C. NU DAN PEMILIHAN UMUM Setelah NU keluar dari Masyumi dan menyatakan dirinya sebagai partai politik baru yang berdiri sendiri tahun 1952, tiga tahun kemudian NU harus 'bertarung' dengan partai lain dalam pemilihan umum pertama 1955. Akan tetapi keadaan itu tidak dihadapi NU sendiri. Sejak proklamasi kemerdekaan belum pernah diselenggarakan pemilihan umum. Tahun 1955 merupakan pemilihan umum pertama yang diselenggarakan. Jika partai lain khususnya partai-par- tai besar mempunyai waktu yang cukup lama berdiri se- bagai partai politik, karena itu lebih cukup waktu dan kesempatan mengapresiasikan politik dan pengaruh kepada rakyat, maka NU hanya mempunyai waktu sekitar tiga tahun saja. Meski dalam waktu sependek itu NU berhasil mencapai prestasi gemilang dalam pemilihan itu. Keber- hasilan itu mencengangkan banyak fihak, termasuk NU sendiri. Dari hanya delapan kursi parlemen yang dimiliki, NU berhasil mencapai prestasi sebagai empat besar, dengan 45 suara.115 Keberhasilan ini dinilai oleh Alfian karena ke- mampuan NU menggalang solidaritas di lingkungan kaum santri dan itu berarti memperjelas perjuangan mereka un- tuk memenangkan ideologi Islam dan sekaligus menunjuk- kan sikap anti komunis.116 Dari segi ini nampaknya tiga pilar utama yang menyangga kekuatan NU yaitu ulama, pesantren, dan politisi memegang peran penting keberhasil- an NU dalam-pemilihan umum itu. Soal kejelasan perjuangan untuk memenangkan ideologi Islam yang dilakukan NU selama masa kampanye oleh Alfian dianggap sebagai faktor penting yang menunjang kemenangan NU dan hal itu identik dengan pola perjuang- an Masyumi. Memang di beberapa tempat kekompakan Masyumi-NU berhasil digalang, tetapi kedua partai itu ti- dak berarti tidak bersaing untuk memperebutkan suara.118 Betapa pun keduanya ingin menampilkan kejelasan sikap dan itu berarti mereka harus tampil dengan warna yang berbeda agar tidak mengaburkan para pemilih. Meskipun keduanya sama-sama memperjelas perjuangan untuk me- menangkan ideologi Islam, tetapi ada beberapa segi yang membedakannya. Selain karena faktor tersebut dan penga- ruh ulama dan pesantren yang jadi tulang punggung ke- kuatan NU, maka beberapa faktor di bawah ini amat pen- ting untuk dapat melihat latar belakang keberhasilan NU dalam pemilihan umum. Sebagai organisasi yang semula bergerak di bidang sosial keagamaan NU mempunyai tradisi 'kampanye' dalam bentuk pengajian keagamaan yang menciptakan hubungan kyai sebagai tokoh panutan dengan rakyat dan kalangan santri. Kegiatan pengajian itu sudah menjadi pekerjaan ru- tin yang secara berkala diselenggarakan, maka ketika masa kampanye diselenggarakan, tidak terlalu sulit bagi NU mengkoordinasikan kegiatan pengajian itu berubah menjadi kegiatan kampanye yang efektif. Dengan demikian mes- kipun kesempatan NU menata diri sebagai partai politik memasuki medan kampenye pemilihan umum 1955 amat singkat, tetapi kampanye yang diselenggarakan cukup efek- tif dan memiliki makna yang lebih karena diberi bobot sebagai kegiatan pengajian keagamaan. Faktor ini penting sekali sebab kehadiran warga masyarakat ke medan kam- panye tidak saja dalam arti solidaritas kelompok, melainkan berdimensi keagamaan, mungkin mereka merasa mem- peroleh rahmat atau pahala menghadiri sebuah pengajian keagamaan. Aspek kedua yang penting lagi ialah tema-tema kam- panye yang dibawakan NU. Bertolak dari tradisi keagama- an yang dianut NU kegiatan pengajian yang dilakukan oleh para kyai umumnya menyajikan pandangan keagamaan yang cukup lentur dengan orientasi kepada pembinaan iman dan akhlak. Aspek-aspek sufisme untuk mengajak kepada kebaikan dan kesyahduan iman kentara sekali men- jadi pola acuan pendekatan keagamaan dalam kampanye. Hal ini menjadikan kampanye yang dilakukan NU tanpa ketegangan dan provokasi yang menyerang fihak lain. Se- perti warna pengajian NU, maka kampanye yang diseleng- garakan seringkali dilakukan dengan gaya 'ketoprak' yang memukau pengunjung. Kampanye NU seringkali disertai banyolan dan sindiran yang kocak layaknya sebuah grup ketoprak. Selain itu juga disertai pula irama lagu-lagu yang digubah dari bahasa Jawa yang menambah semarak sua- sana. Banyak buku yang diterbitkan berisi syair-syair Arab maupun Jawa (huruf pegon) beredar ketika kampanye ber- langsung. Isi syair itu bermacam-macam mulai dari soal bimbingan keagamaan dan iman, akhlak juga tuntunan praktis pemilihan umum dan pemungutan suara serta pe- tunjuk mencoblos tanda gambar NU dalam pemilihan umum. Dalam dua kali pemilihan umum tahun 1955 dan 1971 suara yang diraih NU hampir tidak berubah. Tahun 1955 NU berhasil mengumpulkan suara sebanyak 6.955.141 ber- arti 18,4% dari seluruh suara pemilih sebesar 37.785.299, sementara tahun 1971 NU mengumpulkan suara sebesar 10.213.650 berarti 18,6 % dari seluruh suara pemilih sebesar 54.696.887 (Lihat tabel 1).126 Sebagian besar suara NU di- hasilkan dari daerah pemilihan di Pulau Jawa 84,7% atau 5,93 juta (1955) dan 84,8% atau 8,66 juta (1971) dari total suara yang dihasilkan NU secara nasional. Kecuali Ma- syumi, partai-partai lain dalam pemilihan umum tahun 1955 umumnya tidak berbeda dengan NU, mayoritas suara mereka berasal dari Pulau Jawa, PNI 72,9% atau 5,96 juta dan PKI 89,8% atau 5,46 juta. Suara Masyumi berimbang antara suara yang dihasilkan Pulau Jawa dengan pulau- pulau luar Jawa. Di Pulau Jawa Masyumi mengumpulkan suara 51,6% atau 4,05 juta dari total suara 7,9 juta. Keadaan ini hampir tidak berubah dalam pemilihan umum 1971 kekuatan PNI di Pulau Jawa menghasilkan suara 82,9% atau 3,14 juta, berarti ada kenaikan sebesar 10% dibanding tahun 1955, sementara Parmusi memperoleh suara 50% atau 1,47 juta tahun 1971 berasal dari pulau Jawa. Dalam pe- milihan umum 1971 Golkar menghasilkan suara 62% atau 21,29 juta berasal dari Pulau Jawa. Angka-angka ini mem- perlihatkan selama dua kali pemilihan umum 1955 dan 1971 perolehan suara NU hampir tidak berubah sebagian terbesar 84,7% (1955) dan 84,8% (1971) berasal dari Pulau Jawa. Jika dibandingkan total suara nasional antara NU dengan Masyumi dalam pemilihan tahun 1955, NU meng- hasilkan suara sebesar 18,4% atau 6,95 juta sementara Ma- syumi 20,9% atau 7,9 juta. Ini berarti ada selisih 2,5% suara NU lebih kecil. Akan tetapi setelah suara itu didistribusikan dalam jumlah kursi yang dihasilkan, kursi yang diperoleh NU turun lebih tajam yaitu NU mendapat kursi 45 (17,5% dari total kursi 257), sementara Masyumi mendapat 57 kursi (22,2% dari total kursi 257), selisih berubah menjadi 4,7% NU lebih kecil dibanding kursi Masyumi. Kenaikan jumlah kursi Masyumi dibanding perolehan suara nasional berasal dari suara yang didapat di daerah luar pulau Jawa yang bilangan pembagi pemilihannya (BPP) lebih kecil di- banding BPP pulau Jawa, di daerah mana Masyumi mengan- tongi suara 48,4% dari total suara nasional yang di- dapatnya. Presentase suara Masyumi di luar pulau Jawa membawa keuntungan kenaikan jumlah kursi yang didapat. Sejak zaman pendudukan Jepang pola orientasi politik di Indonesia sudah terbelah dalam kutub idiologi antara na- sionalis muslim dan nasionalis sekuler yang terus berlanjut sampai zaman kemerdekaan. Pola orientasi politik itu pada umumnya mengandung suatu persepsi yang melihat keperluan agar ulama dan ummat Islam Indonesia secara format memiliki organisasi politik sendiri untuk memper- juangkan kepentingan-kepentingan mereka dan itu berarti harus terwujud dalam organisasi politik yang beridiologi Islam.127 Pembelahan semacam itu sudah terlihat dalam sidang-sidang BPUPKI yang kemudian berlanjut setelah pemerintah mengeluarkan maklumat yang memberi kesempatan kepada kelompok atau go- longan masyarakat untuk mendirikan partai politik. Ummat Islam kemudian segera menyambut seruan itu dengan mendirikan partai politik Masyumi. Tidak sampai sepuluh tahun partai itu kemudian terpecah karena PSII berdiri kembali tahun 1947 dan NU keluar dari Masyumi tahun 1952. Dalam pemilihan umum tahun 1955 ummat Islam diwakili enam partai politik (Masyumi, PSII, NU, Perti, PPTL, dan AKUI). Keenam partai itu mempero- leh suara 43,9% dan mendapat jatah kursi 116 (45,2%) dari 257 kursi parlemen, sebelumnya hanya diwakili 57 dari 235 atau 24,3% kursi (Lihat tabel 2) dengan empat partai (Masyumi, NU, PSII, dan Perti). Kekuatan politik nonagama yang diwakili beberapa partai dan perorangan seperti PNI, PKI, PSI, Murba, PRN, PIR, Parindra dan Buruh memperoleh suara 49,4% atau 127 kursi, merosot cukup tajam dibanding suara mereka dalam DPRS dengan suara 69,8% atau 164 kursi. Sementara ummat Nasrani (Parkindo dan Katholik) mendapat 14 kursi atau 5,4% (1955) hampir tidak berubah dari posisi mereka sebelumnya 5,9% juga 14 kursi. TABEL I Hasil Pemilihan Umum 1955, 1971, 1977, 1982, dan 1987 Prosentase Suara dan Jumlah Kursi ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- !! PRESENTASE SUARA (1%) !!! JUMLAH KURSI !! ORPOL !!---------------------------------------------------!!!----------------------------------------------!! !! 1955 !! 1971 !! 1977 !! 1982 1987 !!! 1955 !! 1971 !! 1977 !! 1982 !! 1987 !! ---------!!-------!!-------!-------!!-------!!----------------!!!-------!!----!-----!!-------!!-------!!-------!! Golkar !! !! ! 62,8% !! 62,1% !! 64,3% !! 74,7% !!! !! ! 235 !! 232 !! 242 !! 299 !! PPP !! !! ! 27,9% !! 29,3% !! 27,8% !! 15,3% !!! !! ! 94 !! 99 !! 94 !! 61 !! NU !! 18,4% !! 18,5% ! !! !! !! !!! 45 !! 58 ! !! !! !! !! Masyumi !! 20,9% !! ! !! !! !! !!! 57 !! ! !! !! !! !! Parmusi !! !! 6,3% ! !! !! !! !!! !! 24 ! !! !! !! !! PSII !! 2,9% !! 2,3% ! !! !! !! !!! 8 !! 10 ! !! !! !! !! Perti !! 1,3% !! 0,7% ! !! !! !! !!! 4 !! 2 ! !! !! !! !! PDI !! !! ! 9,3% !! 8,6% !! 7,9% !! 10,0% !!! !! ! 30 !! 29 !! 24 !! 40 !! PNI !! 23,3% !! 6,9% ! !! !! !! !!! 57 !! 20 ! !! !! !! !! Parkindo !! 2,6% !! 1,3% ! !! !! !! !!! 8 !! 7 ! !! !! !! !! Katholik !! 2,0% !! 1,1% ! !! !! !! !!! 6 !! 3 ! !! !! !! !! [PK] !! 1,4% !! ! !! !! !! !!! 4 !! ! !! !! !! !! Murba !! 0,5% !! ! !! !! !! !!! 2 !! ! !! !! !! !! ---------!!-------!!-------!-------!!-------!!-------!!-------!!!-------!!----!-----!!-------!!-------!!-------!! TOTAL !! !! ! 100% !! 100% !! 100% !! 100% !!! !! ! 360 !! 360 !! 360 !! 400 !! ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Sumber: Alfian, Hasil Pemilihan Umum untuk DPR (Jakarta: Leknas LIPI, 971) Alfian, Ulama, Ummat Islam, dan Pemilihan Umum, dalam Jurnal Ilmu Politik, edisi 3 1988. Lembaga Pemilihan Umum, Pemilihan Umum Tahun 1987 (Jakarta: LPU. 1987) Meski kekuatan ummat Islam berhasil meningkatkan per- imbangan yang cukup mencolok dalam pemilihan umum 1955 dari 24,3% (DPRS) menjadi 45,2% (DPR 1955), tetapi keberhasilan itu jauh di bawah angka populasi penduduk yang beragama Islam yang diperkirakan mendekati 90% ketika itu. Jika benar angka populasi penduduk yang ber- agama Islam ketika itu mencapai 90%, maka yang berhasil dihimpun partai-partai Islam ketika itu kurang dari separo populasinya, lebih dari separo yang lain ternyata bergabung dengan partai non Islam. Diperkirakan sebagian besar pe- meluk agama Islam yang memilih partai non-Islam terdiri atas kelompok Islam pinggiran atau abangan, tetapi sudah dipastikan sebagian lain justru dari kalangan Islam santri, meskipun jumlahnya tidak besar. Beberapa politisi atau pemimpin PNI, PIR dan sejumlah partai lain adalah orang- orang muslim yang santri.128 TABEL 2 Pembagian Kursi DPRS dan DPR Hasil Pemilu 1955 dan 1971 ---------------------------------------------------------------------------------------------- !! DPRS !! DPR !! DPR !! !! Sebelum Pemilu 1955 !! Hasil Pemilu 1955 !! Hasil Pemilu 1971 !! !!------------!------------!!----------!-----------!!-----------!---------!! !! Jumlah ! % !! Jumlah ! % !! Jumlah ! % !! !! Kursi ! !! Kursi ! !! Kursi ! !! ------------------!!------------!------------!!----------!-----------!!-----------!---------!! Orpol non Agama !! 161 ! 69,8 % !! 127 ! 49.4 % !! 20 ! 4,4 % !! Orpol Islam !! 57 ! 24,3 % !! 116 ! 45,2 % !! 94 ! 20,4 % !! Orpol Nasrani !! 14 ! 5,9 % !! 14 ! 5,4 % !! 10 ! 2,2 % !! Golkar !! ! !! ! !! 261 ! 56,7 % !! ABRI !! ! !! ! !! 75 ! 16,3 % !! ------------------!!------------!------------!!----------!-----------!!-----------!---------!! JUMLAH !! 235 ! 100,0 % !! 257 ! 100,0 % !! 460 ! 100,0 % !! ---------------------------------------------------------------------------------------------- Sumber: Alfian, Ulama, Umat Islam, dan Pemilihan Umum, dalam Jurnal Ilmu Politik, edisi 3, 1988. Dalam pemilihan umum 1971 empat organisasi politik Islam memperoleh pembagian kursi 20,4% dari suara yang dikumpulkan sebesar 27,9%, sementara organisasi politik non agama memperoleh kursi 4,4%, dan Nasrani 2,2% (Li- hat tabel 2). Golkar yang memenangkan suara mayoritas berhasil memperoleh kursi 56,7%. Hanya NU yang bertahan dalam pemilihan umum ini meraih suara 18,6% sedikit lebih tinggi dari 18,4% tahun 1955. Parmusi yang meng- klaim dukungan dari bekas anggota Masyumi hanya mem- peroleh suara 6,3% jauh di bawah angka perolehan suara Masyumi tahun 1955 sebesar 20,9% (lihat tabel 1). Penurun- an jumlah pendukung yang dihasilkan partai-partai Islam dalam pemilihan umum 1971 dibanding tahun 1955 mem- perjelas gambaran yang lebih nyata bahwa sebagian besar ummat Islam telah memilih bergabung dengan partai non- agama (Islam). Meskipun ada anggapan bahwa kekalahan mereka karena faktor-faktor yang mempersulit mereka, se- mentara Golkar yang memenangkan pemilihan umum men- dapat kemudahan dan dukungan aparat pemerintah dan militer, namun dalam kenyataan hasil pemilihan umum itu diterima semua fihak yang mengikuti pemilihan umum. Demikian pula pemilihan umum sesudahnya (1977, 1982 dan 1987) semua dimenangkan Golkar dan diterima semua organisasi politik yang mengikuti pemilihan umum. Selanjutnya dalam pemilihan umum yang diselenggara- kan sesudah tahun 1971 semua partai Islam berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan. Dalam pemilu 1977 partai hasil fusi itu secara formal tidak lagi membawa bendera ideologi Islam, tetapi sesuai dengan ketentuan undang-un- dang yang berlaku berasas tunggal Pancasila. Seperti di- ketahui sejak pemilihan umum 1971 yang dimenangkan Golkar, maka pemilihan selanjutnya (1977, 1982, dan 1987) semuanya berhasil dimenangkan Golkar (lihat tabel 1). Apa- bila dalam pemilihan umum 1971 masih bisa dilihat ke- kuatan formal politik ummat Islam yang dicerminkan da- lam partai-partai Islam yang memperoleh suara 27,9%, maka partai itu setelah berfusi selanjutnya memperoleh 29,3% (1977), 27,8% (1982) dan 15,3% (1987) (Lihat tabel 1). Walaupun partai hasil fusi dari partai-partai Islam tetap mengklaim dukungan dari ummat Islam dan wakil-wakil mereka dalam DPR maupun MPR semuanya beragama Is- lam yang taat, tetapi dalam kenyataan sebagian besar suara ummat Islam tidak diberikan kepada partai itu. Hal ini akan terlihat bila hasil perolehan suara PPP dibandingkan dengan komposisi penduduk Indonesia yang beragama Islam yang angkanya mencapai 87,5% (1971) dan 87,1% (1980). Hasil yang diperoleh PPP jauh dari angka populasi penduduk yang beragama Islam. Meskipun demikian tabel 3, 4, dan 5 memperlihatkan sisi lain peta kekuatan politik yang berbeda dengan keterangan di atas. PPP mengklaim sebagai partai yang mewakili ummat Islam karena alasan historis partai itu adalah hasil fusi beberapa partai Islam, namun dalam kenyataan angka tertinggi yang dicapainya hanya 29,3% (1977) dan terus merosot sampai tahun 1987 hanya memperoleh 15,3% sua- ra. Pada sisi lain komposisi anggota DPR menurut peng- golongan agama memperlihatkan kecenderungan persentase anggota yang beragama Islam yang stabil yaitu 79,2% (1971), 80,7% (1977), 79,7% (1982), dan 81,2% (1987). Tahun 1987 yang lalu menunjukkan adanya kenaikan sebesar 1,5% dibandingkan tahun 1982. Walaupun angka-angka tersebut masih di bawah angka populasi penduduk Indonesia yang beragama Islam, tetapi masih jauh lebih tinggi dibanding perolehan kursi PPP di DPR. Komposisi anggota DPR yang beragama Islam selain dari unsur fraksi PPP (100%), juga diwakili dalam fraksi Golkar sebesar 75,5% atau 182 dari 241 tahun 1982 dan 78,6% atau 235 dari 299 tahun 1987. Dari fraksi PDI anggota DPR yang beragama Islam se- banyak 62,5% atau 15 dari 24 tahun 1982 dan 65% atau 26 dari 40 anggota DPR tahun 1987. Selanjutnya anggota DPR fraksi ABRI yang beragama Islam sebanyak 84% atau 63 dari 75 anggota tahun 1982 dan 84% atau 84 dari 100 anggota tahun 1987. Hanya dari unsur anggota DPR non- ABRI (yang diangkat) tahun 1982 yang lain yang persentase anggota yang beragama Islam lebih rendah, kurang dari separo, yaitu 48% atau 12 dari 25 orang anggota, Protestan 20%, Katholik 24%, dan Hindu 4% (Lihat tabel 4). Selanjut- nya komposisi anggota MPR tahun 1982 dan 1987 tidak jauh berbeda dengan komposisi anggota DPR (Lihat tabel 5). ______________________________________________________________ ______________________________________________________________ 115. Delapan kursi parlemen NU itu berasal dari suara Masyumi. Setelah NU keluar dari Masyumi beberapa anggota parlemen dari Masyumi menyatakan bergabung dengan NU. 116. Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 33. 117. Lihat Mahrus Irsyam, Ulama dan Politik Upaya Mengatasi Krisis, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), h. 83-131. 118. Herbert Feith mengemukakan adanya persamaan tema-tema kampanye NU dan Masyumi antara lain dengan berbagai pendekatan keagamaan,'siapa memilih NU/Masyumi masuk sorga dan yang tidak memilih partai itu masuk neraka'. Herbert Feith, The [ndonesian Election of 1955, (Ithaca, New York: Cornel Universisty, 1971), h. 16. 119. Biasanya syair-syair itu dihrlis sendiri oleh juru kampanye NU memuat petunjuk dan tuntunan keagamaan. Ketika menghadapi kampanye syair-syair itu ditambahi petunjuk pemungutan suara dan cara-cara mencoblos tanda gambar NU. Fenulis mengetahui sendiri syair-syair tersebut, namun dokumen itu sudah tidak penulis temui. Bentuk-bentuk syair seperti itu sekedar sebagai contoh ditulis antara lain Kyai Muhammad Zubair dari pesantren Sumber Beras, Banyuwangi. Salah satu naskah syairnya bejudul Syair Para Sesepuh yang menguraikan silsilah perjuangan pam ulama mulai dari pars wail sanga di Tanah Jawa sampai zaman kemerdekaan ini, diterbitkan tahun 1407 (1987) oleh Penerbit Salim Nabhan,Surabaya. Beberapa contah bait syair seperti di bawah ini: Wiwit zaman wali sanga Tanah Jawa Hingga para ulama zaman merdeka ........... Sak banjure hayo kaweruhana Para sesepuh bakdane wali sanga Kyai Abdul Jalal ingkang pertama Ingkang babad alas Tanah Kaliyasa Ing Bangkalan maneh Kyai Muntaha Tokoh NU ing Madura Ana meneh tokoh NU ing Madura Kyai Abu Syujak asmane weruha 120. K.H. Muhith Muzadi, menuturkan pengalaman pemilu 1955 dalam "Si- buk Kampanye, Organisasi Berantakan", dalam Tim Wartawan Surya, Kemana NU, (Surabaya: Harian Surya, 1989), h. 35. 121. Wawancara dengan K.H. Idham Chalid di Jakarta, 23 Januari 1992. Pernyataan tersebut juga sering dikemukakan Kyai Idham Chalid sekitar tahun tujuh puluhan dalam berbagai ceramah di Jawa Timur; rekaman kaset pidato K.H. Idham Chalid dalam pertemuan NU Jawa Timur di Tuban, 1978. 122. AbU al-Hasan 'Ail Ibn Ima'il al-Asy'ari, Kitab MaqaGt a[-Isla-miyyin wa Ikhtilaf al-Musallin ed. Helmut Ritter (Weisbaden: Franz Steiner, 1980), h. 293. 123. Al-Asy'ari, Maqa[at, h. 293. 124. Faisal Badir'un, 'Ilm al-Kalam wa Madarisuh, (Kairo: Maktabah al-Hur- riyyah al-Hadisah Jami'ah 'Ain Syams, 1982), h. 289. Selanjutnya dikutip 'Ilm al-Kalam. 125. Kyai Jasin Jusuf dari Blitar membuat analogi "konyol" bahwa NU sudah ada sejak zaman Hindu dahulu. Jasin mengatakan tokoh Dewa Hindu itu anggota NU, namanya Wis NU, sudah NU. Keterangan dari K. H. Hasyim Muzadi, 27 November 1989, di Yogyakarta. 126. Alfian, Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk DPR, Jakarta : Leknas LIPI, 1971) dan Lembaga Pemilihan Umum, Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR Tahun 1971, (Takarta : LPU Indonesia, 1971). Selanjutnya angka-angka hasil pemilihan umum 1955 dan 1971 dikutip dari kedua sumber tersebut. 127. Alfian, "Ulama, Umat IsIam, dan Pemilihan Umum", dalam Jurnal Ilmu Politik, edisi 3, 1988, h. 29-41. 128. Politisi muslim yang santri yang tergabung dalam partai nonagama seperti Hazairin (PIR) dan Sabilal Rasyad (PNI).