Jika konsep dasar ini dapat dijadikan acuan untuk me- nilai pola kepemimpinan Idham Chalid selama hampir tiga puluh tahun memimpin NU, (1956-1984), agaknya bisa di- fahami mengapa selama itu aspek-aspek struktural formal organisasi tidak begitu mendapat perhatian serius, sehingga akibatnya sebagian besar lembaga amal sosial NU dibiarkan mengambang sebagai bagian dari tradisi kultural komunitas santri yang berpusat dalam jaringan kyai, pesantren dan jamaah. Dari jumlah ribuan madrasah dan sekolah NU dari TK sampai SMTA dan satu dua perguruan tinggi serta lembaga-lembaga sosial lainnya, hanya sebagian kecil saja yang dikelola langsung NU.190 Selebihnya merupakan lem- baga swadaya komunitas santri yang tetap memiliki ke- mandirian untuk mengapresiasikan diri sesuai dengan tun- tutan kebutuhan setempat dan umumnya tidak tercabut dari akar tradisi sebuah 'isme' besar NU. Pendekatan untuk memahami pola pengembangan ini jelas sekali nampak aspek penting sebagai pola gerakan sosial keagamaan, sebab aspek-aspek formal organisasi da- lam satu segi tidak atau kurang berperanan untuk menilai mobilitas dan perkembangan NU. Aspek formal organisasi bukannya tidak berperan sama sekali, tetapi lebih hanya sebagai pemicu dinamika perkembangannya. Sejak mula aspek yang menonjol dalam kehidupan organisasi NU ialah pengembangan tradisi faham keagamaan yang telah meng- akar dalam kehidupan masyarakat santri di Nusantara. Pola pengembangan ini selanjutnya membentuk jaringan kultural dan tradisi keagamaan yang berpusat pada kyai dan pe- santren. Madrasah dan unit kegiatan sosial yang sudah terbentuk sebelum NU lahir dibiarkan dalam bentuknya semula seperti Nahdatul-Watan, Taswirul-Afkar atau Far'ul- Watan di Surabaya dan Matla'ul-Anwar di Banten dan lain- lain.191 Sebagian besar lembaga serupa itu Yang semula dibentuk atas inisiatif formal NU akhirnya berubah menjadi lembaga 'swasta' setelah pengambil inisiatifnya tidak lagi menjadi pemimpin formal NU, dan selanjutnya mereka umumnya tetap memimpin lembaga 'swasta' itu. Satu hal lagi yang menyebabkan kerumitan hubungan organisasi lembaga itu dengan NU ialah faktor keluarga. Biasanya unhtk memperkuat posisi lembaga itu Yang se- mula mungkin dibentuk NU atau orang-orang NU direkrut tenaga pelaksana dari luar dan kemungkinan untuk men- jamin kehidupan tenaga itu seringkali mereka diangkat se- bagai menantu keluarga-keluarga NU setempat. Pola pe- ngembangan ini terjadi juga di lingkungan pesantren. De- ngan pola pengembangan seperti ini di satu segi dapat memperkuat posisi kelembagaan, tetapi di segi lain menjadi kendala dalam hubungannya dengan NU karena keterlibat- an unsur keluarga di dalamnya. Akhirnya lembaga se- macam itu biasanya diterima begitu saja sebagai milik NU karena dikelola orang-orang NU atau keluarga-keluarga NU. Ini semua menggambarkan aspek penting lebih me- nonjolnya aspek gerakan sosial keagamaan dalam organi- sasi NU. H. MITOS POLITIK Sejak mula NU telah dihinggapi sebuah mitos politik. Para perintis yang membidani kelahiran NU telah dibayangi se- buah obsesi tentang hari dengan Indonesia yang merdeka. Ketika mereka mendirikan cabang SI di Mekkah awal tahun belasan dan kemudian merintis beberapa organisasi sosial pendidikan dan usaha koperasi telah memperlihatkan orien- tasi ke arah masa depan sebuah negeri yang merdeka, sebuah negeri yang ummat Islamnya bebas menjalankan syari'at agamanya. Liku-liku perjalanan yang panjang yang mereka lalui kerap kali ditempuh dengan langkah setengah hati antara tanggung jawab masa depan status politik negeri yang merdeka, tetapi enggan tercebur dalam kancah politik. Ketika dalam muktamar Menes tahun 1938 diperdebatkan usul cabang Indramayu agar NU menempat- kan wakilnya pada Volksraad (Dewan Rakyat), usul ditolak dengan perbandingan suara 39 : 11, dan 3 abstain.193 Akan tetapi alasan yang muncul bukan karena substansi dewan itu yang ditolak, namun lebih karena kekhawatiran akan tersedotnya tenaga kader NU yang sampai waktu itu masih sangat diperlukan untuk membina NU sendiri.194 Esensi dari peran dewan itu sendiri umumnya diterima sebagai suatu yang penting untuk menyalurkan aspirasi NU dan rakyat umumnya. Tahun 1929 NU ikut ambil bagian dalam sidang Kantoor voor Inlandsche Zaken di Jakarta membicarakan soal per- aturan perkawinan ummat Islam dan perbaikan organisasi penghulu. Atas prakarsa C. Gobee, adviseur pada kantor tersebut, pemerintah Hindia Belanda ingin memperbaiki peraturan tentang perkawinan ummat Islam. Peraturan yang direncanakan pada pokoknya mengatur tentang nikah, talak dan rujuk harus dilakukan menurut prosedur ad- ministrasi dan aturan hukum formal. Dilaksanakan di de- pan penghulu, menyerahkan surat keterangan dari desa, cukup umur (15 tahun) dan membayar biaya tertentu. Anak di bawah umur harus seizin bupati dan sebagainya. Kecuali utusan SI yang tidak menyetujui rencana itu yang menurut pendapatnya tidak perlu dilembagakan dalam kerangka ke- negaraan, utusan lainnya menyetujui rencana itu dengan variasi usulan tambahan yang tidak begitu penting.195 Na- mun yang menjadi persoalan ialah organisasi kepenghuluan yang mengemban tugas-tugas tersebut. Selama itu pengang- katan jabatan kepenghuluan tanpa pertimbangan kualitas, sehingga banyak penghulu hanya mengesankan sebagai pembantu bupati untuk menyelenggarakan acara-acara ke luarga seperti perkawinan anak bupati, selamatan dan se- bagainya. Muncul tuntutan agar penghulu diangkat de- ngan petimbangan para ulama setempat, sebeb merekalah yang dapat menguji kemampuan dan kualitas sesorang un- tuk jabatan penghulu.197 Jika usul ini diterima tentu akan melibatkan NU dengan urusan politik, antara lain penem- patan seseorang untuk jabatan kepenghuluan dan akhirnya akan melibatkan pula kegiatan untuk merumuskan sebuah tatanan hukum dalam sistem kenegaraan yang berlaku. Meskipun tidak pada waktu itu, namun setelah pemerintah Hindia Belanda merencanakan perubahan pengaturan per- kawinan ummat Islam dari kepenghuluan (kantor urusan agama) ke pengadilan negeri, maka reaksi ummat Islam, dan NU khususnya, menolak rencana itu. Dengan demikian peristiwa yang terjadi pada tahun 1929 itu telah memper- lihatkan munculnya suatu konsep politik untuk mengaitkan konsep tata hukum dalam kerangka kenegaraan.198 Tahun 1938 dalam muktamar NU di Banjarmasin di- putuskan bahwa Indonesia merupakan dar al-Islam (negeri muslim).199 Dapatkah diterima padahal dalam kenyataan pemerintah yang berkuasa adalah pemerintah Hindia Belan- da yang 'kafir'? Jawaban muktamar ialah karena mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam dan ummat Islam masih memiliki "keleluasaan" menjalankan syari'at agama mereka selain karena negeri ini pernah diperintah oleh raja-raja muslim sebelumnya.200 Adanya lembaga kepeng- huluan yang memungkinkan ummat Islam menjalankan syari'at agama, walaupun bersifat sebagian, dan sangat ter- batas, menjadi alasan adanya celah kelembagaan yang da- pat mengatur kehidupan syari'at Islam dijalankan oleh orang-orang Islam sendiri. Jika dalam tahun 1929 NU ter- masuk menghendaki perbaikan organisasi dan kualitas penghulu, tidak berarti NU tidak mengakui lembaga yang sudah ada itu, sebab bagaimanapun lembaga tersebut me- rupakan ujung tombak bagi kemungkinan ummat Islam melaksanakan syari'at agama mereka secara melembaga, meskipun wewenangnya ketika itu sangat terbatas. Akan tetapi yang agak mengherankan ialah penolakan terhadap usul perlunya NU menempatkan wakil dalam Volksraad, padahal dengan wakil tersebut hal-hal semacam itu lebih besar kemungkinannya bisa diatasi pemecahannya. Keputusan muktamar Banjarmasin dan Menes, barangkali juga kegiatan dalam sidang Kantoor voor Inlandsche Zaken, merupakan bagian dari langkah awal kecenderungan politik yang mengganggu NU. Meskipun tidak dalam bentuk prak- tis, tetapi telah menunjukkan gejala orientatif adanya ke- cenderungan tersebut. Jika ditarik agak ke belakang lagi semua peristiwa itu telah menggambarkan obsesi para pe- rintis yang membidani kelahiran NU tentang hari depan sebuah negeri merdeka agar ummat Islam dapat menja- lankan syari'at agama mereka. Ini berarti bahwa penataan kelembagaan hukum Islam telah menjadi bagian dari per- juangan mereka sejak mula. Meskipun negara yang hendak dijadikan sarana pemberlakuan hukum Islam bukan negara yang mereka cita-citakan, tidak menghalangi niat mereka untuk melaksanakan syari'at Islam dalam kelembagaan yang formal. Salah satu hal yang penting dari fungsi negara (imamah) menurut ketentuan fikih ialah untuk melaksanakan hukum, mengadili perkara dan sengketa hukum, dan menyeleng- garakan ketertiban hukum termasuk menindak pelaku yang melanggar hukum itu.201 Pemerintah yang tiran dan apart- heid harus ditolak, tetapi penolakan tidaklah tanpa mem- perhatikan akibat yang akan tejadi. Jika kuat dan tejamin tidak menimbulkan anarki yang berlarut-larut maka wajib dilakukan,202 namun penolakan sekedar penolakan saja yang akibatnya mungkin dapat jadi bumerang bagi ummat Islam sendiri akan menimbulkan anarki, sebab pada akhir- nya kekuatan kekuasaan politik akan menindak dengan cara-cara militer maupun kelengkapan keamanan lainnya. Terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda yang jelas- jelas tidak Islam, NU dan ummat Islam pada umumnya masih tetap mengakui sebagai salah satu pengendali keter- tiban sosial dan hukum, sebab untuk mendirikan kekuasaan pemerintahan sendiri masih dilakukan terus dengan jalan damai (konstitusional) yang diyakini pasti suatu waktu ke- lak akan berhasil.203 Sikap ummat Islam di negeri-negeri terjajah umumnya juga demikian, namun setelah mereka berhasil memiliki kesempatan untuk merobohkan kekuasaan penjajah, mereka pun melakukannya. Apa yang dilakukan ummat Islam di Indonesia menghadapi kekuasaan Hindia Belanda tidak le- bih seperti itu. Pengakuan terhadap lembaga kepenghuluan yang nota bene merupakan kelengkapan pemerintah Hindia Belanda untuk mengatur sebagian dari hukum Islam oleh ummat Islam sendiri, merupakan satu alternatif yang di- mungkinkan menurut ketentuan fikih. Konsep politik dalam Islam sangat erat kaitannya dengan hukum, sebab salah satu yang penting dalam hukum Islam mengharuskan adanya lembaga kekuasaan untuk menja- lankan hukum itu. Atas dasar konsep tersebut maka orien- tasi NU untuk memperjuangkan berlakunya hukum Islam di tanah air tidak bisa dilepaskan dengan orientasi lembaga kekuasaan politik, sebab dengan lembaga itu maka hukum Islam lebih dimungkinkan dapat difungsikan. Memang di- akui ada elemen-elemen syari'ah Islam yang tidak memer- lukan perangkat lembaga kekuasaan politik, tetapi ada pula elemen-elemen yang mengharuskan adanya lembaga sema- cam itu. Tentu saja tentang hal ini pada umumnya para pemuka Islam kemungkinan besar berpendapat sama, per- bedaannya akan terletak pada elemen mana saja yang perlu dilembagakan dan mana yang tidak. SI, misalnya, sejak sebelum perang berpendapat soal perkawinan tidak perlu diatur oleh negara.204 Terhadap hal yang kedua inilah, ele- men syari'ah yang perlu dilembagakan, maka arah per- juangan NU diiakukan. Dari sinilah agaknya merupakan daya tarik yang kuat untuk akhirnya NU terjun dalam gelanggang politik. Dari konsep perlunya hukum Islam dilembagakan dalam sistem sosial politik, maka selanjutnya NU terus memperjuangkan terciptanya lembaga politik itu. Selain itu orientasi politik nampaknya memang sesuatu yang sulit dihindari, khususnya oleh NU, karena beberapa alasan. Islam yang dianut sebagai dasar organisasi ini ajar- annya meliputi soal-soal ukhrawi dan duniawi. Politik tidak lain bagian dari seal duniawi itu, tetapi karena ketatnya pengawasan pemerintah kolonial dalam bidang ini, me- nyebabkan para pemimpin NU belum merasa perlu ber- kiprah langsung dalam gelanggang politik.205 Kegiatan NU dalam bidang ekonomi, tepatnya perdagangan, yang tum- buh sejak tahun 1930 dengan dibentuknya Lajnah Waqfiyah kemudian menjadi Waqfiyah Nahdatul Ulama tahun 1937 dan Syirkah Mu'awanah,206 untuk mengkoordinasi anggota NU yang bergerak dalam bidang perdagangan selain sebagai usaha dana bagi kepentingan organisasi, membuka cakra- wala lain kehidupan organisasi ini di kemudian hari. De- ngan kegiatan ini dirasa perlunya dukungan politik untuk melindungi kegiatan-kegiatan tersebut.207 Kalangan Islam, khususnya NU, dalam lapangan ini merasa ditekan dari dua jurusan, selain dari pemerintah kolonial sendiri, juga oleh merajalelanya kalangan keturunan Cina yang men- dapat dukungan pemerintah kolonial, menguasai dunia per- dagangan. Meskipun kecenderungan politik itu telah tumbuh sejak mula tetapi dalam prakteknya kurang memperoleh penya- luran formal dalam agenda muktamar menjelang awal ta- hun tiga puluhan karena para pemimpin NU kurang mam- pu merumuskan cita-cita politik yang berdimensi luas di- sebabkan karena sumber-sumber referensi kitab-kitab yang dipakai sebagai rujukan tidak mendukungnya.208 Baru se- telah beberapa tenaga muda yang berpendidikan Barat se- perti Muhammad Iljas atau Wachid Hasjim yang menguasai bahasa asing (bukan Arab), Mahfudz Shiddiq, Abdullah Ubaid dan lain-lain berperanan dalam jajaran kepemim- pinan organisasi menjelang tahun empat puluhan, kecende- rungan untuk menggalang kerja sama dengan kelompok lain mulai dilakukan. Dengan demikian percaturan pemi- kiran politik yang berkembang dalam polemik dan per- debatan tentang dasar-dasar negara yang sedang diper- juangkan kemerdekaannya ketika itu, sedikit banyak mem- pengaruhi mereka.209 Orientasi politik NU lebih kelihatan lagi dengan terben- tuknya MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) pada tanggal 21 September 1937.210 Beberapa hal yang mendorong perte- muan beberapa tokoh Islam itu antara lain karena adanya kecaman terhadap Islam oleh seorang penulis dalam sebuah surat kabar yang dirasakan menghina Islam, soal Palestina yang menghangat, serta seal pengadilan agama dan perkara waris. Pertemuan yang disponsori Abdul Wahab Hasbullah, Mas Mansur, Ahmad Dahlan (Kebondalem, Surabaya) dan Wondoamiseno, akhirnya memutuskan untuk mendirikan suatu badan federasi permusyawaratan MIAI.211 Keterlibatan NU dalam MIAI (Majlis Islam A'la Indo- nesia) membawa perubahan orientasi para pemimpin NU dari soal-soal keagamaan dan sosial ke soal politik. Wa- laupun sebagian besar kegiatan MIAI sejak berdiri sampai berakhir dengan berdirinya Masyumi pada tahun 1943 di- warnai agenda masalah keagamaan terbukti dengan ke- putusan-keputusan kongres yang diselenggarakan umum- nya mengenai ini,212 namun suhu politik yang terus me- ningkat menjelang kemerdekaan sedikit banyak mendorong pemuka-pemuka NU ikut berkiprah. Reaksi kalangan Islam terhadap beberapa peristiwa yang menggemparkan pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Be- landa itu mendorong tumbuhnya kesadaran baru dan ma- kin menyempitnya jurang perbedaan antar berbagai ke- lompok. Berdirinya federeasi MIAI segera saja disambut dan mendapat dukungan luas. Mulanya MIAI hanya diikuti 7 anggota kemudian pada tahun 1941 jumlah anggotanya menjadi 23.213 Secara umum MIAI merupakan forum yang menyuarakan kelompok Islam balk dalam GAPI (berdiri tahun 1939) maupun MRI (berdiri tahun 1941). Tuntutan Indonesia berparlemen dan perubahan konstitusi Indonesia, melibatkan pula organisasi-organisasi Islam, termasuk NU.214 Perubahan pandangan pemerintah pendudukan Jepang terhadap elite nasionalis karena gencarnya propaganda na- sionalisme pada awal tahun empat puluhan mempunyai dampak membaiknya kedudukan kalangan Islam.215 Pro- paganda nasionalisme Indonesia yang semula mendapat dukungan pemerintah menderita pasang surut yang parah sampai ada janji Nippon untuk kemerdekaan Indonesia.216 Pada tahun itu posisi Jepang dalam perang Pasifik semakin defensif, maka tidak diragukan lagi perlunya mempersiap- kan tenaga besar-besaran menghadapi perang. Dan itu ti- dak lain, bagi Jepang, harus memperoleh dukungan sebesar mungkin dari rakyat. Kaum nasionalis pada saat itu belum- lah mendapat dukungan di tingkat rakyat pedesaan bahkan jauh bila dibandingkan dengan Islam.217 Karena itu logis penguasa Jepang kemudian mengalihkan perhatian kepada kalangan Islam. Selain reorganisasi kantor agama yang di- buka sampai ke daerah-daerah, juga latihan ulama oleh pihak Jepang dan pendirian Masyumi, suatu federasi or- ganisasi Islam. Latihan diselenggarakan secara berkala mu- lai pertengahan tahun 1943 melibatkan kurang lebih 60 orang ulama setiap kali angkatan.218 Tiga peristiwa ini me- libatkan banyak ulama dan tokoh masyarakat saling ber- temu, suatu yang sulit ketika itu karena terbatasnya alat transportasi. Dan sampai pada tingkat tertentu, pertemuan- pertemuan tersebut menumbuhkan kesadaran baru selain dengan demikian makin eratnya kepercayaan Jepang ke- pada mereka karena antusiasme yang mereka perlihatkan bahwa ummat Islam kini menghadapi tantangan yang lebih berat. Kalau dulu hanya menghadapi penjajah Belanda yang "kafir", tetapi sekarang selain menghadapi Jepang yang walaupun secara relatif bersikap lebih balk, maka kini sekaligus menghadapi dua front, karena tidak bisa dielak- kan kemungkinan kembalinya Belanda jika tentara Sekutu menang dalam perang Pasifik. Selanjutnya amat menarik untuk melihat perkembangan selama pendudukan Jepang kesimpulan yang diajukan Ben- da: "Untuk beberapa waktu, dalam kenyataan Jepang lebih suka memberi berbagai konsesi kepada tuntutan ummat Islam daripada kaum nasionalis, apa lagi priyayi.219 ... ha- nyalah pada saat akhir masa pendudukan konsesi-konsesi kepada elite Islam diimbangi dan akhirnya menjadi tidak penting lagi dengan adanya dukungan yang semakin me- ningkat dan menentukan kepada kaum nasionalis".220 Wa- lapun demikian Islam merupakan kekuatan tersendiri da- lam percaturan politik di Indonesia karena sejarah keber- adaannya yang panjang selama berabad lamanya dan besar- nya jumlah penganut agama ini. Tidak bisa tidak sampai masa pasca kemerdekaan pun, setidaknya sampai awal limapuluhan, para elite Islam masih menjadi bagian yang diperhitungkan, walaupun posisi mereka tidak sebaik ke- tika masa pendudukan Jepang. Menghadapi situasi yang menegangkan menjelang ke- merdekaan, berbagai kelompok Islam, jika tidak bisa di- anggap semua, terlihat dalam kancah pergumulan untuk memperjuangkan cita-cita politik mereka. Dapat dimengerti kalau kemudian jalur politik menjadi bagian dari kegiatan mereka, walaupun secara formal tujuan organisasi mereka menekankan pada kegiatan keagamaan dan sosial. Kemer- dekaan Indonesia yang semakin dekat karena memang di- janjikan oleh Jepang, melibatkan semua kekuatan yang ada untuk mencari penyelesaian dasar-dasar negara yang akan ditubuhkan di bumi nusantara. Hal ini juga membawa tokoh-tokoh NU memasuki relung yang paling inti dalam percaturan politik nasional yang mengakibatkan NU keluar dari Masyumi membentuk partai sendiri tahun 1952. _______________________________________________________ _______________________________________________________ Catatan 190. NU tidak mempunyai data sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lain karena sifat organisasinya yang begitu longgar sehingga akibatnya lembaga-lembaga tersebut berjalan sendiri-sen- diri. Diperkirakan antara awal tahun 1960 sampai akhir 1970 NU di Jawa Timur memiliki kurang lebih 3-4 ribu sekolah (sebagian dikoordinasi langsung oleh NU, sebagian besar dikoordinasi ko- munitas santri atau orang-orang NU). Sebagian besar SD atau Madrasah Ibtidaiyah. Setelah muktamar NU ke-27 di Situbondo, 1984, lembaga pendidikan NU di Jawa Timur mengalami perkem- bangan yang cukup baik. Tiga perguruan tinggi dimiliki NU di Jawa Timur: Surabaya, Malang dan Jember yang berdiri sebelum- nya dapat berkembang sesudah itu. Keterangan dikumpulkan dari wawancara dengan Muslich Husnan dan A. Suhaimi Syukur, keduanya wakil ketua Lembaga Pendidikan Maarif NU Jawa Timur, di Surabaya, 25 Juni 1991. Dapat diperkirakan kalau di Jawa Timur, sebagai basis kekuatan NU yang paling maju saja data statistik madrasah dan sekolah NU kurang balk, maka di tempat lain pun keadaannya sama saja, atau bahkan lebih buruk 191. Sebagian madrasah yang dibentuk perintis pendiri NU sam- pai sekarang masih ada. Bekas Madrasah Nahdatul-Watan di Ka- watan Surabaya di bawah koordinasi NU (iP Ma'arif), tetapi Madrasah Taswirul-Afkar tetap dalam status "di luar" NU. Setelah tahun empatpuluhan madrasah-madrasah Nahdatul-Watan di be- berapa daerah di sekitar Surabaya dikoordinasi langsung,oleh NU dan umumnya namanya pun berubah menjadi lembaga pendidik- an NU. Tetapi masih banyak sekolah atau madrasah yang tidak memakai nama NU. Keterangan Ibid. 192. Sikap Pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam di daerah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh hubungan Islam- Kristen. Pemerintah berusaha untuk memisahkan Islam dalam arti kekuatan politik dengan Islam "sekedar" agama. Namun dalam prakteknya penduduk Indonesia yang beragama Islam, khususnya yang berkcimpung dalam organisasi kemasyarakatan dan kegiatan pengajaran, seringkali mendapat kesulitan menghadapi sikap pe- merintah jajahan yang tidak adil, sebab sementara terhadap ka- langan Kristen kemudahan-kemudahan diberikan. Selanjutnya me- ngenai ini lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 27-38 "Netral teori dan praktek". 193. Verslag Congres Nahdlatul 'Oelama' jang ke XIII (Soerabaia: HBNO Alg. Zaken Tanfidzijah, 1938), h. 74. 194. Dalam menanggapi usul cabang Indramayu sebagian peserta merasa keberatan sebab khawatir tenaga NU akan tersedot untuk jabatan itu padahal NU sendiri waktu itu masih memerlukan banyak sekali tenaga untuk membangun organisasinya sendiri. Ibid, h. 72-74. 195. Hadir dalam pertemuan itu antara lain H. Muchammad Isa, penghulu Serang; H. Abdullah Siradj, penghulu Pakualaman Yog- ya; H. Abdul Wahab, HBNO; H. Zamzam, Persis; HOS Tjok- roaminoto, SI; H. Abdul Halim, PUI Majalengka; H. Fachroeddin, Muhammadiyah; dan lain-lain. Lihat laporan sidang Kantoor voor Inlandshe Zaken di Jakarta, Swara NO,, nomer 3 tahun1929 M/1346 H. 196. Ibid. 197. Ibid. 198. Dalam sejarah Islam telah dikenal adanya lembaga kekuasa- an hukum yaitu sultah al-qada'. Al-Mawardi juga menjelaskan tentang kekuasaan ini dalam bab Wilayah al-Qada'. Lembaga peng- hulu pada kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dahulu tidak lain adalah adopsi terhadap sultah al-qada' ini. Kekuasaan lembaga penghulu pada zaman kerajaan Islam di Jawa dahulu bukan hanya sekedar soal perkawinan belaka, tetapi meliputi juga soal pidana, perdata, dan lain-lain. Selanjutnya lihat bab VI. 199. Ahkam al-Fuqaha' (Semarang: Toha Putra, 1960), h. 61-62. 200. Ibid. 201. Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah, h. 14. 202. Ketika kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan de- ngan dukungan seluruh tumpah darah Indonesia, NU menya- takan berperang membela kemerdekaan itu sebagai kewajiban 'ainiyyah setiap orang Islam Indonesia dan dinyatakan sebagai jihad fi sabili-llah. Resolusi NU tentang Djihad fi sabilillah, Kedaulatan Rakjat, 24 Oktober 1945. 2O3. Menurut al-Ghazali jika melawan atau menjatuhkan pengua- sa (sultan) yang zalim dan bodoh tetapi mempunyai kekuatan (syaukah) akan menimbulkan anarki fitnah), maka diharuskan me- ninggalkan upaya itu dan tetap wajib taat. Alasan kewajiban taat ini didasarkan kepada hadis Nabi yang memerintahkan taat ke- pada umara' dan larangan melakukan pertumpahan darah (sal al-yad). Ihya' 'Ulum al-Din, II, (Misr: Syirkah Mustafa al-Ba' bi al-Halabi 1939), h. 139. 204. Swara NO, nomer 3, 1929. Lihat pula pernyataan PSII me- nanggapi keputusan Konferensi Alim Ulama tahun 1954, tanggal 26 April 1954. 205. Kepartaian, h. 490. 206. Deliar Noer, Gerakan Modern, h. 253. 207. Lihat Benda, The Crescent, h. 62. 208. Sampai awal abad XX ini seal politik dalam Islam dibicara- kan dalam buku fikih, dengan sendirinya pendekatannya lain bersifat fiqhi. Pendekatan yang demikian memang berhasil me- mecahkan beberapa masalah politik, tetapi selalu bersifat frag- mentaris. Padahal kebutuhan pada waktu itu konsep politik ideo- logis, karena harus berhadapan dengan konsep-konsep Barat yang telah berkembang. 209. Abdurrahman Wahid, NU dan Politik, harian Kompas, 23 Ja- nuari 1982. 210. Abubakar, Sejarah Hidup, h. 311; lihat pula Deliar Noer, Gerakan Modern, h. 75-77; dan Benda, The Crescent, h. 90. NU secara resmi masuk sebagai organisasi anggota MIAI dalam Kongres al-Islam yang diselenggarakan MIAI tanggal 26 Februari 1 Maret 1938, walaupun tokoh utamanya ikut mensponsori pendiriannya. Mulanya NU mengundurkan diri dari sidang ka- rena protes terhadap pernyataan pemimpin SI yang menyatakan bahwa kongres itu sebagai kelanjutan kongres Islam sebelumnya dan dinyatakan sebagai kongres kesepuluh, tetapi akhirnya protes NU diterima. Kongres tersebut dinyatakan sebagai Kongres al- Islam kesatu. Lihat Abubakar, Sejarah Hidup, h. 312, catatan kaki nomer 1, bersumber dari Berita NU, tahun VII, nomer 11, (April, 1938), h. 5-8. Bandingkan dengan Deliar Noer, Gerakan Modem, h. 264. Mengutip dari sumber yang sama, Noer mengatakan NU masuk menjadi anggota MIAI tahun 1939. 211. Nama Ahmad Dahlan ini bukan Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, sebab yang terakhir ini wafat tahun 1924. Lihat Buku Peringatan MIAI, h. 3. 212. Kongres pertama membahas artikel majalah Bangun yang dikeluarkan Parindra (Partai Indonesia Raya) dan menuntut agar pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap penulis tersebut. Kongres juga memutuskan menolak terhadap pemindahan per- kara waris dari pengadilan agama ke pengadilan negeri; mencari jalan untuk menyamakan permulaan Ramadhan dan lain-lain. Kongres kedua umumnya sama dengan kongres pertama; dan kongres ketiga di Solo tahun 1941 menuntut pembebasan H. Rasul; perbaikan pengumpulan zakat fitrah; dan membentuk ko- misi penyebaran Islam dipimpin Abdurrahman Sjihab. MIAI juga mengeluarkan mosi bersama GAPI menuntut Indonesia berpar- lemen, tetapi dalam sidang dewan MIAI tuntutan itu ditegaskan 'berparlemen berdasar Islam'. Boekoe Peringatan MIAI, (Surabaya: MIAI, 1941). 213. Abubakar, Sejarah Hidup h. 316. Lihat pula Deliar Noer, Gerakan Modern, h. 263, catatan kaki nomer 99 dan 100. 214. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), h. 19; Selanjutnya dikutip Partai Islam. Buku Peringatan MIAI h. 18. 215. Benda, The Crescent h. 140. 216. Ibid. 217. Ibid. 218. Anwar Musaddad menulis Kenang-kenangan Selama Latihan Oelama menuturkan tujuan latihan keja sama dengan Bala Ten- tara Dai Nippon untuk menciptakan kemakmuran Asia Timur Raya. Diajarkan dasar kemiliteran, tujuan perang dan lain-lain. Soeara MIAI, 17 September 2603. 219. Benda, The Crescent, h. 201. 220. The Crescent,, h. 202.