BAB IV KEHIDUPAN POLITIK Dalam bab ini akan dibahas mengenai kehidupan politik NU. Pertama tentang hubungannya dengan Masyumi se- telah NU keluar dari partai itu tahun 1952. Seperti telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, NU terlibat bersama organisasi Islam lainnya dalam kongres ummat Islam tahun 1946-untuk mendirikan partai Islam Masyumi. Tetapi akibat perselisihan politik yang tejadi antara NU dengan kalang- an Masyumi lainnya, NU menyatakan keluar dari partai itu dalam kongres NU tahun 1952. Selanjutnya akan diuraikan peranan NU setelah menjadi partai sendiri dalam perca- turan politik nasional sampai sekitar tahun enam puluhan. Secara umum dapat dikatakan peranan NU selama masa itu tidak berdaya menghadapi peranan politik yang di- mainkan Presiden Sukamo. Sebagian besar peran yang di- lakukan NU hanya memberi justifikasi belaka terhadap ke- putusan-keputusan politik yang berkembang ketika itu. Meskipun demikian apa yang dilakukan NU itu didasarkan kepada dalil-dalil fikih. Tentang hal ini akan diuraikan kemudian. Selanjutnya pada bagian akhir bab ini akan dibahas hasil- hasil yang dicapai dalam pemilihan umum tahun 1955 dan 1971 dan selanjutnya setelah bergabung (fusi) dengan partai Islam lainnya dalam pemilihan umum tahun 1977, 1982, dan 1987. Pembahasan terhadap hasil-hasil pemilihan umum itu selanjutnya dapat memberi gambaran terhadap keputusan NU kembali ke khittah 1926 yang dilakukan dalam muktamar NU tahun 1984. A. KEMELUT DAN GAGASAN FEDERASI Muktamar Palembang memutuskan NU keluar dari Ma- syumi dengan perbandingan suara 61 setuju, 9 menolak, dan 7 suara abstain.1 Keputusan yang sudah diduga se- belumnya disambut lega warga NU, tidak demikian halnya bagi sebagian kalangan Masyumi. Walaupun ada yang me- rasa prihatin dan mengupayakan agar keputusan itu tidak dilakukan, namun ada yang bersikap apriori. Seorang yang menduduki rangking kedua jajaran kepemimpinan Masyu- mi memberi keterangan pers menjelang muktamar "tidak boleh tidak NU adalah golongan ekstrem kanan, dan kalau NU menguasai pemerintahan akan menuju kepada dik- tator.2 Pernyataan ini tentu saja malah tidak menjernihkan situasi, bahkan banyak menimbulkan antipati dari peserta muktamar.3 Muktamar itu menyetujui putusan PBNU tanggal 5-6 April 1952, NU keluar dari Masyumi (memisahkan diri secara organisatoris) serta mengusulkan kepada Masyumi agar mereorganisasi dirinya menjadi badan federasi.4 Untuk melaksanakan keputusan tersebut muktamar menetapkan suatu kebijaksanaan: (1) Pelaksanaan keputusan tersebut janganlah sampai me- nimbulkan shock di kalangan ummat Islam Indonesia; (2) Pelaksanaan keputusan tersebut dilaksanakan dengan pe- rundingan dengan Masyumi; dan (3) Putusan ini dijalankan di dalam hubungan luas berkenaan dengan keinginan membentuk Dewan Pimpinan Ummat Islam Indonesia yang nilainya lebih tinggi, di mana partai-partai dan organisasi-organisasi Islam, baik yang sudah maupun yang be- lum tergabung di dalam Masyumi dapat berkumpul bersama- sama. Selanjutnya PBNU kemudian membentuk sebuah tim se- bagai delegasi mewakili PBNU melakukan perundingan de- ngan Masyumi. Delegasi diketuai Zainul Arifin dengan anggota Wahab Chasbullah (PBNU), Amin Iskandar (Ca- bang Bandung), O. Hulaimi (Cabang Tasikmalaya), Zainal Muttaqiem (Cabang Cirebon), Husin Saleh (Cabang Jakarta Raya), dan Djunaidi Saleh (Cabang Menes).6 Di pihak Ma- syumi tidak memandang perlu membentuk tim perunding, sebab keputusan NU itu merupakan keputusan muktamar. Masyumi menyelenggarakan rapat pengurus DPP untuk menerima delegasi perunding NU. Mandat yang diberikan kepada delegasi NU disebutkan bahwa keputusan NU memisahkan diri dari Masyumi se- cara organisatoris tidak dapat diubah lagi, karena merupa- kan keputusan muktamar sebagai kekuasaan tertinggi da- lam organisasi. Perundingan hanya mengenai cara pelak- sanaannya saja, termasuk juga soal waktu berlakunya ke- putusan, dengan pengertian, bahwa batasan waktu 3 bulan (hingga akhir Juli 1952) yang ditentukan muktamar.7 Di- harapkan oleh PBNU dengan menyampaikan risalah perun- dingan ini hendaknya DPP Masyumi juga membentuk de- legasi yang sama agar ada pegangan apabila di kemudian hari timbul perbedaan pendapat di kalangan Masyumi sen- diri mengenai soal ini.8 Tampaknya DPP Masyumi tidak bergairah menyambut ajakan PBNU untuk sama-sama membentuk delegasi perun- dingan. Sikap Masyumi sejak mula menyayangkan kepu- tusan NU itu, hanya saja ada kalangan DPP Masyumi yang mengusahakan agar muktamar NU di Palembang mengu- rungkan niatnya untuk memisahkan diri dari Masyumi, sebagian yang lain tetap memberi reaksi keras dan me- nyalahkan NU, karena tindakannya itu merusak persatuan Islam, setidaknya persatuan di kalangan partai Islam Ma- syumi. DPP Masyumi hanya mengadakan sidang pengurus (DPP?) yang dihadiri Prawoto Mangkusasmito (pimpinan rapat), Mohammad Reem, Sjafruddin Prawiranegara, Bur- hanuddin Harahap, Kasman Singodimedjo, Mob. Sardjan, Faqih Usman, Z.A. Ahmad, Isa Anshari, Sunarjo Mangun- puspito, Wali Alfatah, A. Harjono, Taufiqurrahman, dan Sjarif Usman.g Dalam keterangannya PBNU menjelaskan bahwa DPP Masyumi "tidak tampak adanya pendirian or- ganisasi, tetapi yang ada ialah pendapat perseorangan dari (pada) anggota-anggota Masyumi".10 Keadaan yang tidak seimbang ini mengakibatkan pertemuan tidak bejalan se- bagaimana mestinya. PBNU menggambarkan pertemuan itu sebagai "sidang pengadilan yang sedang memeriksa seorang (segolongan orang) pesakitan".11 Banyak orang Masyumi yang menganganggap keputusan NU keluar dari Masyumi hanya karena dorongan emosional, kurang menjaga per- satuan Islam, sekurang-kurangnya di antara sesama ang- gota Masyumi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pe- serta rapat kepada delegasi NU, antara lain apa dasar agama, politik, psikologis, dan siasat NU keluar dari Ma- syumi. Di dalam DPP Masyumi sendiri masih ada silang pendapat mengenai sikap mereka terhadap keputusan NU. Bahkan "pendapat yang dikemukakan ketua pertemuan se- bagai penanggung jawab DPP telah dibantah (tertulis diban- tu) dan ditentang oleh anggota-anggota lainnya".12 Selanjutnya delegasi NU menjelaskan bahwa keputusan muktamar itu merupakan dua hal yang dirangkai menjadi satu, ialah NU memisahkan diri dari Masyumi dan meng- usulkan federasi.13 Karena itu terhadap pertanyaan-perta- nyaan yang diajukan dapat dijawab bahwa keluarnya NU dari Masyumi tergantung pada good will Masyumi. Kalau usul federasi itu sekarang ditolak, maka sekarang pun NU sudah keluar dari Masyumi.14 Dalam rapat DPP Masyumi malam harinya delegasi NU menyatakan bahwa pihaknya tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diaju- kan dalam rapat pagi hari secara lisan untuk mencegah timbulnya interpretasi yang berbeda-beda dan jangan sam- pai semangat yang meluap-luap (emosional, pen.) mem- pengaruhi pembicaraan. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain apakah alasan NU memisahkan diri dari Masyumi (dalil agama, politik, organisasi, psikologi dan siasat)? Ter- hadap sikap delegasi NU ini pimpinan rapat menyambut baik, tetapi tidak disetujui anggota rapat lainnya. Timbullah kemudian debat keras. Pertemuan yang semula digambar- kan sebagai "sidang pengadilan" itu berubah menjadi ge- langgang perbantahan.15 Keadaan ini dinilai oleh NU bah- wa Masyumi sudah tidak ada organisasi atau adanya or- ganisasi tidak dapat mengatasi pendapat-pendapat per- orangan dari anggota-anggota DPP-nya sendiri.16 Setelah lewat satu minggu belum ada berita mengenai kelanjutan pertemuan, maka pada tanggal 31 Mei 1952 PBNU mengajukan usul kepada DPP Masyumi agar segera dilakukan tukar menukar dokumen. Bersamaan dengan itu disampaikan konsepsi PBNU mengenai perhubungan NU- Masyumi yang sedianya akan disampaikan secara resmi dalam suatu pertemuan antar delegasi untuk tukar me- nukar dokumen. Konsepsi PBNU antara lain mengemuka- kan: (1) menghapuskan dualisme keanggotaan dengan jalan mengubah organisasi Masyumi menjadi badan federasi dari partai-partai politik dan organisasi Islam lainnya, atau me- netapkan Masyumi sebagai suatu partai yang beranggota- kan perorangan saja, kemudian dibentuk federasi baru yang namanya bukan Masyumi; (2) mengadakan ketentuan me- ngenai perimbangan suara masing-masing anggota federasi menurut perimbangan jumlah anggota organisasi tersebut, dengan catatan organisasi besar jangan sampai memborong semua kekuasaan dalam federasi, tetapi jangan pula organi- sasi besar itu dianggap sama dengan organisasi kecil (yang jumlah anggotanya sedikit); (3) menggalang persatuan ummat Islam Indonesia yang lebih tinggi nilainya daripada sekarang untuk menyusun barisan (front) Islam yang ter- atur, mampu mengatasi dan memecahkan kesulitan yang dihadapi bersama; (4) mengupayakan cara perjuangan par- lementer yang sungguh-sungguh tidak sekedar memakai nama Islam tetapi segan mempertahankan prinsip-prinsip ke-Islaman. Ternyata selama 5-6 tahun yang akhir sikap melepaskan prinsip Islam telah mematikan jiwa ke-Islaman di dalam masyarakat.17 Dalam penjelasan tentang konsepsi tersebut PBNU me- nyatakan pentingnya kesatuan ummat Islam dan harapan tetap memiliki wadah tunggal sebagai cermin dari kesatuan tersebut, tetapi dalam kenyataan dualisme keanggotaan Ma- syumi dirasakan tidak adil. Suara orang yang mewakili NU sebagai organisasi yang beranggota ratusan ribu, dipandang sama saja dengan suara anggota Masyumi perorangan da- lam menentukan soal yang penting dan prinsip.18 Menurut NU bagi orang yang tidak berkepentingan hal itu tidak terasa, tetapi bagi NU hal ini merupakan soal yang amat besar artinya.19 Kalau NU membiarkannya berarti menyia- nyiakan dan tidak memperjuangkan kepentingan anggota yang sekian banyak yang menaruh kepercayaan kepada PBNU.20 Ditegaskan pula bahwa soal ini sebenarnya sudah berkali-kali dipersoalkan oleh NU sejak tahun 1950 dan diusulkan agar Masyumi diubah menjadi badan federasi, tetapi setiap kali usul tersebut tidak mendapat tanggapan yang semestinya. Kalau sekarang ini dipersoalkan kembali ketika menghadapi soal kabinet Wilopo, sebabnya ialah karena keyakinan NU bentuk keanggotaan yang dualistis telah mencapai puncak penyebab kelumpuhan pejuangan demi kesatuan Islam itu. Hal itu dibuktikan dengan terus merosotnya posisi partai Masyumi dalam tiga fase kabi- net.21 Dualisme keanggotaan menurut NU menjadi penye- bab utama kelemahan organisasi karena dengan itu tidak bisa ditegakkan disiplin dalam organisasi.22 Perselisihan antara NU dengan anggota DPP Masyumi tidak dapat diselesaikan menghadapi tuntutan NU untuk jabatan menteri agama. Setelah kabinet Sukiman (Masyumi) jatuh, Presiden Sukarno menunjuk Wilopo sebagai forma- tur, setelah formatur sebelumnya Prawoto Mangkasasmito dan Sidik Djojosukarto gagal menyusun kabinet. Kyai Wa- hab mengusulkan agar Masyumi menunjuk Jusuf Wibisono mewakili partai dalam pembicaraan dengan formatur Wi- lopo, namun karena suara Kyai Wahab NU) dalam rapat DPP Masyumi minoritas, sama dengan anggota DPP lain yang mewakili perorangan, maka akhirnya rapat DPP Ma- syumi dengan suara mayoritas menetapkan Prawoto se- bagai wakil partai.23 Tentu saja Kyai Wahab tidak puas dengan keputusan itu, maka tanggal 20 Maret, sehari se- telah rapat DPP itu, Kyai Wahab menulis surat kepada Prawoto yang isinya antara lain menegaskan kalau perlu NU akan melaksanakan tuntutannya tanpa lewat partai.24 Menurut Kyai Wahab, NU organisasi besar, tidak bisa di- samakan dengan anggota perorangan di dalam partai. Du- kungan terbesar bagi partai Masyumi datang dari Muham- madiyah dan NU. Selama kabinet yang lalu Muhammadi- yah diwakili sedikitnya dua orang wakil, tetapi NU tidak pernah lebih dari satu, malah adakalanya tidak sama se kali.25 Menurut Kyai Wahab bila Masyumi hendak turut dalam kebinet dan salah satu kursi kabinet diberikan ke pada NU maka kursi itu ialah menteri agama.26 Pendapat kalangan Masyumi sebagian mengusulkan hen- daknya Muhammadiyah menarik tuntutannya dan menye- rahkan kepada NU. Ada yang menganggap kalau tuntutan NU diterima akan menjadi preseden buruk, karena telah melanggar kebulatan tekad tahun 1945 menjalin kesatuan dan persatuan Masyumi sebagai partai Islam satu-satunya. Ada pula yang mengusulkan agar surat NU dibicarakan dulu dengan sikap netral dan obyektif.27 Sebagai alternatif Kyai Wahab mengusulkan agar Masyumi mencalonkan le- bih satu calon untuk jabatan menteri agama dan menyerah- kan keputusan kepada formatur. Jika formatur menghen- daki agar partai sendiri yang memutuskan, maka partai Masyumi harus membicarakan kembali dalam forum rapat. Usul ini pun ditolak.28 Tanggal 26 Maret Kyai Wahab menemui langsung for- matur Wilopo. Wachid Hasjim kemudian menulis surat kepada Natsir tentang pertemuan Kyai Wahab dengan for- matur Wilopo yang isinya antara lain 'Masyumi akan pecah jika menyerahkan soal jabatan menteri agama selain kepada NU, sebab anggota parlemen dari unsur NU akan menolak memberi dukungan kepada kabinet.29 Reaksi pun muncul dari anggota-anggota DPP Masyumi terhadap tindakan Kyai Wahab yang menemui sendiri formatur Wilopo dan surat 'ancaman' dari Wachid Hasjim. DPP Masyumi ke- mudian mengecam tindakan Kyai Wahab dan NU, dan memutuskan menetapkan sendiri calon menteri agama. Ta- hap pertama ada 8 calon, termasuk dua dari NU, Masjkur dan Fathurrahman. Pemungutan suara pertama Masjkur dan Fathurrahman, masing-masing mendapat 1 suara, Faqih Usman 4, dan Osman Raliby 2 suara. Pemungutan suara kedua Faqih Usman 5 dan Osman Raliby 4 dan satu suara blangko.30 Dengan kejadian ini maka formatur Wilopo menunjuk Faqih Usman sebagai menteri agama, namun akibatnya ke- kecewaan NU terasa sangat dalam. Rapat PBNU 5-6 April di Jombang memutuskan NU keluar dari Masyumi. Tun- tutan yang sejak lama diajukan agar dilakukan reorganisasi Masyumi dengan menghapuskan dualisme keanggotaan, suara yang mewakili organisasi sama dengan suara yang mewakili perorangan dalam berbagai forum pengambilan keputusan atau menjadikan Masyumi sebagai badan fe- derasi, tidak pernah mendapat tanggapan. NU tidak bisa menerima keputusan rapat DPP Masyumi karena keputus- an itu dirasakan tidak adil, suara anggota perorangan da- lam DPP Masyumi dianggap sama dengan anggota DPP yang mewakili organisasi. NU sudah merasa cukup me- nyampaikan alasan itu, tetapi anggota DPP Masyumi yang lain menurut NU telah berkolaborasi untuk mempersempit dan mengecilkan peran NU. Akan wajar jika NU kemudian menampakkan reaksi yang keras, kabinet Wilopo berhasil terbentuk tanpa NU mendapat kesempatan memenangkan pemungutan suara dalam rapat-rapat Masyumi karena un- sur NU dalam keanggotaan DPP Masyumi sangat kecil. Selain itu pada umumnya para pemimpin Masyumi yang non NU memandang tidak cukup baik dan kurang meng- hargai para pemimpin Islam dari unsur NIJ. Kedudukan NU dalam Masyumi dirasakan NU sebagai kuda tunggang- an belaka bagi sementara politisi Masyumi yang tidak me- miliki basis dukungan ke bawah yang kuat. Setelah PBNU menyampaikan risalah perundingan ke- pada DPP Masyumi tanggal 8 Mei tidak ada jawaban, maka sampai akhir Juli PBNU sudah lima kali menulis surat kepada DPP Masyumi.31 Dalam surat terakhir tanggal 31 Juli, NU menyatakan telah resmi keluar dari Masyumi. Alasan yang dikemukakan karena muktamar NU di Palem- bang memberi batas waktu penyelesaian keputusan muk- tamar sampai akhir Juli 1952. Berhubung dengan itu, dalam surat tersebut, maka personil NU yang duduk dalam DPP Masyumi ditarik, yaitu Wahab Chasbullah, Masjkur, Zainul Arifin dan, Wachid Hasjim.32 Dengan pernyataan resmi NU ini maka keesokan harinya, tangal 1 Agustus ditandata- ngani Maklumat Bersama DPP Masyumi dan PBNU yang ditandatangani M. Natsir (Masyumi) dan Wachid Hasjim (NU). Dinyatakan bahwa mulai akhir Juli 1952 NU telah memisahkan diri dari Masyumi sebagai anggota istimewa berdasar keputusan muktamarnya di Palembang.33 Dinyata- kan pula bahwa pemisahan diri ini hendaknya tidak mem- pengaruhi persatuan, tetapi sebagai perubahan organisasi saja. Mengenai anggota perorangan yang merangkap akan diatur kemudian.34 Sebagai konsekuensi dari tuntutan PBNU untuk memben- tuk badan federasi, maka setelah berhasil melakukan perun- dingan dengan Masyumi, kemudian diupayakan mendiri- kan badan federasi yang diberi nama Liga Muslimin In- donesia. Sebelum itu NU juga mengusulkan kepada Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) agar organisasi ini diubah menjadi badan federasi ummat Islam Indonesia de- ngan mengganti nama menjadi Muktamar Muslimin In- donesia (MMI) dengan alasan supaya tidak membentuk badan baru atau organisasi baru.35 Dinyatakan pula dalam surat tersebut bahwa NU telah mengusulkan kepada Ma- syumi mengenai gagasannya untuk membentuk badan fe- derasi yang dimaksud.36 Namun sayang kedua usul NU tersebut tidak memperoleh sambutan, baik dari kalangan Masyumi sendiri maupun BKMI. ______________________________________________________________ ______________________________________________________________ Catatan 1. Abubakar, Sejarah Hidup, h. 564. Lihat pula Saifuddin Zuhri, Berangkat dan Pesantren (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h. 398. Selanjutya dikutip Berangkat. 2. Dikutip dari Saifuddin Zuhri, Berangkat, h. 398. Tidak dijelaskan siapa tokoh rangking kedua Masyumi itu. Dalam hirarki kepemimpinan Masyumi ketika itu ada presidium (wakil ketua dijabat Kasman Singodimedjo) dan eksekutif (wakil ketua dijabat Prawoto Mangkusasmito). Pernah diprovokasikan oleh setengah orang bahwa jika NU menjadi partai politik maka ia akan merupakan aliran politik yang sangat ekstrem kanan yang penuh dengan fanatisme dan menuju ke arah diktatur; PBNU Bagian Da'wah, "28 Tahun Partai NU Telah Berjuang", dalam Risalah Kenang-kenangan ke 28 Partai NU (Kudus: Panitia Hari Ulang Tahun ke-28 Partai NU, 1954). 3. Berangkat, h. 138. 4. PBNU, Konsepsi PBNU Mengenai Perundingan NU-Masyumi, tanggal 8 Mei 1952, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 139/140. Selanjutnya dikutip Konsepsi. 5. Ibid. 6. PBNU, Tentang Perundingan Antarn NU dan Masyumi, tanggal 9 Juni 1952, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 139/140, h. 1. Selanjutnya dikutip Tentang Perundingan. 7. Tentang Perundingan, h. 1. 8. Ibid. 9. Ibid., h. 2. 1O. Ibid. 11. Ibid. 12. Ibid. 13. Ibid. 14. Ibid. 15. Ibid, h. 3. 16. Ibid. h. 4. 17. Konsepsi. 18. PBNU, Penjelasan tentang Konsepsi PBNU Mengenai Perundingan NU-Ma- syumi, tanggal 18 Mei 1952, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 139/ 140. Selanjutnya dikutip Penjelasan. 19. Ibid. 20. Penjelasan. 21. Dalam Penjelasan tentang Konsepsi PBNU dikemukakan maksud kemerosot- an tiga fase kabinet ialah kabinet Natsir, kabinet Sukiman lemah karena dipukul kawan sendiri, dan kabinet Wilopo. Masyumi hanya duduk sebagai wakil perdana menteri. Dalam Masyumi sendiri timbul silang pendapat antar pemimpin Masyumi sehingga akibatnya kabinet yang dipimpin Masyumi ja- tuh. Kelompok Sukiman-Jusuf Wibisono dan Natsir-Prawoto seringkali ber- silang pendapat yang tersiar ke surat kabar. DPP Masyumi sering tidak bisa mengatasi perbedaan pendapat intern akhirnya tersebar keluar. Deliar Noer, Pmtni Islmn, h. 205-225. 22. PBNU, Penjelasan. 23. Yusuf Wibisono dan Sukiman memang dikenal cukup dekat dan dapat memahami kepentingan NU, karena itu tidak heran kalau Kyai Wahab meng- usulkan agar Jusuf ditetapkan mewakili Masyumi untuk bertemu dengan formatur Wilopo, tetapi usul Kyai Wahab ditolak DPP Masyumi. 24. Deliar Noer, Partai Islam, h. 82-83. 25. Ibid, h. 83. Menurut kalangan Masyumi, NU menilai Prawoto Mang- kusamsamito, Moch. Sardjan dam Moh. Roem mewakili Masyumi dalam kabinet dari unsur Muhammadiyah. Sampai saat itu tidak pernah ada kabinet koalisi, kecuali kabinet Soekiman (sebelum Wilopo). Penilaian tersebut di- anggap tidak benar, sebab mereka tidak mewakili Muhammadiyah dalam Masyumi; Wawancara dengan Dr. Anwar Hajono, SH, di Jakarta, 20 April 1992. Perbedaan penafsiran mengenai anggota istimewa dalam Masyumi me- mang tejadi. Para pemimpin NU duduk dalam DPP Masyumi maupun dalam kabinet dari unsur Masyumi, merasa mewakili NU sebagai anggota istimewa Masyumi. Nwr. Porfni Islam. 26. Deliar Noer, Partai Islam. 27. Ibid, h 84. 28. Ibid., h. 84. 29. Ibid, h. 85-86. 30. Ibid., h. 86. 31. Dalam surat terakhir PBNU menjelaskan telah menulis surat sebanyak lima kali kepada DPP Masyumi mengenai soal ini. Tanggal 8 Mei sebanyak 2 surat, 17 dan 31 Mel, 10 Juni, dan terakhir 31 Juli. Lihat surat PBNU nomer 237/Tanf/VII/1952, tanggal 31 Juli 1952, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 140. 32. Surat PBNU nomer 237/Tauf./VI1/1952, tanggal 31 Juli 1952. 33. Maklumat Bersama NU-Mnsyumi, tanggal 1 Agustus 1952, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 140. 34. Ibid. Mengenai anggota perorangan dipersilakan untuk memilih, apakah akan tetap menjadi anggota Masyumi atau melepaskan keanggotaannya dan bergabung ke NU. Salah seorang anggota parlemen, Saleh Sujaningprodjo, menyatakan keluar dari Masyumi masuk NU. 35. Surat PBNU kepada BKMI tanggal 5 Agustus 1952, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 140. 36. Surat PBNU kepada BKMI tanggal 5 Agustus 1952, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 140.