I. KIPRAH DALAM MASYUMI Selama zaman pemerintahan pendudukan Jepang kegiatan Masyumi umumnya tidak berbeda dengan kegiatan organi- sasi pendahulunya, MIAI. Selain kegiatan da'wah dan pe- ngembangan hidup beragama, ceramah-ceramah keagama- an, penerbitan majalah (Soeara Moeslimin Indonesia), juga dilakukan kegiatan sosial untuk menolong fakir miskin dan pengumpulan dana. Apalagi sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah pendudukan Jepang untuk melipatgandakan hasil pertanian, maka organisasi ini pun melakukan pro- paganda itu. Akan tetapi hal inilah yang memprihatinkan beberapa pemimpin Islam, antara lain Wachid Hasjim, se- bab jika hal ini dilakukan terus oleh Masyumi tidak mus- tahil Masyumi akan menjadi alat propaganda Jepang be- laka. Menyadari akan hal ini kemudian beberapa tenaga muda, antara lain Faqih Usman, Ghafar Ismail, Wachid Hasjim, dan Soekiman, melibatkan diri ke dalam kegiatan organisasi untuk menyelamatkan organisasi dan ummat Is- lam.221 Dengan demikian propaganda untuk melipatgan- dakan hasil pertanian tidak saja berguna bagi Jepang, tetapi juga bagi kaum muslimin sendiri. Dana yang berhasil di- kumpulkan kemudian dimasukkan ke bait al-mal.222 Selain hal tersebut kegiatan lain yang perlu dicatat di sini ialah latihan ulama dan kemiliteran menyusul berdirinya Hizbullah dan Sabilillah.223 Kalangan Islam selain bergiat dalam lasykar tersebut juga sebagian bergiat dalam Peta. Kegiatan ini memang akhirnya memberi keuntungan ketika organisasi angkatan perang dilikuidasi, tetapi kemudian se- gara keuntungan itu tidak dirasakan lama sebab banyak di antara kalangan Islam yang semula tergabung dalam Hiz- bullah dan Sabilillah maupun Peta mengundurkan diri dari militer. Mereka umumnya kemudian bergiat dalam bidang keagamaan, da'wah dan politik. Di antara mereka antara lain Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Zainul Ari- fin, Masjkur, Choliq Hasjim dan lain-lain.224 Pada tanggal 3 November 1945 pemerintah RI yang baru diproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945 mengumumkan memberi kesempatan kepada rakyat untuk membentuk partai politik agar segala aliran dapat diarah- kan ke jalan yang teratur. Keputusan ini kemudian disam- but hangat oleh rakyat dan para politisi. Muktamar Islam Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 7-8 November memutuskan membentuk partai politik Masyumi yang dianggap sebagai satu-satunya partai Islam.225 Tujuan ini ternyata tidak sepenuhnya tercapai karena pada tahun itu juga organisasi Persatuan Tarbiyah Islami- yah (Perti) yang berpusat di Sumatera Barat menyatakan tidak bersedia bergabung ke dalam Masyumi dan memben- tuk partai sendiri dengan nama Perti. Mohammad Natsir yang datang ke Sumatera Barat selaku utusan Masyumi untuk membentuk partai ini di Sumatera Barat segera se- telah Masyumi berdiri, tidak berhasil meyakinkan pemim- pin organisasi Perti untuk bergabung ke dalam Masyumi. Barangkali hal ini akibat dari pengaruh negatif pertentan- gan "kaum tua" dengan "kaum muda' yang berkembang di Sumatera Barat pada bagian pertama abad ini. Para pemim- pin Masyumi yang dicerminkan utusannya ke Sumatera Barat dinilai sebagai "kaum muda" yang tidak sejalan de- ngan kalangan "kaum tua" yang berada di belakang Perti. Bahkan sebelumnya memang sudah terjadi ketidaksesuaian paham dalam Majelis Islam Tinggi (MIT) suatu organisasi Islam untuk seluruh Sumatera Barat yang kemudian di- rubah menjadi Masyumi.226 Selanjutnya tahun 1947 SI di- bentuk kembali sebagai partai sendiri dengan nama Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan disusul NU pada tahun 1952. Dukungan NU kepada Masyumi pada mulanya memang tampak bergelora dengan seruannya kepada para anggota sendiri maupun kepada ummat Islam untuk bergabung ke dalam Masyumi. Dalam kongres NU di Purwokerto tahun 1946 diserukan agar warga NU membanjiri partai politik Masyumi dan diputuskan NU akan menjadi tulang pung- gung Masyumi. Perbedaan kepentingan politik antar ber- bagai kelompok dalam Masyumi kemudian segera menyu- sul. Persatuan yang sejak awal kemerdekaan dengan men- jadikan Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam tidak dapat dipertahankan lagi. Segera saja pengaruh politik praktis berupa distribusi kekuasaan menjadi ajang perebut- an dan hal-hal lain yang menyangkut ketidaksepahaman kebijaksanaan politik menghadapi Belanda dalam perjanjian Linggarjati dan Renvile. Keputusan PSII mendirikan kembali partai tahun 1947 itu setelah dibekukan Jepang sebelumnya dan NU keluar dari Masyumi tahun 1952 untuk sebagian juga dipepengaruhi alasan-alasan ini, selain barangkali per- tentangan lama ketika organisasi-organisasi Islam berselisih paham pada tahun 30-an yang muncul kembali.228 Semula keterikatan NU dalam Masyumi masih dapat dipertahankan meskipun PSII telah keluar. Akan tetapi de- ngan demikian peristiwa ini ibarat menyulut api dalam sekam. Ketidakmampuan pemimpin Masyumi melakukan negosiasi dan kompromi-kompromi antara sesama kawan, mempercepat api perpecahan Ketika awal kemerdekaan perselisihan berhasil ditekan tidak muncul ke permukaan, tetapi serentak dengan adanya kesempatan memperoleh di- stribusi kekuasaan politik, perpecahan pun timbul. Kondisi lemahnya persatuan Islam sebenarnya sudah ter- jadi sejak sebelum kemerdekaan, bahkan pada dekade-deka- de sebelumnya. Faktor ini nampaknya kurang diperhatikan ketika mula pertama partai Masyumi dibentuk. Struktur keanggotaan Masyumi yang mendua, terdiri atas anggota organisasi dan perorangan, tidak memperlancar dilakukan- nya negosiasi untuk mengatasi berbagai kepentingan yang timbul. Memang ideal sekali adanya keanggotaan perorang- an yang terdiri atas para intelektual, terutama yang berpen- didikan Barat dan cerdik pandai lainnya, tetapi kebanyakan mereka tidak memiliki basis dukungan ummat yang luas. Mulanya dimaksudkan untuk menjadikan Masyumi sebagai partai kader dengan sekelompok elite tertentu para cen- dekiawan menjadi pilar utama gerakan partai, tetapi sikap merasa "di atas" yang mereka perlihatkan tidak mendapat simpati anggota lainnya. NU yang berada di dalam Ma- syumi sebagai anggota istimewa karena mewakili organisasi menghendaki adanya perbandingan suara antara anggota biasa (perorangan) dengan anggota istimewa. Menurut NU amat tidak logis anggota perorangan memiliki suara sama dengan anggota istimewa yang mewakili sejumlah orang anggota organisasi.229 Selain itu tidak kukuhnya kebijaksanaan politik Masyumi ikut mempengaruhi perpecahan Masyumi. Ketika pada tanggal 3 Juli 1947 dibentuk kabinet Amir Syarifudin, Masyumi menolak ikut serta, tetapi PSII di bawah pim- pinan Arudji Kartawinata dan Wondoamiseno memasuki kabinet dengan menempatkan wakilnya. Mulanya Masyumi memboikot kabinet tetapi empat bulan kemudian me- masukkan wakilnya bahkan sebagai wakil perdana men- teri.230 Penolakan Masyumi terhadap kabinet Amir Syari- fudin nampaknya tidak didasarkan kebijaksanaan politik yang strategis, tetapi hanya karena ketidaktegasan sikap politik menghadapi Belanda karena adanya dua kubu di dalam Masyumi, sebagian bersikap keras dan sebagian yang lain lunak.231 Sedang PSII mengemukakan alasan me- masuki kabinet semata-mata karena rasa tanggung jawab terhadap negara.232 NU keluar dari Masyumi diputuskan dalam kongres ke- 19, April 1952, di Palembang. Keputusan itu sebelumnya didahului kritik dan protes yang dilancarkan terhadap Ma- syumi. Dalam kongres Masyumi tahun 1949 di Yogyakarta ketegangan sempat terjadi karena salah seorang tokoh Ma- syumi, Muhammad Saleh (Walikota Yogyakarta) mengata- kan "... Politik ini saudara-saudara, tidak bisa dibicarakan sambil memegang tasbih".233 Selanjutnya dikatakan bahwa urusan politik ini cukup luas, tidak hanya berada di sekeli- ling pondok pesantren. Politik itu luas menyebar ke seluruh dunia.234 Segera saja ucapan itu diprotes delegasi yang me- wakili NU agar ditarik kembali. Tetapi Muhammad Saleh menolak, maka sekitar 30 orang delegasi dari NU me- ninggalkan ruangan.235 Hal yang mirip dengan itu juga terjadi di Bogor dalam sidang dewan partai Masyumi tahun 1952.236 Peristiwa senada barangkali juga terjadi di tempat lain, karena memang hubungan antara pemimpin NU de- ngan Masyumi kurang serasi. Umumnya politisi dan pe- mimpin NU terdiri atas ulama atau tenaga lain keluaran pesantren, kalaupun ada yang berpendidikan model Barat, seperti Zainul Arifin dan Muchammad Iljas, jumlahnya ti- dak banyak. Sementara dari kalangan Masyumi meman- dang rendah lulusan pesantren ini dan dengan demikian juga memandang rendah pemimpin-pemimpin NU. Selain itu kepemimpinan Masyumi sendiri nampaknya tidak sesuai dengan tekad yang ada.237 Wachid Hasjim pada tahun 1950 menulis dalam Soeara Partai Masyumi yang menggambarkan pengurus Masyumi sebagai "biduk yang hanyut ke hilir tanpa kemudi".238 Masyumi dianggapnya terlalu lemah karena anggota perorangan dengan anggota organisasi memiliki suara yang sama dalam pengambilan keputusan. Diibaratkannya Masyumi sebagai sebuah pabrik atau perusahaan yang menjual hasil produksinya melalui dua cara: melalui agen dan mengecer langsung kepada konsumen. Tentu ini akan melemahkan perusahaan, sebab harga dari pabrik langsung akan lebih murah. Akibatnya agen tidak berfungsi lagi sebagai mata rantai perusahaan. Selanjutnya pada akhir tahun 1951 kembali Wachid Has- jim menulis dengan judul Ummat Islam Indonesia Menunggu Ajalnya, tetapi Pemimpinnya Tidak Tahu yang mengkritik pe- mimpin-pemimpin Masyumi telah tenggelam dalam per- mainan politik melupakan kepentingan Islam menghadapi cobaan berat saat itU.239 Dikatakan selanjutnya: ..tulisan ini kami tujukan kepada penulis-penulis Islam yang sudah tidak "doyan" lagi pada kupasan-kupasan tentang Islam "lama". Mereka yang dahulu menuliskan Politik-Islam kini me- nuliskan Islam-Politik; mereka yang dahulu menguraikan Fil- safat-Islam, dan kini menguraikan Islam-Filsafat, mereka yang dahulu mempropagandakan Kebudayaan-Islam, dan kini mem- propagandakan Islam-Kebudayaan. ..tinggalkanlah "Parker fifty one" saudara-saudara yang meng- kilap dengan gosokan sivilisasi (peradaban) model dance hall dan bar itu.240 Agaknya tulisan ini ditujukan kepada sementara pemim- pin Masyumi yang dijangkiti budaya dansa-dansi dan ekses-eksesnya yang kurang terpuji. Selain itu disinggung pula wibawa kepemimpinan Masyumi di mata anggotanya telah merosot. ".... organisasi kita takut kepada orang-orang (anggota-anggota) kita sendiri", kata Wachid Hasjim.241 Anggota yang tidak disiplin tidak memenuhi kewajiban keuangan, tidak tunduk kepada pimpinan, memakai politik yang dibisikkan orang lain tidak dapat dikendalikan or- ganisasi, karena organisasi takut kepada anggotanya sen- diri. Pada sisi lain NU merasa perkembangan organisasinya sendiri telah mengalami kemajuan yang pesat. Banyak ula- ma muda lulusan pesantren yang memperoleh kemajuan dan kemudian memusatkan pengembangan karir mereka dalam politik. Pertumbuhan ini memerlukan ruang gerak yang cukup luas, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Ruang gerak akan terbuka luas bila NU berdiri sebagai partai politik. Tetapi ini masih dipertimbangkan agar se- dapat mungkin tidak merusak persatuan Islam yang telah ada. Karena itulah NU melalui ketuanya, Wachid Hasjim, menuntut perubahan partai Masyumi dengan menjadikan- nya sebagai federasi. Sesungguhnya perselisihan itu dapat pula dilihat dari segi lain yaitu perbedaan perspektif keagamaan. Menurut pernyataan NU sejak akhir tahun 1949 struktur organisasi Masyumi telah diubah sedemikian rupa sehingga majelis syura bukan lagi tempat yang penting bagi ulama karena majelis itu tidak lagi dijadikan sebagai badan legislatif me- lainkan hanya sebagai badan penasehat belaka dan segala persoalan hanya dilihat dari jurusan politik saja tidak lagi mengambil pedoman agama. Agaknya perubahan itu bu- kan dalam pengertian formal, sebab dalam anggaran rumah tangga Masyumi yang diterbitkan tahun 1951 masih dican- tumkan ketentuan dewan pimpinan partai wajib meminta fatwa kepada majelis syura pusat dalam soal-soal politik yang dianggapnya mengenai hukum agama dan keputusan yang ditetapkan adalah keputusan yang tertinggi.244 Dengan demikian sebenarnya Masyumi masih menem- patkan majelis syura sebagai badan tertinggi yang panting dan menetapkan kewajiban dewan pimpinan partai untuk meminta fatwa kepada majelis syura agar tidak melihat setiap permasalahan dari sudut politik belaka. Barangkali dalam pelaksanaan ketentuan itu tidak dilaksanakan oleh dewan pimpinan partai. Persoalan peran majelis syura ini juga disinggung setelah NU keluar. Persis mengharapkan hendaknya para ulama dalam majelis syura "tidak sekedar menjadi'juru fatwa seperti yang selama ini, tetapi ikut memberikan pimpinan perjuangan, ikut menentukan ke- bijaksanaan politik sehari-hari". Moenawar Chalil menyin- dir peran majelis itu dengan ungkapan "sebagai reklame toko", karena itu mengusulkan namanya diganti "majelis fatwa".246 Upaya yang dilakukan oleh NU untuk mengembalikan wibawa majelis syura tidak berhasil. Menurut NU dewan pimpinan partai Masyumi terlalu tenggelam dalam soal-soal politik, melupakan kepentingan Islam yang saat itu meng- hadapi cobaan berat, seperti dikemukakan Wachid Hasjim di atas. Memang agak sulit peran semacam lembaga Majelis Syuro Masyumi dapat efektif seperti lembaga Syuriyah NU karena perbedaan tradisi keduanya. Lembaga syuriyah NU memang cukup efektif mengendalikan organisasi NU ka- rena akar kelahiran organisasi dimotori ulama-ulama dan kuatnya pengaruh pesantren di dalamnya. Barangkali NU mengharapkan Majelis Syuro Masyumi dapat berfungsi se- perti Syuriyah NU. Tentu saja hal itu sulit dilaksanakan, sebab di dalam Masyumi terdiri dari aneka ragam tradisi yang belum tentu sejalan dengan NU. Satu hal yang patut diberi catatan di sini ialah tuntutan NU untuk menjadikan Masyumi sebagai federasi partai-par- tai atau membentuk federasi baru yang namanya bukan Ma- syumi (dan menjadikan Masyumi sebagai salah satu ang- gota federasi) tidak dapat dibuktikan efektifnya setelah ter- nyata federasi yang dibentuk bersama PSII dan Perti (serta DDI) tidak dapat berjalan efektif. Temyata masing-masing mereka yang bergabung dalam federasi Liga Muslimin berjalan sendiri-sendiri dan akhirnya Liga itu bubar dengan sendirinya. Mengenai seal jabatan Menteri Agama dalam kabinet Wilopo yang menimbulkan kekisruhan di dalam tubuh Ma- syumi juga antara lain karena kelemahan dalam tubuh syumi sendiri karena ketidaksepahaman para pemimpin Masyumi dalam menetapkan kebijaksanaan organisasinya. Perbedaan terjadi antara kelompok Natsir dan Sukiman. Fraksi Masyumi di Parlemen mendukung Prawoto selaku wakil partai dalam berunding dengan formatur Wilopo ka- rena penunjukannya telah melalui prosedur partai, semen- tara beberapa kalangan Masyumi, antara lain Jusuf Wi- bisono, mendukung Sukiman kembali menduduki kursi perdana menteri.247 Dalam soal menteri agama juga de- mikian, sebagian besar anggota DPP Masyumi menghen- daki agar NU melepaskan tuntutannya untuk mengisi ja- batan itu karena alasan NU sudah tiga kali berturut-turut memegang jabatan manteri agama,248 sementara NU sendiri tetap menghendaki jabatan itu, sebab dengan jalan itu an- tara lain eksistensi politik NU tetap dapat terjamin. Issue mengenai taken kabinet setiap kali menghadapi pemben- tukan kabinet baru semacam mengecilkan "nyali" NU ketika itu karena miskinnya tenaga trampil dan ahli untuk me- mimpin suatu kementerian, maka harapan satu-satunya yang bisa diandalkan NU ialah menteri agama karena NU merasa memiliki tenaga untuk itu. Di pihak lain "unsur" Muhammadiyah dalam Masyumi juga menghendaki jabatan itu dengan alasan NU sudah memimpin kementerian aga- ma selama tiga kali kabinet, maka tiba giliran Muham- madiyah. Setidak-tidaknya menteri agama tidak dipegang NU terus menerus. Hal ini bisa dikatakan bahwa karena alasan itulah NU mengambil keputusan keluar dari Masyumi, dan sebaliknya juga karena alasan itu pula pihak lain dalam Masyumi, dalam hal ini Muhammadiyah, mempertahankan pendirian untuk tidak memberikan jabatan menteri agama kepada NU. Selain merasa sudah gilirannya, Muhammadiyah mem- pertahankan tuntutannya untuk memegang jabatan menteri agama, tentu saja mempunyai alasan politis, seperti halnya NU. Memang akhirnya kerumitan distribusi kekuasaan po- litik seperti ini terus membayangi sepak terjang partai-par- tai Islam selanjutnya. Dengan demikian sekiranya jabatan menteri agama waktu itu diserahkan kepada NU pun, ke- rumitan distribusi kekuasaan politik di kemudian hari tidak lantas selesai dengan sendirinya, sebab masing-masing pi- hak akan menghadapi persoalan yang sama atau mirip dengan itu di kemudian hari. Terbukti pada waktu pem- bentukan kabinet;Ali Sastroamidjojo I dan II, dan kabinet Djuanda, kerumitan itu juga terjadi, bukan hanya antara pihak-pihak dalam Masyumi dengan partai Islam lainnya, bahkan juga antar sesama anggota Liga Muslimin sendiri. Jadi kalaupun NU tidak keluar dari Masyumi pada saat "kasus" kabinet Wilopo, masih terbentang kemungkinanya dilakukan di kemudian hari. Upaya mempersatukan para pemimpin Islam satu dengan lainnya masih dibayangi kon- disi psikologis masa lain mereka sejak sebelum perang. _________________________________________________________ _________________________________________________________ Catatan 221. A. Wachid Hasjim, Menyongsong Tahun Proklamasi ke Delapan, (Jakarta: 14 Agustus 1952), dikutip dari Abubakar, Sejarah Hidup, h. 729-31. 222. Soeara MIAI, 1 April 2603. 223. Setidaknya telah tiga kali diadakan latihan ;lama. Setiap angkatan diikuti 60 orang peserta. Muhammad Dahlan, Ghufron Fakih, Muhammad Jasin, Ahmad Zaini dan Anwar Musaddad termasuk dari peserta latihan tersebut. Anwar Musaddad menulis Kenang-kenangan Selama Latihan Oelama, menuturkan bahwa tujuan latihan bekeja sama dengan Bala Tentara Dai Nippon untuk menciptakan kemakmuran Asia Timur Raya. Menurut Anwar Musaddad barn kali ini ulama mendapat kehormatan untuk ber- satu bekeja sama menuju kemuliaan agama, nusa dan bangsa. Mata pelajaran latihan antara lain dasar perang Asia Timur Raya, tujuan tentara Dai Nippon, sejarah pejuangan agama Islam di Indonesia, ilmu kesehatan, perindustrian, perhubungan, agama, dan pengetahuann umum. Soeara MIAI, 17 September 2603. 224. Abdul Choliq Hasjim, bekas perwira Peta; Masjkur, bekas Panglima Hizbullah; Zainul Arifin dan Kasman, Sabilillah. 225. Nama Masyumi dinyatakan bukan sebagai akronim Majelis Syura Muslimin Indonesia zaman pendudukan Tepang. Nama par- tai ini sebelumnya diperdebatkan dalam muktamar di Yogyakarta antara Partai Rakyat Islam Indonesia atau Partai Masyumi, akhir- nya muktamar memutuskan nama Masyumi dengan perbanding- an suara 52:50. Lihat Deliar Noer, Partai Islam, h. 47. 226. Deliar Noer, Partai Islam, h. 73. 227. Muktamar NU 1946 di Punvokerto memutuskan 'soepaja anggota-anggota Nahdlatoel Oelama membanjiri Party Politik Ma- sjoemi menoeroet petoenjoek Pengoeroes Besar NO'. Poetoesan- poetoesan Moe'tamar NO ke 16, 23-26 R. Akhir 1365 (26/27-29 Maret 1946) di Purvokerto, (Soekaradja: Tjabang NO Banjumas, 1946), h. 9. 228. Muchtar Naim, The Nahdlatul-Ulama Party (1952-1955), (Mon- treal: Thesis for the Degree of Master of Arts, McGill University, 1960), h. 7-25. 229. Penjelasan tentang Konsepsi PBNU Mengenai Perundingan NU- Masyumi, tangal 18 Mei 1952, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU Nomer 139-140. 230. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangan- nya di Indonesia, (8andung: Almaarif, 1979) h. 460-465. 231. Deliar Noer, Partai Islam, h. 76. 232. Ibid., h. 77. 233. Amak Fadhali, (ed.) Partai NU dengan Aqidah dan Perkembang- annya, (Semarang: Toha Putra, 1969), h. 27. Selanjutnya dikutip Partai NU. 234. Ibid. 235. Ibid. 236. Ibid. 237. Wachid Hasjim, Masyumi Lima Tahun, dikutip dari Abubakar, Sejarah Hidup, h. 735-6. Selanjutnya dikutip Masyumi Lima Tahun. 238. Ibid. 239. Dikutip dari Abubakar, Sejarah Hidup, h. 786. 240. Ibid. 241. Ibid., h. 737. 242. Kepartaian, h. 412. Lihat pula Zamakhsyari Dhofir, "K.H.A. Wachid Hasjim Rantai Penghubung Peradaban Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern", Prisma, Pebruari, 1980, nomer 8, h. 73-81. 243. Kepartaian, h. 412. 244. Kepartaian, h. 20. 245. Isa Anshary, "Muktamar Masjumi Bandung adalah Permula- an Bajangan Gelap ...", Dakwah Islamiyah, Th. I, no. 1, 1957, h. 12-13. 246. Menurut Moenawar Chalil, A. Hassan juga pernah menyin- dir peran majelis itu sebagai patung, tidak berfungsi. Moenawar Chalil, "Majelis Syura dalam Masjumi", Daulah Islamyah, Th. 2, nomer 1, 1957, h. 86. 247. Meskipun ada perbedaan ini tetapi akhirnya Masyumi dapat mengambil keputusan menunjuk Prawoto mewakili Masyumi be- runding dengan formatur Wilopo. Prawoto dalam kabinet itu menjabat wakil perdana menteri, sebab Wilopo secara tegas me- megang jabatan perdana menteri sendiri; Deliar Noer, Partai Islam, h. 221-224. 248. Partai Islam, h. 221-224.