C. BERAWAL DARI KOMITE HIJAZ Sementara itu sejak awal tahun 1924 telah tersiar berita bahwa Khalifah 'Abd al-Majid telah dimakzulkan oleh pe- mimpin nasionalis Turki Mustafa Kamal. Menyusul kemu- dian berita bahwa para ulama Mesir di bawah pimpinan Syaikh Azhar akan menyelenggarakan pertemuan interna- sional membahas soal Khilafah. Dalam pertemuan mereka di Mesir 25 Maret 1924 atau 19 Sya'ban 1342 telah diputuskan pentingnya lembaga khilafah bagi ummat Islam.67 Penca- butan kekuasaan Amir Wahid al-Din dari kedudukan khali fah adalah sah, karena dilakukan oleh orang yang me- nyetujui pengangkatannya, tetapi pengangkatan 'Abd al- Majid sebagai khalifah baru tanpa kekuasaan politik, me- langgar tradisi Islam, tidak sah, lebih-lebih lagi tidak di- akuinya lembaga itu dalam pemerintahan Negara Turki.68 Menghadapi peristiwa tersebut maka di Surabaya di- selenggarakan pertemuan 4 Agustus 1924 yang dihadiri SI, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Atta'dibiyah (AI-Ta'dibiyah), Taswirul-Afkar, Ta'mirul-Masajid dan perhimpunan lain.69 Pertemuan memutuskan membentuk Komite Khilafat dan akan menyelenggarakan persidangan luar biasa kongres al- Islam untuk mengirim delegasi ke Kairo.70 Kongres yang diselenggarakan kemudian menyepakati beberapa agenda masalah antara lain soal keagamaan yang diperselisihkan,71 dan rencana pengiriman delegasi ke Kairo.72 Umumnya pemimpin Islam Indonesia menyambut baik rencana Kairo membahas soal khilafah. Agus Salim menjelaskan hanya Turki negeri muslim yang merdeka. Ketika Turki terlibat dalam Perang Dunia Pertama tidak satu pun pemimpin Islam negeri lain membantunya. Turki kalah dalam perang, satu per satu wilayah Turki jatuh ke tangan asing. Wilayah Turki hanya tinggal daerah dekat Balkan, wilayah Turki sekarang, yang dipertahankan mati- matian karena itu Turki merasa kecewa dan keberatan memikul beban anggaran khilafah yang tidak sedikit.73 Menurut Agus Salim kekecewaan itu menjadi salah satu sebab mengapa Turki membubarkan khilafah yang menurut mereka harus menjadi tanggung jawab seluruh negeri mus- lim.74 Turki kemudian menyerahkan khilafah kepada ummat Islam sedunia dan mengusir Khalifah 'Abd al-Majid ke luar dari Turki.75 Peristiwa ini lalu ditanggapi pemimpin Islam seluruh dunia perlunya membangun kembali khilafah itu dan rencana Kairo salah satu diantaranya. Namun tidak semua kalangan mendukung rencana tersebut. Surat kabar Sedio-Tomo yang dipimpin Abdoel Moeis menanggapi lain. Menurutnya ummat Islam Indonesia tidak perlu mengirim delegasi ke Kairo. Soal khilafah adalah soal agama. Ke- butuhan kita sekarang soal ekonomi, bagaimana meningkat- kan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dana keuangan untuk mengirim delegasi lebih baik digunakan untuk mem- bangun perekonomian rakyat bagi kesejahteraan mereka.76 Di tengah ramainya kesibukan rencana pengiriman dele- gasi ke Kairo muncul berita bahwa di semenanjung Arabia terjadi pertempuran perebutan kekuasaan antara 'Abd al- 'Aziz Ibn Sa'ud melawan Syarif Husin. Setelah Khalifah 'Abd al-Majid tersingkir dari Turki ada dua rancangan pertemuan internasional untuk membahas persoalan ter- sebut. Rencana Kairo dan rencana Hijaz oleh Syarif Husin. Rencana Husin tidak begitu mendapat tanggapan di In- donesia karena kurang matang persiapannya.77 Kekalahan Husin dalam perang menyebabkan rencananya gagal. Na- mun Ibn Sa'ud yang menang dalam perang menjanjikan akan menyelenggarakan pertemuan Islam internasional un- tuk mengatur dua kota suci Mekkah dan Madinah.78 Kejadian perang di Hijaz menjadi salah satu pertimbang- an penundaan rencana pertemuan Kairo, Dengan alasan negeri Hijaz perlu diwakili dalam pertemuan Kairo, maka rencana itu ditunda. Alasan lain penundaan karena Panitia Muktamar Khilafah di Mesir memandang perlu untuk me- ngirim utusan ke seluruh dunia Islam lebih dahulu untuk menjelaskan rencana pertemuan Kairo; dan perkembangan dalam negeri Mesir yang sedang menyelenggarakan pe- milihan umum.79 Bersamaan dengan penundaan rencana Kairo itu penguasa baru Hijaz mengemukakan rencananya untuk menyelenggarakan pertemuan internasional guna membahas pengaturan Mekkah dan Madinah. Adanya ren- cana baru ini menimbulkan kesibukan khusus para pemim- pin Islam Indonesia. Sidang Komite Khilafat berlangsung intensif dan kongres Al-Islam meningkat frekuensinya. Se- telah kongres 1924 yang membicarakan soal khilafah, maka kongres berikutnya Agustus 1925, Februari 1926, September 1926, dan Desember 1926. Kemenangan Ibn Sa'ud dan rencananya untuk menye- lenggarakan pertemuan Mekkah menimbulkan polarisasi orientasi baru Islam di Indonesia, khususnya Jawa. Kalang- an pesantren menganggap kemenangan itu akan membawa dampak perubahan tradisi keagamaan menurut ajaran maz- hab, sebab Ibn Sa'ud dikenal beraliran Wahabi. 8O Peng- alaman traumatic masa lalu mereka yang dipelopori 'Abd al-Wahhab amat keras menentang segala pendirian yang tidak sejalan dengan mereka, maka kalangan pesantren cu- kup khawatir akan tradisi keagamaan mereka menghadapi penguasa baru di Hijaz yang beraliran Wahabi itu. Melalui Kyai Wahab mereka mencemaskan kekhawatiran itu dalam sidang-sidang Komite Khilafat, Sementara sayap yang lain tetap menghendaki agenda lama dipertahankan untuk di- bawa ke Mekkah. Menurut mereka penyerbuan Ibn Sa'ud atas Husin bertujuan baik untuk memperbaiki tata laksana ibadah haji yang di waktu sebelumnya kacau, sering terjadi perampokan dan banyak suku Arab yang melarikan diri.81 Ibn Sa'ud menjamin keamanan negeri Hijaz bagi jamaah haji maupun orang Arab lainnya.82 Ibn Sa'ud menjelaskan bahwa dirinya bukanlah penguasa yang lalim, kejam dan rakus kekuasaan. Dalam keterangannya yang di kutip surat kabar AI-Ahram Ibn Sa'ud menjelaskan bahwa tindakannya menggulingkan Husin didasari tekad untuk melindungi ta- nah suci yang dihormati ummat Islam, karena selama Husin dan keturunannya berkuasa, menurut keyakinannya, tidak akan ada keamanan di Hijaz.83 Berita-berita yang dimuat surat kabar tersebut tidak menggoyahkan kecemasan kalangan pesantren. Pengalaman traumatic masa lalu masih terus membayangi mereka. Se- benarnya mereka menghendaki agenda masalah yang seder- hana saja untuk dibawa ke Mekkah yaitu tuntutan peles- tarian tradisi keagamaan berdasar ajaran mazhab ahlussun- nah waljamaah dan perbaikan tata laksana ibadah haji, khususnya tradisi tarekat sufi dan wirid, pembacaan sa- lawat Nabi dan pengajaran kitab-kitab mazhab agar tetap diizinkan.84 Polarisasi orientasi ini dipertegas sekelompok aliran baru nonpesantren yang menyelenggarakan pertemu- an di Cianjur sebelum kongres Al-Islam di Bandung. Me- reka mengadakan lobby yang dihadiri kalangan mereka sen- diri untuk merancang keputusan kongres Bandung tentang delegasi ke Mekkah. Sebenarnya delegasi ke Mekkah sudah diputuskan kongres Yogyakarta tahun sebelumnya,85 tetapi kemudian diubah lagi dalam kongres Bandung. Kongres Bandung memutuskan delegasi ke Mekkah; Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansur (Muhammadiyah).86 Kyai Wahab me- mang tidak menghadiri seluruh acara kongres karena di tengah acara tersebut datang telegram bahwa ayahandanya sakit keras.87 Kyai Wahab kemudian meninggalkan medan kongres, tetapi bukan karena itu lalu dibentuk Komite Hi- jaz, sebab Komite itu sudah dibentuk kira-kira satu atau dua bulan sebelumnya.88 Rapat 31 Januari 1926 memutus- kan membentuk wadah organisasi baru NU--Kongres Al- islam di Bandung baru berlangsung Februari 1926. Jadi ketika kongres Bandung Komite Hijaz sudah dibentuk, bah- kan NU sendiri sudah lahir. Ketika merancang pertemuan Komite Hijaz dialog antara Kyai Wahab dengan Kyai Abdul Halim (Leumunding) mempersoalkan tujuan Komite Hijaz yang hendak dican- tumkan dalam surat undangan.89 Kyai Wahab menjawab: 'Tentu syarat tujuan nomer satu untuk menuntut kemer- dekaan. Ummat Islam menuju ke jalan itu. Ummat Islam tidak leluasa sebelum(nya) negara kita merdeka';90 lalu Kiyai Wahab mengambil sebatang kayu dan menyala- kan dengan api, sambil mengatakan: 'Ini bisa menghancurkan bangunan!'. 'Kita tidak boleh putus asa, kita yakin tercapai negeri mer- deka'.9l Selain obsesinya tentang negeri merdeka "agar ummat Is- lam leluasa menjalankan syari'at agama mereka", Kyai Wa- hab juga merasakan tantangan dari kalangan intern ummat Islam sendiri yang mulai terusik ketenangannya setelah muncul aliran baru. Kyai Wahab menjelaskan kepada Kyai Halim selanjutnya: 'Saya sudah sepuluh tahun lamanya memikirkan membela para ulama yang diejek sana-sini, beramalnya diserang sini- sana. Kalau satu kali ini luput, pilih satu antara dua yang patut. Masuk organisasi merombak terus atau pulang memelihara pondok yang khusus'.92 Kecemasan itu bukan dirasakan Kyai Wahab sendiri. Kyai Hasjim Asj'ari juga mencemaskan keadaan yang menimpa Kyai Wahab yang 'ditendang sana sini'; tiga tahun lamanya Kyai Hasjim memikirkan hal itu.93 Baru setelah NU lahir dan mendapat sambutan luar biasa, maka Kyai Hasjim merasa berbesar hati. Selama tiga tahun memikirkan ke- adaan Kyai Wahab dan kawan-kawan, Kyai Hasjim ber- maksud membantunya, namun keadaan tidak mengizinkan.94 Komite Hijaz yang dibentuk sebelum Januari 1926 di- ketuai Hasan Gipo dan wakil Saleh Sjamil, sekretaris Moe- hammad Shadiq Setijo dan wakil Abdul Halim, penasehat K.H. Abdul Wahab, K. H. Masjhoeri, dan K.H. Khali1.95 Mereka ini mempersiapkan pertemuan Komite Hijaz 31 Januari 1926. Pertemuan ini selanjutnya dijadikan hari lahir NU, sebab dalam pertemuan tersebut diputuskan mengirim delegasi ke Mekkah,96 lalu timbul masalah atas nama or- ganisasi apa delegasi itu dikirim. K.H. Mas Alwi men- gusulkan nama Nahdatul-Ulama mengambil nama organisasi pendahulunya Nahdatul-Watan. Usul itu disepakati sidang maka Komite Hijaz dibubarkan.97 Mengapa bukan Nahdatul-Watan dikukuhkan kembali dan diperluas tetapi membentuk perhimpunan baru, ba- rangkali ada beberapa aspek yang dapat dipakai sebagai pertimbangan. Latar belakang orientasi keagamaan yang akhirnya melahirkan pembentukan Komite Hijaz sebelum- nya memerlukan wadah organisasi yang berciri keagamaan Islam, sebab misi yang hendak dibawa ke Mekkah berada dalam lingkup agama. Jika tetap menggunakan Nahdatul Watan, maka nama organisasi itu tidak mengesankan se- bagai organisasi yang berkecimpung dalam soal agama. Dengan nama Watan mengesankan organisasi itu sebagai organisasi politik dan sosial, bukan keagamaan. Mungkin juga nama Ulama dapat memberi bobot pengaruh yang luas kepada ummat Islam, sebab ternyata organisasi Nahdatul- Watan selama lebih sepuluh tahun tidak menunjukkan per- kembangan yang luas. Mungkin juga dua aspek itu se- kaligus menjadi pertimbangan keputusan rapat para ulama itu. Pada sisi lain alasan para ulama pesantren perlu meng- galang kerja sama membentuk sebuah perhimpunan yang berskala nasional, selain hal-hal tersebut di atas, fenomena di bawah ini barangkali juga menjadi salah satu sebabnya. Kongres Al-Islam di Surabaya diselenggarakan atas prakar- sa Komite Khilafat dihadiri 68 utusan terdiri atas 9 Muham- madiyah, 29 SI, 4 Al-Irsyad, 6 Sub Komite Khilafat daerah, 3 PUI, dan selebihnya perhimpunan lokal seperti Taswirul- Afkar, Nahdatul-Watan, Perikatan Wataniyah, Ta'mirul-Masajid, At-Ta'dibiyah (semuanya berasal dari Surabaya) dan perhim- punan lain.98 Kongres Al-Islam di Yogyakarta tahun 1925 dihadiri 43 utusan SI, 10 Muhammadiyah, dan selebihnya perhimpunan loka1.99 Selanjumya kongres Bandung 1926 dihadiri 235 utusan, 138 di antaranya perkumpulan Islam di Yogyakarta yang memberi mandat kepada K. H. Fach- roeddin sebagai juru bicara.100 Perutusan kongres yang ti- dak seimbang ini kemungkinan merupakan salah satu se- bab yang mendorong mengapa sejumlah organisasi lokal di Surabaya terlibat dalam pembentukan suatu perhimpunan yang diprakarsai Komite Hijaz. Kongres-kongres Al-Islam yang berlangsung ketika itu seringkali mengambil keputusan dengan cara pemungutan suara. Ini agaknya salah satu fenomena yang mencemaskan kalangan pesantren. Bukti-bukti tertulis memang tidak atau belum ditemukan, tetapi dengan melihat perimbangan jum- lah delegasi yang dari tahun ke tahun terus pincang, sangat masuk akal kalau kemudian kalangan pesantren mencemas- kannya. Kalau keadaan terus berlangsung demikian maka suara kalangan pesantren akan tidak terdengar lagi. Ba- rangkali kalau dilihat menurut perspektif sekarang, kong- res-kongres Al-Islam dekade 20-an, bukanlah kongres yang representatif membawa nama kawasan Hindia Belanda. Te- tapi gambaran waktu itu tentu saja berbeda dengan se- karang Sekalipun hanya dihadiri organisasi Islam yang sangat terbatas, khususnya yang ada di Pulau Jawa, namun kongres-kongres itu merupakan peristiwa yang mempunyai makna besar ketika itu, sebab sebelumnya belum pernah diselenggarakan pertemuan seperti itu. Oleh karena itu fo- rum tersebut dianggap penting sampai terjadi adu argu- mentasi faham keagamaan yang sebenarnya hanya untuk mempertahankan gengsi.101 Delegasi kongres Al-Islam diwakili oleh pengurus pusat organisasi dan cabang-cabangnya, bahkan dalam kongres Surabaya sejumlah delegasi berasal dari utusan ranting or- ganisasi.102 Kalangan pesantren setelah terbentuknya NU tidak begitu bergairah mengikuti kongres Al-Islam. Tiga tiga kali kongres selanjutnya di Bogor, Surabaya, dan Malang, tidak mereka ikuti. Kongres-kongres itu sendiri tidak ber- jalan baik, pertentangan faham juga masih terus berlang- sung, khususnya antara SI dengan Persis dan Muhammadi- yah. Tahun tiga puluhan hanya sekali diselenggarakan kongres. Tahun 1937 ketika MIAI (Majelis Islam A'la In- donesia) berdiri, kalangan pesantren diwakili Kyai Wahab tidak bertindak selaku wakil NU. Baru setelah ketentuan perutusan delegasi yang menghadiri kongres ditetapkan, setiap organisasi diwakili pengurus pusatnya atau organi- sasi lokal yang tidak mempunyai induk pusat, maka NU kemidian secara resmi mengikuti kongres.103 Hubungan NU dengan organisasi lain serupa dengan di atas juga terjadi ketika NU keluar dari Masyumi tahun 1952. NU menghendaki agar struktur keanggotaan Masyumi diubah menjadi federasi yang diwakili oleh setiap organisasi ang- gota Masyumi, tidak seperti yang ada, anggota Masyumi terdiri atas anggota perorangan dan anggota organisasi, masing-masing mempunyai suara yang sama. Tuntutan ini tidak memperoleh tanggapan pemimpin Masyumi, akibat- nya NU menyatakan keluar dari Masyumi membentuk par- tai sendiri.104 D. MAZHAB AHLUSSUNNAH WALJAMAAH Pertemuan ulama pesantren awal tahun 1926 di Surabaya menyepakati pendirian suatu organisasi yang akan meng himpun kegiatan mereka dengan nama Nahdatul Ulama. Kurang lebih empat bulan sesudah itu telah dirintis pe- nyelenggaraan muktamar yang pertama. Salah satu masalah yang menjadi perhatian para pendiri organisasi itu ialah mengenai lambang organisasi sehubungan dengan akan di- laksanakan muktamar. Kyai Abdul Wahab Chasbullah ke- mudian meminta kepada K. H. Ridwan untuk menciptakan lambang dengan ciri-ciri: orisinal, tidak meniru lambang yang sudah ada, tahan lama, dan mencerminkan sifat ula- ma. Selama kurang lebih empat bulan Kyai Ridwan belum berhasil menciptakan lambang itu. Dengan bekerja keras mencari inspirasi dan ilham siang dan malam akhirnya inspirasi dan ilham itu datang di tengah malam beberapa minggu menjelang muktamar dibuka. Segera kemudian Kyai Ridwan membuat skets di tengah malam itu dan menyelesaikan penyempurnaannya keesokan harinya. Se- telah lambang itu tercipta timbul kesulitan untuk men- dapatkan kain warna hijau untuk bahan membuat bendera petaka yang di kala itu memang agak sulit didapat. Kira- kira dua hari menjelang muktamar dibuka bendera petaka dengan lambang NU berhasil digelar di depan jembatan Penilih kota Surabaya, dekat tempat berlangsungnya muk- tamar. Kemudian timbul persoalan dalam muktamar itu ketika seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda menanyakan arti lambang. Tidak seorang pun dalam sidang muktamar yang dapat memberi jawaban apa arti lambang. Ketika Kyai Ridwan dihubungi untuk menjelaskan arti lambang yang diciptakan beliau agak tertegun di tengah kesibukan ke- panitiaan muktamar, sebab lambang yang diciptakannya tidak dibayangkan mempunyai arti falsafah tertentu. Kyai Wahab pun ketika memintanya untuk membuat lambang NU tidak disertai permintaan semacam itu. Tidak urung karena desakan kyai lain terutama Kyai Wahab sendiri akhirnya Kyai Ridwan tanpa ekspresi yang menunjukkan kesiapannya mengenakan jas dan sorban memasuki ruang sidang. Tanpa diduga tiba-tiba Kyai Ridwan lancar sekali menguraikan makna dan falSafah lambang NU Yang dicip takan sendiri. Gambar bola dunia dan tali yang melingkar melambang- kan asas persatuan dan perdamaian, sembilan bintang salah satu yang paling besar terletak di bagian paling atas me lambangkan Nabi Muhammad sebagai panutan ummat, em- pat bintang di bawahnya melambangkan khulafa rasyidun, dan empat di bawahnya lagi melambangkan empat imam mazhab. Seluruh bintang berjumlah sembilan buah melam- bangkan wali sembilan, sebuah mitologi Islam yang sangat populer di Nusantara.105 Proses penciptaan lambang NU tersebut diyakini oleh sebagian besar anggota NU mempunyai arti mistis sebagai petunjuk Tuhan melalui kontemplasi dan ibadah. Demikian pula arti lambang diyakini sebagai rahmat Tuhan karena Kyai Ridwan ketika menjelaskan arti lambang di hadapan peserta muktamar dan pejabat pemerintah sedang dalam keadaan irtijal (tanpa persiapan), kondisi luar biasa yang dipercaya di atas kesadaran normal manusia.106 Tradisi pen- gambilan keputusan seperti ini, memohon petunjuk Tuhan dengan munajat (menghadap Tuhan memohon petunjuk) dan kontemplasi, merupakan tradisi NU sejak awal. Ka- dang-kadang petunjuk itu memerlukan waktu berminggu- minggu, bahkan bulan, tetapi kadang-kadang hanya be- berapa hari saja. Sisi yang menarik dari lambang itu ialah penegasan NU sebagai pengemban panji ahlussunnah waljama'ah yang di- lambangkan dengan pengakuan kepada khulafa rasyidun, empat imam mazhab dan mitologi Nusantara tentang wali sembilan yang sangat populer. Dengan demikian NU me- nempatkan pijakan langkahnya dari akar tradisi keagamaan dan budaya yang berkesinambungan. Ketika muncul per- pecahan yang kemudian melahirkan berbagai kelompok fa- ham keagamaan sejak pertengahan abad pertama Hijriah dan berkembang pada abad kedua sampai abad kelima, terdapat alur besar kaum muslimin yang mengakui peran para sahabat Nabi termasuk keempat khulafa raasydin se- bagai mata rantai pemahaman keagamaan dan generasi berikutnya para tabi'in dan salaf yang saleh yang mengikuti mereka. Sementara itu terdapat kelompok aliran, antara lain golongan mu'tazilah, yang pada umumnya bersikap apriori terhadap mereka. Pernyataan itu dengan sendirinya tidak menutup mata adanya keragaman dan tingkat apriori itu. Ada tiga pihak yang berselisih ketika itu yaitu golongan Muhajirin dan Ansar dan di dalam golongan yang pertama terdapat ahl al-bait, kerabat Nabi, yang menghendaki 'Ali ibn Abi Talib sebagai pengganti Nabi. Dua yang pertama sepakat menunjuk Abu Bakr meskipun pemimpin Ansar yang semula diusulkan yaitu Sa'ad ibn 'Ubadah tetap tidak setuju atas pengangkatan Abu Bakr dan akhirnya meng- asingkan diri ke Syiria.107 Sementara itu pihak ahl al-bait menghendaki 'Ali namun tidak memperoleh dukungan kaum muslimin yang lebih dahulu telah menunjuk Abu Bakr.108 Benih dari ketidakpuasan atas penyelesaian per- soalan ini tetap terpendam untuk pada akhirnya menjadi salah satu faktor penting yang menimbulkan malapetaka besar (al-fitnah al-kubra) dengan korban dua orang khalifah yaitu 'Us-man ibn 'Affan dan 'Ali ibn Abi Talib. Dari sinilah kemudian pecah konflik yang besar dan pertumpahan darah yang berkepanjangan. 'Ali dan para pendukungnya menuduh 'Usman melakukan politik nepotis yang mengutamakan kerabat sendiri.109 Ketika kemudian 'Usman terbunuh kerabatnya antara lain Mu'awiyah ibn Abi Sufyan menuntut 'Ali bertanggung jawab atas kematian itu. Namum kebanyakan kaum muslimin dan elite sahabat setuju mengangkat 'Ali sebagai pengganti 'Usman dengan pertimbangan obyektif mengenai kecakapan, integritas dan orang yang paling awal masuk Islam selain karena sejak semula ada kecenderungan yang luas untuk menerima ja- batan itu dari kerabat Nabi sendiri. Akan tetapi sejumlah sahabat antara lain Mu'awiyah, Talhah dan Zubair diikuti para pendukung mereka menyatakan tidak bersedia bai'ah sebelum 'Ali mempertanggungjawabkan kematian 'Usman.11O Setelah kemudian 'Ali wafat terbunuh maka Mu'awiyah menyatakan kekuasaannya sebagai khalifah dan memerintah dengan tangan besi terhadap siapa saja yang tidak menyetujuinya. Selanjutnya Mu'awiyah mewariskan kekuasaan itu kepada keturunannya berturut-turut selama satu abad. Salah satu keturunan 'Abbas berkoalisi dengan keturunan 'Ali menumbangkan kekuasaan itu dan meme- rintah selama kurang lebih lima abad selanjutnya dan ke- turunan Mu'awiyah yang tersingkir membangun kekuasaan baru di Spanyol.111 Mengiringi rentetan konflik soal khilafah pengganti Nabi Muhammad antara Bani Hasyim di mana pihak 'Ali dan 'Abbas berasal dengan Bani Ummayyah asal nenek moyang 'Usman dan Mu'awiyah--setelah khalifah 'Umar tutup ha- yat--timbul rentetan konflik lain yang menyangkut sendi- sendi utama keagamaan dan muncul kelompok-kelompok dengan pendukung mereka masing-masing. Kelompok pen- dukung 'Ali yang kelak dikenal dengan nama Syi'ah (peng- ikut) berkembang menjadi kelompok yang sangat fanatik. Mereka berpendirian bahwa tiga orang khalifah pendahulu 'Ali sejatinya merampas hak 'Ali. Mu'awiyah dan kawan- kawan serta Bani 'Abbas dipandang sama dengan para khalifah itu.112 Sementara itu akibat tahkim dalam pem- berontakan Siffin(113 antara pihak 'Ali dan Mu'awiyah mun- cul kelompok khawarij yang tidak setuju. Mereka meng- anggap tahkim itu melanggar hukum Tuhan, sebab Mu'a wiyah jelas melakukan pemberontakan karena itu harus ditumpas. Selanjutnya kaum khawarij menyatakan kedua belah pihak salah, melanggar hukum Tuhan. Orang yang melanggar hukum Tuhan berarti melakukan dosa besar, kedudukannya kafir.114 Dalam pada itu muncul pihak ke- tiga yaitu murji'ah yang tidak sependapat dengan mereka. Pihak khawarij mengafirkan 'Ali dan 'Usman dan mereka yang terlibat tahkim, sementara syi'ah mengafirkan tiga orang khalifah pendahulu 'Ali, dan keduanya menghujat Bani Umayyah yang berkuasa. Sebaliknya Bani Umayyah yang berkuasa menumpas mereka sebagai pelaku "kebatil- an". Golongan murji'ah menyatakan bahwa ketiga pihak itu tetap mukmin. Mungkin sebagian mereka salah dan se- bagian benar, namun siapa yang salah dan siapa yang benar tidak diketahui, karena itu mereka menyerahkan ke- putusan kepada Allah.115 Golongan mu'tazilah yang muncul belakangan pada mulanya tidak berlatar belakang politik, bagaikan pendekar yang mengutamakan pendekatan rasio- nal berusaha mengatasi krisis yang terjadi,116 dan mereka berhasil menarik simpati sejumlah khalifah 'Abbasiyah. Ber- sandar kepada kekuasaan itu mereka bukan saja menjadi pemersatu dari perselisihan yang terjadi, tetapi sebaliknya menjadi malapetaka. Fanatisme pendapat yang berlebihan akhirnya menjadi bumerang bagi siapa saja yang tidak setuju dengan pendapat-pendapat mu'tazilah.117 Imam Asy'ari (118 mengemukakan ada sepuluh golongan yang berselisih dan berbeda pendapat namun mereka ter- pecah-pecah lagi menjadi beberapa cabang, ada yang sam- pai 15, 20 atau 24 cabang pecahan.119 Al-Baghdadi (120 ber- usaha melacak jumlah 73 firqah yang diisyaratkan Nabi Muhammad dalam salah satu hadisnya (l21 dan mencoba menjelaskan firqah yang benar yaitu 'yang mengikuti aku dan para sahabatku', namun ternyata jumlahnya (kurang lebih) 101 firqah kemudian digolong-golongkan satu sama lain akhirnya menjadi 73, belum termasuk 21 firqah lain yang digolongkan telah menyimpang dari Islam walaupun mereka sendiri menyatakan Islam.122 Pola pemahaman keagamaan yang merujuk kepada sun- nah Nabi dan para sahabat untuk memahami sumber pokok ajaran Islam al-Qur'an sebenarnya telah dirintis oleh para sahabat sendiri. Ketika terjadi fitnah pada akhir zaman khulafa rasyidun sejumlah sahabat antara lain ibn 'Umar, ibn 'Abbas, ibn Mas'ud dan lain-lain menghindarkan diri dari konflik itu dan menekuni bidang keilmuan dan keagamaan. Dari kegiatan mereka inilah kemudian lahir sekelompok ilimuwan sahabat yang kemudian mewariskan tradisi ke- ilmuan itu kepada generasi berikutnya para tabi'in. Selan- jutnya kemudian lahir para muhaddisun (ahli hadis), ulama fikih dan tafsir. Mereka menulis selain dalam bidang ke- ahlian masing-masing juga menulis ilmu kalam yang me- nyanggah pendapat-pendapat yang mengabaikan sunnah Nabi dan para sahabat dalam menginterpretasikan ayat- ayat al-Qur'an mengenai soal-soal pokok agama (usul aI- din). Imam Abu Hanifah (767 M) menulis al-Fiqh al-Akbar yang menyanggah pandangan jahmiyah dan qadariyah.123 Imam Syafi'i (820 M) menulis judul yang sama dengan pendahulunya;124 Imam Ahmad ibn Hanbal (855 M) me- nulis buku al-Radd 'ala al-Zanadiqah wa al-jahmiyyah;125 Imam Bukhari (870 M) menulis buku Kitab Khalq Af'al al-'Ibad wa al-Radd 'ala al-jahmiyyah wa Ashab al-Ta'til;126 dan Imam al-Darimi menulis Kitab al-Radd 'ala al-Jahmiyyah dan al-Radd 'ala al-Marisi al-'Anid.127 Buku-buku tersebut merupakan se- bagian dari buku lain yang ditulis sekitar abad ke-8 dan 9 Masehi atau 2 dan 3 Hijriah yang berusaha meneguhkan peran sunnah Nabi dan para sahabat untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an khususnya yang berhubungan dengan dasar-dasar agama (usul ad-din). Golongan yang mengikuti pola ini kemudian dikenal de- ngan nama ahlussunah waljamaah atau ahlussunah. Imam Asy'ari kadang-kadang mengungkapkan dengan sebutan ahl al-sunnah wa al-istiqamah atau ahl al-jama'ah.128 Dari segi nama menurut Jalal Muhammad Musa mempunyai dua pengertian.129 Pertama, sunnah berarti metode atau tariqah yaitu mengikuti metode para sahabat dan tabi'in serta salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat (130 dengan menye- rahkan sepenuhnya pengertian ayat tersebut kepada Allah sendiri, tidak mereka-reka menurut daya nalar manusia semata-mata. Kedua, sunnah berarti hadis Nabi Muhammad yaitu meyakini kebenaran hadis sahih sebagai dasar ke- agamaan. Rangkaian kata sunnah dengan jama'ah menjadi ahl al-sunnah wa al-jama'ah yang ditulis dalam bahasa In- donesia ahlussunnah waljamaah memberi arti bahwa dasar keagamaan yang dianut bersumber kepada al-Qur'an dan sunnah Nabi dan sunnah para sahabat atau lazim dengan ungkapan ijma' sahabat, yaitu tradisi yang telah melembaga dalam kehidupan sosial keagamaan para sahabat Nabi sete- lah Nabi Muhammad wafat,131 khususnya zaman khulafa rasyidun. Pola dasar pemahaman keagamaan yang demikian ini berbeda dengan golongan khawarij, syi'ah atau mu'tazilah. Mereka umumnya menekankan interpretasi rasional dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat dan mengabaikan hadis Nabi Muhammad maupun tradisi sahabat Nabi.132 Imam Asy'ari dalam MaqaIat aI-Islamiyyin mengemukakan bahwa rujukan ahlussunnah waljamaah untuk memahami ayat- ayat al-Qur'an berpedoman kepada hadis Nabi menurut riwayat para sahabatnya dalam hal ini termasuk 'Ali ibn Abi Talib yang memperoleh penghargaan luar biasa ka- langan syi'ah sebagai imam yang paling agung.133 Tidak kurang banyaknya jalur sanad hadis Nabi dalam lingkungan ahlussunnah waljamaah melalui mata rantai orang-orang syi'ah. Imam Malik antara lain meriwayatkan hadis dari Abu Zar dan Ja'far al-Sadiq (salah seorang imam syiah).134 Akhirnya patut dikemukakan pendapat Ibn Taymiyyah ten- tang mazhab ahlussunnah waljamaah: Mazhab ahlussunnah waljamaah merupakan mazhab yang telah lama. Disebutkan Abu Hanifah, Syafi'i, Malik dan Ahmad ibn Hanbal (pengikut mazhab ini). Mazhab tersebut merupakan mazhab sahabat yang mereka terima dari Nabi mereka. Siapa yang menyimpang dari mazhab tersebut dia pembid'ah, me- nurut faham ahlussunnah waljamaah. Mereka sepakat bahwa ijma' sahabat sebagai hujjah, dan mereka berselisih faham ten- tang ijma' sesudah mereka.135 Umumnya mazhab ahlussunnah waljamaah, setidaknya di Indonesia, dikaitkan dengan mazhab-mazhab fikih Abu Hanifah, Malik, Sayfi'i dan Ahmad ibn Hanbal. Mengingat soal fikih menyangkut kebutuhan keseharian masyarakat dalam pelaksanaan ibadah dan mu'amalah maka wajar bila mazhab ahlussunnah waljamaah lebih sering terkait dengan mazhab fikih tersebut. Selain itu keempat imam mazhab fikih tersebut dengan tegas menyatakan pendiriannya se- bagai golongan ahlussunnah waljamaah yang menentang pendapat-pendapat aliran mu'tazilah dan qadariyah maupun jahmiyah. Dalam anggaran dasar NU juga di sebutkan: Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe memegang de- ngan tegoeh salah satoe dari mazhabnja Imam empat jaitoe Imam Moehammad bin Idris asj-Sayfi'i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe Hanifah An-Noe'man, ataoe Imam Ahmad bin Hambal,dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemas- lahatan agama islam.136 Memeriksa kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek mengajar, soepaja diketahoei apakah itoe daripada kitab-kitab Ahli Soe- nnah wal Djama'ah ataoe kitab-kitab Ahli Bid'ah.137 _____________________________________________________________________ _____________________________________________________________________ Catatan 67. Bendera Islam, 14 Oktober 1924. 68. Ibid. 69. Ibid. 70. Komite yang dibentuk terdiri atas ketua Wondoamiseno dan wakil K.H. Abdul Wahab, sekretaris A.M. Sangaji dan wakil R. Simoen Ed., bendahara Sjech Moehammad Alamoedi. Anggota Sa'id Idroes Almasjhoer, Mas Mansur, Hasan Gipo, Mansur Ja- mani, Oemar Hoebesj, dll. Bendera Islam, 30 Oktober 1924. 71. Lihat halaman 53-54. 72. Sebagian peserta tidak setuju membentuk Komite karena kha- watir tidak mendapat sambutan di Kairo. Mereka menghendaki Komite dibentuk setelah pertemuan di Kairo. Sebagian lagi meng- anggap pengiriman utusan biayanya cukup besar, lebih baik un- tuk membangun madrasah atau lainnya. Ahmad Ghana'im, guru sekolah berasal dari Mesir, meyakinkan peserta kongres delegasi akan disambut balk di Kairo: Kongres kemudian menyetujui pe- ngiriman delegasi ke Kairo. Bendera Islam, 30 Oktober 1924. Ahmad Ghana'im mendampingi Kyai Wahab sebagai utusan NU ke Mekkah tahun 1928. 73. Bendera Islam, 7-8 Desember 1924. 74. Ibid. 75. Ibid. 76. Soedio-Tomo, nomor 3, 6 Tanuari 1925, dikutip dari Bendera Islam, 15 Januari 1925. 77. Dalam kongres Al-Islam di Surabaya tahun 1924 sudah tersiar rencana Husin. Hasan All, salah seorang peserta kongres, meng- usulkan tidak usah mengirim delegasi balk ke Kairo maupun Hijaz. Bendera Islam, 30 Oktober 1924. Agus Salim mengemukakan bahwa setelah Turki jatuh, maka Inggris yang terlibat dalam perang dunia melawan Turki, "me- nempatkan Syarif Husin digiring menjadi khalifah. Akan tetapi 'boneka' Inggris itu tidak cakap memimpin, timbul kekacauan akhirnya digulingkan Ibn Sa'ud dari Nejd". H. Agus Salim, da- lam Bendera Islam, 7-8 Desember 1925. Menurut Kyai Wahab justru ibn Sa'ud yang diproyek Inggris untuk menggulingkan Syarif Husin, sebab yang terakhir ini ber- pihak ke Turki melawan Inggris. Akan tetapi pada akhirnya kawasan Timur Tengah terpecah-pecah menurut skema Balkan jadi beberapa negara kecil di bawah kontrol negara-negara Barat. Soal pendapat Kyai Wahab, wawancara dengan Abdurrahman Wahid dan H. Hamid Baidlowi di Jakarta 27 Februari 1990. 78. Berita surat kabar Al-Ahram yang dikutip Hindia Baroe me- nyebutkan bahwa penyerbuan Ibn Sa'ud yang berhasil menguasai Hijaz didasari tekad yang bertujuan untuk menertibkan pelak- sanaan ibadah haji. Pernyataan IIbn Sa'ud itu disampaikan dalam pertemuan yang dihadiri kurang lebih 300 orang utusan ulama Arab yang sebagian di antara mereka datang dari Syiria, Mesir, dan Irak. Hindia Baroe, 30 Tanuari 1925. 79. Juru Pengusaha Kongres Al-Islam Dunia di Kairo yang akan membahas soal khilafah mengumumkan bahwa kongres diundur- kan satu tahun karena alasan tersebut. Hindia Baroe, 22 Januari 1925. Pengumuman ditandatangani Syeikh Al-Islam, Presiden Kongres, Mohammad Abu 'l-Fadl. 80. Lihat halaman 52. 81. Hindia Baroe, 30 Januari 1925. 82. Ibid. 83. Berita surat kabar Al-Ahram dikutip dari Hindia Baroe, 30 Januari 1925. 84. Deliar Noer menyebutkan bahwa dalam kongres Al-Islam di Bandung,'K.H. A. Wahab atas nama kalangan tradisi mengajukan usul-usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan ...', Gerakan Modern, h. 243. Pemyataan tersebut mungkin kesalahan sumber yang dikutip, sebab kebiasaan tersebut tidak lazim dalam tradisi ulama pesantren. Sekalipun ada beberapa makam ulama seperti para wali sembilan atau ulama lain makam- nya dibangun, tetapi kemungkinan besar yang dimaksud Wahab ialah usul agar makam Nabi Muhammad dan empat sahabat besar serta syuhada abad pertama tidak dibongkar. Usul ini memang beralasan mengingat peristiwa masa lalu gerakan Wahabi yang pernah mencoba menghancurkan bangunan makam- makam tersebut. 85. Kongres Yogyakarta memutuskan delegasi yang dikirim H. Abdullah Siradj, Penghulu Pakualaman, dan Soegeng. Nama ter- akhir dipilih karena mampu berbahasa Inggris. Kongres itu.di- hadiri utusan SI43, Muhammadiyah 10 dan selebihnya organisasi lokal. Hindia Baroe, 8 Februari 1926. 86. Ibid. 87. Ibid. 88. Komite dibentuk oleh Kyai Wahab mendapat dukungan or- ganisasi Islam lokal di Surabaya, seperti Ta'mirul Masajid, Atta'- dibiyah, Wataniyah, dan lain-lain. Namun sebelum itu Kyai Wahab juga sudah mendapat dukungan ulama besar antara lain Kyai Asj'ari, Kyai Asnawi dan lain-lain. Sejarah Perjuangan. 89. K.H. Abdul Halim menjabat tata usaha Nahdatul-Watan. Kyai Hasjim Asj'ari sering memanggilnya dengan sapaan Mas Zawil- Halim, Sdr. yang pemurah. 90. K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan, h. 12-13. 91. Ibid, h. 13. 92. Ibid, h. 18. 93. K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangnn. 94. Ibid. 95. Perkiraan waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan ra- pat 31 Januari 1926 memerlukan waktu sedikitnya satu bulan. Keadaan transportasi dan alat komunikasi waktu itu tidak sebaik sekarang ini. Dua nama terakhir termasuk alumni yang mengikuti kursus yang diselenggarakan Nahdatul-Watan tahun-tahun sebelumnya. Ibid., h. 12. 96. Utusan yang dikirim K.H. Asnawi dan K.H. Bishri kemudian digantikan K.H. Abdul Wahab dan Ahmad Ghana'im karena yang pertama berhalangan. 97. K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan, h.14. 98. Bendera Islam, 1 Januari 1925. 99. Ibid., 23-24 November 1925. l00. K. H. Fachroeddin membawa mandat dari 138 perkumpulan Islam di Yogyakarta. Utusan perkumpulan Islam lainnya seba- nyak 97 + 138 = 235. Hindia Baroe, 9 Februari 1926. Angka 138 ini agak membingungkan sebab cabang Muhammadiyah ketika itu baru 38 cabang. Hindia Baroe, 4 Maret 1926. Kemungkinan salah dari sumber Hindia Baru. Jumlah 235 juga dari Hindia Baroe. 1O1. Seperti dikemukakan Agus Salim pada bagian terdahulu per- tentangan semata-mata mengenai hal-hal yang kecil-kecil yang bukan mengenai pokok agama.Bendera Islam, 7 Januari 1925. 102. Beberapa utusan ranting organisasi ialah Muhammadiyah Sumberpucung, Malang; SI Godekan, Yogyakarta; SI Petemon, Surabaya, dan lain-lain. Bendera Islam, 1 Januari 1925. 103. Semula NU mencemaskan peristiwa yang terjadi dalam kongres Al-Islam yang lalu akan tejadi pula dalam kongres Al- Islam yang diselenggarakan MIAI. NU menghendaki untuk me- mulai lembaran baru, melupakan silang sengketa masa lalu, ka- rena itu NU menuntut kongres Al-Islam yang diselenggarakan MIAI sebagai kongres yang pertama. Tuntutan ini akhirnya di- terima sidang. Selain itu NU juga menghendaki agar organisasi MIAI dan kongres Al-Islam diperbaiki, tidak semua perhimpunan Islam besar atau kecil, mempunyai cabang yang banyak atau hanya beberapa orang anggota saja, mempunyai suara yang sama. Bahkan utusan ranting sebuah perkumpulan berkedudukan sama dengan sebuah pengurus pusat perhimpunan yang mempunyai cabang-cabang. Menurut NU hal ini tidak benar. Kongres Al- Islam selanjutnya menetapkan anggota MIAI atau kongres al- Islam diwakili pengurus pusat perhimpunan, jika pengurus pu- satnya tidak termasuk anggota boleh diwakili salah satu cabang atas izin dari pengurus pusatnya. Lihat ulasan Islam Congres ke 2, dalam Berita NO, nomer 15, tahun 8, 1 Juni 1939. Lihat pula anggaran dasar MIAI fasal 5 dan keputusan kongres Al-Islam ke I, 1938, di Solo. Boekoe Peringatan MIAI, h. 8 dan 31. 104. Selanjutnya mengenai hubungan NU-Masyumi lihat bab IV, khususnya sub-bab "Kemelut dan Gagasan Federasi". 105. Tali melingkar dengan 99 buah lekukan melambangkan asma' al-husna (nama-nama Allah yang bejumlah 99) dan dua buah ikatan di bawah melambangkan habl min AIlah habl min al-nas (tall Allah dan tall manusia). Lihat H.M. Hasjim Latief, NU Penegak Panji Ahlussunnah Waljamaah, (Surabaya: Pengurus NU Wilayah Jawa Timur, 1979), h. 41-42. 106. Bahan tentang penciptaan lambang NU dihimpun dari wa- wancara dengan H. Abdul Mudjib Ridwan, (60 tahun), putera K.H. Ridwan, dan beberapa orang yang menghadiri muktamar itu. 107. Sa'ad ibn 'Ubadah tidak bersedia menyatakan bai'ah kepada Abu Bakar maupun 'Umar, meninggal pada zaman Khalifah 'Umar memegang jabatan di Syiria. Ibn Qutaibah ad-Dinawari (276 H), al-lnuimah wasSiyrisah I, (Kairo: Mu'assasah al-Hulbi wa Syurakah, 1976), h. 17-18. Selanjutnya al-Imamah. 1O8. Gagasan itu mendapat dukungan dari 'Abbas, Talhah dan Zubair.'Ali kemudian mendatangi Abu Bakar dan menyatakan kekecewaannya karena hak kerabat Nabi telah dirampas. Dalam pertemuan dengan elite Ansar orang-orang Muhajirin mengatakan bahwa Nabi Muhammad berasal dari kabilah Quraisy, kabilah mereka, karena itu wajar bila pengganti Nabi Muhammad dari kabilah itu. Atas dasar pertimbangan tersebut kemudian 'Ali mengklaim jabatan itu karena dia berasal dari kerabat Nabi sen- diri. Lihat al-Imamah I, h. 18-22 dan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam as-Siyasi wad-Dini was-Saqafi wal-Ijtima'i II, (Kairo: Maktabah an- Nahdah al- Misriyah, 1976), h. 1-6.Sin. Tarikh. 109. Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Singapura : Sulaiman Mar'i, 1965), h. 254. Selanjutnya dikutip Fajr al-Islam. 110. Talhah dan Zubair terbunuh dalam pemberontakan Jamal an- tara 'A'isyah dengan 'Ali, mereka di pihak 'A'isyah. Mu'awiyah melakukan pemberontakan kepada 'Ali dalam perang Siffin. Da- lam perang itu terjadi tahkim (arbitrase), namun muncul kelompok yang tidak setuju, sebab apa yang dilakukan Mu'awiyah adalah suatu pemberontakan terhadap imam yang sah, karena itu mereka menyatakan kedua kelompok yang melakukan tahkim salah dan berdosa besar. Kedudukan mereka kafir karena telah menyimpang dari hukum Allah. Fajr al-Islam, h. 254-255 dan al-Imamah I, h. 31-139. 111. Tarikh II, h. 151-152 dan al-Imamah I, h. 31-139. 112. Ahmad Amin, Duha al-Islam I, (Kairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1964), h. 26'-287. Selanjutnya Duha al-lshm. 103. Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Singapura : Sulaiman Mar'i, 1965), h. 254. Selanjutnya dikutip Fajr al-Islam. (Catatan kaki nomer 5). 114. Duha al-Islam, h. 256-265. 115. Duha al-Islam, h. 279-303. 116. Tarikh II, 156. Lihat pula Faisal Badrun, 'Ilm al-Kalam wa Madarisuh. (Kairo: Maktabah al-Hurriyyah al-Hadisah, 1982), h. 263. Selanjutnya disebut 'Ilm al-Kalam. 117. Tarikh II, h. 160-161, 'Ilm al-Kalam, h.266 dan 'Abd al-Qahir al-Baghdadi, al-Farg Bain al-Firag, (Beirut: Darul-Kutub al-'Ilmiy- yah, 1985), h. 87-150. Selanjutnya disebut al-Farg. 118. Abu Hasan 'Ali ibn Isma'il al-Asy'ari, wafat 324 H/936M. 119. Abu Hasan 'Ali ibn Isma'il al-Asy'ad Maqalat al-lslamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin, (Weisbaden: Franz Steiner Verlang GMBH, 1980), h. 5. Selanjutnya disebut Maqalat. 120. Abd al-Qahir ibn Tahir ibn Muhammad al-Baghdadi, wafat 429 H/1037 M. 121. Salah satu hadis menurut teks Tirmizi: "iftaraqat al-Yahud 'ala ihda au tsintaini wa sab'ina firqatan wa tafar- raqat al-Nashara 'ala ihda au tsintaini wa sab'ina firqatan wa taftariqu ummati 'ala tsalatsin wa sab'ina firqatan" (Ummat Yahudi terpecah 71 atau 72 golongan dan ummat Nasrani terpecah sejumlah itu. Ummatku (akan) terpecah 73 golongan) Hadis ini diriwayatkan Tirmizi, Abu Dawud, Ahmad ibn Han- bal, Nasa'i, Ibn Majah dan Hakim. Imam Tirmizi meriwayatkan dari empat jalur sanad: Abu Hurairah, Sa'ad,'Abdullah ibn 'Amr dan 'Auf ibn Malik. Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad Abu Hurairah sedang Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas ibn Malik dengan dua jalur sanad. Imam Tirmizi menilai hadis sanad Abu Hurairah hasan sahih. Dalam teks sanad 'Abdullah ibn 'Amr menurut riwayat Tirmizi terdapat kalimat: "kulluhum fi al-nar illa millatan wahidah, qala: man hiya ya rasu- lullah? qala: ma ana 'alaihi wa ashabi" (Semua masuk neraka kecuali satu golongan. Sahabat bertanya 'Siapakah golongan itu, ya Rasul?' Rasul menjawab 'Yang meng- ikuti aku dan para sahabatku), namun hadis ini dinilai karena salah seorang perawinya yaitu 'Abdur-Rahman ibn Zay- yad tergolong daif. Mengingat hadis tersebut diriwayatkan dengan banyak sanad Imam Tirmizi menilai hasan gharib. Hakim menilai sahih menurut syarat Bukhafi dan Muslim. Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal terdapat kalimat : "fa tahliku ihda wa sab'ina wa takhlisu firqatun, qalu: ya rasulallah man tilka al-firqah, qala: al-jama'ah al-jama'ah" (Maka hancur 71 golongan dan selamat satu golongan. Mereka bertanya, 'Siapakah itu?' Rasul menjawab 'Jamaah, jamaah'). Para ulama menafsirkan 'perpecahan' yang dimaksud dalam hadis tersebut ialah perpecahan mengenai pokok agama (usul al-din), bukan perpecahan karena perbedaan dalam soal furu' yang menyangkut hukum halal-haram. Lihat Muhammad 'Abdur-Rahman Kafuri Tuhfah al-Ahwazi bi Syarh Jami' Tirmizi VII, (Kairo: Mat-ba'ah al-Majalah al-Hadisah, 1967), h.397-400; Abu Tayyib Muhammad Syams al-Haq al-'Azim al-Abadi,'Aun al-Ma'bud bi Syarh Sunan Abi Dawud XII, (Lebanon: Dar al-Fikr al-Maktabah as-Salafiyah, 1979), h. 340, 358-60; Ibn al-'Arabi al-Maliki, al-'Aridah al-Ahwazi bi Syarh Sahih Tirmizi, X, (Kairo : Dar al-Wahy al-Muhammadi, t.t.), h. 108-i09; dan Ahmad ibn Hanbal, Musnad Imam ibn Hanbal III, (Lebanon : Maktab al-Islami, t.t.), h. 120 dan 145. Selain hadis di atas terdapat riwayat yang menganjurkan untuk mengikuti sunnah Nabi dan para sahabat Nabi antara lain: "fa 'alaikum bi sunnati wa sunnati al-khulafa' ar-rasyidin al-mahdiyyin 'addzu 'alaiha bi an-nawajid" (Maka ikutilah sunnahku dan sunnah khulafa rasyidun yang diberi petunjuk. Peganglah erat kedua sunnah itu). Hadis ini diriwa- yatkan oleh Tirmizi, Abu Dawud, Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah, Hakim, Tabrani dan ibn Hibban. Jalur sanad hadis ini banyak dengan teks yang berbeda-beda. Secara keseluruhan nilainya ha- san sahih, tetapi Hakim menilai sahih menurut syarat Bukhari dan Muslim. Demikian pula ibn Hibban menilai sahih. Ibn Hajar al- 'Asyqalani juga menilai sahih. Lihat Muhammad 'Alan as-Sa- diqi, Dalil al-Falihin ii Turuq Riyad as-Salihin I, (Kairo : Mustafa al Babi al-Halabi, 1$71), h. 413-16. 122. Lihat al-Farq. 123. Buku ini dikomentari (syarh) oleh Imam Maturidi (944 M), Syarh al-Fiqh al-Akbar li Abi Hanifah, (Kairo: Matba'ah al-Qahirah, 1325 H). 124. Lihat Jalal Muhammad Musa, Nasy'h al-Asy'ariyyah wa Tataw- wuruha, (Beirut: Dar al-Fikr al-kutub, 1975), h. 20. Selanjutnya dikutip Nasy'ah. 125. Ali Sami al-Nasyr dan 'Ammar Jam'i at-Talibi,'Aqa'id al- Salaf, (Iskandaria: al-Ma'arif, 1971). 126. Ibid. 127. Ibid. Al-Marisi ialah Bisyr ibn Ghayyas al-Marisi (218 H) salah seorang dari aliran Murji'ah yang berfaham qadariyah. Lihat Maqalat, h. 140-143 dan 516. 128. Maqalat, h. 454-455. 129. Nasy'ah, h. 15-16. 130. Ayat mutasyabihat ialah ayat yang mengandung kata yang artinya, kurang atau tidak jelas atau memang arti katanya ganda (isytirak) seperti kata wajh, yad (tangan),'arsy, atau inzal (turun) dalam bidang kalam dan lams atau guru' dalam bidang fikih. 131. Taqiyyddin ibn Taymiyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah fi Naqd Kalam as-Syi'ah wa al-Qadariyyah, (Marwa-Mekka: Dar al- Baz, t.t.), jilid II, h. 102-105. Selanjutnya disebut Minhaj asSunnah. 132. Salah satu mazhab fikih ahlussunnah waljamaah yaitu maz- hab Abu Hanifah dikenal sebagai ahl ar-ra'y (rasional) tetapi sebutan ini tidak berarti Abu Hanifah mengabaikan sunnah Nabi dan sahabat. Mazhab ini memang dikenal lebih kritis terhadap hadis Nabi terutama hadis ahad yang sanadnya tunggal, namun jika menurut penelitiannya hahis itu Sahih tetap diterima. 133. MaqaIat, h. 290-297. 134. Muhammad Kamil Husain, "Muqaddimah", dalam Muwattta' edisi Kitab as-Sya'b, t.t., h. 21. Lihat pula Abu Zahrah, Malik Hayatuh wa 'Asruh Ara'uh wa Fiqhuh, (Beirut: Dar al-Fikr al- 'Arabi, 1952). 135. Minhaj alSunnah, I, h. 256. 136. Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama, Rechts persoon, tanggal 6 Februari 1930, nomer 1x, pasal 2. 137. Ibid, pasal 3 ayat b.