Klaim Terorisme dan Islam Fundamentalis

Dari Kriminalitas Politik Ke Radikalisme Sosial

Afif Zamroni Abdullah*

 

Prolog

SUNGGUH dramatis! Dalam tempo kurang dari satu jam, 'dua bilik paru-paru' AS runtuh lantak oleh aksi megaterosis pada Selasa, 11 September 2001 lalu. Aksi sengaja dengan hanya bersenjatakan belati tersebut telah berhasil menabrakkan tiga pesawat domestik ke Gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York, yang menjadi simbol kekuatan ekonomi AS dan Gedung Pertahanan Pentagon di Washington DC, simbol kedigdayaan militer AS.

 

Tak lama berselang, pemerintah Amerika Serikat, melalui Presiden Goerge W. Bush mengeluarkan dua pernyataan politik yang menyulut semangat anti-Islam di seantero wilayah Amerika, bahkan merembet ke kawasan Australia dan Eropa. Dua pernyataan politik tersebut adalah penggunaan kata Crusade (Perang Salib) dan tudingan tanpa bukti terhadap Islam radikal pimpinan Osama Bin La­den sebagai mastermind megateater di balik hancurnya WTC dan Pentagon.1

 

Seruan Bush tersebut, tak ayal memicu semakin berkembangnya kasus pelecehan terhadap warga muslim Amerika, mulai dari pelabelan negatif (stereotype) sampai tindak penganiayaan dan bahkan pembu­nuhan. Apalagi, memang sejak awal dalam state of mind masyarakat Barat, Islam selalu digambarkan sebagai ekstrem, militan, dan fundamentalis.

 

Menurut Robert Mueller, Direktur FBI waktu itu, tak kurang dari 41 kasus diskriminasi menimpa warga muslim Amerika. Sedang versi lain yang dihimpun oleh Council American-Islamic Relation (CAIR), menunjukkan data yang lebih tragis, lebih dari 300-an kasus pelecehan, diskriminasi dan tindak kekerasan dialami langsung oleh warga muslim di Amerika.2

 

Melihat keadaan itu, presiden Bush menetralisir dengan menghimbau masyarakat Amerika agar tidak mengganggu warga muslim dan Masjid. Namun, apa hendak dikata, keadaan sudah terlanjur keruh dan kompleks. Diskriminasi dan gelombang anti-Islam telah merembet ke mana-mana.

 

Fenomena anti-Islam tersebut, pada gilirannya menimbulkan reaksi-balik dengan meluasnya gelombang anti-Amerika-Barat di kalangan dunia Islam. Tak terkecuali di Indonesia, sebagaimana keluhan Duta besar AS untuk Indonesia, Robert Gelbard, tentang minimnya sistem pengamanan di kawasan Kedutaan itu. Padahal kalau mau jujur, apa yang terjadi di Indonesia masih termasuk aman tur tertib, jika dibandingkan dengan pengrusakan yang menimpa berbagai Masjid dan Islamic Center di AS.

 

Klaim Terorisme

Yang menjadi pertanyaan, mengapa aksi-aksi terorisme selama ini sering diidentifikasikan dengan gerakan Islam Fundamentalis. Padahal, bisa jadi kelompok lain yang melakukan aksi ala kamikaze tersebut. Seperti kelompok Tentara Merah Jepang yang pernah menyentakkan dunia dengan operasi Black September pada arena Olimpiade di Jerman, 11 September 1971.3

 

Atau, bisa jadi warga negara AS sendiri yang melakukannya, seperti kasus pengeboman gedung federal di Oklohama—yang sebelumnya sama sekali tidak terduga—bahwa pelakunya adalah seorang mantan tentara, Timothy McVeigh.4 Saat itu, Islam Fundamentalis adalah satu-satunya pihak yang paling dicurigai sebagai dalang pengeboman.

 

Secara umum, aksi terorisme tersebut merupakan murni kriminalitas politik (Al 'Unf Al Siyâsi). Namun, karena pendekatan yang digunakan adalah sentimen agama5; Crusade versi Bush dan Jihad versi Islam Fundamentalis, maka ketegangan yang muncul adalah benturan Islam vis a vis Barat.

 

Ketegangan ini, selain populer oleh tesis Samuel P. Huntington dalam bukunya, "The Clash Of Civilization", juga didukung oleh para orientalis, politisi dan pers Barat yang provokatif dan gencar memberikan stereotip ekstrem, radikal dan fundamentalis terhadap Islam. Bahkan komentar PM Italia Silvio Berlusconi yang menghebohkan itu, terang-terangan mengatakan, bahwa kebudayaan Barat lebih superior dibandingkan kebudayaan Islam. Benarkah? Lalu, siapakah yang melakukan penjajahan di Asia dan Afrika? Siapakah pula yang membunuhi kaum Yahudi di Eropa, kalau bukan para pemimpin Eropa sendiri?

 

Sementara itu, di lain sisi, pelabelan Barat tersebut justru meneguhkan semangat "fundamentalisme" sebagian kelompok Islam yang selama ini sering mendapatkan label negatif Barat. Agaknya, identitas "fundamentalisme" ini digunakan untuk melawan Barat, terutama Amerika, semenjak agresi militernya berhasil menguasai Afganistan dalam tempo sangat singkat.

 

Identifikasi Islam dengan terorisme, ekstrimeisme dan radikalisme semakin menggelobal, setelah terjadi peristiwa teror baru-baru ini di Legian Kuta Bali, 12 Oktober 2002 lalu. Apalagi aksi ini terjadi di negara muslim terbesar di dunia dan ditujukan hanya pada wisatawan asing.

 

Bagaimanapun juga, aksi-aksi terorisme tersebut tetap saja merupakan suatu kebiadaban. Toh demikian, permasalahanya bukan sekedar dituntaskan dengan klaim memburu Osama, atau menuduh kelompok tertentu sebagai dalangnya. Tak ada jaminan, setelah Osama mati, jaringan terorisme akan musnah. Bahkan bisa jadi, ribuan Osama lainnya muncul. Kecuali jika dengan membantai seluruh ras dan golongan radikal, yang justru akan menambah kelamnya sejarah peradaban manusia.

 

Dari sini, dapat dikatakan bahwa ketegangan tersebut tersuplai akibat benturan dua arus negatif yang tidak dapat terelakkan, dan sama-sama memiliki hasrat serba menyeluruh, atau dalam bahasa Epicurus, keduanya telah terjangkiti virus "The Desire Of Wholeness".6 Arus pertama ter-hasrat dengan superioritas tehnologinya serta keinginan untuk mengatur seluruh dunia (misi 'polisional') sesuai dengan kehendaknya. Sedang arus kedua terdorong oleh superioritas agama, perasaan ter-dholim-i, dan keter­kungkungan tradisi yang bersifat serba hitam-putih.

 

Sebetulnya, sudah banyak resep yang ditawarkan untuk mendamaikan dua arus tersebut, baik dari kalangan Barat maupun pemikir Islam moderat. Sayangnya, bius 'hasrat' arus pertama terlalu kuat dan kadung menggelobal, sehingga muncul klaim teroris, radikal, ekstrem dan fundamentalis terhadap arus kedua. Kasus semisal terlam­batnya kedatangan Maba (Mahasiswa Baru) Al Azhar dan adanya penangkapan tanpa motif yang menimpa beberapa Mahasiswa Indo­nesia di luar negri, seharusnya bisa di­baca sebagai sebuah mata rantai keja­di­an yang kemudian berimbas serta me­nggejala dari ciri stereotip global ini.7

 

Klaim Islam Fundamentalis

Secara historis dan akademis, menurut Dr. Murad Wahbah, istilah fundamentalisme digunakan pertama kali oleh Editor majalah New York Watchman Edisi Juli 1920, yang berarti: sikap menolak penyesuaian kaidah-kaidah dasar terhadap kondisi baru. Namun, ada juga yang mengatakan, istilah ini dikenal pertama kali melalui semacam booklet berjudul “The Fundamentals”, terbit antara tahun 1909-1915.8

 

Booklet ini dibagikan secara gratis di tempat-tempat pendidikan Nasrani. Isinya antara lain; ajakan iman atas turunya kembali Isa Al Masîh, menyerang pemikiran yang bersebrangan dengan Injil, serta kritik terhadap teori-teori baru tentang kejadian alam.

 

Istilah fundamentalis ini sendiri pada mulanya ditujukan terhadap kaum fundamentalis Katolik Amerika yang tidak menginginkan penyesuaian terhadap realitas modern. Namun, menurut  Roger Garaudy, istilah ini pada perkembangannya mengalami perluasan makna, bukan hanya terbatas pada kaum Katolik, tapi juga meluas ke gerakan-gerakan lain yang identik dengan statis, fanatik dan konservatif. Maka muncul istilah fundamentalisme Yahudi (Zionisme), Fundamentalisme Vatikan dan juga fundamentalisme Islam dan lain-lain.9

 

Dalam istilah Arab, Funda­mentilisme biasanya dikenal dengan isitlah Al Ushûliyyah, bentuk jamak dari kata Al Ashl, yang berarti dasar tempat berpijaknya sesuatu. Kata ini (Al Ushûliyyah) sebetulnya sudah dikenal dalam sejarah Arab-Islam sebelum kata fundamentalisme itu sendiri muncul. Semisal kata Ushûl Al Fiqh dan Ushûl Al Dhîn.10 Bahkan menurut Muhammad 'Imarah, istilah Ushûliyyun dalam sejarah Islam khusus dinisbatkan kepada ahli istinbat (mujtahid) serta para pembaharu.11

 

Agaknya, pemahaman Imarah inilah barangkali yang menjadikan alasan sebagian pemikir Islam untuk menerima istilah fundamentalisme dalam kamus proyek kebangkitan Islam mereka (Al Shahwah Al Islâmiyyah), dengan catatan, istilah ini tidak dipahami sebagaimana pemahaman Barat selama ini.12

 

Ada empat pemikir yang sering diasosiasikan sebagai peletak gerakan Islam fundamentalis kontemporer. Mereka adalah: Abul A’lâ Al Maududi, Sayyid Qutb, Ayatullâh Khumeini dan Alî Syarî’ati.

 

Abul A’lâ Al Maududi, selain dikenal sebagai pendiri Jama’at Islami Pakistan, pengarang buku Al Hukûmah Al Islâmiyah ini, juga sering disebut-sebut sebagai perintis gerakan Islam fundamentalis kontemporer. Dalam bukunya tersebut, ia menjelaskan tentang bagaimana menerapkan sistem pemerintahan yang Islami. Menurutnya, Tuhan adalah satu-satunya pemilik otoritas (hakim) yang menentukan tasyri' sebagai undang-undang manusia. Sedang manusia sendiri hanya sebatas pelaksana, dan tidak memiliki otoritas apapun untuk merubah tasyri' tersebut. Karena itu, dalam pandangannya, kaum muslimin musti mendirikan sebuah institusi negara-agama yang berlandaskan pada undang-undang (hukum) yang diturunkan Tuhan.

 

Dengan demikian, type negara-agama yang ditawarkan Maududi pada dasarnya merupakan negara teokrat-demokrat. Dalam artian, negara ini berdasarkan pada demokrasi yang terkait dengan otoritas Tuhan, sedang manusia hanya diberi hak untuk melaksanakannya sebagai wakil (teokrat).13

 

Pemahaman negara-teokrat versi Maududi ini berbeda dengan apa yang dipahami Barat selama ini. Dalam pandangan Barat, negara-teokrat adalah sebuah pemerintahan yang ditetapkan pada otoritas penuh seorang ulama' (pendeta). Dan undang-undang yang disusun dalam pemerintahan teokrat itu ditentukan oleh sang pendeta sesuai dengan kehendak dan pribadinya.

 

Pemikiran ala Maududi ini selanjutnya dikembangkan oleh Sayyid Qutb, seorang pemikir ulung Ikhwanul Muslimin setelah Hasan Al Bannâ. Ia menambahkan, bahwa ada dua karakter masyarakat dalam pandangan Islam. Pertama masyarakat Jahili dan yang kedua masyarakat Islami.

 

Masyarakat Jahili adalah sebuah masyarakat yang menuhankan manusia dengan ciri menggunakan suatu hukum atau undang-undang buatan manusia. Sedang masyarakat Islami merupakan masyarakat yang menyatakan ketauhidan Tuhan adalah segala-galanya, melalui implementasi sebuah gerakan atau aksi yang disebut sebagai jihad.14

 

Setelah Sayyid Qutb, hadir Ayatullâh Khumeini, seorang Mullah Iran yang berhasil dengan gemilang mendirikan negara Islam Iran melalui revolusi berdarah pada tahun 1979. Pidato beliau yang paling monumental, tersusun dalam sebuah buku yang berjudul Al Hukûmah Al Islâmiyah. Di dalamnya memuat tiga pokok bahasan utama: adanya sebuah relasi genuine politik dan agama, keharusan para ulama' fiqh untuk mendirikan sebuah negara-agama (Wilâyat Al Faqîh), serta agenda utama pendirian negara-agama tersebut.15

 

Pemikiran Khumeini ini, kemudian dikembangkan oleh seorang filosof asal Iran, Alî syari'ati. Dalam bukunya 'Sociology Of Islam', ia menjelaskan bahwa pertentangan antara yang baik dan buruk dalam sejarah kehidupan umat manusia merupakan sebuah fenomena klasik sejak manusia itu sendiri diciptakan. Kisah perseteruan antara Qabil dan Habil adalah awal dari pertentangan global dua pihak tersebut.16 Dan fenomena semacam ini selamanya tidak akan pupus. Begitupun halnya dengan Islam, sebagai agama yang menyatakan keesaan Tuhan, Jihad merupakan usaha untuk melawan pihak yang menyekutukan Tuhan (Musyrikîn). Jadi, dalam pandangannya, entitas jihad semata sebagai peperangan untuk memberantas kebatilan.

 

Dengan demikian, secara umum –sebagaimana yang dijelaskan diatas– ciri gerakan Islam fundamentalis biasanya selalu berkutat pada tiga permasalahan utama: relasi negara-agama, jihad dan penerapan Syari'ah Islam.

 

Gerakan ini biasanya berkembang melalui jalur politik. Artinya mereka selalu menggunakan politik sebagai salah satu poin terpenting untuk mewujudkan cita-cita dan impian mereka. Cita-cita mereka yang terkenal adalah menciptakan sekum Dâr Al Islâm dan Dâr Al Harb dalam kehidupan beragama mereka. Maka tak jarang, kekerasan sering muncul dan menjadi ciri roman gerakan ini. Bahkan sering pula, mereka menggunakan justifikasi Al Quran sebagai pembenaran atas kekerasan yang dilakukannya.

 

Tentunya, tidak semua kekerasan diprakarsai oleh gerakan Islam fundamentalis, namun, secara umum, setidaknya ciri karakteristik mereka yang statis, tertutup dan ekstrem, agaknya membuat kelompok ini terkesan sulit untuk diajak bekerjasama ataupun berdialog.

 

Dari Jalur Kriminalitas  Politik ke Radikalisme Sosial

Sejak dekade awal perkembangan Islam, politik selalu digunakan sebagai jalur utama oleh gerakan-gerakan Islam, terutama menyangkut klaim asosiasi Islam sebagai negara-agama. Munculnya gerakan Khawârij adalah bukti akibat dari perseteruan politik pada dekade awal ini.

 

Kemudian pada awal abad 20-an, muncul gerakan-gerakan politik serupa, bedanya gerakan ini lebih ditekankan untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap imprealisme Barat. Gerakan semisal Sanusiyah, Wahabiyah dan Mahdiyah mulanya merupakan murni gerakan anti-kolonial, namun selanjutnya setelah penjajah hengkang dari bumi mereka, ada keinginanan untuk mengembalikan eksistensi khilafah Islam dalam kehidupan mereka atau dengan bahasa lain, bagaimana menginstitusikan agama dalam bentuk negara.17

 

Dulu, doktrin jihad, yang dalam pandangan Khawarij lebih cocok disebut sebagai Al 'Unf (kekerasan), dilegalkan untuk memerangi sesama muslim yang tidak sefaham. Menurut mereka, kekerasan merupakan salah satu cara untuk merebut atau meruntuhkan kekuasaan yang bersebrangan, karena itu, sering kali target operasional mereka ditujukan untuk  membunuh sang Khalifah (pemerintahan).

 

Namun, saat ini, bentuk kekerasaan yang sering dilakukan oleh gerakan ini, tidak hanya terbatas pada teror politik (pemerintahan), bahkan rata-rata kekerasan malah banyak menelan korban dari masyarakat sipil atau instansi-instansi umum milik pemerintah yang biasa digunakan oleh rakyat kecil.

 

Gejala semacam ini, kemungkinan besar muncul dari ekspresi sosial kaum lemah, akibat tidak adanya perimbangan kekuatan antara pihak penguasa dengan pihak yang merasa termarginalkan. Ketimpangan ekonomi dan semakin memburuknya kondisi masyarakat bawah, secara tidak langsung berakibat pula pada besarnya kemungkinan timbulnya kriminalitas sosial itu. Demikian juga kekerasan yang dilakukan pihak penguasa, bisa jadi merupakan faktor dominan dari munculnya kekerasan yang serupa, bahkan mungkin lebih sadis dan membahayakan.

 

Selain itu, munculnya faktor asing yang berperan langsung dalam kancah globalasasi, menyebabkan semakin terpinggirkannya golongan bawah. Maka,  sebagai pelarian, mereka kembali pada tradisi (turâts), sebagai masa yang terbaik –yang dalam state of mind mereka– bisa  memberikan responsi mujarab atas pelbagai persoalan kehidupan kontemporer. Akan tetapi , dalam realitanya, kembali kepada tradisi biasanya mengarah pada keterkungkungan tradisi dan menganggap tradisi sebagai mitos yang serba hitam-putih. Akibatnya, sering kali kekerasan menjadi jalur untuk membenarkan tradisi yang mereka sandang. Bahkan lebih ekstrimnya, mereka menganggap bahwa kebenaran hanya dimiliki oleh kelompoknya. Sedang jalan yang ditempuh kelompok lain dianggap sebagai the wrong way, tidak peduli bahwa kelompok itu juga sesamanya.

 

Namun, sekali lagi, tidak semuanya yang kembali kepada tradisi memiliki karakter keterkungkungan semacam itu. Ada juga sebagian yang menyaring dan kemudian mengambil setiap sisi yang lebih menekankan pada kreatifitas akal, selanjutnya dikembangkan untuk mengais masa depan yang lebih mapan. Dalam hal ini, usaha untuk membedah nilai-nilai tradisi tersebut sudah dilakukan oleh para pemikir klasik, semisal; Ibn Rusdy dan Ibn Khaldun, kemudian dilanjutkan oleh para pembaharu Islam awal abad 20, seperti Hasan Al Aththar, Thahthawi, Al Afghani, serta Muhammad Abduh18. Selanjutnya, saat ini dikembangkan kembali oleh pemikir asal Mesir, Hasan Hanafi dalam megaproyeknya Al Turâts Wa Al Tajdîd.

 

Epilog

Seharusnya, tidak semestinya jika Barat mengaitkan terorisme dan radikalisme selama ini dengan Islam fundamentalis, atau bahkan mengaitkan kekerasan dengan Islam secara general. Karena sebagaimana menggelobalnya era peradaban dunia saat ini, maka makin menggelobal pula fenomena radikalisme ini. Apalagi melihat perkembangan saint dan tehnologi yang sedemikitan pesat saat ini memungkinkan siapa pun bisa terkait dalam jaringan mafia-terorisme.

 

Dan jika pendekatan retaliasi yang selama ini sering dilakukan Amerika dan Barat, sebagai upaya instan untuk membendung radikalisme dan terorisme, maka untuk sementara mungkin dapat melumpuhkannya. Namun untuk jangka panjang, cara semacam itu pada akhirnya akan menimbulkan terorisme baru yang mungkin lebih membahayakan dari sebelumnya.

 

Pendekatan pasifis lewat negosiasi dan meningkatkan saling pengertian dan kerja sama dengan segala komponen masyarakat, atau negotiated settlement menurut Ali Khan, kelihatanya lebih potensial untuk berhasil ketimbang cara retaliasi.19 Bila pendekatan ini dilakukan secara konsisten, maka setidaknya akan mengurangi penggunaan aksi-aksi kekerasan kelompok masyarakat yang merasa termarginalkan selama ini, baik secara ekonomi, politik maupun sosial. Ini karena mereka pelan-pelan merasa dihargai dan diberi haknya, sehingga sedikitnya lahan terorisme menjadi semakin sempit.

 

Di samping itu, hal serupa seyogyanya juga dilakukan oleh Islam fundamentalis, Zionisme dan kelompok fundamentalis lainya untuk mencoba saling berdamai dan berdialog, tidak hanya pada tingkat politik, tetapi juga –kalau perlu– pada tingkat teologis. Sebab, hal itu akan menentukan proses kelanjutan perdamaian. Wallahu A’lam

 

* Mahasiswa tingkat akhir Fakultas Syari’ah, Universitas Al-Azhar Kairo.

 

Catatan-catatan

1. Muhammad 'Abdul Mun'im. Al-Hadîts Al-Shâiqah; 11September, Qabla... Wa Ba'da. Al-Hai’ah Al-Mishriyyah Al-'Ammah Li Al-Kitâb, Kairo, 2001, hal. 79

2. Farid Muttaqin dan Sukidi (ed.). Teroris Serang Islam; Babak Baru Benturan Barat-Islam. Pustaka Hidayah, Jakarta, cet. I, 2001, hal. 12

3. Ibid. hal. 156

4. Eric Mourris dan Alan Hu.  Al-Irhâb; Al-Tahdîd Wa Al-Rad Alaihi. (Terj. Dr. Ahmad Hamdi Mahmud). Al Haiah Al Mishriyah Al 'Ammah Li Al Kitab, Kairo, 2001, hal. 30

5. Farid Muttaqin dan Sukidi (ed.). op. cit., hal. 13

Ibid., hal. 212

6. Media Mahasiswa Kairo TëROBOSAN, Edisi Lapsus, 12 November 2002, hal. 07

7. Al-Ushûliyyah Al-Islâmiyyah Fi Ashrina Al-Râhin. Silsilah Qadhâya Fikriyyah. Oktober 1993, hal. 21

8. Roger Garaudy. Al-Ushûliyyat Al- Mu'âshirah; Asbâbuha Wa Madhâhiruha. (Ta'rib Kholîl Ahmad Kholîl). Dar 'Am Alfain, Paris, cet I, 1992, hal. 11

9. Al-Ushûliyyah  Al-Islâmiyyah Fi Ashrina Al Râhin, op. cit., hal: 9

10. Prof. Dr. Muhammad Imarah. Al-Ushûliyyah Baina Al-Gharb Wa Al-Islâm. Dar Al Syurûq, Kairo, cet I, 1998, hal. 16

11. Usamah Khalil. Al-Islam Wa Al- Ushûliyyah Al-Târîkhiyyah. Markaz Al Dirasat Al 'Arâbi – Al Urûbi, Beirut, cet. I, Oktober 2000, hal. 78

12. Al-Ushûliyyah  Al-Islâmiyyah Fi Ashrina Al-Râhin, op. cit. hal. 24

13. Ibid.

14. Ridhwan Ziyadah (ed.). Al-Islâm Wa Al-Fikr Al-Siyâsi. Al Markaz Al Tsaqâfi Al 'Arâbi, Beirut, cet. I, 2000, hal. 116

15. Majalla Al-Hayâh Al-Tayyibah, No. 09, Edisi Musim Semi 2002, hal. 75

16. Ibrahim A'rab, Al-Islâm Al-Siyâsi Wa Al-Hadâtsah, Afrîqiya Al Syirq, Beirut, 2000, hal. 163

17. Usamah Khalil. Op. cit., hal. 78

18. Farid Muttaqin dan Sukidi (ed.). op. cit., hal. 51