Kesepakatan formatir Suwirjo (PNI) dengan NU, dipan- dang oleh NU merupakan hasil maksimal yang bisa dicapai ketika itu, karena NU telah berhasil meyakinkan PNI dan Presiden Soekarno tentang mutlaknya mengikutsertakan Masyumi dalam kabinet. Keduanya sejak mula menentang- nya. Tetapi Masyumi sebagai partai besar yang sejajar suaranya dengan PNI, merasa tidak adil diperlakukan de- mikian. Masyumi dipandang oleh NU tidak bisa menyadari kondisi lemahnya partai itu berhadapan dengan Presiden Soekarno dan PNI. PNI menilai Masyumi telah mening- galkan tanggung jawab keluar dari kabinet ketika negara mengalami ujian berat, sementara Presiden Soekarno sudah mulai kurang baik hubungannya dengan Masyuri.78 Muktamar Masyumi Desember 1956 memutuskan me- narik diri dari kabinet Ali Sastroamidjojo II. Banyak kalang- an NU yang menyayangkan keputusan itu. Ketua Fraksi NU, A. A. Ahsien, menilai keputusan tersebut dibuat ter- gesa-gesa.79 "Kalau saya mengetahui ada niatan Masyumi menarik diri dari kabinet, saya akan meyakinkannya agar tidak dilakukan", kata Wahab Chasbullah.80 Menurut NU, keputusan Masyumi itu sebenarnya terjebak strategi PKI yang tidak bisa masuk kabinet, sebab pada dasarnya koalisi PNI-Masyumi-NU (dan partai lain) merupakan kabinet de- ngan suara kelompok Islam lebih besar (13 banding 12).81 PKI yang berada di luar kabinet memang menghendaki kabinet jatuh dan tidak berhasil menyelesaikan program- nya, sebab selama koalisi tiga partai itu kompak, PKI tidak akan bisa masuk kabinet. Nampaknya realitas ini kurang dipahami Masyumi yang lebih mengandalkan kekuatan sendiri yang besar, sehingga keputusan muktamar sesung- guhnya akan mempersulit diri sendiri dan tidak memecah- kan persoalan.82 Sementara itu kondisi kehidupan partai- partai politik sendiri sudah mulai terancam oleh berkem- bangnya korupsi, lemahnya organisasi kepartaian, dan ke- tidak perdulian aparat birokrasi terhadap atasan mereka para politisi yang memegang jabatan. Kegagalan penyusunan kabinet disebabkan karena sikap mutlak-mutlakan partai tentu akan lebih menyulitkan upa- ya untuk mengatasi krisis yang terjadi. Selain itu kemung- kinan Presiden Soekarno menggunakan pengaruhnya untuk memaksakan "Konsepsi Presiden" bukannya sesuatu yang tidak dapat diperhitungkan, sebab sebelumnya, segera se- telah kabinet. Ali menyerahkan mandatnya, telah dinyata- kan negara dalam keadaan darurat, SOB. Menurut NU, apabila partai-partai gagal membentuk kabinet, berarti meinberi peluang kepada Presiden Soekamo untuk melak- sanakan kehendaknya.84 Kebijaksanaan keras kepala hanya mementingkan partainya sendiri dengan segala dalil dan alasan, tidak akan menyelesaikan persoalan. Menurut NU, setiap organisasi memang mengusahakan tercapainya tu- juan, tetapi dalam politik tidak selalu berjalan mulus. Ka- rena itu harus ada tahap mana yang mungkin menurut perhitungan politik dicapai, itulah yang harus dicapai ter- lebih dahulu. Sekalipun semua partai menerapkan strategi ini, tetapi rumusan mana yang mungkin bisa dicapai itu yang berbeda-beda. Di sinilah barangkali yang berbeda an- tara Masyumi dengan NU, khususnya, serta partai lain umumnya. Prinsip akhaffud-dararain (akhaff al-dararain memilih bahaya yang paling kecil di antara sejumlah kemungkinan bahaya yang akan timbul), suatu kaidah dalam penetapan hukum, mewarnai hampir seluruh kebijaksanaan politik NU. Kese- pakatan PNI-NU untuk menerima Masyumi duduk dalam kabinet memang harus disertai pengorbanan Masyumi karena posisi Masyumi ketika itu, menurut NU, lemah. Tanpa itu mustahil kabinet bisa terbentuk. Dan sikap keras kepala akan berarti memberi kesempatan munculnya solusi lain, dengan kenyataan tampilnya Presiden Soekarno membentuk kabinet Djuanda yang dinyatakan sebagai taken kabinet ekstra par- lementer. Ternyata tidak satu pun partai mampu memben- dung arus yang terjadi. Kabinet Djuanda terbentuk tidak satu pun partai mampu mencegah, termasuk Masyumi dan NU. Jika diterima alasan kekecewaan Masyumi karena NU tidak ikut menentang kebijaksanaan Presiden yang melawan prin- sip demokrasi, menurut NU tidaklah benar. Upaya mengatasi kemelut yang ditempuh NU selama ini menurut NU juga banyak dikecewakan karena sikap Masyumi. Selain itu jika pun NU turut serta menentang kabinet, diperhitungkan akan timbul bahaya yang lebih besar, sebab persoalan-persoalan negara yang lebih prinsip yaitu pergolakan daerah, korupsi, serta kelemahan-kelemahan partai-partai sendiri, selain ke- gagalan dalam bidang ekonomi, adalah bahaya besar yang mengancam di depan mata. Kemelut politik yang berlarut- larut, pasti tidak akan menyelesaikan persoalan tersebut, bah- kan akan lebih memperbesar dan mempersulit pemecahan- nya. Meskipun demikian perkembangan selanjutnya tidak menunjukkan perbaikan, malah justru lebih parah akibat sa- ling ketergantungan Presiden Soekarno dengan komunis, me- rajalelanya korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang ma- kin tidak terkendali. Masyumi pun, atau partai lain, juga menyadari hal ini, tetapi tampaknya mereka, khususnya Masyumi dan Perti, tidak mampu mengatasi tuntutan intern mereka yang ber- kembang di daerah-daerah. Cukup alasan sesungguhnya Masyumi sendiri mengalami ketidakberdayaan antara ber- bagai kepentingan politik yang berkembang di pusat dan daerah-daerah.86 Tuntutan daerah tidak cukup kuat dimain- kan sebagai kartu oleh Masyumi untuk bermain politik di tingkat pusat. Keputusan muktamar Masyumi 1956 keluar dari kebinet, membuktikan ketidak mampuan Masyumi mengukur kekuatan diri dengan kekuatan lawan. Kepu- tusan itu lebih merupakan cerminan begitu kuatnya desak- an-daerah yang tidak mampu diperjuangkan dalam per- caturan politik nasional.87 Di sini sebenarnya, dalam hal pengendalian intern or- ganisasinya, NU lebih berhasil dibanding Masyumi. Faktor loyalitas lingkungan santri kepada kyai dan ulama ber- peranan besar dalam pengendalian pergolakan intern or- ganisasi partai NU. Sejak pembentukan kabinet Djuanda tahun 1957 sampai tahun 1965 terjadi lima kali lagi perubahan kabinet dan beberapa kali reshuffle kecil lainnya, tanpa satu pun partai bisa berbuat banyak,88 termasuk NU dan Masyumi. Ke- putusan seorang Menteri menduduki jabatan tidak tergan- tung kepada keputusan partainya tetapi tergantung kepada kemauan Presiden Soekarno sendiri. Keadaan yang sejak semula sangat dikhawatirkan NU terjadi tanpa bisa diben- dung. Apalagi setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959, kabinet presidensiil yang dipimpin Presiden Soekarno sendiri kian lekat berada di bawah kekuasaan politik Presiden. Ketakberdayaan menghadapi gelombang pengaruh politik Presiden Soekarno (kemudian secara lihai dimanfaatkan PKI) tercermin kuat dalam keputusan NU menghadapi pembubaran parlemen dan pembentukan DPRGR awal ta- hun 1960. Parlemen yang dibentuk berdasar UUDS 1950 dinilai oleh Presiden Soekarno tidak sesuai dengan UUD 1945 dan jiwa Manifesto politik.89 Tanggal 5 Maret 1960 Presiden Soekarno telah menghentikan pelaksanaan tugas dan pekerjaan anggota DPR dan akan memperbaharui su- sunan keanggotaan DPRGR berdasar UUD 1945 dalam waktu yang singkat. Pembubaran parlemen itu dikhawatir- kan NU akan membawa akibat masa vacuum yang mem- bahayakan demokrasi,90 karena itu PBNU memberi dukung- an dan kepercayaan kepada Idham Chalid untuk meng- hadiri undangan Presiden Soekarno ke pertemuan puncak Tampak Siring yang dihadiri Suwirjo (PNI), Aidit (PKI), Ruslan Abdul Gani (Ketua DPAS), dan Idham Chalid (NU). Pertemuan itu dinilai NU merupakan hal yang baik, karena merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh demi berlakunya atau terjaminnya demokrasi dan kepartaian.91 Keadaan perwakilan rakyat yang vacuum akan lebih besar bahayanya karena itu pembentukan lembaga perwakilan rakyat hasil pertemuan puncak Tampak Siring dipandang sebagai alternatif sementara yang dapat diterima karena masih melibatkan partai politik.92 Sementara itu NU juga masih tetap menuntut agar diselenggarakan, pemilihan umum untuk membentuk parlemen yang representatif. Keputusan NU menerima hasil pertemuan Tampak Siring terkesan oportunis dan dikecam oleh sebagian besar kalang- an Masyumi. Akan tetapi bagi NU keputusan itu merupa- kan pilihan yang paling mungkin dilakukan. Dalil-dalil fi- kih dipergunakan NU sebagai dasar pembenaran keputus- annya. Secara politis menentukan pilihan lain akan berdam- pak negatif yang lebih besar, tidak mungkin melawan ke- putusan Presiden yang mendapat dukungan kuat dari par- tai lain serta militer. Atas dasar pertimbangan tersebut NU menerapkan dalil "dar' al-mafasid muqqadam 'ala jalb al-ma- salih", menghindarkan bahaya didahulukan atau diutamakan daripada melaksanakan (kewajiban) yang baik.93 Contoh se- derhana penerapan dalil ini ialah jika tidak mampu berdiri dalam salat karena alasan sakit yang jika dipaksakan akan berakibat buruk, maka diutamakan menghindarkan bahaya yang diperkirakan akan timbul jika salat dipaksakan ber- diri. Berdiri salah satu rukun dalam salat, tetapi dalam kasus ini salat sambil duduk atau berbaring (jika tidak mampu duduk) lebih utama daripada salat dengan berdiri, sebab dengan berdiri akan menimbulkan mafsadah. Meng- hindarkan bahaya dengan salat sambil duduk lebih di- utamakan daripada melaksanakan kewajiban (maslahah) sa- lat sambil berdiri. Alasan NU menerima keputusan Tampak Siring analog dengan penerapan dalil tersebut. Memang diakui perwa- kilan rakyat yang dibentuk lewat keputusan Presiden yang didasarkan musyawarah dengan partai-partai tidak meme- nuhi asas demokrasi, sebab perwakilan rakyat seharusnya dibentuk melalui pemilihan umum, tetapi dalam kasus ter- sebut tidak mungkin segera dapat diwujudkan dengan ber- bagai alasan keadaan keamanan negara, ekonomi yang ma- kin buruk dan cekcok antar partai sendiri yang tidak dapat didamaikan karena perimbangan suara di parlemen yang tidak memiliki partai mayoritas mutlak. Pilihan yang ada menurut NU sama buruknya atau bahkan lebih buruk lagi, kekacauan karena tanpa lembaga perwakilan rakyat dan akan menjadi bumerang bagi NU dan partai Islam lain yang masih hidup, seperti yang dialami Masyumi dan PSI. Pilihan menerima hasil Tampak Siring dinilai sebagai alter- natif yang paling ringan bahaya atau keburukannya sesuai dengan dalil kaidah fikih "iza ta'arada mafsadatani ru'iya a'za- muha dararan bi irtikab akhaffihima", jika tejadi benturan dua hal yang sama buruk dipertimbangkan yang lebih besar bahayanya dan melaksanakan yang paling kecil akibat bu- ruknya. Pilihan terhadap hasil Tampak Siring dinilai me- ngandung mafsadah atau merupakan mafsadah, tetapi itu masih lebih baik daripada menentang kehendak Presiden yang mendapat dukungan militer dan partai politik lain yang dinilai tidak akan mampu dilawan atau ditentang oleh kekuatan ummat Islam (partai Islam). Melawan kebijak- sanaan politik tersebut dalam kondisi waktu itu akan ber- akibat bumerang bagi diri sendiri dan ummat Islam lain- nya. Terbukti Masyumi dan PSI dibubarkan tidak satupun yang bisa melakukan jalb al-masalih dan akibatnya tantang- an yang menghadang dalam bidang politik secara formal tidak mampu diatasi lagi karena lembaga organisasi po- litiknya telah mati. Namun demikian tidak berarti menerima pilihan kepu- tusan Tampak Siring tanpa diikuti upaya-upaya jalb al- masalih. sebab NU tetap menuntut segera dilaksanakan pe- milihan umum untuk membentuk lembaga perwakilan rak- yat yang representatif, walaupun diyakini bahwa dengan pemilihan umum itu tidak akan menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Jika pemilihan umum dilakukan dengan kerangka UUD 1945 sudah bisa diduga kelompok Islam tidak akan memenangkannya dan karena itu sulit diharap- kan kemungkinannya untuk memperjuangkan cita-cita po- litik Islam melalui lembaga pemilihan umum itu secara maksimal. Meski demikian NU tetap menghendaki pemi- lihan umum segera dilaksanakan, meskipun dalam kenyata- annya apa yang diharapkan NU itu tidak pernah berhasil. Dasar yang digunakan NU ialah dalil kaidah fikih "ma la yatim al-wajib illa bihi fa huwa al-wajib", jika suatu kewajiban tidak bisa dicapai dengan sempurna kecuali dengan syarat tertentu, maka syarat itu wajib.95 Pemilihan umum dipan- dang sebagai syarat untuk melaksanakan kewajiban mem- bentuk dewan perwakilan rakyat yang representatif, pem- bentukan dewan perwakilan rakyat itu sebagai syarat pula bagi pembentukan sistem pemerintahan yang demokratis dan yang terakhir ini merupakan wadah bagi kewajiban pemimpin politik untuk memperjuangkan cita-cita politik Islam. Rangkaian syarat yang sambung menyambung bagi suatu kewajiban untuk melaksanakan amr bi al-ma'ruf wa nahy 'an al-munkar (amar makruf nahi munkar). Akan tetapi dengan berbagai pertimbangan obyektif diperkirakan pe- milihan itu tidak akan menghasilkan suara mayoritas mut- lak perwakilan partai-partai Islam. Dengan perkiraan itu tentu akibatnya cita-cita politik Islam tidak bisa tidak bisa diperjuangkan secara maksimal. Meski demikian tidak ber- arti kewajiban amr bi al-ma'ruf wa nahy 'an al-munkar lantas gugur, sebab prinsip dalam melaksanakan perintah kewajib- an sebatas kemampuan. Jika batas kemampuan hanya akan menghasilkan sedikit, maka yang sedikit itu tidak boleh ditinggalkan berdasarkan dalil "ma la yudraku kulluh la yu- traku kulluh", kebaikan atau kewajiban yang tidak dapat di capai semuanya, maka elemen penting yang bisa dicapai tidak ditinggalkan.96 Jika kemampuan hanya dapat meng- hasilkan sebagian, maka yang sebagian itu tidak boleh di- tinggalkan, harus tetap dilaksanakan. Pendekatan politik yang menggunakan dalil kaidah-kai- dah fikih itu memperlihatkan pragmatisme sikap politik NU, bisa berkelit menghadapi masalah untuk dipecahkan secara fragmentaris namun tetap berpijak dari kerangka 'ideologi' politik yang dianut NU. Pendekatan ini seringkali difahami sebagai oportunisme politik NU, karena tidak se- mua politisi dapat memahami metode pendekatan politik NU. Dengan pendekatan ini seakan NU terus menerus larut dalam irama politik penguasa, mengikuti genderang yang ditabuh. Namun sebenarnya sikap politik tersebut merupa- kan akibat logis dari pragmatisme fikih yang memberi ke- mungkinan ragam pemecahan masalah dari sudut pen- dekatan kaidah-kaidah dalil yang beragam. Secara teoretis dalil-dalil dalam kaidah memiliki kekuatan hukum, sebab dalil-dalil itu disusun dengan metode istiqra' (induktif) ber- dasar hukum yang telah ditetapkan ketentuannya menurut al-Qur'an dan hadis. Dari hukum-hukum tersebut dicari kesamaan-kesamaannya lalu disusun teori dasar sehingga menghasilkan dalil-dalil atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku umum.97 Meskipun demikian dalam penerapan dalil-dalil tersebut terhadap suatu kasus hukum masih mungkin tejadi khilaf (perbedaan pendapat). Dalam soal menerima pembentukan DPRGR hasil per- temuan Tampak Siring masih tejadi khilaf dalam intern NU sendiri. Konferensi besar Syuriah NU tidak bisa mengatasi dua pendapat yang berbeda. Satu fihak dengan alasan- alasan diatas menerima pembentukan DPRGR sebagai salah satu upaya untuk melaksanakan amr bi al-ma'ruf wa nahy 'an al-munkar, sebab melakukan hal itu diluar forum resmi tidak akan membawa hasil yang sebaik bila dilakukan se- cara formal di dalam kerangka politik pemerintah. Fihak lain berpendapat bahwa pengangkatan seseorang sebagai wakil rakyat tanpa pemilihan umum berarti qhasb atau perampasan hak rakyat, karena itu tidak sah.98 Dewan per- wakilan rakyat yang anggotanya diangkat dan ditunjuk, tanpa melalui pemilihan umum, sama dengan merampas hak rakyat. Perwakilan semacam ini tidak sah. Akan tetapi sebagian besar anggota konferensi besar Syariyah NU lebih cenderung kepada pendapat pertama dengan pertimbangan dua-duanya sama-sama tidak sempurnanya. Baik pemben- tukan DPRGR yang anggota-anggotanya dipilih tanpa pem- lihan umum tetapi masih melibatkan partai politik, maupun pemilihan umum berdasarkan UUD 1945 yang sudah di- perkirakan tidak akan dimenangkan partai-partai Islam, sama-sama tidak sempurnanya. Sidang Dewan Partai NU yang diadakan sehari sesudah itu memutuskan menghargai hasil usaha ketua umum PBNU dalam pertemuan dengan Presiden dan partai lain di Tampak Siring; dan menerima DPRGR untuk memenuhi amr ma'ruf nahy munkar yang nyata dengan syarat memperjuangkan tambahnya perwakil- an ummat Islam sehingga ada perimbangan dengan non- Islam.99 Penerimaan ini disertai syarat untuk mengusahakan bertambahnya wakil-wakil Islam karena ternyata hasil suara Islam lebih kecil dibanding non-Islam. Jumlah anggota DPRGR 283; jumlah wakil Islam 67 (NU 51) termasuk wakil partai dan golongan fungsional. Jumlah anggota DPR 1955 sebanyak 257, wakil Islam 116 (NU 45, Masyumi 57, dan partai lain 14).100 Komposisi keanggotaan DPRGR ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan NU. Upaya penyempurnaan ke- anggotaan DPRGR mungkin sudah dilakukan, tetapi hasil- nya tidak memperlihatkan perubahan perimbangan kekuat- an antara kelompok Islam dengan non-Islam.101 Agaknya Idham Chalid kesulitan melakukan tanggungjawab yang sesungguhnya sebagai pemimpin partai yang masih "in" di hadapan Presiden Soekarno ketika itu. Hilangnya hampir seluruh suara Masyumi dari DPRGR terlalu naif diterima begitu saja tanpa ada pengganti, walaupun misalnya dari kalangan NU sendiri. Oleh karena tidak berhasil menengahi perbedaan yang terjadi, akhirnya NU memutuskan memberi kebebasan ke- pada anggota NU yang ditunjuk menjadi anggota DPRGR untuk menerima atau menolak penunjukan tersebut.102 Ke- putusan tersebut menandai dua hal sekaligus yang kon- troversial. Pertama menunjukkan kuatnya pengaruh pen- dekatan fikih yang memberi kebebasan untuk berbeda pen- dapat sehingga terhadap hal-hal yang tidak dicapai sepakat diserahkan kepada masing-masing, pendapat mana yang diakui, sepanjang hal itu tidak mutlak harus menjadi ke- putusan yang bulat. Kedua menunjukkan ketidakberdayaan NU menghadapi pengaruh kekuatan politik Presiden See- karno, walaupun boleh jadi bukan sesungguhnya demikian, sebab tidak sedikit maneuver politik NU berpengaruh bah- kan menyulitkan Presiden. Tetapi kekuatan dan pengaruh itu tidak pernah digunakan NU untuk menyanggah, se- tidak-tidaknya menuntut kepada Presiden Soekarno. Semen- tara itu sebagian besar anggota NU yang ditunjuk menjadi anggota DPRGR tidak mampu memberi jalan keluar pe- mecahan untuk mencegah kehendak Presiden Soekarno dan merekapun akhirnya menerima penunjukan. Barangkali ini merupakan trauma kepemimpinan NU yang selalu dibaya- ngi skeptisisme terhadap kemampuan dan kekuatan sendiri setelah menjadi bertambah besar. Terhadap tuduhan bahwa dengan demikian NU lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, melalaikan perjuangan Islam yang lebih utuh dalam kebersamaan, an- tara lain tidak memperjuangkan kepentingan Masyumi, di- anggap oleh NU tidak proporsional. Jelas bahwa posisi Masyumi dihadapan Presiden Soekarno sangat lemah ka- rena "hampir seluruh kebijaksanaan Presiden Soekarno ha- nya dinilai dari segi negatifnya saja".103 Presiden Soekarno menilai Masyumi sebagai perintang besar bagi ambisi po- litiknya. "Tokoh-tokoh Masyumi yang moderat dan mem- punyai hubungan akrab secara pribadi dengan Presiden Soekarno tidak berdaya menciptakan suasanan itu.104 Me- nurut Idham Chalid tuduhan-tuduhan tersebut tidak benar, sebab kehadiran Idham Chalid ke Tampak Siring selaku ketua umum PBNU, bukan sebagai wakil ummat Islam. 'Memperjuangkan nasib NU saja sudah sulit bukan main, apalagi memperjuangkan kepentingan Masyumi atau ummat Islam lain'.105 Kalangan NU merasa bahwa selama ini Masyumi tidak pernah memperjuangkan kepentingan- kepentingan NU, bahkan seringkali dianggap merintangi kepentingan-kepentingan NU. Trauma masa lalu ketika NU harus keluar dari Masyumi dan persaingan dalam pemilih- an umum, masih menghinggapi sementara pemimpin NU. Selain itu NU menilai, melakukan oposisi di luar par- lemen tidak mungkin dan mudah ditindas dan bisa dicap reaksioner. "Melakukan politik konfrontasi menghadapi ke- kuatan pemerintah lebih banyak bahayanya karena ummat Islam belum siap".106 Keputusan untuk masuk dulu dan menerima DPRGR dipandang lebih tepat, sebab jika sidang Dewan Partai NU menyatakan menolak lebih mudah untuk keluar; daripada sebelumnya menolak kemudian Dewan Partai menerima akan lebih sulit masuk karena dengan menunggu sidang Dewan Partai, DPRGR tentu sudah ter- bentuk.107 Keadaan ketidaksiapan ummat pendukung yang memungkinkan melakukan opsisi terhadap kebijaksanaan politik Presiden Soekarno dipandang lebih tepat sebagai alasan pertimbangan NU menerima pembentukan lembaga perwakilan yang baru itu. Dan itu terbukti, menurut NU, Masyumi dibubarkan tidak satu pun kekuatan Islam yang mampu membelanya. Kondisi tidak berdaya ini disinggung pula oleh Idham Chalid dalam laporan pertanggungjawabannya di depan muktamar NU di Solo tahun 1962, antara lain dikatakan: Tugas yang berat ialah menyelamatkan hidup dan perjuang- an partai NU sebagai alat dan tempat perjuangan di mana sebagian terbesar ummat Islam menggantungkan nasib cita-cita- nya yaitu izzul-Islam wal-muslimin (hal. 2). Berjuang pada saat normal saja bukan main sulitnya, apalagi dalam situasi seperti ini (hal. 3) ... sedikit saja lengah atau lalai, sedikit saja kurang mengerti arah angin, sedikit saja kemudi tidak disesuaikan de- ngan riak gelombang, niscaya akan karamlah kapal itu dengan segala isinya (hal. 4) ... maka dengan tangkas dan cekatan Partai kita menampung situasi itu, dan menempatkan dirinya dalam posisi yang teraman dan termungkin yang dapat dikerjakan dan dapat dicapai ... dan dalam batas mana dia dapat bergerak (hal. 4).108 Idham Chalid dalam pidato tersebut juga mengungkap- kan adanya seruan untuk kembali menjadikan NU sebagai organisasi sosial, menjadi jam'iyyah seperti sebelum perang, daripada menderita batin dan tersinggung perasaan terus menerus.109 Idham Chalid tidak sependapat dengan seruan tersebut, "Partai lain yang dipaksa mati berjuang sampai akhir mempertahankan hidupnya", katanya membela diri.110 Dia sangat menyayangkan kecaman-kecaman terhadap diri- nya yang tidak memperjuangkan dan tidak membela se- sama Islam sebab menurutnya hal itu diluar kemampuan dirinya dan kemampuan partainya. Masyumi dinilai Idham Chalid tidak memperlihatkan perilaku dan sikap yang konstruktif terhadap NU dan ulama NU, antara lain tu- duhan NU sama dengan PKI.111 Dia teramat kecewa dengan tuduhan-tuduhan terhadap dirinya (dan tentu juga terhadap NU) dengan mengatakan: "Namun", sayang, "sesudah mati pun menyebar racun yang mengundang mati bersama.112 Sekalipun politik penyesuaian diri karena pertimbangan ketidaksiapan ummat pendukung untuk melakukan oposisi terhadap pemerintah namun NU dalam berbagai hal mam- pu tampil dengan menggunakan posisi politiknya sebagai "orang dalam pemerintah" untuk melawan agitasi dan aksi sepihak PKI di banyak tempat, suatu hal yang menurut NU tidak mungkin dilakukan jika NU melawan pemerintah dicap kontra revolusi atau reaksioner. Hal ini pun diakui oleh Njono, gembong PKI, yang mengatakan "NU sangat menyulitkan PKI. Dikatakan reaksioner, nyatanya NU pe- tani, buruh kecil dan dicintai rakyat".113 Menurut Njono, NU juga menyulitkan PKI karena posisinya yang dekat dengan Presiden Soekarno.114 Masyumi yang berada diluar gelanggang pemerintah tidak memiliki keleluasaan berjuang dan tidak dapat menggunakan kesempatan secara legal se- bagaimana yang dimiliki NU. Dengan cap reaksioner, anti revolusi dan lain sebagainya yang dilancarkan Presiden Soekarno dan di manfaatkan oleh PKI, kalangan pemimpin Masyumi di pusat maupun di daerah mengalami kesulitan besar. Kenyataan ini sering dipakai oleh NU sebagai alasan untuk membenarkan kebijaksanaan yang ditempuh untuk tidak melakukan konfrontasi terhadap pemerintah, dalam hal ini Presiden Soekarno, yang dalam kenyataannya sangat berkuasa. Tidak cukup kekuatan yang bisa digunakan un- tuk melakukan hal itu. ____________________________________________________________ ____________________________________________________________ Catatan 78. Mangunsarkoro, wakil ketua PNI, menilai Masyumi bertindak setangah hati dalam setiap koalisi dengan melepas anggotanya untuk beroposisi. Ke- dudukan Masyumi yang setengah-setengah dianggap menyusahkan pemerin- tab. Duta Masyarakat, 11 Januari 1957. Sementara itu Anwar Hajono (Ma syumi) berpendapat bahwa Mangun tidak dapat menyadari benar sikap-sikap Masyumi menghadapi berbagai masalah negara selama ini. Suara Masyumi, menurut Anwar Hajono, adalah yang ada di parlemen, sedang yang di luar itu baru dianggap kerikil saja. Duta Masyarakat, 12 Jannari 1957. Masyumi menunjuk Moeh. Reem mendampingi Ali Sasroamidjojo (for- matir/FM) sebagai WPM bersama Idham Cbalid (NU). Penunjukan Ali me- ngejutkan Masyumi, sebab menurumya seharusnya Wilopo yang berhasil menggalang keja sama dengan Masyumi (Prawoto) dalam kabinet sebelum- nya. Sementara itu Masyumi menilai kabinet tidak berhasil mengatasi per- golakan daerah yang seharusnya mendapat prioritas utama untuk diatasi. Masyumi sangat mengkhawatirkan pergolakan daerah akan mengakibatkan pemisahan daerah terhadap pusat, karena itu mengusahakan kembalinya Hatta sebagai wakil presiden sekaligus perdana menteri. Dengan demikian diharap- kan pengaruh Hatta dapat mengatasi pergolakan daerah. Bukan koalisi sete- ngah hati. Wawancara dengan Dr. Anwar Hajono, SH, di Jakarta, 20 April 1992. 79. Saifuddin Zuhri, Berangkat, h. 444. 80. Saifuddin Zuhri, Berangkat, h. 444. Kongres Masyumi dilangsungkan ber tepatan dengan munculnya pergolakan daerah, karena itu sedikit banyak berpengaruh pula terbadap kongres itu. Bahkan beberapa delegasi dari Su- matera Tengah dan Aceh meninggalkan medan kongres untuk pulang ke daerah bergabung dengan gerakan daerah. Keputusan menarik diri dari ka- binet antara lain juga karena faktor tersebut, dengan harapan bila kabinet jatuh, Masyumi akan mengambil alih kabinet, sebab kabinet itu berasal dari PNI. Tetapi DPP Masyumi agaknya ragu atas keputusan kongres, karena itu DPP Masyumi perlu mengajak partai-partai lain yang tergabung dalam koalisi untuk bersama-sama membubarkan kabinet. Usul ini tidak disetujui partai lain dalam pemerintah. Tanggal 9 Januaru 1957, Masyumi menarik diri dari ka- binet, disusul Perti 15 Januari. Deliar Noer, Pnrtai Islnm, h. 254-255. 81. Ibid., lihat pula Herbert Feith, The Decline, h. 469-470. 82. Berangkat. 83. Rapat-rapat Fraksi NU akhir tahun 1956 menyinggung adanya korupsi dan permainan lisensi. Sementara itu beberapa pemimpin partai mengeluh dalam rapat fraksi itu, para menteri telah mengambil keputusan tetapi ba- wahan tidak melaksanakannya. Pemimpin-pemimpin politik dari partai dinilai sudah tidak berwibawa terbadap bawahan mereka para birokrat yang dipim pinnya. Notulen rapat Fraksi NU, bulan November 1956, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 247. 84. Saifuddin Znhri, Berangknt, h. 445. Libat pula PBNU, Siaran ke Ir. Alasan kekhawatiran itu sebenarnya secara legal tidak beralasan, sebab kedudukan presiden menurut UUDS 1950 yang berlaku ketika itu hanyalah simbolik belaka sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan. Tetapi dalam ke- nyataan pengaruh presiden makin kuat dan makin turut campur dalam soal pemerintahan. Masyumi mengecam tindakan-tindakan presiden yang menyim- pang dari konstitusi, sementara NU agak ragu-ragu bahkan seringkali bersikap diam dan secara tidak langsung memberi angin. 85. Disebut ekstra parlementer sudah menunjukkan penyimpangan dari kon- stitusi, sebab wewenang untuk itu seharusnya berada di tangan partai-partai yang mempunyai perwakilan di parlemen. Peristiwa itu sebenamya tidaklah berdiri sendiri, sebagian juga karena akibat dari kegagalan partai-partai mem- bentuk kabinet, sementara masalah-masalah kenegaraan perlu diatasi segera. 86. Perti mendapat tekanan dari pengikutya di Sumatera Tengah dan Aceh agar menarik diri dari kabinet. Sementara Masyumi dalam kongresnya tahun 1956 mengeluarkan resolusi agar DPP Masyumi menarik diri dari kabinet dengan barapan bila kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh akan digantikan kabinet dari Masyumi. Dengan demikian Masyumi akan mempunyai keleluasaan me- mimpin kabinet menghadapi pergolakan daerah yang berkembang ketika itu. Tetapi alasan resmi yang dikeluarkan Masyumi setelah menarik diri dari kabinet ialah babwa Masyumi tidak meyakini pemerintah akan menuju ke- sejahteraan rakyat dan negara. Lihat Deliar Noer, Partai Islnm, h. 255. 87. Saifuddin Zuhri, Berangkat, b. 445-4466. Heibert Feith, The Decline, h. 488-490. Masyumi dan Ferti ketika itu memang dihadapkan persoalan daerah yang menuntut otonomi dan perimbangan pendapatan dengan pusat, di tem- pat mana Masyumi dan Perti mempunyai dukungan basis kekuatan. 88. Kabinet Djuanda (disebut Kabinet Karya) 1957-1959; 2) Kabinet Kerja I 1959-1960; 3) Kabinet Keja II 1960-1962; 4) Kabinet Keja III 1962-1963; 5) Kabinet Dwikora 1964-1965. 89. Lihat konsideran Penetapan Presiden Nomer 3/1960. 90. Pembubaran parlemen dinyatakan dalam Penetapan Presiden Nomer 3/ 1960 tanggal 5 Maret 1960 dan ditegaskan bahwa keanggotaan dan susunan DPR akan segera diumumkan dalam waktu dekat. Tanggal 27 Maret Presiden mengumumkan susnnan keanggotaan DPR sekaligus memberi nama DPR Gotong Royong. Lihat Fakta Sekitar DPRGR, edaran PBNU tanggal 11 April 1960, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 2. 91. PBNU, Fakta Sekitar DPRGR. 92. Ibid. 93. "Dar' al-mafasid aula min jalbi al masalih", jika dalam suatu hal tejadi pertentangan antara mafsadah dengan maslahah, diutamakan menghindarkan mafsadah. Alasannya karena syari'ah lebih menekankan larangan agar tidak tejadi keburukan atau kerusakan daripada perintah untuk melaksanakan kebaikan, sesuai denga hadis Nabi Muhammad SAW 'Jika aku memerintah kamu, laksanakan sebatas kemampuanmu; dan jika aku melarangmu tinggalkanlah'. Zain al-Din ibn Nujaim al-Hanafi, al-Asybah wa al-Naza'ir, (Dimasyq: Dar al-Fikr, 1982), h. 100. 94. "Iza ta'arada mafsadatani ru'iya a'zamuhuma dararan bi irtikabi akhaffihima" Zain al-Din ibn Nujaim al-Hanafi, al-asybah wa al-Naza'ir, (Dimasyq Syuriah: Dar al-Fikr, 1982), h. 98. NU menggunakan dalil akhaff al-dararain, memilih yang ringan di antara kemungkinan dua bahaya. Lihat Keputusan Rapat Pleno PB Syuriyah NU, 15-21 April 1960. 95. "Ma la yatimm al-wajib illa bihi fa huwa wajib" PBNU, Verslag Rapat Harian, 25 Februari 1960, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 2. Juga disebutkan dasar pertimbangan lain menurut dalil kaidah fikih, "al-maisur la yaskutu bi al-ma'sur", kewajiban tidak gugur karena kesulitan; berkaitan dengan dalil ini lihat Jalal Syams al-Din al-Mahalli, Hasyiyah al-Bannani 'ala Jam' al-Jawami' 1, (Syirkah Nur Asia), h. 192-197 dan Jalal al-Din al-Sayuti, al-Asybah wa al-Naza'ir fi al-furu', (Semarang: Toha Putra, t.t.), h.107-108. 96. Dalil ini didasarkan kepada hadis Nabi Muhammad SAW: (jika aku melarangmu berbuat sesuatu, tinggalkanlah; jika aku memerintahkan- mu melakukan sesuatu kerjakan semampumu). Ibn Hajar menjelaskan makna hadis ini antara lain 'orang yang tidak mampu melakukan sebagian perintah (kewajiban), maka sebagian yang dimampui tidak gugur...seperti orang yang mampu mengejakan sebagian rukun salat, tidak gugur karena ketidakmam- puan mengerjakan sebagian yang lain'. Syihab al- Din ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Sahih al- Bukhari, jilid 28, (al-Qahirah: Maktabah al- Qahirah, 1989), h. 20-23. 97. Imam al-Syatibi menjelaskan bahwa dalil-dalil usuliyyah dalam agama bersifat qat'iyyah bukan zanniyah, sebab dalil-dalil tersebut didasarkan kepada kulliyyat (universalitas atau generalitas) syari'ah yang juga bersifat qat'iyyah. Lihat Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari'ah, jilid I, (Beimt: Dar al-Ma'rifah, t.t.), h. 29-30. 98. Keputusan rapat pleno pengurus besar Syuriyah NU tanggal 21-25 April, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 2. 99. Keputusan sidang Dewan Partai NU ke IV tentang DPRGR, tanggal 27 April 1960, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 2. 100. Deliar Noer, Partai Islam, h. 401; dan Herbert Faith, The Decline of Costitutional Democracy ini Indonesia, (Ithaca and London: Cornel University Press, 1973), h. 343-435. Jumlah wakil NU 36 mewakili partai, 15 mewakili golongan lainnya, Fakta Sekitar DPRGR, edaran PBNU, 11 April 1960. 101. Keputusan sidang pleno NU tentang DPRGR tanggal 24 Juni 1960, setelah mendengarkan pendapat-pendapat para anggota mengenai susunan DPRGR sesudah disempumaknn [kursif dari pen.], memutuskan memberi ke- bebasan kepada warga NU yang ditunjuk sebagai anggota DPRGR untuk menerima atau menolak penunjukan tersebut. Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 2. 102. Bishri Syamsuri, Muhammad Dahlan, Imron Rosjadi, dan Achmad Siddiq menolak penunjukan itu. Saifudin Zuhri, Berangkat, h. 483. Lihat pula Fakta Sekitar DPRGR, edaran PBNU tanggal 11 April 1960. 103. Saifudin Zuhri, Berangkat, h. 525. Menurut NU, Masyumi selama itu juga tidak membela kepentingan NU, bahkan dalam banyak hal dirasakan me- rugikan. Kemelut keluarnya NU dari Masyumi dan serangan-serangan semen- tara pemimpin Masyumi terhadap NU, baik dalam pemilu maupun sesudah- nya terus membekas dalam perhubungan dua partai ini. 104. Saifudin Zuhri, Berangkat, h. 483. 105. Wawancara dengan K.H. Idham Chalid di Jakarta, 23 Januari 1991. 106. Saifudin Zuhri, Berangkat, h. 484. 107. Ibid. 1O8. PBNU, Laporan Ketua Umum PBNU, Muktamar NU XXIII, Solo 26 Desem- , ber 1962. 109. lbid. 110. lbid. 111. Saifudin Zuhri, Berangkat, h. 421. 112. PBNU, Laporan Ketua Umum. 113. Saifudi Zuhri, Berangkat, h. 525. 114. Ibid.