kepartaian, NU ingin tetap bertahan sebagai partai politik dan memberi kemungkinan membentuk wa- dah baru untuk menampung kegiatan-kegiatan nonpolitik. Ini menandai salah satu dari ketidakmampuan NU menye- lesaikan garapan bidang-bidang nonpolitik karena ikatan- nya dengan aspek politik begitu kuatnya. Oleh karena itu ketika NU dipaksa untuk melakukan pilihan, oleh kebijak- sanaan politik Orde Baru, antara tetap menjadi partai poli- tik atau mengubah dirinya kembali menjadi jam'iyah, ke- putusan muktamar Surabaya ingin tetap menjadi partai politik dan menyerahkan garapan bidang nonpolitik kepada badan baru yang direkomendasikan pembentukannya. Na- mun keputusan itu masih disertai alternatif jika kondisi obyektif tidak memungkinkan lagi NU bertahan, muktamar menyerahkan untuk mengambil keputusan lain kepada PBNU. Benar saja realitas yang terjadi setelah kemenangan Golkar yang begitu mencolok dalam pemilihan umum 1971, gagasan penyederhanaan sistem kepartaian menjadi priori- tas rencana pemerintah selanjutnya. Mulanya dengan an- juran pengelompokan partai dalam DPR selanjutnya menuju fusi antar partai. Setelah fusi itu berjalan maka undang-undang yang mengatur organisasi kepartaian di- tetapkan dengan hanya mengakui dua partai politik dan satu golongan karya. Setelah fusi itu maka partai-partai Islam yang berfusi sepakat menyalurkan aspirasi dan per- juangan politik mereka melalui partai hasil fusi itu dan selanjutnya organisasi mereka mengkhususkan kegiatan da- lam bidang nonpolitik. Namun tidak lantas dengan demi- kian persoalan-persoalan partai hasil fusi itu selesai dengan sendirinya. Konflik kepentingan antar unsur yang berfusi terus membayangi perjalanan partai itu. Menjelang akhir sepuluh tahun pertama usia partai hasil fusi, konflik ter- buka pun pecah, antar unsur bekas partai yang berfusi memperebutkan kepentingan-kepentingan mereka. Akibat- nya perolehan suara dalam pemilihan umum 1982 menurun dan bertambah anjlok pada pemilihan berikutnya 1987. Fusi partai-partai Islam tahun 1973 memberi keuntungan kepada NU sebab fusi itu dilakukan ketika NU berhasil memperoleh suara yang mengungguli jauh partai-partai Islam lainnya. Dengan posisi 58 kursi dari seluruh kursi partai Islam 94 kursi, berarti NU mengantongi 61,7% suara gabungan partai-partai Islam itu. Akan tetapi menjelang pemilihan umum tahun 1982, posisi itu mulai digugat unsur MI dalam PPP. Konflik pun akhirnya pecah secara terbuka. Dengan dukungan pejabat-pejabat pemerintah gu- gatan MI berhasil mengurangi posisi perimbangan kekuatan NU tidak lagi dominan seperti sediakala. Kekecewaan yang dialami NU akibat konflik dengan unsur lain dalam PPP berkembang menjadi salah satu faktor pendorong yang mempercepat langkah NU menuju khittah 1926. Maka se- belum pembahasan mengenai khittah NU lebih lanjut, lebih dulu akan dibahas mengenai fusi partai-partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan. A. FUSI DALAM PPP Sejak aksi sepihak PKI menjelang pemberontakan tahun 1965 sudah terlihat munculnya kekuatan ummat Islam un- tuk mengimbangi gerakan politik PKI yang kian hari kian merajalela. Dengan legitimasi politik Nasakom (nasionalis, agama dan komunis) NU dan beberapa partai Islam lain memanfaatkan forum itu untuk menahan gelombang gerak- an komunis yang berusaha menguasai basis pedesaan dan aparat pemerintahan mulai dari pusat sampai ke daerah- daerah. Sejumlah perwira militer memberi dukungan ter- hadap upaya memperkuat posisi ummat Islam untuk melawan agitasi dan aksi sepihak komunis.1 Ketika pem- berontakan yang dilancarkan G30S/PKI meletus dini hari tanggal 1 Okteber 1965, ummat Islam mengambil peran penting, selain tentu saja militer, untuk menumpas gerakan makar tersebut dan aksi-aksi lanjutannya. Proses tersebut demikian cepat berkembang secepat keruntuhan komunis itu sendiri. Namun perkembangan tersebut dinilai eleh penguasa baru, khususnya kalangan militer yang menguasai masa transisi politik, tidak mendukung kebijaksanaan integrasi politik yang berusaha dikembangkan. Kebangkitan politik kalangan Islam setelah meletusnya pemberontakan PKI itu dikhawatirkan akan menimbulkan konflik yang lebih tajam di kalangan militer sendiri, sebab tidak sedikit mereka yang dihinggapi trauma kekuatan politik Islam itu akan meng- arah kepada pembentukan negara Islam. Hubungan yang akrab antara golongan Islam dengan militer, khususnya angkatan darat, ketika menghadapi gelombang kekuatan PKI akhirnya terus memburuk setelah akar kekuatan PKI dapat dilumpuhkan. Kecurigaan kalangan militer terhadap berkembangnya peran golongan Islam itu dikhawatirkan akan membangkitkan kembali mitos negara Islam yang per- nah muncul dalam sejarah politik di Indonesia. Kecurigaan itu sendiri menurut Allan A. Samson bersumber dari akar historis dan kultural. Kebanyakan opsir militer masih mengikuti tradisi kebudayaan Jawa yang memandang Islam sebagai suatu unsur kekerasan.2 Di samping itu orientasi politik militer sendiri lebih menekankan stabilitas dan per- imbangan kekuatan untuk menjaga kesatuan nasional. Ber- perannya golongan Islam ketika itu dikhawatirkan akan mempengaruhi kesatuan tersebut. Upaya mengatasi ini dicoba dengan membangkitkan kembali PNI sebagai kekuatan pengimbang.3 Namun upaya yang dilakukan untuk mempersatukan PNI yang meng- alami perpecahan sejak tahun kedua atau ketiga enam puluhan tidak berhasil, sehingga PNI tidak dapat diarahkan sebagai kekuatan untuk melawan sisa-sisa kekuatan PKI sebagai pengimbang dari munculnya kekuatan Islam. Pe- nyusupan anasir kiri akibat dari pengaruh Presiden Soekar- no dalam kepemimpinan PNI mengakibatkan partai itu seakan lumpuh bahkan melawan arus gelombang gerakan anti Soekarno yang berkembang ketika itu. Kegagalan menjadikan PNI sebagai kekuatan pengim- bang itu kemudian dialihkan dengan memunculkan ke- kuatan baru gelongan fungsional yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya atau Sekber Golkar dan akhirnya menjadi Golkar. Semula organisasi ini me- rupakan wadah bagi golongan fungsional yang berasal dari partai politik maupun nonpartai, tetapi menjelang pemilih- an umum 1971 dikeluarkan peraturan menteri dalam negeri yang mengharuskan anggota organisasi itu menanggalkan keanggotaannya dari partai poliik.4 Selanjutnya dengan dukungan aparat pemerintah dan militer Golkar menang dengan sangat mencolok dalam pemilihan umum 1971 de- ngan,suara 62,80% atau 236 kursi DPR ditambah 100 kursi Karya ABRI dan non-ABRI yang diangkat. Dengan mengan- tongi 336 dari seluruh kursi 460 dalam DPR maka Golkar memliki suara mayoritas mutlak. Upaya penataan sistem kepartaian yang sudah dirintis sebelumnya dengan sepuluh organisasi politik yang mengikuti peIllilihan umum selan- jutnya dicoba untuk dikembangkan lebih sederhana lagi. Dimulai dengan anjuran pengelompokan partai dalam DPR yang berjalan segera setelah pemilihan umum itu selanjut- nya penyederhanaan kepartaian berjalan tanpa hambatan yang berarti. Muktamar NU yang diselenggarakan setelah pelantikan anggota DPR hasil pemilihan umum 1971 menanggapi ren- cana penyederhanaan sistem kepartaian dengan agak bim- bang. NU berpendapat tidak perlu mengadakan perubahan struktur organisasi partai NU, sebab struktur yang berlaku sekarang telah 'menjamin terpeliharanya keutuhan dan pe- ran alim ulama, politisi dan cendekiawan,5 dalam proporsi yang seimbang. Akan tetapi pada bagian lain dari ke- putusan itu muktamar NU menyerahkan kepada PBNU untuk mengadakan perubahan-perubahan organisasi partai NU sesuai dengan kemungkinan obyektif yang berkembang akibat peraturan perundang-undangan yang mungkin akan berlaku.6 Muktamar agaknya sudah mengantisipasi ke- mungkinan penyederhanaan sistem kepartaian yang dilon- tarkan oleh pemerintah yang berkuasa akan berjalan, sebab perimbangan kekuatan suara dalam DPR sangat memung- kinkan rencana pemerintah itu dijalankan tanpa hambatan. Namun sejauh mungkin NU akan bertahan dengan sistem kepartaian yang ada, meskipun hal itu disadari tidak akan berhasil diperjuangkan, karena itu muktamar tidak meng- ambil keputusan dan menyerahkan kepada PBNU. Pemerintah sendiri tidak ingin dikesankan penyederhana- an sistem kepartaian yang hendak dijalankan merupakan rekayasa politik dari atas, karena itu langkah pertama be- rupa anjuran agar partai-partai bergabung dalam suatu ke- lompok di dalam DPR. Dimunculkan gagasan tiga kelompok, selain kelompok karya sendiri, dua yang lain merupakan gabungan dari partai-partai sebanyak 9 partai. Kelompok pertama dinamai kelompok spiritual material gabungan dari partai yang berdasar keagamaan, tetapi par- tai Katholik dan Kristen Indonesia enggan bergabung de- ngan kelompok ini, akhirnya kelompok ini hanya merupakan gabungan dari partai-partai Islam saja, NU, Par- musi, PSII dan Perti. Kelompok kedua dinamai kelompok material spiritual, semula merupakan gabungan dari partai- partai nonagama ditambah dua partai yang disebutkan ter- dahulu, maka kelompok ini akhirnya menjadi kelompok non-Islam, gabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katholik, IPKI dan Murba. Kelompok pertama menyebut diri Per- satuan Pembangunan dan kelompok kedua Demokrasi Pembangunan. Setelah itu tekanan-tekanan politik terus di- lakukan, dengan bahasa yang lebih lunak dinyatakan se- bagai anjuran pemerintah, agar partai-partai yang sudah mengelompok itu meleburkan diri berfusi satu sama lain ke dalam dua kelompok tersebut.7 Setelah melalui perundingan yang intensif akhirnya ke- empat partai Islam, NU, Parmusi, PSII dan Perti mencapai sepakat untuk melakukan fusi keempat partai tersebut da- lam suatu deklarasi tanggal 5 Januari 1973.8 Dinyatakan dalam deklarasi tersebut bahwa keempat partai Islam yang sudah tergabung dalam konfederasi kelompok Persatuan Pembangunan telah seia sekata untuk memfusikan politik- nya dalam satu partai politik yang bernama Partai Per- satuan Pembangunan. Segala kegiatan nonpolitik tetap dikerjakan dan dilaksanakan oleh organisasi masing-masing sebagaimana sedia kala. Sementara itu lima hari berikutnya, tanggal 10 Januari, partai-partai yang tergabung dalam ke- lompok Demokrasi Pembangunan juga mengeluarkan dek- larasi fusi partai mereka dengan nama Partai Demokrasi Indonesia. Sejak berhasil menumbangkan komunis, pemerintah Orde Baru bertekad melaksanakan pembangunan ekonomi. Lang- kah ke arah ini kemudian menyadarkan mereka akan per- lunya dukungan sistem politik yang stabil. Orientasi politik pada ideologi yang berbeda-beda dipandang sebagai pemicu konflik yang berkepanjangan harus dikubur, sebab orientasi yang demikian dianggap tidak menyelesaikan masalah bagi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan ma- syarakat. Pemerintah Orde Baru kemudian melangkah pada kebijaksanaan yang mendasar untuk merumuskan suatu format politik yang baru agar konflik ideologi dapat dihin- dari. Masalah ini menjadi teramat krusial dalam sejarah masa lalu politik di Indonesia yang menimbulkan ketegang- an-ketegangan sosial politik dan pada akhirnya ber- pengaruh bagi rencana pembangunan ekonomi. Menyadari posisi yang lemah partai-partai Islam itu menyambut gaga- san penyederhanaan sistem kepartaian dengan sikap 'ter- paksa'. Hasil pemilihan umum 1971 partai-partai Islam digabung menjadi satu menghasilkan suara 20,3% suara atau 94 kursi DPR dari total 460 kursi DPR. Konstelasi perimbangan suara DPR ini memang sama sekali tidak memberi peluang bagi partai-partai Islam untuk menentang gagasan pemerintah. Langkah selanjutnya setelah fusi itu ialah disahkannya sebuah undang-undang yang mengatur tentang kepartaian tahun 1975 yang hanya mengakui tiga organisasi politik, dua partai politik dan satu golongan karya dan Pancasila sebagai satu-satunya asas.9 Struktur kepemimpinan organisasi partai Persatuan Pem- bangunan (PPP) yang dibentuk sedemikian rupa dengan harapan akan dapat meredam konflik yang muncul. Dalam Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP dibentuk empat badan, selain badan yang disebut pimpinan pusat, terdapat tiga badan lagi, presidensi, majelis pertimbangan partai, dan majelis syura. NU yang jumlah perwakilan dalam DPR terbanyak dari total suara semua partai Islam yang berfusi, 61,7%, berturut-turut Parmusi 25,5%, PSII 10,6% dan Perti 2,1%, memiliki peluang untuk memimpin partai hasil fusi itu. Namun formasi jabatan yang diberikan kepada NU hanya bersifat prestisius belaka. Selaku ketua umum DPP PPP dijabat oleh H.M.S. Mintaredja dari Parmusi, sedang sekretaris jenderal dijabat Tahja Ubaid dari NU. Tiga badan lain dalam DPP PPP pimpinan puncaknya dijabat oleh orang-orang NU yaitu presiden, ketua majelis pertimbangan dan ra'is 'am majelis syura; tetapi semua jabatan ini secara struktural memberi gengsi kepada NU dalam praktek ope- rasionalnya ketua umum DPP memegang peran penting. Hal ini akan terlihat nanti bagaimana mengatasi konflik pendistribusian peran politik elite partai yang berfusi ketika menghadapi pencalonan keanggotaan DPR dalam pemilihan umum. Perimbangan suara fraksi dalam DPR pada awalnya lebih memungkinkan terciptanya suasana persatuan di an- tara partai-partai yang berfusi. Dalam suasana yang demi- kian itu pula sidang Dewan Partai PPP diselenggarakan tahun 1975 mengambil keputusan yang dikenal 'Konsensus 1975'. Disepakati suatu status quo dalam distribusi kekuatan antar unsur partai yang berfusi dalam PPP seperti perim- bangan yang dihasilkan dalam pemilihan umum 1971. Pe milihan umum 1977 dilalui PPP dalam suasana itu. Langkah kompromi yang dihasilkan sidang dewan partai membuahkan hasil ketika menghadapi pemilihan umum 1977. PPP berhasil menambah perolehan suaranya menjadi 99 kursi DPR. Tambahan 5 kursi DPR itu cukup berarti mengingat PDI justru menurun dari 30 kursi (1971) menjadi 29 kursi (1977) dan Golkar dari 236 (1971) menjadi 232 (1977). Namun konsensus itu cukup diatasi dengan fleksibel walaupun tidak dalam proporsi semula. Dari tambahan 5 kursi itu justru suara NU dikurangi dua suara menjadi hanya tinggal 56 (dari 58); sementara MI mendapat tam- bahan 1 kursi, SI 4 kursi dan Perti 2 kursi. Perimbangan suara menjadi NU 56, MI25, SI 14, dan Perti 4 kursi. Pengurangan suara NU dan kecilnya yang diberikan ke- pada MI (hanya tambahan 1 suara) diimbangi dengan di- berikannya kepada mereka jabatan politik lain. NU sebagai wakil ketua DPR, MI mendapat jatah wakil ketua DPA, dan beberapa jabatan lain dalam kelengkapan DPR seperti ketua atau wakil ketua komisi kepada NU dan MI. Sementara ketua fraksi partai di DPR dipegang NU dan wakil-wakil- nya dari unsur lain. Dengan pola pembagian MI sebagai wakil ketua DPA dan beberapa komisi dibagi antara NU dan MI, terlihat posisi MI telah mengambil langkah untuk bersaing dengan NU dalam DPR. Memasuki pemilihan umum 1982, PPP mengasumsikan perolehan suara paling tidak sama dengan hasil pemilihan umum 1977. MI menun- tut perubahan perimbangan suara dengan mengurangi do- minasi NU dalam partai yang berfusi itu. MI menghendaki perimbangan suara menjadi NU 49, MI 30, SI 15, dan Perti 5. Dengan asurnsi hasil pemilihan umum sama dengan sebelumnya, maka 49 suara NU tidak akan mencapai 50% dari seluruh suara. Tentu saja NU keberatan dengan pem- bagian ini. Rapat-rapat pimpinan partai yang diselenggara- kan tidak lagi dapat dijalankan dengan asas musyawarah dan mengadu argumentasi secara jujur, tetapi sudah di- jangkiti tuntutan mutlak-mutlakan. 'Forum itu cuma gebrakan-gebrakan untuk menuntut NU agar mengurangi jatah dari 56 menjadi 49', kata Saifuddin Zuhri dalam salah satu tulisannya.l0 Konflik terbuka akhirnya pecah antara NU dengan be- berapa unsur lain dalam PPP khususnya MI. Perang per- nyataan saling menyerang muncul di beberapa surat kabar. MI mencoba mencari legitimasi sejarah menegaskan bahwa MI adalah kelanjutan dari Masyumi serta memperoleh du- kungan dari keluarga besar bulan bintang termasuk Muham- madiyah.11 Namun pendapat yang muncul dari bekas pimpinan Masyumi menyanggah penegasan MI. Kalangan Muhammadiyah juga tidak mengakui pernyataan MI ter- sebut. Lukman Harun, anggota pimpinan pusat Muham- madiyah, bekas sekretaris jenderal Partai Muslimin yang akhirnya menjadi MI yang digulingkan Mintaredja dan kawan-kawan menjelaskan: Dengan berfusinya Parmusi ke dalam PPP secara formal berakhir pula hubungan ormas pendukungnya dengan Parmusi yang telah berfusi itu. Dalam tahun 1977 Tanwir Muhammadiyah sendiri sudah memutuskan bahwa Muhammadiyah tidak ada hubungan historis maupun organisasi dengan MI. Dan dalam pemilu 1982 ... anggota Muhammadiyah diberi kebebasan mau memilih kontes- tan yang manapun.12 Walaupun tidak secara langsung konflik NU-MI dalam PPP itu melibatkan Muhammadiyah, namun banyak orang beranggapan sedikit banyak dipengaruhi hubungan yang kurang baik antara Muhammdiyah dengan NU. Tokoh- tokoh MI yang vokal untuk menyerang NU dan menghen- daki agar suara NU dikurangi dalam perimbangan suara dalam PPF kebanyakan dari orang-orang atau keluarga yang berasal dari Muhammadiyah.13 Di daerah pemilihan Jawa Tengah dan Jawa Timur pimpinan MI umumnya ber- asal dari orang-orang Muhammadiyah. Dengan sendirinya, sedikit banyak, hubungan yang kurang balk antara NU- Muhammadiyah berpengaruh pula dalam hubungan antara NU dengan MI, meskipun secara formal mereka tidak di- akui mewakili Muhammadiyah. Konflik antar unsur dalam PPP menjelang pemilihan umum 1982 diuraikan agak lebih rinci oleh Mahrus Irsyam, sampai akhirnya kurang lebih 29 orang tokoh NU tergusur dari nominasi calon terpilih mewakili PPP.14 Akibatnya mun- cul kekecewaan banyak kalangan NU terhadap kepemimpin- an PBNU yang dianggap tidak berhasil mempertahankan 'konsensus 1975' yang direkomendasi kembali dalam muk- tamar NU 1979 di Semarang. Muncullah kemudian gagasan yang semakin kuat untuk meninjau kembali status dan eksistensi NU dalam PPP, yang sudah sejak lama sebenarnya telah dipertimbangkan oleh beberapa kalangan dalam NU sendiri. Beberapa juru kampanye PPP dari NU mengun- durkan diri, tidak lagi menjadi pendukung PPP seperti pada pemilihan umum sebelumnya. Namun karena PBNU sendiri sampai pemilihan umum berjalan belum menentukan sikap secara jelas mengenai hubungan dengan PPP, suara-suara yang ramai diperbincangkan beberapa surat kabar sebelum pemilihan umum, tidak begitu berpengaruh kepada jemaah NU. Pemilihan umum 1982 berjalan dalam masa transisi, sebagian besar lapisan menengah NU masih mendukung PPP walaupun tidak secara terang-terangan. Pemilihan umum itu menghasilkan suara sedikit berkurang, dari 99 kursi (1977) menjadi 94 kursi (1982), sementara Golkar dari 232 (1977) menjadi 246 (1982), dan PDI 29 (1977) menjadi 24 (1982). Setelah NU menetapkan langkah kembali ke khittah 1926, memasuki pemilihan umum 1987 PBNU tidak mengambil peran langsung dalam konflik distribusi kekuatan antar unsur dalam PPP. PBNU menampakkan sikap netralnya dan membiarkan konflik antar unsur dalam PPP diselesai- kan sendiri oleh orang-orang NU yang berada dalam PPP. Akan tetapi sejumlah tokoh NU lain, seperti Jusuf Hasjim, Hamid Baidhowi, Mahbub Djunaidi, bersikap sebaliknya. Dalam kampanye pemilihan umum banyak kalangan NU yang menyerang PPP. Tahun kampanye itu memunculkan istilah 'penggembosan', kampanye untuk menggembos PPP agar suara yang dicapai dalam pemilihan umum berkurang sebagai protes dari kalangan NU kepada PPP. Namun se- cara resmi PBNU tidak pernah melakukan hal itu. Di ba- nyak tempat tokoh-tokoh NU mengadakan kampanye sendiri dengan legalitas sebagai kegiatan pengajian ke- agamaan. Ada pula sebagian yang terjun kampanye untuk PDI maupun Golkar dan umumnya kegiatan-kegiatan itu diselenggarakan PDI atau Golkar tidak resmi dalam kegiat- an kampanye, melainkan kegiatan pengajian keagamaan. Semua kegiatan itu dimanfaatkan tokoh-tokoh NU untuk menyerang PPP, khususnya ketua umum PPP, H. J. Naro, yang menyebabkan tergusurnya beberapa tokoh NU se- bagai nominasi calon terpilih dari PPP dalam pemilihan umum 1982 sebelumnya. Kesempatan itu juga untuk men- jelaskan sikap netral NU tidak terikat kepada partai man- pun Golkar. Akibatnya memang merupakan pukulan telak bagi PPP. Dalam pemilihan 1987 yang lain PPP hanya memperoleh suara 61 kursi DPR, melorot jauh dibanding- kan pemilihan umum sebelumnya. Partai hasil fusi beberapa partai Islam itu memang masih rawan konflik akibat warisan dari masa lain partai-partai Islam itu sendiri. Partai-partai itu memasuki medan baru dalam PPP masih dalam orientasi 'kalah menang', bukan dalam substansi politik untuk memperjuangkan suatu cita- cita politik. Akibatnya konflik yang terjadi dihadapi dalam ukuran kalah atau menang terhadap pihak lain yang ber- fusi. NU mencoba untuk bertahan dalam posisi ketika lebur ke dalam fusi, sementara unsur lain menganggap dominasi NU sebagai kekalahan mereka terus menerus. Ketika unsur lain mencoba menuntut perubahan perimbangan kekuatan agar dominasi NU berkurang atau tidak lagi memiliki suara mayoritas mutlak, NU merasa dirugikan. Setelah tuntutan itu benar-benar terjadi, NU merasakan sebagai kekalahan tanpa aturan main yang jelas. Sementara itu pihak lain dari unsur dalam PPP terus berusaha mempertahankan posisi itu sebagai kemenangan Pola hubungan antar unsur dalam PPP ini terus berkembang dan membangkitkan konflik yang berkepanjangan. Tradisi politik untuk memperjuang- kan suatu cita-cita politik belum mengakar dalam budaya kepartaian partai itu karena para pelaku politiknya lebih nampak kecenderungannya berorientasi merebut kekuasaan daripada perjuangan atas suatu cita-cita politik. Ini tidak berarti bahwa kekuasaan dan posisi-posisi politik tidak pen- ting, tetapi orientasi yang lebih kuat untuk merebut kave- ling politik dalam intern PPP sendiri mengakibatkan permainan mengatasi konflik yang terjadi tidak memiliki seni politik. Orientasi yang terjadi dalam konflik itu kurang atau bahkan tidak memiliki kedalaman substansial. Struktur kepemimpinan organisasi PPP yang dibentuk pertama kali dengan empat pilar tersirat suatu gambaran ketidaksanggupan mengatasi konflik yang bakal terjadi. Se- macam timbul kesadaran untuk mempertahankan status quo dengan membentuk struktur yang sedemikian rupa sehing- ga benturan kepentingan tidak akan terjadi, karena proses yang dilalui begitu rumit melalui jaringan empat pilar struktur tersebut. Akan tetapi yang terjadi justru kerumitan jaringan pengambilan keputusan mengakibatkan kemacetan organisasi. Selain masing-masing pihak tidak mau 'kalah' dalam arti mereka harus memperoleh posisi dan kekuatan dalam partai, dengan kerumitan itu mengakibatkan ben- turan yang terjadi semakin dipersulit penyelesaiannya. Sam- pai sepuluh tahun sesudah fusi PPP belum berhasil menye- lenggarakan muktamar. Ini menandai salah satu sebab tarik menarik kepentingan antar unsur dalam partai yang berfusi tidak mampu diwadahi penyelesaiannya melalui struktur yang ada. Bahwa lembaga presidensi dan majelis syura yang diharapkan dapat meredam konflik dengan kemung- kinan, begitu kuatnya pengaruh NU dalam lembaga ter- sebut, tidak berfungsi menghadapi peran ketua umum DPP PPP yang menggunakan legalitas itu untuk mengatasi kon- flik yang terjadi antar intern unsur dalam PPP. Ternyata fihak ketiga, dalam hal ini pemerintah, hanya mengakui lembaga DPP dengan puncaknya ketua umum sebagai lem- baga yang sah mewakili partai.15 ________________________________________________________ ________________________________________________________ Catatan 1. Awal tahun 1965, 21 surat kabar harian dan mingguan dicabut izin terbitnya karena dianggap menyuarakan atau menjadi antek BPS (Badan Penndukung Soekarnoisme) suatu gerakan yang melawan agitasi Komunis untuk mempengaruhi Presiden Soekarno. Pihak militer, khususnya ang- katan darat, kemudian mendirikan berita Yudha, mengambil oper harian Merdeka dan mendirikan Angkatan Bersenjata serta mendukung bedirinya beberapa surat kabar baru yang dirintis oleh kalangan Islam. Selan- jutnya lihat A.H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, VI (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h. 144-5. 2. Allan A. Samson, Angkatan Bersenjata dan Ummat Islam di Indonesia (Surakarta: AB. Siti Sjamsijah,1973), h.18. 3. Setelah kudeta PKI peranan PNI sangat mundur. Pejabat Presiden Soeharto mencoba mendamaikan sengketa yang terjadi dalam tubuh PNI, meskipun untuk itu Soeharto harus meyakinkan banyak pihak di kalangan militer bahwa PNI setelah bersatu nanti dapat diarahkan untuk melawan komunis guna untuk mengimbangi peran yang telah dilakukam oleh golongan Islam. Selanjutnya dapat dilihat dalam Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya (Jakarta: Rajawali, 1984), khususnya halaman 89-105. Se- lanjutnya dikutip PNI. 4. Peraturan Menteri Dalam Negeri nomer 12 tahun 1969 yang dikeluarkan tanggal 14 Desember 1969. Peraturan itu dikenal sebagai Permen 12. 5. Keputusan muktamar NU ke XXV di Surabaya, Komisi Organisasi, lampiran II tentang Struktur Organisasi NU. 6. Ibid. 7. Jendral Soemitro selaku Kaskomkamtib antara lain mengatakan "Sekarang ini masih ada partai yang ragu-ragu dan tidak setuju fusi, pemerintah tidak segan-segan mengambil tindakan tegas terhadap partai yang tidak setuju fusi'. Pernyataan ini agaknya ditujukan kepada PSLI yang mela- rang pimpinan eselon bawahannya menghadiri pertemuan yang akan membi- carakan fusi partai-partai. Lihat Umaidi Radi, Strategi PPP, (Jakarta: Integrita Press, 1984), h. 80-81. 8. Deklarasi fusi itu ditandatangani lima orang: K.H. Dr. Idham Chalid (NU), H. M. S. Mintaredja, SH (Parmusi), H. Anwar Tjokroaminoto (PSII), Rusli Halil (Perti), dan K. H. Masjkur (NU). 9. UU Nomer 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. UU ini kemudian diperbarui dengan UU Nomer 3 tahun 1985, tentang perubahan atas UU Nomer 3 Tahun 1975. 10. NU Sekedar Mempertahankan Azas Musyawarah", Merdeka, 23 November 1981. 11. Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik Upaya Mengatasi Krisis, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 19&1), h. 60. Selanjutnya dikutip Ulama. 12. Merdeka, 24 Oktober 1981, dikutip dari Ulama, h. 53. 13. Sudardji dan Husni Thamrin, merupakan salah satu dari tokoh yang berasal dari keluarga Muhammadiyah dan mereka mengaku sebagai anggota Muhammadiyah. 14. Lihat Mahrus Irsyam, Ulama, h. 55-68. 15. Ketika terjadi konflik mengenai daftar calon dalam pemilihan umum 1982, Menteri Dalam Negeri hanya mengakui daftar yang diajukan ketua umum DPP PPP. Lihat Mahrus Irsyam, Ulama, h. 66.