Hantu-hantu ...

By Udy Andriyati*

 

 

Kamu…. seperti hantu; terus menghantuiku

Kemana pun tubuhku pergi, kau terus membayangi aku

.........................

 

 

“Wan, kamu nggak terganggu, kan?!”

“Apaan?”

“Ini,... aku muter lagu kesukaanku“

“Ah, nyantai aja. Aku juga suka kok. Lagian, kalo aku yang muter kaset favoritku, jangan-jangan kamu yang pusing he he he ...”

Betul juga, batinku. Ah, nggak juga. Terkadang aku jenuh dan sumpek .

Diam-diam aku iseng memutar kaset al-Qur’annya.

“Sa’d al-Ghamidy,” Jawab Iwan ketika aku menanyakan suara siapa dalam kaset tesebut. Merdu dan lembut, begitu kesan awalku. Aku juga tak tahu, kenapa aku tertarik dengan suara itu. Apa karena satu tahun terakhir ini telingaku hanya mendengar musik-musik keras hingga gendang telingaku menginginkan suasa lain???

Tapi, ... ah! Lama-lama aku bosan juga dengan suara si Sa’d itu. Aku tak paham dengan yang diucapkannya. Tapi, ... terkadang, aku juga kangen dengan suaranya. Tau, ah....!!

Teman Islamku yang satu ini memang baik banget. Semenjak aku sekamar dengannya, kita tak pernah cek-cok, rukun dan damai…

Tampangnya sih, lumayan serem (he he he ). Tapi hatinya, wuih dijamin lembut sekali. Orangnya sangat perasa dan begitu memperhatikan makhluk Tuhan yang lain.

“Oh, iya!” Katanya, temanmu mo’ pinjem Westlife-ku, jadi nggak?” Tanya Iwan melanjutkan obrolan.

“Oh iya, iya?!” Jawabku yang seolah-olah baru tersadar.

“Gimana sih, kok malah kamu yang lupa?”

“He he he.. maklum lah! Temenmu yang satu ini memang lagi banyak pikiran,” Jawabku sekenanya.

“Sama,” Balas Iwan lirih. Serentak raut wajahnya berubah.Nah, mulai datang seriusnya. Kalo udah begini, aku jadi takut mau nyandain.

Kuperhatikan raut muka Iwan berubah. Airmukanya menahan kesedihan tiada tara. Wajahnya yang putih dan tirus memerah menahan beban. Amat berat, tampaknya.

Kumatikan Dewa19-ku. Apa yang ada di benaknya? Pasti masalah itu lagi, batinku.

“Umat Islam,” Kata-kata itu meluncur dari bibirnya yang kering. Dan aku pun sudah yakin dia akan menjawab seperti itu.

Selintas dia menoleh ke arahku. Kutangkap ada airmata tertahan di sudut matanya yang cekung. Wajah yang memerah itu kini menghadap ke arah luar jendela. Dia biarkan angin sore membelai rambut ikalnya yang sebahu. Beberapa burung gereja bertengger di ujung jendela mencoba menggoda sang pujangga yang dirundung malang.

Sepi…, yang terdengar hanya kicau burung-burung itu dan desir angin yang asyik memainkan rambut hitam kemerahannya. Aku tahu..., dia pasti masih terus memikirkan keaadaan umat Islam di belahan dunia ini.

“Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan!” Kataku.

“Tidak bisa, NDre!”

“Orang, temen-temenmu yang lain juga cuek aja, kok!”

“Ah, ... aku juga ngak tahu, setelah kejadian itu…”

“Ya. Aku paham,” Jawabku memotong pembicaraanya.

Aku sudah tak sanggup lagi melihat airmatanya ketika berbicara tentang Afghanistan, Palestina, dan sebagainya. Bukan hanya orang-orang Amerika yang bersedih atas kejadian 11 september tahun lalu, tapi temenku yang satu ini ternyata jauh lebih bersedih ketika agamanya dicap sebagai agama kaum teroris.

Aneh, aneh. Aneh bin ajaib. Aku tak habis pikir dengan orang satu ini. Semakin aneh saja tampaknya. Semakin penasaran pula aku dibuatnya. Sejak kejadian 11 Septemeber itu, aku merasakan ada yang aneh dari dirinya. Hampir setiap malam aku terbangun mendengar igauannya, ”Afghanistan… Palestina…!!” “Bantumereka... selamatkan…!!” Beberapa saat kemudian akan terdengar isak tangis di tengah nafasnya yang terengah-engah. Seperti orang yang berada dalam medan perang. Biasanya, dia akan ke kamar mandi lalu melakukan “gerakan-gerakan” yang ia sebut dengan “shalat “.

Ya. kejadian itu sangat mengganggu pikarannya. Sekali, duakali aku menyarankannya agar minum obat tidur saja, tetapi hasilnya nihil. Masih saja seperti itu.

Parahnya, setelah terbangun dari mimpinya, dia akan terjaga sampai pagi, siang, sore, dan malam lagi. Seolah-olah tak berani lagi untuk memejamkan matanya.

Yang membuatku sedikit lega adalah keasyikannya dengan shalat. Aku tak tahu persis, apa rahasia di balik matanya yang memerah dengan wajah yang memancarkan kegembiraan itu. Aneh, pikirku.

Matahari tenggelam di ufuk barat. Mega merah nampak tersenyum memamerkan kelembutannya. Burung-burung berbondong kembali ke sarangnya. Langit pun mulai pudar warnanya, kelam.

Aku beranjak dari kursi belajar. Kuhampiri Iwan yang masih tenggelam dengan dukanya.

“Wan, sebentar lagi waktumu shalat, kan?”

“Iya,” Jawabnya.

“Udah. Pergi ke kamar mandi sana! Entar, keburu ngantri sama anak-anak sebelah,”

“Eh, trims, ya, udah ngingetin”

“Iya,” Jawabku.

Aku kembali membolak-balik halaman buku kedokteranku. Ujian akhir sebentar lagi. Aku harus mempersembahkan nilai yang paling bagus untuk mama dan papa. Terutama, untuk mewujudkan baktiku kepada mama yang menginginkanku mengambil spesialisasi kandungan dan anak.

.............

“Prostaglandin bisa dilakukan dengan menggunakan infuse prostaglandin F2 dan pankreas prostaglandin F2 secara kontinyu dengan dosis 50 ug. Pemberian infuse ini dapat dilakukan secara intra vena, intra vaginal, intra amniotic dan intra uterin dengan dosis tertentu ...

“Aduh, ... apaan sih ini?! Udah, ah..., pusing!!” Gerutuku.

“Udah! Jangan terlalu dipaksakan,” Kata Iwan mengingatkan.

“Emangnya, sekarang udah jam berapa?” Tanyaku.

“Sebelas dua lima menit,” Jawabnya singkat.

“Eh, kamu gak tidur?” Selidikku.

“Iya. Aku berusaha mengosongkan pikiranku dan menyerahkan semua persoalan ini kepadaTuhan, “

“Iya. Cepatlah, ... toh sebentar lagi kamu akan bangun lagi, he he he ... “

“nDre, aku minta maaf, ya, jika selama ini aku selalu membuatmu terbangun”

“Ah, nggak pa pa. Aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan, kok. Lagian, kalo aku kebangun, aku kan bisa tidur lagi, he he he …”

“Wan, coba kau perhatikan sedikit keadaanmu ...”

“Emang, kenapa?”

“Menurutku, sehari tidur dua sampai tiga jam itu belum bisa dikatakan cukup. Apalagi melihat tidurmu yang dalam keadaan tidak tenang, belum lagi, keadaan makanmu. Setahuku, sangat tak teratur ...”

“Tapi, biar kondisiku seperti ini, aku kan tetap bisa kuliah dan mengurusi persoalan-persoalan umat,” Jelas Iwan sambil menyisir rambutnya yang tergerai.

“Iya. Aku tahu, tapi kamu jujur aja deh, ... kamu tak bisa mengoktimalkan aktivitasmu kan?”

“Iya juga, sih. Aku pun sebenarnya merasa aneh dengan diriku sendiri ...”

“Aneh bin ajaib, kan?”

“He he he h ….bagaimana pun juga, terima kasih atas saran Anda”

“Enak aja! Emangnya terima kasih doang udah cukup! Bayar, dong! He he he ...”

“Iya, dech ...”

.................................

Seminggu berlalu, keadaan Iwan mulai agak normal setelah setahun lebih dia dalam keadaan gelisah yang berkepanjangan. Walaupun dia masih tetap dengan igauan-igauannya, tapi kali ini tidak lagi terdengar isak tangis di tengah nafasnya yang tersengal-sengal.

“Nggak kuliah, nDre?”

“Nah, kamu sendiri?”

“O, iya, ini kan hari Minggu. Eh, iya, ... ehmm, kayaknya, akhir-akhir ini aku jarang sekali ngelihat kamu ke Gereja ... “

“Masa’, sih?! He he he... masih sibuk,” Jawabku sekenanya.

“Eh, hari ini ke toko buku, yuk!”

”Ayo,” Jawabku singkat. “Kita ambil jurusan Pasar Sewu saja, biar lebih deket.”

“Oke.”

Setelah berkemas sebentar, kita lantas menyusuri jalan setapak menuju halte Bus terdekat.

“Ngomong-ngomong, kamu mau beli buku apaan?” Tanya Iwan.

“Aborsi,” Jawabku. “Kalo kamu?” Tanyaku balik. ”Bukunya Jalaluddin Rumi,” Jawabnya.

“Kramat..., Kramat...“ teriak kondektur Bus mengingatkan penumpang yang ingin turun di halte Kramat. Beberapa penumpang turun di halte tersebut.

“Nama kok Kramat...,” Celetuk Iwan.

“Iya, serem nih dengernya”

“Ah, kamu… gitu aja takut! Lagian, ini masih pagi setengah siang,” Jelas Iwan.

Kulihat banyak penumpang yang naik ke dalam Bus. Sepertinya mereka juga ingin bersantai-ria menghabiskan hari libur. Mataku tertumpu pada dua pemuda berkacamata minus yang terakhir masuk ke dalam Bus ini. Mereka tampak rukun dan kompak sekali dengan kopiah putih yang sama. Saudara kembar. Hampir semua mata menatap mereka. Beberapa gadis di bangku belakang tampak berbisik-bisik. Maklum, wajah-wajah itu sepertinya memang nyaman dilihat.

“nDre!”

“Apa?”

“Aku merasakan sesuatu,” kata Iwan seraya mengedarkan pandangannya ke dalam Bus.

Apa lagi yang ada dalam benaknya, pikirku.

Sejurus kemudian, “Klek...,”

“Serahkan barang-barang berharga kalian!!” Kata salah satu pemuda berkacamata minus tadi sambil menodongkan pisau lipat ke ibu setengah baya yang duduk di bangku paling depan,”Cepaaat...!!!”

............................

“Ya..., habis deh uang kita,” Kata Iwan kecewa.

“Ya, udah. Pulang lagi, yuk!”

“Eh, tapi yang mereka pakai tadi kaya’ yang sering kamu pakai shalat, ya?! Selidikku lagi.

“Iya,” Jawab Iwan datar.

“Kasihan orang Islam,” Gumamku.

“Iya. Ada dua kemungkinan tentang pelaku tersebut. Bisa jadi memang dia Muslim, bisa jadi dia pura-pura Muslim ...”

“Dan, sepertinya, aku lebih condong ke pendapat yang kedua,” Kataku.

“Itulah yang kutakutkan,” Balas Iwan, “Agama dijadikan sumber dan pemicu kekerasan.”

Akhirnya, dengan langkah kecewa kita kembali ke kost-kostan.

Beberapa hari setelah kejadian tersebut, Iwan tampak gelisah. Pasti masalah yang sama, batinku.

“Ada apa, Wan?”

“Nggak tahu. Sepertinya, akan ada sesuatu yang terjadi,” Jawabnya mantap.

Tampak sebuah ketakutan dan kecemasan dari wajahnya.

Aneh. Lagi-lagi, aku merasakan ada yang tak beres dengan temanku yang satu ini. Apa benar ini ada hubungannya dengan kekuatan supranatural, ataukah karena kecerdasan yang ia miliki sangat tinggi, atau apa? Otakku bekerja mencoba mencari-cari jawaban.

Ah, sepertinya aku harus mendalami agama ini... Kenapa Iwan begitu memperhatikan agama ini, dan seakan-akan ikut lebur dengan pemeluknya. Kenapa? Apakah jawabannya hanya di Islam? Apakah aktivitas-aktivitas keagamaan yang dapat mengubah fungsi anggota tubuh dan kelenjar-kelenjar itu hanya dimiliki Islam?

“nDre ...”

“I, iya ...,” Jawabku tergagap.

“Kamu melamun, ya?”

“Nggak. Lagi mikir,” Jawabku tanpa menoleh ke arah Iwan.

“Sama,” Kata Iwan datar.

“Ada apa?” Tanyaku.

“Coba baca Koran ini, ” Jawab Iwan sambil menyodorkan koran pagi ini, 12 oktober 2002 dengan raut muka cemas dan kesedihan mendalam. Tangannya bergetar, bibir dan wajahnya pucat.

Kubaca headline harian pagi itu, “BALI DISERANG TERORIS”

“Ah, lama-lama kepalaku ikut pusing, ... #$%@“

*****

 

* Mahasiswi Fakultas Ushuluddin, Universitas  Al-Azhar Kairo.