Dalam suatu upacara bertepatan dengan hari Arafah 9 Zulhijjah 1371 (30 Agustus 1952) resmilah berdiri federasi Liga Muslimin Indonesia yang merupakan federasi- tiga par- tai politik NU, PSII, Perti, dan Darud Da'wah wal-Irsyad (DDI).37 Ditetapkan bahwa tujuan badan federasi ini adalah "untuk mencapai masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum-hukum Allah dan sunnah Rasullah". Untuk men- capai tujuan tersebut ditetapkan pula usaha yang akan dilakukan oleh Liga antara lain rencana bersama dan meng- himpun organisasi Islam yang ada, memajukan dan meng- adakan aksi bersama dan akan mengadakan kongres Islam Indonesia. Meskipun demikian upaya untuk menggalang persatuan itu tidak bejalan dengan baik, karena akar dari gagasan itu sebenarnya berasal dari konflik kepentingan politik belaka. Pada awal tahun lima puluhan kekuatan NU belum nam- pak ke permukaan, baru setelah pemilu 1955 NU berhasil meraih suara ketiga, kekuatan dukungan NU kelihatan. Partai lain yang tergabung ke dalam Liga adalah partai kecil yang tersisih dari kekuatan besar Masyumi. Tidak mengherankan kalau penggabungan partai-partai itu ke da- lam federasi Liga justru untuk memperoleh kesempatan politik. Kesempatan itu sulit diperoleh jika mereka tetap bergabung di dalam Masyumi, sebab umumnya bisa di- katakan personil kepemimpinan mereka akan kalah bersa- ing dengan tokoh-tokoh Masyumi, baik pusat maupun dae- rah. Namun semenjak kemelut Masyumi-NU yang berakhir dengan keluarnya NU dari Masyumi, kedudukan Masyumi pun tidak makin baik.38 Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencegah agar partai-partai Islam tidak berjalan sendiri- sendiri dengan mengadakan pertemuan-pertemuan berkala tidak berjalan dengan baik. Apalagi setelah Wachid Hasjim berpulang ke rahmatullah tanggal 19 April 1953.39 Peranan Liga Muslimin Indonesia sebagai lembaga fe- derasi juga tidak berkembang lagi karena anggota-anggota- nya seringkali mengadakan perhubungan tidak melalui lembaga ini, tetapi langsung dengan pimpinan partai yang bersangkutan.40 Dengan demikian fungsi lembaga federasi tidak banyak berarti, karena mekanisme organisasi Liga tidak mampu mengatasi persaingan perebutan kepentingan politik atau pengaruh di antara mereka sendiri. Hanya beberapa kali kelompok Liga bersependapat dalam bebe- rapa hal mengenai sikap mereka menghadapi kabinet, te- tapi selebihnya dalam banyak hal mereka berjalan sendiri- sendiri. Menghadapi pemilihan umum tahun 1955 kegiatan Liga juga tidak nampak tampil ke depan. Partai-partai Is- lam berjalan 'sendiri-sendiri dan bahkan kadang-kadang sa- ling bermusuhan memperebutkan anggota untuk men- dukung pengumpulan suara dalam pemilihan umum. Di daerah Pulau Jawa atau daerah lain yang menjadi basis antara NU atau Masyumi, kemelut terjadi akibat soal ini. Meskipun secara resmi NU telah keluar dari Masyumi namun kemelut yang terjadi tidak mereda, bahkan di be- berapa daerah terjadi makin intens. Tuduhan dari kalangan Masyumi bahwa NU keluar dari Masyumi akan mendirikan darul-Islam dengan alasan Kartosuwirjo dahulu keluar dari Masyumi untuk mendirikan DI (Darul-Islam),41 dirasakan sebagai pukulan berat oleh NU sampai NU mengusahakan lewat Jaksa Agung agar menghentikan provokasi tersebut.42 Apakah ini cermin dari kegemasan kalangan Masyumi yang melihat NU begitu cepat memberi reaksi dengan keluar dari Masyumi? Awal kehidupan politik NU selain dimulai dengan kon- solidasi organisasi untuk menata kehidupan partai baru itu, juga diwarnai ketegangan di daerah-daerah khususnya de ngan Masyumi. Seorang pegawai kantor urusan agama di Bojonegoro dalam laporannya kepada PBNU mengatakan bahwa ia "diblokir dan dipojokkan, tidak diberi kekuasaan (jabatan?) dan pekerjaan sama sekali", setelah NU keluar dari Masyumi, sehingga terpaksa dia minta dipindahkan ke Pacitan, suatu kota Kabupaten di Jawa Timur.43 Dalam laporan selanjutnya warga NU tersebut merencanakan akan membentuk cabang NU di Pacitan, tetapi diintimidasi oleh beberapa orang pemimpin partai yang datang dari Jakarta dan Surabaya, dikatakan bahwa NU adalah pemecah per- satuan ummat Islam. NU juga dituduh PKI karena salah seorang gembong PKI telah berusaha membentuk cabang NU di Pacitan.44 Begitu derasnya serangan yang dirasakan NU di daerah- daerah menjelang pemilihan umum tahun 1955, sehingga PBNU menolak ketika diminta oleh DPP Masyumi untuk menandatangani Sambutan Bersama untuk menjaga kete- nangan, tidak saling menyerang. Masyumi juga mengalami kesulitan menghadapi serangan juru kampanye NU,45 oleh karena itu Masyumi mengusulkan hendaknya praktek sa- ling menyerang itu dihentikan, meskipun sebelumnya par- tai-partai Islam sudah mengeluarkan pernyataan bersama untuk menjaga persatuan, tidak saling menyerang.46 PBNU menyatakan merasa sudah tidak urgent lagi dengan alasan masa kampanye yang akan berakhir dan kerasnya serangan yang ditujukan kepada NU di daerah-daerah. Dalam surat tersebut PBNU juga melampirkan data-data laporan warga NU dan cabang-cabangnya mengenai adanya serangan- serangan yang dirasakan amat memukul NU. Sebenarnya patut dipertimbangkan bahwa dengan ajakan Masyumi itu sebenarnya Masyumi juga merasakan hal sama dengan yang dirasakan NU. NU merasakan reaksi kalangan Masyumi terhadap ke- putusan NU keluar dari Masyumi cukup keras, tidak seper- ti yang terjadi ketika PSII didirikan kembali tahun 1947 dan anggota-anggotanya keluar dari Masyumi. Barangkali ketika itu masih diliputi suasana menghadapi tantangan yang le- bih besar, pemberontakan PKI di Madiun dan persoalan kebangsaan yang lain, yang berbeda ketika NU melepaskan diri. Akan tetapi jumlah pengikut NU yang besar, terutama di Jawa yang menjadi sentral kepemimpinan politik dan militer, mengakibatkan kasus NU keluar dari Masyumi me- nimbulkan guncangan yang cukup terasa bagi Masyumi. Kemelut antar partai-partai Islam sendiri, khususnya an- tara Masyumi dan NU, cukup merepotkan masing-masing pihak. Serang menyerang antara para orator juru kampanye betapapun tidak menguntungkan perjuangan Islam. Aki- batnya memang dirasakan sampai ke tingkat pengambilan keputusan politik, baik di daerah maupun di pusat. Ke- renggangan pun tidak bisa dihindari. Dalam banyak hal keputusan politik yang mestinya digalang bersama antar partai-partai Islam, malah justru bercerai, tidak bersatu. Kepahitan yang dirasakan partai satu terhadap yang lain akibat cekcok dan cemooh pemilu dalam perebutan suara, seperti telah dikemukakan di atas, berakibat mengganggu kerja sama mereka. Boleh dikata, umumnya sikap politik partai-partai Islam tidak bisa bersatu, kecuali dalam per- sidangan konstituante,49 karena tema besar tentang dasar negara yang jadi isu utama dapat mempersatukan mereka. Selain itu NU setelah kehilangan tokoh utama yang her- wibawa, Abdul Wachid Hasjim, tidak memiliki pemimpin dan organisator yang tangguh. Hal ini juga dirasakan oleh pemimpin-pemimpin lainnya antara tahun 1954-1960 yang seringkali melontarkan keluhan "Seandainya Kyai Wahid masih ada..." ketika menghadapi soal-soal pelik yang sulit dipecahkan.50 Tiadanya tokoh organisator dan pemimpin politik yang tangguh di dalam NU berakibat partai ini tidak mampu memainkan peranan politiknya secara mak- simal, baik di lingkungan ummat Islam sendiri maupun partai-partai Islam dan kehidupan politik secara nasional. Masyumi sendiri tidak mampu menjembatani berbagai ke- pentingan partai lain, sehingga secara umum peranan Ma- syumi bagi partai Islam lain dirasakan bukan sebagai "orang dewasa yang menyantuni si kecil". Akan tetapi ini tidaklah berarti kesalahan harus dibe- bankan kepada pihak Masyumi sendiri, sebab umumnya partai-partai Islam masih terasa kuat pengaruh kepentingan partainya sendiri guna memperoleh distribusi kekuasaan politik yang lebih menonjol. Agaknya Masyumi yang di- dukung banyak kalangan intelektual dan ulama modern, kurang mampu memainkan peranan untuk memimpin go- longan-golongan Islam lain di luar Masyumi sendiri. Se- sungguhnya banyak harapan dari sementara kalangan po- litisi dan pemimpin Islam digantungkan ke pundak Ma- syumi sebagai partai besar dan memiliki tenaga intelektual yang cukup dalam kepemimpinan ummat Islam, tetapi di lingkungan internnya sendiri Masyumi tidak mampu me- ngendalikan silang pendapat yang terjadi dalam berbagai keputusan penting selain desakan-desakan kepentingan daerah yang tidak cukup baik dikendalikan oleh pusat.51 Hal ini menjadikan partai Masyumi lebih sibuk mengatur internnya sendiri daripada gerakan bersama dengan kelom- pok Islam lain. Setelah NU keluar dari Masyumi dengan dukungan ha- nya 8 kursi anggota parlemen, negosiasi politik yang di- lakukan tidak lagi terikat dengan Masyumi. Kedudukan Masyumi sendiri dalam kabinet Wilopo (1952-1953) tidak terlalu baik karena kurangnya kerja sama antara partai dengan para menteri yang duduk dalam kabinet dan hu- bungan yang kurang balk pula antara Masyumi dengan PNI (52 dan akhirnya kabinet itu pun jatuh. Jarak antara Masyumi dengan partai Islam lainnya yang tergabung Liga Muslimin terasa makin lebar. Menghadapi pembentukan kabinet baru, kelompok liga menampilkan poros baru ke- lompok Liga, PIR, PRN, Parkindo dan Buruh dengan PNI sebagai alternatif menggantikan poros Masyumi-PNI yang dinilai tidak berhasil menggalang kerja sama secara baik. Beberapa formatur yang ditunjuk gagal menyusun kabinet akibat pertentangan kepentingan politik antar partai-partai. Formatur tersebut ialah Poem (Masyumi) dan Mangun- sarkoro (PNI), Mukarto (PNI) dan Burhanuddin Harahap (Masyumi). Akhirnya ditunjuk formatur Wongsonegoro (PIR) dan berhasil menyusun kabinet dipimpin Ali Sas- troamidjojo (PNI) tanpa Masyumi ikut serta. NU turut serta dalam kabinet bersama Liga dengan tiga orang jabatan menteri (termasuk wakil perdana menteri II, Zainul Arifin) dan PSII dua orang wakil. Kalangan pemimpin Masyumi amat kecewa dengan keikutsertaan NU dalam kabinet yang menurut mereka telah memberi jaminan tidak turut serta jika Masyumi tidak diikut sertakan dalam kabinet.53 Jaminan NU sendiri terhadap Masyumi tidak dapat me- nahan desakan rasa kecewa terhadap kebijaksanaan Ma- syumi sebelumnya sehingga NU menyatakan keluar dari Masyumi. Oleh karena itu akhirnya NU masuk dalam ka- binet Ali Sastroamidjojo untuk membuktikan kepada se- mentara kalangan Masyumi bahwa NU cukup mampu me- mikul tugas pemerintahan dan politik. Jika sebelumnya para pemimpin Masyumi dinilai NU tidak cukup menghor- mati para pemimpin NU, maka ketika tiba giliran NU dapat memainkan sendiri kepentingan politiknya, upaya itu pun dilakukan sendiri. Kyai Wahab merupakan salah se- orang yang paling dikecewakan akibat kegagalan negosiasi dengan Masyumi menghadapi pembentukan kabinet Wi- lopo sebelumnya, karena itu dapat dimengerti jika kemudi- an Wahablah yang menentukan untuk memutuskan ikut serta dalam kabinet Ali Sastroamidjojo tanpa Masyumi ikut serta (Wachid Hasjim sudah wafat ketika perundingan ka- binet All), sebab perundingan selama tiga kali formatur yang dibentuk selalu gagal akibat konflik intern Masyumi sendiri maupun Masyumi dengan PNI dan partai lain. Me- nurut Wahab, kabinet harus segera dibentuk untuk me- ngatasi masalah-masalah yang lebih besar antara lain soal militer dan keamanan dan untuk menyelenggarakan pe- milihan umum. Faktor yang terakhir ini amat penting men- dapat dukungan agar segera dapat diketahui perimbangan kekuatan politik yang sebenarnya. Akan tetapi masalah- masalah yang dihadapi kabinet ini memang cukup berat, terutama militer dan keamanan, akhirnya kabinet ini pun jatuh digantikan Boerhanuddin Harahap (Masyumi) dengan tugas khusus mengembalikan wibawa pemerintah dan me- nyelenggarakan pemilihan umum. Jika diandaikan ketika konflik tentang kabinet Wilopo NU berhasil mendapatkan tuntutannya memegang jabatan menteri agama, atau Masyumi ikut bergabung ke dalam federasi Liga setelah NU keluar dari Masyumi, mungkinkah partai-partai Islam, atau Masyumi (termasuk NU di dalam- nya), dapat mengembangkan diri sebagai kekuatan yang kompak dan bersatu? Ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk dapat me- lihat kemungkinan memberi jawaban masalah di atas. Per- tama, kenyataan bahwa di dalam Masyumi sendiri tidak sepi dari konflik, baik sebelum maupun sesudah NU ke- luar. Begitu cepatnya kabinet yang dipimpin Masyumi, juga partai lain, menandai bahwa di dalam Masyumi belum ada kekompakan, khususnya antara kelompok Sukiman-Jusuf Wibisono di satu pihak dengan Natsir-Prawoto di pihak lain.54 Ketidaksepahaman atau mungkin persaingan di an- tara kelompok-kelompok mereka sangat mungkin sekali melibatkan kekuatan-kekuatan NU, sekiranya NU masih tetap menjadi anggota Masyumi. Maka dengan sendirinya koflik akan melibatkan pihak-pihak yang lebih luas karena bukan hanya melibatkan anggota perorangan di dalam Ma- syumi, tetapi juga kelompok-kelompok (anggota istemewa). Kedua, adanya perbedaan persepsi dan sikap dalam mengantisipasi gejala-gejala sosial politik antara Masyumi dengan NU dan partai Islam lainnya. Secara umum "bu- daya" politik Masyumi dapat dikatakan kurang memper- hitungkan akan "kalah" karena kecenderungannya terus mempertahankan kepentingan-kepentingan politiknya, sam- pai akhirnya benar-benar "kalah", meskipun kadang-kadang sudah disadari, toh akhirnya ke situ juga.55 Sementara itu dari kalangan NU dan partai maupun organisasi Islam lainnya (juga dalam beberapa hal termasuk Muhammadi- yah) sebaliknya lebih cepat merasa akan "kalah" sebelum bertanding dan terbukti memang akhirnya benar-benar "ka- lah". Para pemimpin Masyumi terus melancarkan serangan atau paling tidak kritik terbuka terhadap Sukarno karena penyimpangan kanstiusional yang dilakukan untuk mem- bangun kekuasaan politiknya, sementara kalangan lain lebih bersifat diam, atau malah memanfaatkan hubungan dekat- nya dengan Sukarno.56 Lalu apa yang bisa diharapkan dari keinginan untuk membangun keutuhan dan kekompakan dari para pemim- pin Islam itu? Jadi sekiranya NU tidak keluar dari Ma- syumi pada waktu konflik tentang kabinet Wilopo, atau Masyumi ikut bergabung dalam federasi Liga Muslimin, keretakan mereka kemungkinan juga akan muncul di ke- mudian hari karena perbedaan-perbedaan seperti dikemu- kakan di atas. Kedua sikap yang diperlihatkan kelompok- kelompok Islam yang berbeda tersebut pada dasarnya sama-sama mengakibatkan kelumpuhan posisi mereka, se- tidak-tidaknya telah mendorong kekuatan Sukarno makin berpengaruh. B. TANGGUNG JAWAB DAN KETIDAKBERDAYAAN Setelah diuraikan sekitar kemelut NU-Masyumi akibat dari tindakan NU keluar dari Masyumi, maka dalam bab ini diuraikan bagaimana sikap politik NU, khususnya dalam menghadapi pembentukan kabinet, setelah NU berdiri se- bagai partai politik. Akan nampak bahwa sebenarnya NU tidak berdaya memerankan politiknya di tengah pergolakan politik nasional, sementara kalangan partai Islam sendiri tidak selalu menunjukkan kekompakan barisannya. Hasil pemilihan umum tahun 1955 merupakan karya be- sar NU yang ternyata tidak diikuti kemampuan mengem- bangkan kemenangan tersebut dalam kehidupan politik se- lanjutnya. Akan tetapi ini bukanlah hanya bagi NU belaka, sebab kecuali PKI yang terus memperoleh kemajuan, partai- partai lain juga gagal memegang kendali politik di In- donesia. Keruwetan politik 10 tahun pertama usia RI terus terjadi dan kabinet mengalami jatuh bangun dalam umur yang relatif pendek, ditambah lagi dengan kemelut per- golakan di Sumatera dan pergolakan militer lainnya yang kemudian disusul pernyataan SOB oleh Presiden Soekarno awal tahun 1957 dan pembentukan kabinet Djuanda karena kegagalan formatir Suwirjo.57 Presiden kemudian mengang- kat diri sendiri selaku warga negara sebagai formatir untuk membentuk kabinet.58 Masyumi dan NU sebagai dua partai Islam terbesar gagal menggalang kerja sama untuk menen- tukan keputusan-keputusan politik penting. Kerenggangan terus terjadi, selain karena berbagai perbedaan persepsi ke- agamaan dan kultural, juga karena berkecamuknya kemelut dalam pemilihan umum yang terus berlanjut. Hasil pemilihan umum tahun 1955 tidak memungkinkan ada satu pun partai memegang kekuasaan tanpa berkoalisi dengan partai lain. Kabinet Ali kedua (1956-1957) hasil pemilihan umum tahun 1955 tidak bisa bertahan dan me- nyerahkan mandatnya kepada Presiden tanggal 14 Maret 1957. Situasi politik terus meningkat suhunya, selain karena berbagai soal pergolakan yang terjadi juga Presiden Soekar- no membuat pernyataan hendak menguburkan partai-partai yang disusul gagasan tentang "Konsepsi Presiden".59 Partai- partai Islam mengemukakan tanggapan mereka dengan me- nolak "Konsepsi Presiden" tersebut.60 NU menyampaikan keputusannya kepada Presiden tanggal 28 Februari ketika semua partai lain juga diminta menghadap. Satu minggu kemudian delegasi NU menghadap lagi kepada Presiden, dalam kesempatan itu Presiden menyatakan kekecewaan terhadap sikap NU mengenai "Konsepsi Presiden".61 Se- hubungan dengan itu Presiden minta, sekalipun NU me- nolak ikut sertanya PKI dalam kabinet, untuk menjaga pres- tige Presiden Soekarno pribadi supaya usul pembentukan Dewan Nasional yang sifatnya hanya memberi nasehat be- laka, diterima NU. Terhadap permintaan ini delegasi NU yang terdiri atas Wahab Chasbullah, Idham Chalid, Masjkur dan Zainul Arifin, menyatakan akan mempelajari usul Pre- siden.62 NU menilai dengan ketegasan sikap ini sebagai satu fase perjuangan telah berhasil membendung terlak- sananya "Konsepsi Presiden" untuk membentuk kabinet go- tong royong, yang PKI masuk di dalamnya.63 Soal prestige pribadi Presiden Soekarno ini menjadi topik hangat dalam rapat pleno PBNU tanggal 9-10 Maret di Jakarta, sebab menurut perkiraan NU, Presiden menduga NU akan menerima "Konsepsi Presiden" tersebut, tetapi ternyata tidak. Presiden menyatakan kepada NU bahwa dia telah "menghadapi batu karang" NU, dengan demikian te- lah merasa gagal sebagai seorang pemimpin bangsa.64 Fak- tor ini kemudian dinilai NU patut menjadi pertimbangan, sebab faktor Soekarno masih dianggap penting peranannya sebagai pemimpin bangsa sejak zaman sebelum kemerdeka- an.65 Rapat NU kemudian menyatakan pendapatnya: me- nyetujui dibentuk dewan Nasional yang bertugas memberi nasehat kepada Dewan Menteri diminta atau tidak dan nasehat itu bersifat teknis; menyetujui pula dibentuk De- wan Perencana Nasional yang diketuai Hatta; dan menolak ikut sertanya PKI dalam kabinet.66 Keputusan rapat PBNU itu kemudian disampaikan ke- pada Presiden sore harinya.67 Presiden memang akhirnya tidak bisa menolak keputusan itu dan menyebutnya sebagai "Konsepsi NU" untuk mencari jalan tengah menghadapi kesulitan.68 Diminta agar NU membicarakannya dengan PNI dan partai lain dan sekaligus menyusun rencana pem- bentukan kabinet baru.69 Soal partai mana yang akan diajak ikut serta terjadi perbedaan antara NU dengan Presiden. Presiden menghendaki agar Masyumi tidak diajak serta, sementara NU berpendapat Masyumi harus diikutsertakan karena tugas kabinet baru yang akan dibentuk untuk meng- atasi kesulitan yang timbul akibat pergolakan daerah di tempat mana Masyumi memiliki basis pendukung yang kuat. Tanpa Masyumi, menurut NU, kabinet akan meng- alami kesulitan untuk menyelesaikan masalah tersebut.70 Dalam perundingan dengan PNI pun NU tetap berpen- dapat yang sama, dan PNI sebaliknya, menghendaki tanpa ikut sertanya Masyumi dalam kabinet, sebab menurut PNI, Masyumi tidak sepenuh hati dalam koalisi akibatnya akan menyulitkan koalisi yang akan dibentuk. Sementara itu pe- rundingan dengan Masyumi dicapai sepakat Masyumi akan mendukung "Konsepsi NU" dan mendorong agar pemben- tukan kabinet dipegang NU dan Masyumi menyerahkan sepenuhnya kepada NU kursi apa yang akan diberikan kepadanya.71 Di tengah kemelut perundingan antara NU dengan PNI mengenai ikut sertanya Masyumi dalam ka- binet yang belum selesai, tiba-tiba Presiden menunjuk Su- wirjo (Ketua Umum PNI) sebagai formatir kabinet tanggal 15 Maret, suatu langkah yang oleh NU dianggap menyim- pang dari konvensi yang berlaku, sebab sebelumnya Pre- siden tidak mengadakan hearing dengan partai-partai se- bagaimana lazimnya.72 NU kemudian menyatakan bahwa penunjukan formatir kabinet itu merupakan hak prerogatif Presiden, tetapi nampaknya dilupakan oleh NU bahwa pe- nunjukannya sebagai formatir sebelumnya, di mana me- nurut NU diberi tugas untuk itu, tidak pernah diumumkan secara resmi oleh Presiden. Formatir Suwirjo juga menghadapi soal yang sama me- ngenai ikut sertanya Masyumi dalam kabinet, tetapi perun- dingan terus dilakukan dan NU tetap berusaha meyakinkan partai lain, termasuk Presiden sendiri, mengenai mutlaknya Masyumi ikut serta dalam kabinet. Setelah dua minggu formatir bekerja, akhirnya dicapai sepakat Masyumi diikut sertakan dalam kabinet. Kesepakatan itu menurut NU di- setujui pula oleh Presiden Soekarno dan PNI, partai Suwir- jo. Namun di tengah harapan akan tercapainya kesepakatan pembentukan kabinet yang kuat karena mendapat dukung- an Masyumi yang menguasai daerah yang bergolak itu, NU merasa amat kecewa dengan datangnya tuntutan Masyumi untuk memperoleh hak yang sama dengan PNI dan NU (masing-masing 5 kursi) dan tuntutan PSII untuk mem- peroleh dua kursi (Pertahanan dan PPK). Menurut NU, sekalipun tuntutan ini berhasil diperjuangkan, tetapi Ma- syumi juga berkeras menolak Prijono dan Sadjarwo, yang oleh Masyumi dinilai sebagai fellow travellers PKI dan oleh Suwirjo akan diikutsertakan dalam kabinet.73 Menghadapi soal yang pelik ini NU merasa telah men- capai batas maksimal tidak bisa berbuat lain kecuali harus solider, terutama mengenai tuntutan PSII. Terhadap tun- tutan Masyumi NU merasa tidak sanggup memperjuang- kannya, sebab menurut NU, seharusnya Masyumi terlebih dahulu membicarakannya dengan NU.74 Situasi yang di- hadapi NU bagai buah simalakama, menolak tuntutan Ma- syumi akan berarti formatir gagal dan menerima pun juga gagal. Tetapi NU masih menunjukkan kesungguhannya memperjuangkan tuntutan kedua partai itu, khususnya tun- tutan PSII, "agar tetap terpelihara ukhuwwah Islamiyyah".75 Kegagalan langkah manuver politik NU di atas bukan hanya dirasakan akibatnya dalam kehidupan politik na- sional, tetapi justru NU juga menghadapi segudang ma- salah ke dalam. Berita-berita koran yang mengungkapkan kegigihan NU memperjuangkan tuntutannya untuk meng- ikutsertakan Masyumi dalam kabinet, tidak mendapat sim- pati cabang-cabang NU di daerah. Dalam edarannya PBNU menyatakan : Mungkin pendirian mengajak Masyumi ini tidak populer di mata sebagian Wilayah dan Cabang kita, mengingat praktek- praktek yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin Masyumi di daerah-daerah selama ini terhadap Partai dan warga kita yang tidak bisa dipuji bahkan harus dicela. Akan tetapi jalan ini (mengajak Masyumi dalam kabinet) terpaksa harus kami tempuh, berhubung dengan tingkat kea- daan yang sedang kita hadapi dewasa ini berhubung dengan timbulnya pergolakan-pergolakan di daerah-daerah yang harus segera diatasi agar supaya hubungan antara daerah dengan pusat segera dipulihkan.76 Agaknya untuk tidak lebih meningkatnya rasa tidak sim- pati pengurus NU di daerah-daerah, edaran PBNU selanjut- nya menyatakan: Pada tingkat sekarang, dalam masa kita ummat Islam In- donesia di samping mengahadapi 1001 macam kesulitan Ne- gara, juga menghadapi arus gelombang pengaruh komunis dan lain-lain isme yang membahayakan yang sedang pasang, hal mana tentu saja harus tidak boleh dibiarkan. Dan sudah men- jadi garis perjuangan kita, di dalam menghadapi bahaya yang mengancam nasib Agama dan ummat kita, maka setiap jalan menuju ke ukhuwwah Islamiyyah haruslah digalang di mana mungkin, dengan tidak mengesampingkan pengalaman di masa lalu di mana orang menyalahgunakan penggalangan ukhuwwah Islamiyyah untuk melumpuhkan pihak lain.77 Trauma kekecewaan sebagian besar pemimpin NU dae- rah akibat perlakuan tidak sehat sementara pemimpin Ma- syumi, tetap membayangi hubungan NU dengan Masyumi. Sementara itu NU pun juga melancarkan serangan balik yang mengakibatkan suasana tidak menjadi reda, tetapi justru makin panas. Tanggung jawab untuk ikut berupaya membentuk kabinet yang kuat yang diharapkan mampu mengatasi berbagai krisis politik yang terjadi dibayangi ke- takberdayaan akibat trauma tersebut dan sikap keras ke kepala masing-masing pihak mempertahankan tuntutan- tuntutan mereka. Padahal mesti harus disadari tanpa to- leransi dengan sikap saling memberi dan menerima antara berbagai kepentingan dalam suatu kabinet koalisi, terutama antara PNI, Masyumi dan NU, betapapun kabinet tidak akan terbentuk. Parlemen hasil pemilihan umum tahun 1955 memang tidak memungkinkan terbentuknya kabinet tanpa koalisi, khususnya ketiga partai tersebut. ____________________________________________________________________ ____________________________________________________________________ Catatan 37. Abubakar, Sejarah Hidup, h. 561. Organisasi Darud Da'wah wal-Irsyad berpusat Pi Parepare, Sulawesi, merupakan satu-satunya organisasi nonpolitik yang bergabung ke dalam Liga Muslimin tetapi tidak ikut menandatangani deklarasi. 38. Deliar Noer, Partai Islam, h. 225. 39. Ibid. 40. Deliar Noer, Partai Islam, h. 225. 41. Saifudin Zuhri, Berangkat, 401. 42. Saifudin Zuhri, Berangkat, 401. 43. Laporan Abdurrahim tanggal 12 Februari 1955, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 65. 44. Laporan Abdurrahim tanggal 12 Februari 1955, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 65. Laporan NU Cabang Tegal juga menyebutkan adanya kecaman tidak sehat: "Kyai yang bermazhab sebetulnya mazhab Van der Plas", "Jangan mengikuti ulama munrlfiqin yang bejanji sebelum kabinet AA terben- tuk tidak akan duduk dalam kabinet, tetapi nyatanya duduk. Apakah itu bukan munafiqin?", dan "Kyai-kyai itu kalau dicukur (plonco) dengan pecahan gelas sampai keluar getah timunnya kemudian dikeceri (perasi) jeruk keris mesti keluar "cap pain artinya". Disebutkan juru kampanye itu membawa jeruk dan pecahan gelas yang dipertunjukkan kepada hadirin. Laporan NU Cabang Tegal, tanggal 16 September 1955, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 150. Kedua laporan tersebut juga menyebut nama-nama juru kampanye Masyumi itu. Tentang kecaman "palu arit", juga disinggung dalam rapat-rapat Fraksi NU bulan November 1956. Lihat Notulen rapat-rapat Fraksi NU, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 247. 45. Lihat Mudhafir, "Nahdlatul Ulama: Masalah dan Perkembangannya dalam Hubungan dengan Pemilu 1955 dan 1971", skripsi sarjana, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, UI, 1971. 46. Sebelum itu partai-partai Islam mengeluarkan pernyataan bersama tang- gal 15 Juni 1955 untuk menjaga ketenangan, tidak saling menyerang. Deliar Noer, Partai Islam, h. 346. 47. Lihat surat PBNU tanggal 22 September 1955 yang ditujukan kepada DPP Masyumi, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 150. 48. Banyak warga NU menakut-nakuti anggota Masyumi "Kalau kamu nanti mati tidak disembahyangi dan tidak ditahlili". Karena alasan itu beberapa anggota Masyumi di Sumatera Selatan mengembalikan kartu anggota mereka. Laporan Masyumi Anak Cabang Omben, Ogan Komering Ilir, tanggal 7 September 1955. 49. Lihat Deliar Noer, Partai Islam. 50. Saifuddin Zuhri, Berangkat, h. 447. 51. Ketidakseimbangan kontribusi pendapatan negara dengan distribusi an- tara luar Jawa dengan Jawa menimbulkan protes yang cukup keras. Masyumi yang memiliki basis dukungan yang kuat dari daerah-daerah luar Pulau Jawa tidak berhasil mengatasi desakan tokoh-tokoh luar Jawa untuk menyeim- bangkan kepincangan tersebut. Lihat misalnya Herbert Feith, The Decline, h. 447 dan seterusnya. 52. Hubungan antara Masyumi dengan PNI tejalin kurang harmonis antara lain disebabkan kebijaksanaan mengatasi peristiwa 17 Oktober 1952 yang hampir menjatuhkan kabinet, seal nasionalisasi tambang timah, pembukaan kedutaan besar RI di Moskow dan sebagainya. Soal tanah perkebunan Tanjung Morawa ada dua fihak dalam Masyumi dan PNI, Sukiman sependapat dengan PNI dan Natsir sejalan dengan Wilopo (PNI) yang menjabat perdana menteri. 53. PBNU, Siaran VI, tanggal 14 April 1957. 54. Setelah NU keluar dari Masyumi tahun 1952, Masyumi menyelenggara- kan muktamar di Jakarta. Tentu saja masih banyak utusan dari Cabang Masyumi, terutama dari Pulau Jawa, yang masih berasal dari NU. Beberapa delegasi cabang yang berasal dari NU menghubungi FBNU maksudnya untuk minta pendapat. PBNU menginstruksikan agar mereka menjaga ketenangan, tidak ikut terlibat dalam pembicaraan yang menyerang atau menyalahkan NU, karena NU keluar dari Masyumi. Sebab jika hal itu dilakukan delegasi yang masih tetap merasa anggota NU, akan mengakibatkan kekacauan muktamar. PBNU juga mengharapkan agar mereka menghindari keterlibatan dalam blok- blok yang ada di dalam Masyumi, sebab kemungkinannya mereka (orang- orang NU yang masih tetap di dalam Masyumi) akan digunakan untuk menyerang blok lain. Lihat instruksi PBNU kepada cabang NU, Juli 1952. 55. Sering terlihat sikap Masyumi yang tidak pernah surut, antara lain dalam perundingan kabinet Djuanda, Nasakom, Demokrasi, maupun ketika dekrit. Sementara partai Islam lainnya PSII, Ferti dan NU, bersikap lain. Lebih sering menyadari kekurangannya dalam bersikap menghadapi kekuatan Soekarno. 56. Hubungan dekat kalangan NU juga dimanfaatkan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap Sukarno. Kyai Wahab yang cukup dekat dengan Sukarno sering mengingatkan Sukarno secara pribadi dalam beberapa kali kesempatan bertemu, khususnya pertemuan-pertemuan terbatas dan pri- badi. Antara lain Kyai Wahab mengingatkan soal Nasakom tidak mungkin dipertahankan karena Islam (agama) dengan komunisme tidak akan bisa bertemu. Lihat Saifuddin Zuhri, Berangkat, h. 444-446. 57. Rapat-rapat Fraksi NU selama bagian kedua bulan November 1956 mem- bicarakan laporan Idham Chalid (Wakil PM II) dan Fattah Jasin (Menteri Sosial) mengenai adanya kegiatan militer di Ibu Kota yang menimbulkan ketegangan politik, antara lain dipimpin Zulkifli Lubis cs. Notulen rapat-rapat Fraksi NU, bulan November 1956, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 247. 58. PBNU, Siaran ke VI tanggal 14 April 1957, Arsip Nasional, koleksi tentang NU Nomer 158. 59. Presiden Soekarno menilai sistem demokrasi parlementer telah gagal dan tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia, karena itu perlu diubah. Presiden mengusulkan sistem demokrasi terpimpin, pembentukan kabinet go- tong royong, dan dewan nasional. Lihat Konsepsi Presiden, t.t., arsip NU, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 252. 60. Deliar Noer, Partai Islam, h. 258-265. 61. PBNU, Siaran IV, tanggal 19 Maret 1957, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 250. 62. Ibid. 63. Ibid. 64. Ibid. 66. Siaran III. 67. Ibid. 68. Ibid. 69. NU menafsirkan permintaan Presiden ini sebagai penyerahan mandat untuk membentuk kabinet baru. Ibid. 70. PBNU, Siaran IV. 71. Ibid. 72. Ibid. 73. PBNU, Siaran ke VI. Kedua orang tersebut akhirnya diangkat menjadi menteri dalam kabinet Djuanda. 74. Ibid. Masyumi tentu saja tidak bisa menerima pembagian kursi kabinet hasil keja formatur, sebab suara hasil pemilu yang dicapai Masyumi seim- bang dengan hasil yang dicapai PNI bahkan lebih besar dari NU. 75. PBNU, Siaran ke VI. 76. PBNU, Siaran ke V, tanggal 22 Maret 1957, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 250. 77. PBNU, Siaran ke V.