G- MENAPAK LANGKAH :GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN Setelah rapat Komite Hijaz 31 Januari 1926 memutuskan berdirinya NU, selanjutnya dua hal yang mendapat per- hatian utama utama yaitu pengiriman utusan ke Muktamar Mek- kah dan penggalangan solidaritas ummat untuk memper- kuat organisasi NU melalui jaringan mata rantai kyai, pe- santren dan jamaah. Pengiriman utusan yang pertama gagal karena kesulitan angkutan, maka dikirim telegram untuk menyampaikan pokok-pokok keputusan rapat tersebut kepada Raja Ibn Sa'ud. Dua tahun kemudian utusan NU berangkat bertepatan dengan waktu ibadah haji dipimpin kyai Abdul Wahab dan anggota Ahmad Ghana'im.161 Pe- ngiriman utusan itu memang dianggap penting oleh NU sebab latar belakang kelahiran NU antara lain untuk tujuan itu. Utusan yang pertama gagal tidak mematahkan semangat mereka, maka dua tahun sesudah itu utusan NU diberangkatkan ke Mekkah. Ada empat hal yang diharapkan NU dari Raja Ibn 'Abd al-'Azis al-Sa'ud yaitu kebebasan menjalankan praktek ke- agamaan menurut salah satu mazhab empat termasuk di- izinkannya buku-buku mereka masuk ke Arab Saudi, pe- rawatan tempat pusaka yang bernilai sejarah dan meru- pakan tanah wakaf agar tidak dihancurkan, perbaikan tata laksana ibadah haji termasuk penentuan tarif resmi untuk semua kegiatan haji, dan adanya jaminan hukum yang resmi berupa undang-undang yang dinyatakan berlaku di Hijaz agar dapat mengatasi perselisihan yang mungkin akan muncul.162 Tidak semua harapan NU mendapat jawaban dari pe- nguasa Hijaz. Kecuali soal kebebasan menjalankan praktek keagamaan menurut ajaran mazhab empat, maka selebih- nya tidak dijawab.163 Dalam warawara (malahiz) yang di- keluarkan NU setelah kedatangan utusan dari Mekkah, di- nyatakan bahwa tempat bersejarah yang dianggap memiliki status tanah wakaf seperti Maulidah Sayyidah Fatimah telah dihancurkan dan Dar Khaizuran telah ditutup oleh peme- rintah Kerajaan Saudi.164. Kecemasan kalangan ulama In- donesia sejak beberapa tahun sebelumnya yang meng- khawatirkan hal tersebut terbukti sebagian telah terjadi. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menurut NU telah bertin- dak tanpa memperhatikan opini ummat Islam lain yang tidak sejalan dengan pendapat Kerajaan Arab Saudi, pada- hal opini itu menurut NU memiliki legitimasi keagamaan yang sah. Sebagai penanggung jawab daerah di mana se- luruh ummat Islam sedunia berkepentingan, seharusnya pe- merintah Kerajaan Arab Saudi memperhatikan suara-suara ummat Islam yang lain yang mungkin tidak sefaham dalam soal-soal keagamaan, sebab hal itu merupakan salah satu indikasi diberikannya kebebasan untuk menganut salah satu dari mazhab empat. Begitu pentingnya issue tersebut ketika itu sehingga ke- datangan utusan dari Mekkah disambut gegap gempita sejak mulai dari Jakarta, Yogyakarta, Jombang dan akhirnya di Surabaya. Di Jombang rombongan disambut luar biasa, sekolah diliburkan dan rombongan dari beberapa kota ber- datangan ke Jombang. Dari stasiun Gubeng Surabaya rom- bongan disambut arak-arakan mobil kurang lebih 350 ken- daraan menuju kantor NU di Kawatan dan masyarakat keluar dari kampung-kampung berjajar di pinggir jalan me- nyambut rombongan.166 Malam harinya upacara resmi di- selenggarakan di masjid Ampel yang dihadiri ribuan pe- ngunjung dan pada saat itu wara-wara NU disampaikan. Semua itu menandai betapa pentingnya masalah tersebut bagi NU sebagai bagian dari perjuangan mempertahankan faham keagamaan. Namun akhirnya masalah tersebut hi- lang begitu saja dari perhatian NU selanjutnya di tengah kesibukan NU menata kehidupan organisasinya. perhatian NU selanjutnya dicurahkan dalam kegiatan pengembangan organisasi dan ikut memecahkan problematik yang di- hadapi ummat Islam di Indonesia sendiri. Sejak berdiri sampai tahun empat puluhan muktamar NU diselenggara- kan tiap tahun sekali. Kesibukan-kesibukan tersebut men- jadikan issue pertama tentang Hijaz tidak terperhatikan lagi. Selain itu tuntutan mengenai penentuan tarif resmi bagi semua kegiatan haji mendapat perhatian dengan datangnya surat dari Konsul Belanda di Jiddah yang mengabarkan tentang adanya penetapan tarif itu. Bahkan disebutkan bila ada jemaah haji yang merasa membayar lebih dari keten- tuan tarif resmi dapat mengklaim lewat wakil konsul di Mekah.167 Sifat keberadaan NU merupakan upaya peneguhan kem- bali sebuah tradisi keagamaan dan sosial yang sebenarnya telah melembaga dalam jaringan struktur dan pola kepe- mimpinan yang mapan. Lembaga-lembaga pesantren, kyai, dan jemaah mereka yang tersebar di tanah air sebagai unit-unit komunitas sosial budaya masyarakat Islam, menjadikan NU tanpa kesulitan menyebarkan sayap or- ganisasi. Apalagi pengaruh Kyai Hasjim Asy'ari dan Kyai Wahab di lingkungan pesantren cukup kuat, sehingga NU pertama kali diperkenalkan begitu mudah menarik minat dan simpati serta dukungan para kyai yang memimpin pesantren.168 Hubungan kekerabatan kyai sendiri dalam lingkungan pesantren di Jawa sangat membantu pe- nyebaran NU sampai ke daerah-daerah. Muktamar NU per- tama kurang lebih delapan bulan sesudah pertemuan Ko- mite Hijaz akhir Januari 1926, dihadiri ulama dan para kyai pesantren serta santri senior dan para saudagar dari ling- kungan itu. Pesantren barangkali suatu model pendidikan yang sama tuanya dengan Islam di Indonesia. Pada mulanya pen- didikan keagamaan dimulai dari masjid, surau atau lang- gar. Seorang guru yang mungkin kelak setelah menekuni kegiatan tersebut menjadi kyai yang berpengaruh, mem- bimbing kegiatan belajar murid-murid dan sekaligus me- mimpin kegiatan ibadah di tempat itu. Dari kegiatan rutin itu ada beberapa tempat yang kemudian berkembang men- jadi sebuah perkampungan belajar. Dibangun tempat pon- dokan murid atau disebut santri untuk menetap guna me- neruskan kegiatan belajar mereka di samping untuk kyai dan pembantu-pembantunya. Biasanya karena proses pe- ngembangan lembaga itu mengikuti alur kebutuhan semen- tara yang tidak terencana, perkembangan sebuah pesantren terjadi bersamaan dengan perkembangan pemukiman se- tempat. Banyak pesantren berkembang dalam suatu pe- mukiman desa yang bercampur aduk- dengan pemukiman penduduk yang menetap. Ada pula santri setelah menamat- kan belajar di suatu pesantren menetap di sekitar pesantren itu sambil melangsungkan kehidupan kerumahtanggaannya mencari nafkah dan membantu kegiatan pengajaran di pe santren itu. Ada pesantren yang sejak mula didirikan di tengah per- kampungan penduduk desa, tetapi ada pula yang dibangun di tempat agak terpencil jauh dari pemukiman desa. Model terakhir ini biasanya juga menarik minat penduduk untuk menetap di sekitar pesantren. Mulanya mungkin mereka menetap untuk melayani kebutuhan sehari-hari para santri atau untuk mendapat ketenangan hidup berada di sekitar pesantren. Sifat penyatuan lingkungan itu akan menim- bulkan interaksi sosial antara pesantren dengan penduduk setempat serta membentuk pola kepemimpinan sosial yang berpusat pada kyai. Hubungan antara pesantren satu dengan lainnya umum- nya terjalin harmonis. Kadang-kadang santri berpindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya untuk menguasai be- berapa cabang ilmu sesuai dengan spesialisasi ilmu yang dikembangkan pesantren. Seringkali juga seorang santri se- nior yang sudah dianggap cukup matang mendapat restu kyai untuk membuka pesantren baru. Kadang-kadang me- mereka membawa santri dari pesantren asal atas restu kyainya sebagai modal pertama membuka pesantren baru.169 De- wasa ini pola pengembangan pesantren tidak selalu sama seperti sebelumnya. Sejumlah pesantren besar di Jawa me- gembangkan kelembagaan pendidikannya sedemikian rupa sehingga santri tidak perlu lagi berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, tetapi diselesaikan pendidikannya di pesantren itu sampai perguruan tinggi. Ketika akhirnya sejumlah kyai pesantren besar yang mempunyai pengaruh luas di lingkungan pesantren sendiri mendirikan jam'iyah NU, seperti Kyai HaSjim Asj'ari, Kyai Abdul Wahab Chasbullah, Kyai Asnawi dan lain-lain, maka tidak sulit dukungan dari sebagian besar pesantren lainnya. Cabang-cabang NU yang dibentuk di daerah-daerah umum- nya dirintis para kyai pesantren, guru atau saudagar yang pernah memperoleh pendidikan di pesantren. Dengan latar inilah maka pengembangan NU sejak tahun-tahun pertama mendapat sambutan yang luas. Muktamar NU yang kedua 1927 dihadiri 146 kyai dari 36 cabang NU, sisanya 238 guru, pedagang dan utusan perhimpunan lo- kal.170 Selanjutnya muktamar keempat 1929 di Semarang dihadiri 1450 orang, 500 di antaranya kyai pesantren.171 Jika muktamar kedua dihadiri 36 cabang, maka muktamar ke- empat sudah mencapai 62 cabang.172 Dan dalam muktamar di Banten tahun 1938 cabang NU sebanyak 99, dan majelis konsul 9.173 Ini semua menggambarkan betapa ber- perannya pesantren dan kyai yang memimpin pesantren sebagai penopang penyebaran NU. Dalam waktu yang singkat, kurang dari sepuluh tahun, organisasi ulama itu berkembang cukup pesat terutama di Pulau Jawa dan Ma- dura serta beberapa daerah lain di luar Jawa seperti Ka- limantan bagian selatan, Sulawesi bagian selatan dan be- berapa daerah di Sumatera. Penyebaran NU ke luar Tawa umumnya tidak banyak berbeda dengan yang terjadi di Jawa, tetapi di daerah- daerah itu perkembangan NU terutama tejadi setelah NU mulai memasuki kegiatan politik sekitar masa proklamasi kemerdekaan dan lebih-lebih sesudah NU menjadi partai politik tahun 1952. Di Sulawesi bagian selatan NU mulanya dibawa oleh pelaut Bugis yang berlayar ke Pulau Jawa atau Madura sekitar awal atau pertengahan tahun tiga puluhan. Dari pertemuan mereka dengan masyarakat pesisir Pulau Jawa dan Madura, mereka mengenal organisasi ulama itu. Sejak abad lalu Sulawesi diperintah kesultanan Islam yang teguh memegang tradisi faham keagamaan sunni. Setelah kekuatan mereka dipatahkan militer kolonial, peranan me- reka digantikan oleh para ulama yang terus memobilisasi kekuatan mengambil basis tradisional di pedesaan. Muncul- nya NU yang dibawa pelaut Bugis disambut baik oleh kalangan ulama karena kesamaan tradisi keagamaan de- ngan yang mereka anut. Namun perkembangan yang inten- sif tejadi setelah kemerdekaan karena pembukaan kantor kementrian agama yang ketika itu dijabat oleh Kyai Sjukri Ghazali (jabatan terakhir ketua Majelis Ulama Pusat). Selain menjabat kepala kantor urusan agama di Makasar (Ujung Pandang), Kyai Sjukri Ghazali merupakan tokoh NU yang ikut mengembangkan NU di Sulawesi. Pengaruh NU ber- tambah nyata setelah awal tahun lima puluhan terbentuk organisasi Rabitah al-'Ulama yang dipimpin K.H. Ahmad Bone, tokoh ulama kharismatik di Sulawesi Selatan, yang turut serta mengembangkan NU. Di bawah pengaruh K.H. Ahmad Bone sejumlah ulama lain dan kalangan muda di Sulawesi Selatan aktif mengembangkan NU sampai ke pe- losok daerah.l74 Di Kalimantan NU berkembang setelah organisasi Hi- dayatul-Islamiyyah menggabungkan diri ke dalam NU dalam muktamar NU ke 11 di Banjarmasin tahun 1936.175 Muk- tamar itu sendiri merupakan upaya organisasi lokal itu agar penggabungannya ke dalam NU dilakukan secara sim- bolik di dalam acara resmi muktamar NU. Dari pengga- bungan organisasi lokal itu selanjutnya pengaruh NU kian berkibar di Kalimantan. Selain dua daerah tersebut NU juga cukup berkembang di Tapanuli Selatan, Pelembang dan Lampung. Daerah lain Seperti Maluku dan Lombok (Nusa Tenggara Barat) perkembangan NU tidak seperti daerah tersebut di atas. Perkembangan NU memang tidak merata ke seluruh wi- layah Nusantara karena sifat penyebarannya melalui mata rantai kyai dan pesantren yang umumnya mobilitas perpin- dahan mereka tidak intensif. Kalangan Pedagang yang se- dikit banyak juga turut membidani kelahiran NU kurang begitu berperan dan umumnya mereka berasal dari suku Jawa yang kurang memiliki mobilitas perpindahan seperti umumnya pedagang-pedagang dari pulau luar Jawa. Di- tambah lagi karena umumnya pedagang-pedagang asal dari kelas bawah yang lebih bersifat menetap. Mes- kipun demikian penyebaran NU ke daerah Maluku dan Lombok seperti juga Sulawesi dibawa kalangan yang merantau ke Jawa atau Madura. Akan tetapi karena sifat organisasi ini lebih menonjolkan sifat keulamaan da- lam arti kepengurusan organisasinya terdiri dari kalangan ulama atau kyai, maka peran pedagang itu selanjutnya kurang berarti karena umumnya mereka bukan tergolong ulama. Sedang ulama dan kyai sendiri umumnya bekerja di bidang pertanian yang menetap, kalaupun mereka berda- gang mobilitas mereka juga kurang intensif seperti umum- nya pedagang luar Jawa. Sejak abad lalu kyai merupakan sisi penting dalam ke- hidupan tradisional petani di pedesaan. Keresahan petani akibat tekanan pemerintah kolonial sepanjang abad lalu menemukan legitimasi perjuangan mereka setelah menda- pat ayoman kepemimpinan ulama untuk melancarkan pro- tes mereka. Harry J. Benda menggambarkan masa itu se- bagai masa disintegrasi sosial yang terus meningkat sebagai akibat dari landasan ikatan-ikatan tradisional petani sema- kin mengambang dan di sisi lain nilai-nilai priyayi mulai surut di bawah pengaruh westernisasi, maka ulama meng- ambil peran menempati posisi sentral sebagai pusat pro- tes.176 Menunjuk pada realitas itu selanjutnpa Benda ber- kesimpulan, mudah difahami mengapa gerakan Syarikat Islam yang muncul sejak dekade kedua abad ini dapat menembus lapisan bawah ke desa-desa. Benda mengatakan: Dengan demikian Syarikat Islam membawa sebuah perubah- an kuantitatif, bukannya kualitatif, di dalam hakekat Islam di desa di Jawa. Untuk beberapa tahun, dia mengaitkan insiden-in- siden lokal karena ketidak puasaan di bawah pimpinan orang- orang Islam ke dalam suatu fenomena nasional di bawah pim- pinan orang-orang kota.177 Oleh karena itu Syarikat Islam lebih banyak mempunyai makna sosial daripada ideologi. Dengan memanfaatkan kontrol administratif Belanda yang tidak terlalu ketat dan prestise pri- yayi yang semakin melemah, para pemimpin Syarikat Islam telah menerobos desa-desa di Jawa yang terpencil dan mem buatnya menjadi juru bicara malaise sosial yang lantang dari penduduk tani Jawa dan menghasutnya melewati para pemim- pin agama yang tradisional untuk memberontak melawan ke- kuasaan yang sedang berlangsung, walaupun pemberontakan itu sifatnya aborsi dan bunuh diri.178 Peluang itu hanya bisa dimanfaatkan Syarikat Islam se- lama dekade awal saja, selanjutnya karena perpecahan da- lam dirinya dan tindakan represif pemerintah kolonial yang memperkuat kekuasaan kaum priyayi serta putusnya aliansi dengan gerakan komunis, maka peran yang dimainkannya pun terus surut.179 Gerakan nasionalisme yang memperoleh bentuk awal dengan munculnya SI, maka selanjutnya men- jelang atau awal tahun dua puluhan, mendapat saingan yang lebih kokoh dari kalangan priyayi yang berpendidikan Barat, sementara SI sendiri terus tersingkir berada di ping- gir gelanggang persaingan nasionalis muslim dan sekuler. Muncul jarak terhampar yang tidak terjembatani antara ketidakpuasan para petani di desa-desa yang selama itu memperoleh saluran simbol perjuangannya dalam SI me- lalui para ulama tradisional dengan isolasi peran SI yang semakin elitis dan hilangnya issue penting di lapisan ba- wah. Sementara itu agitasi perjuangan proletar gerakan ko- munis sedikit banyak telah mengambil alih peran yang ditinggalkan SI. Di tengah suasana yang demikian itu maka kelahiran NU dan peran yang dimainkan selama lima belas tahun kemudian bagaikan mengisi kekosongan legitimasi simbol-simbol perjuangan itu kembali. Semangat perjuangan ulama tradisional itu dapat membangkitkan simbol-simbol perjuangan untuk menggalang persatuan ummat Islam me- lawan anasir asing yang dilambangkan dengan gerakan mengimbangi misi Kristen di Mojowarno, daerah basis Kris- ten di Jombang bagian selatan. Tahun-tahun awal NU berdiri berhasil membangun tujuh buah surau dan sebuah madrasah di daerah itu yang dikontrol langsung oleh Kyai Hasjim Asj'ari.181 Selain itu pidato-pidato Kyai Hasjim Asj'ari di beberapa daerah di sekitar Jombang dan Surabaya ketika meresmikan berdirinya cabang NU maupun dalam kesempatan pengajian selalu menekankan arti penting per- satuan ummat Islam Indonesia untuk menghadapi ancaman musuh-musuh Islam baik asing dari luar maupun intern dari dalam negeri sendiri.182 Dari kerangka pendekatan itu besar sekali kemungkinan pengaruhnya terhadap lembaga pendidikan yang dibentuk Kyai Fathurrahman Kafrawi di Tuban sekitar awal sampai pertengahan tiga puluhan yang mengembangkan mitos per- juangan keadilan sosial sehingga sejumlah lulusan pen- didikan itu terlibat dalam pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 yang mereka anggap sebagai perjuangan mem- bela kaum miskin yang tertindas.183 Sejumlah lulusan pe- santren sendiri tidak sedikit yang kemudian menggabung- kan diri ke dalam gerakan Pesindo yang beraliran kiri karena mengesankan perjuangan membela kaum petani miskin yang lemah. Apalagi Kyai Hasjim Asj'ari sendiri menolak anugrah bintang kehormatan dari pemerintah Hin- dia Belanda yang kabar mengenai rencana itu disampaikan sendiri oleh Gubernur Van der Plas yang khusus datang ke Tebuireng menyampaikan hasrat pemerintah Belanda ke- pada Kyai Hasjim Asj'ari.184 Barangkali tidak sulit diduga karena memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi di Jombang dan Surabaya kalau di daerah Banten NU segera mendapat dukungan kalangan ulama dan dalam waktu singkat berdiri kurang lebih dua belas madrasah Matla'ul- Anwar yang menginduk atau setidak-tidaknya mencontoh dari beberapa madrasah di Surabaya dan Tebuireng.185 Se- mua itu jelas mengisyaratkan suatu upaya Yang dilakukan NU untuk menggalang persatuan dan peningkatan kualitas ummat Islam yang tujuan akhirnya bisa dipastikan untuk membela hak-hak petani yang lemah, tertindas, dan seperti obsesi Kyai Wahab ketika akan mengundang alim ulama dalam pertemuan Komite Hijaz, untuk tujuan kemerdekaan Indonesia yang memungkinkan ummat Islam lebih leluasa menjalankan syari'at agama mereka.186 Apa yang menjadi obsesi Kyai Wahab dan kawan-kawan ketika akhir dekade kedua yang lalu menyelenggarakan 'kursus perjuangan' sebagai salah satu bagian dari kegiatan dua organisasi yang dibentuk, Nahdatul-Watan dan Taswirul- Afkar, serta ketika akan membentuk NU, nampak alur ori- entasi yang jelas untuk menggalang persatuan dan soli- daritas ummat Islam dan memperkokoh kualitas kehidupan sosial serta menegakkan keadilan sosial yang dilambangkan dalam persatuan ulama membela tradisi keagamaan yang telah hidup di tengah masyarakat. Mitos ulama sebagai pembawa panji pembela kaum tani yang miskin yang ter- tindas akibat kebijaksanaan pemerintah kolonial merupakan salah satu faktor penting naiknya gengsi NU di tengah pergulatan perjuangan mereka, sebab umumnya para kyai dan pesantren senantiasa berada di tengah mereka di pe- desaan. Sejumlah lembaga pendidikan pribumi mendapat subsidi atau bantuan pemerintah Belanda telah memper- tajam alinasi dari jangkauan kehidupan petani dan rakyat miskin di pedesaan, maka lembaga-lembaga yang dibentuk NU atau pesantren-pesantren yang nonkooperatif dan tidak satu pun Yang dekat dengan kesan dibantu pemerintah kolonial, mendapat dukungan dari kalangan bawah sebagai simbol Yang melambangkan perjuangan mereka untuk membebaskan ketertindasan. Sejak akhir dekade kedua yang lalu juga telah dirintis pendirian koperasi pertanian, beberapa lembaga pendidikan yang dirintis NU mendirikan usaha serupa dalam skala yang lebih kecil dan beberapa kali lembaga waqfiyah diben- tuk tahun tiga puluhan, mencerminkan tekad dari upaya para ulama yang tergabung dalam NU seperti tersebut di atas. Tidak ketinggalan sejumlah besar lembaga pendidikan, sekolah atau madrasah telah dirintis sejak lama.187 Jika se- bagian besar dari semua upaya itu kemudian tidak dikem- bangkan selanjutnya oleh NU dan mengesankan NU meng- alami kesulitan mengkoordinasikannya, maka sebenarya justru faktor dukungan dari bawah yang menguntungkan itu sekaligus menjadi kendala yang sulit diatasi NU sampai kini. Komunitas pesantren dan segala atribut yang dimiliki sejak mula merupakan komunitas yang mandiri, mereka muncul dari kekuatan otonom yang umumnya 'dimiliki' pribadi keluarga kyai sendiri. Jika kemudian mereka ber- satu dalam NU, namun tidak pernah masuk dalam jaringan struktural formal organisasi NU. Hampir semua kelem- bagaan NU Yang berorientasi sosial langsung di tengah masyarakat mulanya tumbuh dari bawah seperti pesantren, dari orang-orang NU atau pengikut-pengikut NU. Pola pertumbuhan seperti itu memang menguntungkan, tetapi segaligus menjadi beban bagi NU, karena NU hampir tidak pernah berhasil ikut campur langsung dan tidak ber- hasil mengatur sebagai 'milik' NU. Terlebih lagi ketika NU lebih aktif dalam kegiatan politik sejak awal empat puluh- an, urusan 'rumah tangga' itu semakin membengkak men- jadi beban tak terpikul. Hanya karena kuatnya pengaruh ulama-ulama NU dalam komunitas masing-masing semua lembaga itu tidak tercabut dari akar tradisinya. NU se- macam terlena karena kuatnya dukungan dari bawah itu sehingga merasa terpuaskan, seakan, sekali lagi seakan, tanpa berbuat sesuatu pun kekuatan akar dari bawah itu terus menghasilkan buah dan akibatnya NU kehilangan kontrol untuk memikul beban itu. Dalam bahasa simbolik untuk memahami fenomena itu seperti dikemukakan K.H. Idham Chalid, NU sebenarya merupakan isme, suatu faham yang telah menyatu dalam budaya dan tradisi. Ungkapan itu seringkali dikemukakan Idham Chalid dalam berbagai kesempatan sejak awal enam puluhan untuk memberi jawaban terhadap kemungkinan NU dibubarkan. Menurut Idham Chalid, NU sebagai organisasi mungkin saja bubar atau dibubarkan, tetapi NU sebagai isme, sebagai faham yang telah melembaga dalam budaya dan tradisi, tidak mungkin dibubarkan, karena isme yang telah menyatu dalam masyarakat tidak mementingkan struktur dan organisasi formal. Selama pesantren tetap hidup dan berkembang dan para ulama serta kyai tetap menjalankan peran mereka menyiarkan faham ahlussunnah waljamaah dan melaksanakan amar makruf nahi mungkar (amr ma'ruf nahy 'an munkar), selama itu pula NU sebagai isme tetap hidup. Selanjutnya Idham Chalid mengatakan bahwa se- benarya pesantren merupakan miniatur NU dalam skala kecil, dan NU merupakan pesantren dalam skala besar.188 Dengan simbolisasi yang berbeda tetapi dalam konteks pe- ngertian yang sama, Abdurrahman Wahid menggambarkan komunitas pesantren sebagai subkultur yang secara formal tidak memiliki hubungan struktural dengan NU, namun sub- stansinya justru pesantren itulah NU. Sebagian besar lembaga sosial kemasyarakatan dan unit kegiatan usaha NU tumbuh dengan pola pertumbuhan pesantren yang berciri mandiri dan otonom, milik warga, yang membentuk komonitas kecil daiam masyarakat besar NU.189 ____________________________________________________________ ____________________________________________________________ Catatan 161. Kyai Abdul Wahab bersama dua orang pembantunya be- rangkat 29 Maret 1928 atau 7 Syawwal 1346. Satu minggu ke- mudian disusul Ahmad Ghana'im. Mereka bertemu di Singapura sebelum melanjutkan perjalanan ke Jiddah. Di Singapura mereka mengadakan pertemuan dengan masyarakat Islam. Dari perte- muan itu selanjutnya beberapa muktamar NU dihadiri utusan dari Singapura. Lihat Swara NO, nomer 11, Zul-Qa'dah dan no- mer 12, Zul-Hijjah, tahun I, 1346. 162. Swara NO, nomer 11, dan 12, Zul-Hijjah, 1346. 163. Delegasi NU yang dipimpin Kyai Wahab diterima Raja Hijaz Ibn Sa'ud dua kali. Pertemuan pertama pada jamuan makan siang bersama dengan tamu-tamu kehormatan lain dan pertemuan ke- dua sore keesokan harinya khusus untuk menyampaikan surat PBNU. Ibid., nomer 12. 164. Ibid., nomer 12. Wara-wara NU diterjemahkan ke dalam em- pat bahasa, yaitu Jawa (huruf pegon), Arab, Inggris dan Belanda. Dimuat Swara NO dalam bahasa Jawa. 165. Swara NO, nomer 12. 166. Ibid. 167. Lihat surat Konsul Belanda di Jiddah tanggal 4 Syawwal 1347, Swara NO, nomer 9, 1347. 168. Tentang pengaruh K. H. Hasjim Asj'ari lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Ja- karta: LP3ES, 1984), h. 96. Selanjutnya dikutip Tradisi. Kunjungan K.H. Hasjim Asj'ari ke Banyumas dan sekitarnya awal tahun tiga puluhan disambut luar biasa oleh masyarakat dan para kyai. Dari kunjungan tersebut maka cabang-cabang NU terbentuk di sekitar daerah itu. Lihat K. H. Saifudin Zuhri, Be- rangkat dari Pesantren (Jakarta: Gunung Agung, 1987), h. 93. Selan- jutnya dikutip Berangkat. 169. Tentang pesantren selanjutnya lihat Dhofier, Tradisi. 170. Swara NO, nomer 4, tahun I, 1346. 171. Swara NO, nomer 10, tahun II, 1347. 172. Tahun 1927 jumlah cabang NU 36, 20 di Jawa Timur, 12 di Jawa Tengah, dan 4 di Jawa Barat. Tahun 1929 jumlahnya me- ningkat jadi 62, 21 di Jawa Timur, 31 di Jawa tengah, dan 10 di Jawa Barat. Bandingkan misalnya dengan jumlah cabang Muham- madiyah tahun 1926 dalam muktamar di Surabaya dihadiri 26 cabang dari 38 cabang yang ada. Muktamar tahun sebelumnya ada 15 cabang yang hadir, dari Jawa dan luar Jawa. Hindia Baroe, 4 Maret 1926. Cabang NU dibentuk di tiap kota kabupaten. Setelah tahun 1938 dimungkinkan satu kabupaten dibentuk lebih dari satu cabang, tetapi tidak lebih dari dua cabang, kecuali di pulau-pulau kecil. 173. Termasuk dua majlis konsul di luar Jawa: Palembang dan Barabai. Kandidat cabang Baturaja, Muntok dan Sakayu, Swara NO, nomer 10, 1347. 174. Wawancara dengan K.H. Alie Yafi di Jakarta. SI dan Mu- hammadiyah sudah memiliki cabang di Sulawesi sebelum tahun 1930; keterangan dari Prof. Dr. Deliar Noer, 5 Maret 1992. 175. Lihat Verslag Muktamar NO ke 13 di Banjarmasin (Surabaya: H. B. N. 0, 1938). 176. Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, Indonesian Islam Under the Japanese Occupation (The Hague and Bandung: W. van Houvve, 1958), h. 40. 177. Ibid., h. 43. 178. The Crescent, h. 66. 179. Lihat misalnya analisa Deliar Noer tentang Syarikat Islam, Gerakan Modern, h. 114-170. 18O. Lihat Swara NO, nomer 5, tahun II, 1347. 181. Ibid, 182. Pidato K.H. Hasjim Asj'ari antara lain dimuat dalam Swara NO, nomer 5, tahun I, 1356, nomer 7, tahun II, 1347. K.H. Umar Burhan menulis kumpulan pidato tersebut dalam Min al-Mu'tamar ila al-Mu'tamar, naskah tidak diterbitkan menyambut muktamar NU 27 di Situbondo 1980. Naskah Qanun Asasi dimuat lengkap dalam buku tersebut, tidak seperti penerbitan lainnya hanya me- muat sebagian saja. Pidato K.H. Hasjim Asj'ari pada muktamar NU biasanya memakai teks berbahasa Arab, tetapi pidato-pidato yang disampaikan dalam berbagai kesempatan pengajian disam- paikan dalam bahasa Jawa. Pidato-pidato tersebut seringkali di- ulas pokok-pokok isinya dalam jurnal penerbitan NU sampai tahun empat puluhan. Lihat pula al-Mawa'iz., pidato K.H. Hasjim Asj'ari tahun 1355 (+ 1937). Naskah pidato ini dimuat dalam H. M. Hasjim Latief, Nahdlatul Ulama Penegak Panji Ahlussunnah Wal- jamaah, (Surabaya : Pengurus NU Wilayah Jawa Timur, 1979). 183. Wawancara dengan K.H. Hasjim Latief, bekas opsir Hizbul- lah di Jawa Timur. 184. Disela-sela waktu senggang muktamar NU ke 15 tahun 1940, di Surabaya, Saifuddin Zuhri mengajukan pertanyaan kepada Kyai Mahfudz Shiddiq, Ketua Umum, "Apakah kehadiran Van der Plas dalam muktamar atas permintaan PBNU?". "Wah, itu politik, ya Akhi!", jawab Kyai Mahfudz. "Dia mengutus seorang ambtenaar mengunjungi kantor kita dengan pesan supaya HBNO memohon Gubernur Jawa Timur itu memberi pidato sambutan dalam resepsi muktamar kita". Lalu pembicaraan beralih tentang kehadiran Van der Plas di Tebuireng. Ketika Hadratus Syaikh (panggilan akrab Kyai Hasjim) sedang mengajar, datang Bupati Jombang menemui Kyai Hasjim dan memberitahukan setengah jam lagi Van der Plas akan datang ke Tebuireng. Dalam pem- bicaraan yang disaksikan Kyai Wachid Hasjim dan Kyai Mahfudz Shiddiq, Van der Plas mengutarakan niat Pemerintah untuk mem- beri bintang jasa untuk menghormati Kyai Hasjim karena jasa- jasanya selaku guru agama Islam. Namun tawaran itu ditolaknya. Saifuddin Zuhri, Berangkat, h. 168-169. 185. Swara NO, nomer 6, tahun 1929. 186. Tentang hal ini lihat bab III, khususnya sub-bab "Berawal dari Komite Hijaz", terutama bagian akhir dari bab tersebut. 287. Sejak Kyai Wahab dan kawan-kawan membentuk organisasi Nahdatul-Watan tahun 1914 kemudian NU tahun 1926 telah berdiri banyak sekolah dan madrasah yang dirintis kedua badan tersebut. Ketika NU "jaya" seabagai partai politik selama tahun lima pu- luhan, lembaga-lembaga pendidikan itu makin berkembang. Na- mun demikian tidak semua lembaga itu dikelola formal oleh NU dengan manajemen yang baik, akibatnya sebagian besar tidak terkontrol, menjadi lembaga yang dikuasai orang-orang NU. 188. Penegasan K.H. Idham Chalid disampaikan dalam ceramah di Surabaya sekitar tahun tujuh puluhan. Dalam ceramah di ha- dapan pertemuan NU Jawa Timur di Tuban tahun 1978 juga dikemukakan hal yang sama. Keterangan di atas disarikan dari rekaman kaset pidato tersebut. 189. Abdurrahman Wahid, "Pesantren Sebagai Subkultur", dalam Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1974).