Imam Al-Ghazali;
Sebuah Telaah tentang Metodologi Reformasi
Khairul Umam Thaib*
Sosok Al-Ghazali adalah sosok sejuta wajah. Ia berhasil menguasai berbagai disiplin ilmu secara mendalam pada saat yang bersamaan. Suatu prestasi tersendiri. Penulis makalah ini mencoba menelaah metodologi reformasi yang dibawakan oleh Al-Ghazali dengan analisa obyektif dan menyertakan beberapa kelemahannya.
Kemunculan Imam Al-Ghazali dalam pertarungan pemikiran di dunia Islam boleh dikatakan kontroversial, di mana sekian banyak pemikir memuja beliau, namun tak kurang pula yang mengkritik dan mengecamnya. Al-Ghazali adalah lautan yang terbentang luas, Al-Ghazali bagaikan Al-Syafi'i kedua, Hujjatul Islam, dan maha guru dari para guru.
Demikianlah pujian-pujian yang dilontarkan oleh para pe-ngagumnya dari kalangan ulama terdahulu seperti Ibn Hajar, Ibn Katsir, Imam Muhammad ibn Yahya dan lain-lain. Dari kalangan ulama kontemporer, Abul Hasan Ali Al-Nadawi, seorang ulama besar asal India mengatakan, "Al-Ghazali adalah seorang pemikir yang cemerlang, cendekiawan yang agung serta tokoh reformasi yang telah berusaha membangun kembali konstruksi baru bidang pemikiran dalam dunia Islam".
Selain Al-Nadawi, banyak lagi ulama dan intelektual kontemporer sebagai pengagum Al-Ghazali, antara lain adalah Mushtafa Al-Maraghi (mantan Syaikh Al-Azhar), Abul A'la Al-Maududi dan Ahmad Fuad Ahwani.
Dari sekian banyak pengagum dan pembela Al-Ghazali, tidak sedikit pula pengkritik dan pengecamnya dari dulu hingga sekarang. Yang sangat keras mengecam Al-Ghazali dari kalangan ulama dahulu antara lain Abu Bakar Al-Maliki, Ibn Shalah, Ibn Jauzi dan banyak lagi yang lainnya.
Adapun dari kalangan intelektual kontemporer yang sangat keras mengecam beliau adalah dari kelompok rasionalis Islam, kaum Mu'tazilah dan terutama dari para ahli filsafat Islam. Dalam pandangan mereka, Al-Ghazali telah melakukan kesalahan besar terhadap perjalanan sejarah Islam karena dalam memberikan solusi terhadap problematika umat, lebih cenderung mengajak mereka untuk memasuki jalan tasawuf yang mengabaikan kehidupan dunia dan menghambat kemajuan masyarakat karena tenggelam dalam mencari kebahagiaan yang bersifat pribadi dan individualistis.
Lebih dari itu, ahli filsafat Islam berpendapat bahwa pemikiran Al-Ghazali menjadi starting point dari kemunduran peradaban Islam. Yaitu berawal dari diluncurkannya suatu karyanya yang spekta-kuler pada abad XIV Masehi yang berjudul Tahafut al-Falasifah. Karya ini dianggap tidak hanya menghancurkan filsafat metafisika, akan tetapi juga turut andil melemahkan umat Islam dalam mengadakan riset dan penemuan baru di bidang natural science atau ilmu pengetahuan alam.
Demikianlah silang pendapat yang terjadi antara ulama dan intelektual Islam terhadap metodologi reformasi yang telah dicetuskan oleh Al-Ghazali. Namun untuk lebih menemukan titik terang dari permasalahan ini, penulis paparkan dalam pembahasan berikut beberapa persoalan yang menjadi obyek dari reformasi pemikiran yang dila-kukan oleh Al-Ghazali.
Kondisi Masyarakat Sebelum Al-Ghazali Sebelum kelahiran Al-Ghazali pada pertengahan abad XI, mayoritas masyarakat Islam sedang gandrung mendalami filsafat Yunani sehingga pemikiran filsafat tersebar ke seantero wilayah Islam yang terjadi antara ulama dan intelektual Islam. Walaupun pada waktu itu banyak terdapat ulama fiqh dan hadits, namun mereka tidak mampu menghadapi ma-syarakat rasionalis yang kuat bersandar kepada logika dalam memahami agama kecuali hanya dengan cercaan dan makian.
Kondisi masyarakat pada masa ini tidak hanya sekedar bodoh terhadap ajaran agama, akan tetapi disertai pula oleh sikap taklid buta terhadap ajaran filsafat Yunani. Bahkan sampai-sampai mereka mempercayai ajaran filsafat tersebut sama dengan kepercayaan mereka terhadap agama, sehingga seolah-olah ajaran filsafat itu datang juga dari Allah SWT. Tatkala pemahaman filsafat ini semakin menebal di ka-langan masyarakat Islam - yang boleh kita sebut sebagai sebuah tesa - maka kemudian muncullah antitesanya, yaitu golongan pengikut salaf yang menyeru kepada kemurnian Al-Qur'an dan Sunnah serta mengimani nash-nash syariat apa adanya.
Dari pertarungan sengit antara tesa dan antitesa ini, muncullah kelompok yang menganggap dirinya sebagai penengah yang disebut sintesa, yaitu golongan Asy'ariyah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ariy sebagai pencetus dan Imam Al-Ghazali sebagai pembelanya. Abu Hasan Al-Asy'ary muncul untuk meluruskan kembali ajaran agama yang telah banyak terselewengkan dan bercampur baur dengan ajaran filsafat.
Akan tetapi, walaupun beliau mempunyai kemampuan yang cukup tinggi di bidang keilmuan, namun beliau mempunyai kelemahan di bidang ilmu mantiq yang dapat digunakan sebagai senjata untuk menundukkan kaum rasionalis. Sehingga walaupun Imam Asy'ary telah berhasil mencetuskan suatu metodologi baru dalam memahami aqidah, namun beliau belum mampu menghancurkan ajaran filsafat Yunani yang telah tersebar luas di tengah masyarakat Islam.
Dalam kondisi seperti inilah muncul seorang hujjatul Islam, yang menjadi anutan bagi mayoritas umat hingga sekarang. Dengan bukunya Tahafut al-Falasifah, beliau mampu mengobrak-abrik se-luruh pemahaman filsafat yang telah tersebar luas. Sehingga sebagai konsekuensi logisnya, pemikiran filsafat dan rasio-nalitas hilang dari dunia Islam Timur dan berhembus ke dunia Barat Kristen. Peristiwa inilah yang dianggap oleh para ahli sejarah filsafat Islam sebagai starting point bagi pencerahan dan kemajuan peradaban Barat sekarang ini.
Metodologi Reformasi Al-Ghazali Sebelum memulai reformasinya, terlebih dahulu Al-Ghazali mengalami kegoncangan dalam hidupnya, sampai-sampai beliau meragukan segala sesuatu yang ada di alam ini. Kebanyakan ahli filsafat Islam menyebut kondisi Al-Ghazali ini sebagai syak al-maradhy, yaitu penyakit ragu-ragu.
Namun "penyakit" Al-Ghazali yang unik ini akhirnya menjadi minhaj tersendiri dalam filsafat, yang pada zaman renaisance di Barat telah diikuti oleh Immanuel Kant yang menamakan metodologi filsafatnya dengan syak al-minhajy, yaitu keraguan yang metodologis. Adapun persoalan-persoalan penting yang menjadi obyek reformasi yang dilakukan oleh Al-Ghazali antara lain adalah hal-hal berikut:
Dalam hal ini Al-Ghozali antara lain meletakkan lima asas dalam mencapai obyektifitas ilmiah yang tidak dapat diingkari oleh semua pihak, yaitu sebagai berikut:
Untuk mengetahui lebih jauh tentang sikap Al-Ghazali terhadap filsafat secara keseluruhan, bisa kita lihat polemik yang dilakukan oleh Al-Ghazali terhadap para filosof secara umum, dan terhadap Ibnu Sina dan Al-Farabi dalam 20 masalah yang dianggap urgen.
Di antara yang terpenting adalah:
Semua argumen Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu dilancarkannya dengan cara polemik yang logis, ilmiah dan metodologis. Kendati demikian banyak juga ahli filsafat Islam berpendapat bahwa Al-Ghazali kurang fair dalam polemiknya menentang ahli filsafat. Alasannya adalah bahwa beliau menggunakan senjata apa saja untuk menghancurkan pendapat filsafat, walaupun senjata itu datang dari golongan lain yang beliau tentang sendiri, seperti Mu'tazilah, Syi'ah, Bathiniyah dan lain-lain.
Bagaimana pun juga, Al-Ghazali memang telah dikenal sebagai seorang ahli mantiq serta pemberi tuntunan tentang cara berargumentasi yang baik dan logis.Tentang ilmu mantiq itu sendiri beliau berpendapat, "Barang siapa yang tidak mempelajari mantiq, diragukan kebenaran ilmunya".
Dalam menjatuhkan prinsip kaum filsafat tentang kejadian alam, Al-Ghazali mempunyai argumentasi yang sangat kuat. Sebagai contoh, beliau menjatuhkan prinsip kelompok yang menyatakan, “Laa yashdur min wahid illa syaiun wahid," yaitu mustahil akan muncul dari sesuatu yang satu kecuali satu. Dengan mudah Al-Ghazali menjatuhkan argumentasi kaum filsafat ini dengan senjata mereka sendiri, yaitu bahwa jisim terdiri dari dua unsur, materi dan jiwa, di mana satu unsur bukan merupakan 'illat bagi yang lainnya. Kemudian Al-Ghazali berkata, bukankah hal ini merupakan hal yang kontroversial dari prinsip kaum filsafat itu sendiri?
Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al Ghazali mengawali kitabnya Ihya 'Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah, kemudian diikuti dengan pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti dengan cara-cara yang sepatutnya diikuti untuk sampai ke martabat yang sempurna.
Ada sepuluh kaidah utama yang diletakkan Al-Ghazali dalam ilmu tasawuf yaitu niat yang betul, melakukan amal secara ittiba' bukan ibtida', ikhlas, tidak bertentangan dengan syara', tidak mengulurulur amal baik, tawadhu', takut dan berharap, senantiasa berdzikir, senantiasa mengintrospeksi diri, dan bersungguh-sungguh mempelajari hal-hal yang perlu dilakukan secara lahir dan batin.
Demikianlah tiga hal yang cukup urgen dan mewakili reformasi pemikiran yang dilakukan oleh Imam Al-Ghazali terhadap alam pemikiran umat Islam pada zaman beliau hidup. Namun bukan berarti hanya tiga masalah ini saja sebagai obyek reformasi Al-Ghazali, akan tetapi lebih tepat bila dikatakan sebagai sampel yang dapat penulis angkat dalam tulisan ini.
Dari uraian-uraian di atas, kita banyak melihat kelebihan-kelebihan Imam Al-Ghazali dalam perjuangannya. Namun sebagai manusia biasa tentu saja kita tidak bisa menafikan adanya kelemahan-kelamahan yang beliau miliki, karena kita meyakini tidak ada manusia yang ma'shum kecuali para nabi dan rasul.
Untuk pembahasan berikut, penulis kemukakan beberapa kelamahan Imam Al-Ghazali dari catatan para ahli dan ulama, dengan tidak bermaksud mengecilkan martabat beliau sebagai seorang ulama besar dan hujjatul Islam.
Kelemahan Al-Ghazali
Di samping sekian banyak kelebihan Imam Al-Ghazali, tercatat juga beberapa kelemahan yang beliau miliki dari pandangan yang obyektif, antara lain sebagai berikut:
Sementara Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Al-Rasul wa al-’Ilmi mengatakan, “Al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin pada bagian Kitab al-Ilmi mengemukakan 55 buah hadits, dan hanya 13 hadits di antaranya yang sampai martabat shahih dan hasan, sedangkan selebihnya adalah hadits-hadits dha'if, walaupun masyhur di kalangan masya-rakat.
Fenomena ini menyebabkan beliau dianggap mempunyai dua madzhab. Pertama madzhab untuk orang awam, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Tahafut al-Falasifah. Kedua madzhab khusus untuk para ahli filsafat saja, seperti yang terdapat dalam buku beliau Ma'arij al-Quds.
Dalam serbuan pertama dari peperangan tersebut umat Islam yang mati syahid mencapai 60.000 orang. Dalam kondisi yang sangat nahas itu tidak terdengar suara Al-Ghazali untuk mengatasi problem besar ini. Sementara kedudukan beliau pada waktu itu boleh dikatakan sebagai imam bagi seluruh dunia Islam, yang dengan satu ucapannya saja dapat mengerahkan umat Islam untuk berjihad mengusir kaum kafir salib yang telah menjajah dunia Islam dan dapat membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman kaum kafir.
Namun Al-Ghazali lebih memilih jalan sufi dan ber’uzlah dari pada memimpin peperangan mengusir musuh dari dunia Islam. Al-Ghazali mulai ber’uzlah di menara masjid Damaskus semenjak tahun 488 H. hingga tahun 499 H. Pada tahun 491, tiga tahun setelah beliau mulai ber’uzlah, tentara salib telah berhasil menaklukkan Anthakia dan Ma’ratun Nu’man yang mengakibatkan terbunuhnya 100.000 kaum muslimin. Mereka menerobos seluruh pelosok negeri, serta menghancurkan semua yang mereka temui. Akhirnya pada tahun 495 H mereka berhasil menaklukkan Al-Quds. Sementara Al-Ghazali masih “terlelap” dalam ‘uzlahnya hingga tahun 499 H.
Para ahli sufi pada waktu itu, termasuk Al-Ghazali hanya berpendapat bahwa perang salib tersebut merupakan ganjaran dari maksiat yang diperbuat umat Islam, oleh sebab itu ishlah batin lebih afdhal dari pada perang fisik dalam kondisi seperti itu.
Penutup
Sukar didapati seorang ahli fikir yang meninggalkan pengaruh besar dalam Islam seperti Al-Ghazali. Beliau sendiri hidup dalam masa penyebaran jiwa keislaman yang telah merosot dan keimanan terhadap aqidah yang benar-benar telah mengendur. Kondisi ini menurut Al-Ghazali disebabkan oleh orang-orang yang memasuki lapangan filsafat dan tasawwuf.
Ulama kalam sebelum Al-Ghazali telah berusaha memerangi filsafat, tetapi tidak seorangpun yang berhasil merobohkan konstruksi pemikiran filsafat sampai ke akar-akarnya sebagaimana yang telah dilakukan Al-Ghazali melalui bukunya Tahafut al-Falasifah. Al-Ghazali juga menyerang para ahli ilmu kalam, sementara beliau sendiri sebagai tokoh ilmu kalam.
Beliau mengkritik kebanyakan tingkah laku ulama kalam, yang menurut beliau hati mereka menjadi kesat dan jauh dari ajaran agama yang mereka perjuangkan sendiri. Al-Ghazali telah mengambil jalan tasawuf, dan membebaskan tasawuf tersebut dari berbagai penyelewengan yang menjauhkannya dari kebenaran ajaran Islam, seperti masuknya faham wihdatul wujud, ittihad dan hulul.
Beliau juga dengan jelas menentang paham tasawuf yang mengatakan bahwa seorang sufi apabila telah mencapai tingkatan ma'rifat, maka tidak lagi mengenal batas larangan, sehingga menjadi bebas dari berbagai kewajiban syari'at. Dalam setiap langkah, baik berhadapan dengan filosof,ahli kalam ataupun dengan golongan sufi, beliau hanya ingin mencapai satu tujuan utama, yaitu menghidupkan kembali semangat baru bagi Islam. Wallahum A'lam Bishshawab.
Bahan Bacaan
* Khairul Umam Thaib lahir di Riau, 23 Januari 1971. Setelah menamatkan PGAN th. 1989, ia melanjutkan pendidikannya di DDI Jakarta (89-91) dan LIPIA. Kini telah menyelesaikan program S1 di Fakultas Ushuluddin jurusan Akidah dan Filsafat Universitas Al-Azhar. Ia pernah menjabat sebagai staf redaksi Terobosan, Pengurus HPMI, dan kini aktif sebagai staf redaksi OASE (Jurnal Dua bulanan ICMI Orsat Cairo).