ISLAMIYYAH
Pengaruh Teologi Asy'ari
Terhadap Ssejarah Perkembangan Faham Aswaja
Drs. Hamzah Harun al-Rasyid *
Sekilas Tentang Aswaja
Term “Ahlussunnah wal-jama’ah” sebenanrnya bukanlah suatu hal yang baru dalam Islam, bukan juga suatu term yang muncul seiring dengan munculnya Imam Abu Hasan al-Asy’ari di awal abad ke-4 H. Term ini telah menjadi istilah yang populer di kalangan sahabat hingga abad- abad selanjutnya. Ketika Allah berfirman “Yauma tabyadhdhu wujûh wataswad du wujûh“ Abdullah bin Abbas, seorang sahabat yang terkenal cerdas memberikan penafsiran, bahwa; yang dimaksud dengan wajahnya putih berseri-seri adalah “Ahlussunnah wal jama’ah”, sedangkan orang-orang yang wajahnya hitam pekat adalah “Ahlul Bid’ah dan sesat”.1
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa; term ”Ahlussunnah waljama’ah” menjadi peristilahan ulama Salaf dalam menghadapi “Ahlul Bid’ah”. Ayyub Assakhtiany (67-131 H.)2 Sufyan Al-Tsaury (w. 161 H.),3 Al-Fadhl bin Jyad (w. 187 H.),4 Abu Ubaid Al-Qashim bin Salam (158-224 H.),5 Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H.),6 adalah sederet tokoh-tokoh salaf yang tak pernah luput dalam menggunakan term tersebut. Anggapan yang mengatakan bahwa; term “Ahlussunnah” pertama kali diidentikkan kepada aliran Asy’ari tidaklah tepat, sebagaimana yang disinyalir Prof. Mustafa as-Syuk’ah dalam bukunya “Islam bila Madzahib”. Syuk’ah mengata- kan:
“.............. demikianlah kita mendapatkan term Ahlussunnah Wal Jama’ah diidentikkan pertama kali kepada aliran Asy’ari dan yang sejalan dengannya, kemudian term ini diperluas jangkauannya sehingga bisa mencakup tokoh-tokoh aliran dan Fuqaha semisal Abu Hanifah, Malik, As-Syafi’i, Ibnu Hambal, Al-Auza’i dan ahlur Ra’yi dan Qiyas...”.7
Pendapat Syuk’ah di atas sulit dipertahankan keabsahannya, sebab selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas hidup jauh sebelum Asy’ari lahir, juga sejarah membuktikan bahwa; ketika Asy’ari telah sampai ke puncak faham Mu’tazilah, saat itu pula ia menyempatkan dirinya menelaah dan menghayati ajaran-ajaran “Ahlus-sunnah” yang pada akhirnya dia ragu untuk memilih di antara kedua aliran ini, dari sini Asy’ari kemudian mendapat keyakinan dan ketenangan jiwa bahwa kebenaran berada di pihak Ahlussunnah dan menyatakan diri bergabung dengan nya dan meninggalkan aliran Mu’tazilah.8 Lalu apa dan bagaimana aliran Ahlus sunnah waljama’ah itu? Kalau hadits Nabi “iftiraq” mengatakan bahwa yang selamat adalah “Al jama’ah”, pertanyaan kemudian, siapa yang berhak masuk dalam ketegori “Al jama’ah” itu? Apakah hanya aliran Asy’ari saja yang memenuhi kriteria atau termasuk aliran-aliran yang lainnya.
Berikut ini penulis berupaya men-jelaskan pengertian dan esensi term Aswaja dengan merujuk kepada literatur-literatur yang dianggap berkompetensi tentang hal itu.
II. Pengertian Aswaja
Secara etimologi, “As-Sunnah” berarti “cara” atau “jalan”, baik cara atau jalan itu benar atau salah, terpuji atau tercela.9 Hadits Rasulullah dalam pengerti-an ini, adalah: “Barangsiapa yang me-rintis sebuah jalan kebaikan kemudian diikuti oleh orang-orang sesudah nya, maka ia akan mendapat pahala seperti pahala orang-orang pengikut nya tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala para pengikut tersebut. Begitu pula sebaliknya, orang yang merintis jalan kesesatan kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapat dosa seperti dosa-dosa para pengikutnya tanpa dikurangi sedikit pun beban dosa para pengikut tersebut”.10
Adapun pengertian hadits secara terminologi mempunyai beberapa pe-ngertian antara lain: pertama, Menurut terminologi para Muhadditsin, Sunnah adalah segala napak tilas Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat kejadian nya (bentuk tubuhnya), akhlaknya maupun sejarah nya, baik sebelum kenabian11 maupun sesudahnya.12 Kedua, Para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan Sunnah sebagai “segala sesuatu yang dinukil dari Rasulullah, baik perkataan, perbuatan maupun taqrir”.13 Ketiga, menurut ulama Fiqh Sunnah sebagai suatu perbuatan yang apabila dilaksanakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa14, kebalikan dari fardlu atau wajib menurut mereka. Keempat, Sunnah juga diidentikkan terhadap segala yang ditunjuk oleh dalil-dalil Syar’i, baik Alqur’an, Hadits ataupun Ijtihad Sahabat, seperti pengumpulan mushaf dan pembukuan atau pengkodifikasian Hadits15, temasuk di dalamnya Ijtihad sahabat sebagai Sunnah berdasar pada hadits Rasulullah SAW. berbunyi: “ ’Alaikum bi assunnatî wa sunnati al khulafâi ar râsyidîna al mahdiyyîn“.16 Kelima, Sunnah juga diidentikkan terhadap hal-hal yang berlawanan dengan Bid’ah.
Demikianlah beberapa defenisi tentang “Sunnah” dari berbagai pakar. Maka ketika kita membicarakan aqidah Ahlus sunnah, maka tak pelak lagi, bahwa yang dimaksudkan adalah aqidah yang telah dicontohkan (diajarkan) oleh Rasulullah dan para Sahabatnya. Dan selanjutnya, orang yang berpegang teguh dan konsisten terhadap aqidah tersebut dinamakan “Ahlussunnah”. Dan hanya aqidah seperti inilah yang disepakati keabsahannya oleh mayoritas ummat Islam,17 sehingga kata “Ahlussunnah” dilengkapi dengan kata “wal jama’ah” sesudahnya, menjadilah “Aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah”. Dan hanya aliran inilah satu-satunya yang dijamin oleh Rasulullah selamat dari api neraka. Ketika hadits tentang “perpecahan ummat” dibaca oleh semua aliran dan sekte-sektenya dalam Islam, ketika itu, tampillah masing-masing dari mereka mengklaim dirinya sebagi “golongan selamat”. Ibnu al-Muthahhar dalam mengutip statemen gurunya, Nashir al-din Al-Thsusy, tokoh aliran Syi’ah Imamiyah, ketika ditanya tentang “golongan yang selamat” seperti yang tertuang dalam hadits Nabi: ” Sataftariqu ummatî ‘alâ tsalâtsi wasab’îna firqatan wâhidatun minhâ nâjiyah wal bâqi fi annâr“ ketika itu al-Thusy menjawab dengan mengutip salah satu hadits yang menurutnya shahih, berbunyi: “mitslu ahli baitî kamitsli safînatin nuh man rakabahâ najâ wa man takhallafa gharaqa“ Hadits tersebut, menurut Thusy, memberi indikasi bahwa satu-satunya aliran yang selamat adalah aliran Syi’ah Imamiah.18
Ibnu Taimiah, salah seorang tokoh Salaf abad VII H. dengan tegas meng-counter sinyalemen Thusy di atas dalam buku- nya Minhaj al- Sunnah.19 Ibnu Taimiah --dalam mematahkan argumen Thusy --meninjaunya dari delapan aspek, dan pada point kelima, Ibnu Taimiah menjelaskan bahwasanya hadits Rasulullah SAW. menyangkut “aliran yang selamat” hanya berbunyi: “ man kâna ‘ala mitslî ma anâ ‘alaihi al yauma wa ashhâbî “ dan dalam riwayat lain berbunyi: “ Hum al jamâ’ah“. Menurut Ibnu Taimiah, justru hadits ini sendiri yang menolak eksistensi Syi’ah Imamiah sebagai aliran yang selamat. Sebab mereka dengan terang keluar dari jalur yang menjadi kesepakatan kaum Muslimin, seperti: menganggap kafir atau fasik Abu Bakar dan Umar, demikian halnya kepada tokoh ulama dan ahli ‘Ubbad mayoritas ummat lainnya. Adapun hadits yang disebutkan Thusy sebagai hadits shahih di atas masih perlu ditinjau keabsahannya sebab Imam Az-Dzahaby20 dan al-Albany21 sendiri menganggapnya sebagai hadits dhaif. Tapi yang masyhur adalah kalimat itu dari Imam Malik dengan konteks: “ As sunnatu mitslu safînatin nuh man rakabahâ najâ wa man takhalafa ‘anhâ halaka“.
Ibnu Taimiah dalam menjelaskan maksud perkataan ini beliau mengatakan: “Konteks ini benar, sebab orang-orang yang menumpang pada perahu Nabi Nuh a.s. hanyalah yang membenarkan kerasulan dan mengikutinya, sedangkan orang yang enggan menaiki perahu tersebut adalah orang-orang yang mendustakan kerasulan, maka mengikuti Sunnah berarti mengikuti kerasulan dengan segala konsekwensinya seperti halnya para penumpang perahu Nuh tersebut demikian pula sebaliknya”.22
Selanjutnya, aliran Mu’tazilah tak ketinggalan mengklaim dirinya sebagai “Ahlul Haq” dan selanjutnya sebagai “Al-Firqah an-Najiah” (golongan selamat). Salah seorang tokoh terkemuka Mu’tazilah ‘Amr bin ‘Ubaid berkata kepada Khalifah al- Manshur: “ Adzharu al haq yattabi’uka ahluh” yang dia maksudkan “ahlu al haq” di sini adalah aliran Mu’tazilah dengan mengambil landasan dari sebuah riwayat Sufyan al-Tsaury dari Ibnu Zubair dari Jabir bin Abdullah dari Nabi SAW. berkata: “Sataftariqu ummatî ‘ala bidh’i wa sab’îna firqatan abirruhâ wa atqâha al fiah al mu’tazilah“ 23
Demikianlah upaya kaum Mu’tazilah untuk membenarkan pendapatnya, sadar atau tidak, mereka melakukan dua hal yang kontradiksi dalam diri mereka sendiri, yaitu: mereka dengan tegas menetapkan tidak bolehnya berhujjah dengan hadits Ahad terhadap masalah-masalah i’tiqad, sementara hadits yang disebutkan di atas sama sekali tidak ditemukan di tempat yang lain. Setidaknya hadits tersebut --kalau memang benar-- diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, atau paling tidak disebutkan dalam kitab-kitab Sunan yang lain. Itu sebabnya, Dr. Muhammad Bakray mengatakan bahwa; “Kaum Mu’tazilah dalam ambisiusnya untuk membenarkan pendapat-pendapatnya, akhirnya hadits-hadits nabi diobral sesuai dengan keinginan hawa nafsunya, walaupun hadits tersebut disepakati oleh Bukhari-Muslim.24 Demikianlah kondisi objektif aliran-aliran dalam Islam, tidak satupun dari mereka ingin ketinggalan, kecuali tampil mengibarkan panji fanatismenya sebagai pemilik otoritas kebenaran. Sebagai konsekwensi logis dari fanatisme tersebut, nash-nash religius --Alqur’an dan Hadits-- diselewengkan demi mempertahankan pendapatnya.
Al Firqah An-najiah
Setelah kita ketahui pengertian “Ahlussunnah waljama’ah” dengan segala konsekwensinya, pertanyaan selanjutnya adalah; Benarkah semua aliran dan sekte dalam Islam itu masuk dalam kategori beraqidah “Ahlussunnah waljama’ah” sehingga mereka mengklaim diri mereka sebagi “aliran yang selamat”? Kriteria apa yang dipakai dalam menilai sah atau tidaknya sebuah aliran memakai term “Aswaja”?
Berikut ini dikemukakan argumen dari berbagai tokoh Religius dan Teolog Islam sebagai berikut:Menurut Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi, delapan kelompok yang termasuk golongan Ahlussunnah waljama’ah yaitu:
Disamping itu, ia mengakui kekhalifaan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, dan tetap menghormati Salaf, menetapkan wajibnya shalat Jum’at di belakang para Imam yang tidak terkena bid’ah dan wajibnya menetapkan hukum dari Qur’an, Hadits dan Ijma’. Dan mengatakan sahnya menyapu dua khuf (sejenis sepatu), jatuhnya thalaq tiga, mengharamkan mut’ah, dan memandang wajib mentaati seorang pemimpin selama bukan maksiat.
Dari apa yang telah dinukil di atas, jelas bahwa kedelapan bagian yang telah disebutkan al-Baghdadi sebagai golongan “Ahlussunnah waljama’ah” masih bersifat global, meski benang merah yang memisahkan antara Ahlussunnah dan Ahlul Bid’ah telah mulai nampak di permukaan.
Abu Bakar bin al-’Araby dalam bukunya “Al-’Awashim min al-Qawashim” menyebutkan empat golongan yang termasuk dalam kategori penegak kebenaran dan pemelihara agama:
Selain pendapat yang disebutkan di atas, Ibnu Taimiah dalam mengeritik pendapat-pendapat kaum Syi’ah dan Qadariah menyebutkan bahwa; aliran “Ahlussunnah” terdiri dari tiga golongan, dengan sendirinya selain ketiga golongan tersebut bukan Ahlussunnah, yaitu: Ahlul Hadits, Imam-imam Mazhab Fiqh, dan Tokoh-tokoh Teolog dari aliran al-Itsbat (Ibnu Kullab, Asy’ari dan Baqillani dan sebagainya.27
Dari sekian pendapat yang telah disebutkan dapat ditarik sebuah konklusi bahwa; aliran Ahlussunnah waljama’ah bukan saja dalam bentuk teologi, tapi juga dalam bentuk Fiqh, Hadits dan Tasawuf. Dalam konteks ini disebutkan Aqidah Sunny, Hadits Sunny dan Tasawuf Sunny.
Aqidah Sunny dimaksudkan sebagai lawan dari Aqidah Bid’ah, Fiqh Sunny sebagai lawan dari Fiqh Syi’ah, Hadits Sunny sebagai lawan dari Hadits Palsu dan Tasawuf Sunny sebagai barometer dalam menilai penyelewangan-penyelewangan tokoh-tokoh Sufi yang ada dalam Islam. Maka dalam membicarakan aliran “Ahlussunnah waljama’ah” perlu kiranya diberikan pembatasan-pembatasan sesuai dengan aspek kajian yang kita maksudkan. Kalau tema sentral yang dipasang “Nuansa” edisi ini adalah: “Ahlussunnah waljama’ah; Analisa, Kritik dan Reaktualisasi” dan kepada penulis diberikan amanah untuk membahas “Pengaruh Teologi Asy’ari terhadap sejarah perkembangan faham Aswaja” maka ini berarti bahwa Aswaja yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Aswaja dari aspek teologisnya.
Sebenarnya Aswaja dari aspek teologis, seperti yang diungkapkan Dr. Ahmad Mahmud Subhi dalam bukunya “Fi Ilmil Kalam” terdiri dari dua golongan: Pertama: Aliran Salaf. Aliran ini dikenal sejak Imam Ahmad bin Hambal kemudian aliran ini secara bersambung diwariskan sampai kepada Ibnu Taimiah dan mencapai puncak keemasannya. Kedua: Aliran Khalaf, dan yang termasuk di dalamnya adalah golongan as-Shifatiyyah serta al- Maturidiyyah.28
Tak pelak lagi, bahwa aliran Asy’ariah termasuk dalam kerangka aliran “Ahlussunnah waljama’ah” bahkan aliran ini telah memberikan andil besar terhadap perkembangan dan kemajuan teologi di abad modern ini. Dalam hal ini Prof. Dr. Mustafa Abdul Raziq mengatakan: “Adapun menyangkut kebangkitan teologi modern, adalah terjadinya sebuah persaingan ketat antara aliran Asy’ariah dan Ibnu Taimiah, sebagai konsekwensi logis dari persaingan tersebut, kita menyaksikan kemajuan pesat dalam penyebaran literatur-literatur Asy’ari begitu juga literatur Ibnu Taimiah bersama muridnya Ibnul Qayyim, dan aliran terakhir ini menyebut dirinya sebagai aliran Salafiah. Akan tetapi hingga kini, yang mendapat penganut dominan di negara-negara Islam masih tetap berada pada aliran Asy’ariah”.29
Sejarah Munculnya Mazhab Asy'ari
Ulama dan tokoh-tokoh Asy’ari menurut Prof. Dr. Ali Sami al-Nasyar, adalah ulama yang berhak menyandang predikat Filosof Islam yang sebenarnya. Sebab mereka yang mampu menampilkan secara substansial kandungan Alqur’an dan Sunnahnya secara filosofis,30 begitu pula visi teologi Aswaja telah menjelma dan mengkristal pada pemikiran mereka, sehingga mazhab Asy’ari mampu menjadi sampel aqidah Aswaja sampai saat ini31 dan telah terpelihara sampai Allah menerima bumi dan seisinya (hari kiamat).32 Asya’irah adalah pengikut Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abil Basyar al-Asy’ari yang lahir di Bashrah tahun 260 H. dan wafat 326 H. di Bagdad seperti yang dikatakan Ibnu ‘Asakir (w. 571 H.)33begitu pula Abu Bakar Ibnu Fourak (w. 371 H.)34 dan dikonfirmasikan oleh Prof. Dr. Musthafa Abdul Raziq (w. 1366 H.).35 Dengan dasar itu Abu al-Hasan al-Asy’ari dialah yang mempertahankan aqidah Aswaja dengan dalil-dalil aqli dan dalil-dalil logika.36
Seperti yang dikemukakan Dr. Hammudah Guraba bahwa, Asy’ari pada perkembangan awalnya menganut dan mendalami aliran Mu’tazilah lewat seorang tokohnya di Bashrah pada saat itu yang bernama Ali bin Ali al-Jubba’i, sampai dia mencapai dan menguasai mazhab Mu’tazilah yang kemudian gurunya memberi penghargaan kepadanya dan tidak jarang dia sering diberi mandat untuk mewakili gurunya di berbagai perdebatan yang digelar. Dan kondisi seperti itu berlangsung sampai dia mencapai umur 40 tahun.37
Meskipun Asy’ari telah lama menggeluti dan menyelami mazhab Mu’tazilah lewat gurunya yang terkenal itu (Al-Jubba’i), namun dia merasa belum mendapatkan sesuatu yang bisa menenangkan hatinya, yang mampu menentramkan jiwanya ketika menghadapi berbagai isu dan persoalan ilmu Kalam. Karena menurutnya, para ulama yang beraliran Mu’tazilah telah melampaui batas dan berlebih-lebihan sehingga agama nampak tidak lebih dari sekadar isu-isu filosofis dan argumentasi logika, nash tidak lagi menjadi acuan dan pedoman, tapi justru sebaliknya menjadi perbudakan akal. Dari segi lain, Asy’ari melihat kesimpulan-kesimpulan keagamaan sebahagian Hanabilah yang keluar dari batas yang sewajarnya, nash-nash hanya diinterpretasikan dalam batas-batas harfiah dan tekstual yang berimplikasi pada kenyataan bahwa agama hanya merupakan nash-nash baku. Al-Mutawwakil ketika menjabat sebagai Khalifah, secara resmi memberi dukungan kepada para pengikut Salaf disamping dukungan mayoritas kepada mereka.Tapi lama kelamaan mereka justru mengembangkan pemikiran baku yang hampir melebihi pemikiran Mu’tazilah yang melampaui batas. Komitmen mereka terhadap tekstualitas nash menjadikan munculnya otoritas naqli sebagai alternatif dari otoritas akal. Tercatat bahwa kelompok mayoritas ulama Hanabilah cukup memiliki pengaruh terbesar pada akhir abad ke-3 H., disamping kelompok lain yang berlabel kelompok al-Karamiyyah pengikut Muhammad bin Karam (w. 256 H.) terkenal dengan faham antropomortifismenya, merupakan kelompok yang representatif atas kelompok al-Gullat yang dimaksud.38
Para pengkaji berbeda persepsi memberi interpretasi tentang faktor apa yang melatarbelakangi Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah dan membangun mazhab baru. Mayoritas dari mereka, berasumsi bahwa Asy’ari bertujuan dengan pendekatan aliran barunya menghapus perbedaan antara kalangan Fuqaha dan Mutakallimin dan antara Mutakallimin itu sendiri.39 Dr. Jalal Musa misalnya dalam melihat peralihan itu mengatakan: “Asy’ari merupakan tokoh yang memiliki dua analisa yang kuat menyaksikan dua peristiwa yang berlainan. Di satu pihak, Asy’ari melihat Fuqaha dan Muhadditsin perhatiannya hanya tersalurkan pada pemahaman keagamaan dengan mendekati dalil-dalilnya dalam bentuk Ijma’, Qiyas dan sebagainya. Di pihak lain, Asy’ari melihat usaha dan upaya Mutakallimin hanya mempertahankan agama dari serangan luar (musuh Islam) dengan memakai pendekatan debat, mantiq juga otoritas akal dan keseringan membuang nash. Yang meresahkan Asy’ari karena permusuhan kedua kubu yang dimaksud nampak serius, sehingga dalam hatinya sering timbul sebuah pertanyaan: “Mengapa tidak mungkin orang sebagai Faqih pada saat yang sama dia adalah Mutakallimin dan menggabungkan antara Fiqh dan Kalam sementara itu bukan suatu hal yang mustahil.” Dalam bentuk lain, Asy’ari melihat Mu’tazilah menempatkan akal sebagi goal (tujuan) dan Hanabilah begitu juga Hasyaniyyah menjadikan nash sebagi acuan.40 Sebagai konsekwensi dari peristiwa itu, Dr. Hammudah Gurabah mengatakan: “Asy’ari memiliki alternatif moderat karena menurutnya metodologi Mu’tazilah akan berimplikasi pada kehancuran Islam. Sementara metodologi Muhadditsin dan Musyabbihat akan membawa terjadinya stagnasi dan kehancuran, disamping memecahkan persatuan umat Islam, juga akan semakin memperuncing titik-titik perbedaan antara keduanya. Adalah merupakan kepentingan umat Islam kalau sekiranya bisa dipertemukan antara kalangan rasionalis dan tekstualis dalam suatu orientasi moderat yang diharapkan mempersatukan persepsi dan mengembalikan keutuhan disamping memberi respek kepada akal dan nash secara selaras”.41 Menarik untuk disimak, karena Dr. Ahmad Muhammad Jily, mantan dekan Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Omdurman, Sudan, justru tidak menerima interpretasi di atas bahkan diklaimnya sebagai penafsiran keliru. Dia mengatakan bahwa pengakuan di atas hanya berdasar pada asumsi tidak benar. Diantaranya, asumsi yang mengklaim bahwa metode Muhadditsin dan ulama-ulama Hambali adalah metodologi tekstual yang tidak mengggunakan akal dan analisa dan metodologi Asy’ari adalah manhaj moderat antara metodologi tekstual yang beku dan manhaj rasionalis yang tidak mengenal batas, ketiga adalah bahwa Asy’ari yang dimaksud mereka adalah Asy’ari yang diwakili ulama Asya’irah Mutaakhirin.42 Dr. Ahmad Jily setelah membantah kesimpulan di atas, menyebutkan faktor-faktor yang sebenarnya melatarbelakangi peralihan itu. Menurutnya, keberalihan Mazhab itu disebabkan: pertama, karena Asy’ari menolak aliran rasional Mu’tazilah yang mengakui kemampuan akal dalam menyelesaikan segala bentuk problematika teologi. Kedua, ketidakmampuan al-Jubbai merespon pertanyaan-pertanyaan Asy’ari meng-ilhami adanya perasaan dalam dirinya atas kelemahan akal manusia menghakimi dan menilai perbuatan-perbuatan Tuhan dan mengotak-atik wahyu. Ketiga, boleh jadi menurut dia, Asy’ari merasa dan mengetahui bahwa Mu’tazilah berubah menjadi golongan yang terisolasi jauh dari masalah-masalah yang menjadi perhatian ummat Islam saat itu khususnya ketika memunculkan isu “kemakhlukan Alqur’an” dan ketika gagal mengajak umat untuk menganut pahamnya.43
Pada saat itu Asy’ari mengalami hal seperti itu, dia mengisolasi diri dari komunitasnya dan menetap di rumahnya selama 15 hari, merivisi kembali aliran-aliran yang ada, memeriksa dalil- dalinya satu persatu, meneliti dan mengujinya secara mendalam dan serius serta mentarjih mazhab yang kuat. Setelah hal itu dilakukan, dia berkesimpulan bahwa dalil-dalil setiap mazhab semuanya sama, yang satu tidak lebih kuat dari yang lain. Karena dia belum menemukan harapannya, setelah itu dia tawakkal kepada kepada-Nya meminta pertolongan lalu ditunjuki jalan untuk berpegang pada jalan Salaf al-Ummah dari kalangan Fuqaha dan Muhadditsin dan meninggalkan perilaku bid’ah Mu’tazilah dan paham-pahamnya yang sesat.44 Setelah mengalami penderitaan ini akhirnya dia tampil di depan orang banyak dan mengajak mereka untuk mengikuti missinya di mesjid Bashrah lalu mengatakan: “Wahai manusia, siapa yang mengenal aku maka dia telah mengenal saya yang sebenarnya, dan siapa yang tidak mengenal saya, maka aku telah mengenalnya; aku adalah Fulan bin Fulan yang telah meyakini bahwa Alqur’an itu makhluk dan Tuhan tidak bisa terlihat oleh mata manusia dan perbuatan jahat itu adalah perbuatan saya, maka aku telah bertaubat dan membuang semua itu dan akan membabat golongan Mu’tazilah. Wahai manusia, sesungguhnya kealpaan saya selama ini adalah untuk meninjau kembali semua mazhab yang ada ternyata menurut saya semua itu tidak ada yang kuat dari yang lain, akhirnya saya meminta hidayah kepada-Nya lalu Dia menunjukkan saya hidayah-Nya untuk meyakini semua yang aku tulis ini dan saya telah melepaskan diri dari semua yang aku yakini sebelumnya seperti halnya aku membuka pakaian yang aku pakai ini.” Lalu dia membuka pakainnya dan memberikan buku yang dia tulis sesuai dengan jalan yang diikuti kalangan Muhadditsin dan Fuqaha kepada jama’ah saat itu.45 Ini salah satu riwayat yang dikemukakan ahli sejarah ketika menyinggung proses kejadian perpindahan Asy’ari dari Mu’tazilah yang kemudian dianggap sebagai awal munculnya mazhab Asy’ari. Dan inilah riwayat yang dianggap mendekati kebenaran dan logis dan sesuai dengan tabiat perkembangan pemikiran pada saat meninggalkan sebahagian keyakinan dan kepercayaan. Dimana diawali dengan munculnya keraguan kemudian keraguan itu berkembang dan semakin kuat yang berakhir dengan pencabutan diri dari aliran itu dan menganut mazhab baru yang dianggap memenuhi harapan dan mendekati kebenaran. Namun suatu hal yang unik ketika kita membaca karya Dr. Jalal Musa. Beliau menuduh Ibnu Asakir memalsukan riwayat di atas, bahkan dia mengklaim bahwa Ibnu Khalikkan dan al-Subki menukil riwayat itu dari dia. Salah satu alasan pemalsuan itu, karena Ibnu Asakir mengatakan bahwa buku-buku yang disuguhkan Asy’ari kepada orang di mesjid saat itu diantaranya: kitab al-Luma’, Kasyf al-Asrar wa Hatk al- Atsar.46 Sementara dua buku yang dimaksud --menurut Dr. Jalal-- tidak masuk akal kalau ditulis hanya dalam tempo 15 hari dan ditulis oleh Asy’ari sementara masih menganut mazhab Mu’tazilah. Karena itu berarti Asy’ari tidak komitmen terhadap aqidahnya dimana meyakini suatu mazhab dan mengarang buku tentang mazhab lain. Lebih lanjut dia mengukuhkan persepsinya itu bahwa kitab al-Luma’ bukan karangan Asy’ari dalam priode transisi tapi seperti yang diyakini orang, menurut Dr. Jalal buku itu ditulisnya pada masa kematangannya, bahkan yang masyhur bahwa buku al-Luma’ itu buku karangan Asy’ari yang paling terakhir bukan al- Ibanah seperti yang diasumsikan orang.47 Bukan hanya itu, Dr. Jalal Musa juga meragukan kebenaran peristiwa telanjangnya Asy’ari di depan orang pada hari Jum’at di atas mimbar sebagai bukti Asy’ari meninggalkan faham-faham Mu’tazilah. Dia juga tidak melihat adanya tendensi tertentu di balik isolasi diri Asy’ari selama masa yang tidak lama itu. Namun penulis melihat, apa yang dikemukakan Dr. Jalal itu tidak mudah untuk kita cerna. Karena tokoh yang memiliki status dan bobot keilmuan seperti Asy’ari tidak sulit baginya untuk mengarang dua buku yang tadi disinggung dalam kurun waktu 15 hari, dan penulis cenderung untuk melihat adanya sisi kebenaran yang ada pada kesimpulan jumhur ulama yang mengkonfirmasi buku al-Ibanah sebagai karangan terakhir Asy’ari. Mengenai keraguannya atas kebenaran pencabutan baju Asy’ari di atas mimbar sebagi bukti bahwa dia meninggalkan faham-faham Mu’tazilah, penulis tidak menemukan sumber Dr. Jalal yang memvonis bahwa Asy’ari saat itu hanya memakai satu baju dimana kalau mencabut baju yang satu itu Asy’ari akan telanjang bulat di depan umum. Padahal Dr. Jalal tidak menyadari kalau dia terjebak dengan redaksi riwayat itu. bunyi riwayat itu hanya menyebutkan: “kamâ ankhali’u min tsaubî hâdzâ wa ankhaliu min tsaubin kâna alihi“ yang sangat berbeda kalau redaksi riwayat itu menyebutkan: “ kamâ ankhali’u min tsaubî al wahîd hâdzâ“. Penulis juga tidak menerima asumsi Dr. Jalal yang tidak melihat adanya tendensi tertentu di balik persembunyiannya selama 15 hari.
Korelasinya dengan tema ini, sejarawan juga sering menyebutkan peristiwa mimpi Asy’ari melihat Rasulullah. Dalam mimpinya itu Nabi menyuruh untuk memperjuangkan mazhab yang benar yang bersumber dari Rasulullah dan mimpi itu berulang 3 kali dalam bulan Ramadhan tepatnya sekali di awal bulan, sekali di pertengahan dan sekali lagi di akhir bulan.48 Tapi menurut penulis, pemikir Muslim siapa saja akan merasa mustahil kalau sekiranya seorang tokoh ulama besar diberi hidayah kebenaran selama dia selalu mencarinya. Tapi anehnya, Dr. Jalal Musa hanya menukil dua riwayat dari berbagai riwayat yang bercerita tentang mimpi Asy’ari itu, lalu dianalisanya dengan analisa yang didominasi dengan negative thinking yang pada akhirnya menuduh Ibnu Asakir membuat-buat riwayat itu.49 Seperti halnya Dr. Jalal, Dr. Abdul Rahman Badawi pun tidak menerima riwayat-riwayat yang berkaitan dengan itu dan memvonisnya sebagai riwayat palsu. Dia mengatakan: “Meskipun cerita mimpi Asy’ari itu masyhur di kalangan para Fuqaha dan sebagian ulama Kalam, tapi riwayat-riwayat itu nampak kontradiksi dengan kenyataan. Dimana perkembangan pemikiran manusia berawal dari keraguan dan terus semakin berkembang dan akhirnya meninggalkan mazhab itu kemudian membuat mazhab baru. Sementara mimpi yang dialaminya itu memberi indikasi perubahan insidentil yang tidak melalui proses-proses perubahan yang semestinya...”.50
Penulis dalam hal ini justru tidak melihat sisi benturan yang dinyatakan Dr. Abdul Rahman Badawi di atas. Karena kalau perkembangan pemikiran (at-Tathawwur az-Dzihny) mesti ada dalam diri Asy’ari, maka tidak mustahil mimpi itu dialaminya pada perkembangan pemikirannya yang terakhir, setelah keraguannya atas Mu’tazilah semakin kuat, argumentasi-argumentasi setiap mazhab tidak ada yang mampu meyakinkannya. Sebab itu, mimpi baginya merupakan sebab turunnya hidayah Allah yang diceritakannya itu. Cukuplah kelestarian mazhab Aswaja sampai saat ini merupakan bukti dan saksi bisu atas kebenaran mimpi itu. “Besar kemungkinan, kata Dr. Ahmad Muhammad Gurabah, bahwa mimpi itulah sebagai sebab utama terjadinya orientic transferring bagi Asy’ari. Tapi saya meyakini bahwa mimpi itu merupakan terapi dari problematika-problematika psikologi dan spritual yang diarasakan Asy’ari, karena aliran Mu’tazilah lebih khusus seperti yang digambarkan gurunya, al-Jubbai memuat dan mengandung berbagai persoalan-persoalan rumit yang dia tidak bisa temukan solusinya. Asy’ari tidak menceritakan kebingungan intelektualnya ini seperti yang dilakukan Imam al-Ghazali dalam karya momentalnya al-Munqidz min ad-Dhalal, juga dia tidak bercerita tentang berapa lama dia mengalami kebingungan itu. Meskipun secara jelas kebingungan itu betul-betul dia rasakan. Untuk membuktikan hal itu, adalah mimpinya dan pidatonya sendiri tentang peralihannya. Dalam mimpinya yang kedua, dia bertanya pada Nabi, apa yang seharusnya saya lakukan? Saya sudah keluar dari aliran kebenaran seperti yang Rasulullah gariskan. Saya pun sudah mengikuti dalil-dali yang tepat dan benar mengenai ketuhanan. Sementara pada mimpi ketiga kembali dia mengajukan pertanyaan kepada Nabi, bagaimana bisa saya meninggalkan aliran saya yang telah kudalami pokok-pokok persoalannya dan dalil-dalilnya selama 30 tahun?51
Sementara dalam pidatonya dia mengatakan: “Saya telah berpikir secara mendalam ternyata kesimpulan saya bahwa tak satupun dalil yang lebih dari yang lain tapi semuanya sama.” Kemudian ketika membangun mazhab barunya dia mengatakan: “Saya telah diberi hidayah untuk meyakini semua yang telah kutulis dalam kitab-kitabku ini dan telah kubuang semua keyakinan yang telah kuanut”.52 Disamping itu, perdebatan-perdebatan dan dialog yang sering terjadi antara Asy’ari dengan gurunya tidak bisa dilepas dalam rangka menginterpretasi sebab peralihannya itu. Perdebatan-perdebatan itu tercatat di berbagai sumber dan referensi menyebabkan sikap pro-kontra di kalangan para ilmuan. Salah satu perdebatan yang digelar dan sangat populer adalah perdebatannya menyoroti masalah kebaikan( ash shalâh wa ashlah). As- Subki mengatakan bahwa Al-Jubbai ditanya oleh Asy’ari, bagaimana pandangannya mengenai orang mu’min, orang kafir dan anak kecil. Al-Jubbai menjawab: “Orang mukmin termasuk dalam golongan yang memperoleh kebaikan (ahlu ad darajât) dan orang kafir termasuk dalam kelompok binasa (ahlu al muhlikât ) sementara anak kecil termasuk dalam golongan selamat (ahlu an najâh)”.
Setelah itu, Asy’ari memberi umpan balik dan mengatakan: “Apa mungkin andaikan anak kecil ingin mencapai tingkatan ahl ad-Darajat?” Dijawab oleh gurunya: “Hal itu tidak mungkin karena orang mukmin hanya bisa mencapai tingkatan itu dengan amalnya, sementara anak kecil belum pernah mencetak suatu amal baik.” “Tapi kan kesalahan itu bukan kesalahan anak kecil! Karena dia berhak mengajukan keberatan dan mengatakan: ‘Andaikan Tuhan menghidupkan saya sampai besar, saya mampu melakukan amal baik seperti halnya orang mukmin’,” Asy’ari menjawab. Gurunya kembali menjelaskan: “Kalau sekiranya anak kecil keberatan seperti itu, nanti akan dijawab Tuhan: ‘Saya sudah tahu, kalau kamu sampai besar kamu akan berbuat dosa yang menyebabkan kamu disiksa dan itu demi kepentingan dan kemaslahatanmu’.” Asy’ari kembali mengajukan pertanyaan dan mengatakan: “Kalau begitu orang kafir bisa keberatan dan mengatakan: ‘Engkau Tuhan juga tahu kondisiku tapi kamu tidak memperhatikan kemaslahatanku seperti halnya anak kecil’.” Dengan pertanyaan Asy’ari itu, gurunya, al-Jubbai menjadi bingung dan tidak mampu menjawabnya.53 Mengomentari hal itu, al-Subki mengatakan: “Masalah ini sebenarnya sudah tuntas, karena keyakinan Asy’ari bahwa tidak ada kewajiban yang dibebankan pada Tuhan, dan tidak berbuat sesuatu karena adanya sebab lain tapi Tuhan adalah memiliki segala sesuatu dan Tuhan semesta alam, tidak ada yang bisa menghalangi kalau sekiranya dia ingin merubah hamba-Nya dari hamba baik menjadi hamba yang tidak baik, tidak bisa diminta pertanggungjawabannya tidak seperti halnya manusia biasa.54 Perdebatan antara Asy’ari dengan gurunya di atas seperti yang dinyatakan Dr. Ahmad Gurabah cukup menjadi bukti terhadap penderitaan dan kebingungan intelektual yang diderita Asy’ari, sambil menegaskan bahwa McDonald, seorang orientalis melihat peristiwa debat itu sebagai salah satu sebab utama peralihan Asy’ari.55 Penulis dalam hal ini melihat bahwa tidak mustahil adanya keterikatan yang erat antara faktor-faktor yang disebutkan para penulis di atas dalam melatarbelakangi peralihan Asy’ari dari akidah Mu’tazilah ke Aswaja. Bahkan tidak melihat adanya kontradiksi, tapi faktor dan sebab itu cukup mendorong Asy’ari untuk memperjuangkan eksistensi akidah ahl as-Sunnah. Prestasi Asy’ari dalam memelihara dan mempertahankan akidah Aswaja bisa dijadikan sebagai argumentasi atas ketulusan dan kebenaran niatnya. Kalau Imam al-Asy’ari dan perubahan mazhabnya dari Mu’tazilah menjadi Ahlus -Sunnah wa al-Jama’ah sebagai cikal bakal munculnya mazhab Asy’ari, maka kiranya faktor dan sebab perubahan itu merupakan sebab utama munculnya pemikiran Asy’ari. Kita yakini seperti yang ditegaskan Dr. Ibrahim Bayyumi Madkur bahwa peristiwa “Khalq al-Qur’an” sesuai dengan yang masyhur dalam sejarah dianggap sebagai batas pemisah antara sikap ekstrim dan moderat dalam studi-studi ilmu Kalam, dan membuka pintu tegaknya missi Asy’ari. Asy’ari bahkan dianggap sebagai penyalur bagi kecenderungan-kecenderungan pada masanya. Salah satu bukti yang menonjol pada waktu munculnya missi dan dakwahnya di Bashrah pada saat yang sama muncul dua pemikir dan ulama yang mempropagadakan ajaran seperti ajaran Asy’ari. Pemikir itu adalah At-Tahtawi (w. 321 H.) di Mesir dan Al-Maturidi (w. 333 H.) di Samarkand dan keduanya bermazhab Hanafi dan mendakwahkan untuk berpegang teguh pada al-Kitab dan Sunnah-Nya dan mengikuti pendapat-pendapat sahabat dan Tabi’in. Meskipun mazhab Asy’ari sangat mendominasi dan berkuasa pada saat itu menyebabkan kedua ajaran yang dimaksud nampak kurang vokal. Sehingga mazhab Asy’ari menyebar di dunia Islam.56
Metodologi Pemikiran Asy'ari
Tak pelak lagi, bahwa letak keunggulan Asy’ari dari tokoh-tokoh lainnya adalah segi metodologisnya yang moderat antara dua ekstrimis: ekstrim rasionalis yang menggunakan metafor dan ekstrim tekstualis yang literlijk.Yang pertama diekspresikan oleh Mu’tazilah dan yang kedua oleh Hanabilah.
Asy’ari menilai bahwa kedua kutub pemikiran tersebut masing-masing mempunyai titik kelemahan yang bisa berimplikasi kepada kehancuran Islam. Yang pertama akan menggiring aqidah kepada persoalan-persoalan filsafat yang merusak orisinilitas Islam dan yang kedua akan berimplikasi kepada stagnasi pemikiran. Untuk itu, kata Asy’ari, tak ada pilihan lain kecuali berupaya untuk memadukan kedua ekstrimis ini sehingga bisa menciptakan spirit dan integritas ummat. Jalan satu-satunya menurut Asy’ari adalah mendudukkan akal dan nash secara selaras.57 Berpijak dari kerangka metodologis ini, maka ketika menggunakan metodologi manthiq atau logika Aristoteles, ia tidak menggunakannya sebagai kerangka kebenaran itu an sikh (seperti terkesan hal itu ada pada para Filososof), melainkan sekedar alat untuk membuat kejelasan-kejelasan, dan itupun hanya dalam urutan sekunder. Sebab bagi al-Asy’ari, sebagai seorang pendukung ahlul Hadits, yang primer ialah teks-teks suci sendiri, baik yang dari kitab maupun yang dari sunnah, menurut makna harfiah atau literernya. Oleh karena itu, kalaupun ia melakukan takwil, ia lakukan secara sekunder pula, yaitu dalam keadaan tidak bisa lagi dilakukan penafsiran harfiah. Hasilnya ialah suatu jalan tengah antara metode harfi kaum Hambali dan metode takwil kaum Mu’tazilah. Di tengah-tengah berkecamuknya dengan hebat polemik dan kontroversi dalam dunia intelektual Islam saat itu, metode yang ditempuh al-Asy’ari ini merupakan jalan keluar yang memuaskan banyak pihak. Itulah alasan utama penerimaan faham Asy’ari secara universal dan itu pula yang membuatnya begitu kukuh dan awet sampai sekarang.58
Tema-tema Sentral dalam Teologi Asy'ari
Sesungguhnya jika kita ingin membahas secara detail tema-tema sentral dalam teologi Asy’ari membutuhkan waktu dan ruang yang tidak sedikit, lembaran-lembaran yang disiapkan Nuansa tentu tidak mencukupi. Namun demikian, untuk melengkapi tulisan ini, penulis hanya menyorot beberapa point diantaranya, itu pun sifatnya hanya secara global. Kepada pembaca yang ingin memperdalam persepsinya terhadap konsep teologi Asy’ari diharapkan merujuk kepada literatur- literatur karangan Asy’ari yang masih ada dan eksis sampai hari ini, yaitu:1. Risalah fi Istihsan al-Haudh fi al-Kalam,59 2. Kitab Al-Luma’ fi ar-Ra’d ‘ala Ahl az-Zaig wa al-Bida’,60 3. Ushul ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (Risalah ahl as-Tsugar),61 4. Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al- Mushallin,62 5. Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah,63 Buku-buku yang telah disebutkan di atas cukup mewakili perkembangan pemikiran Asy’ari, khususnya dalam membangun mazhab Kalamnya yang baru. Selanjutnya dikatakan bahwa, meskipun sebenarnya serangan-serangan Asy’ari dalam berbagai karyanya ditujukan kepada semua aliran pemikiran dan kepercayaan yang ada pada masanya, tapi jika kita teliti serangan-serangan itu sebagian besar tertuju kepada konsep teologi Mu’tazilah, karena dianggapnya sebagai aliran rasionalis yang bakal menghancurkan sendi-sendi Islam seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Maka dalam memaparkan sebagian kecil dari konsep teologi Asy’ari, penulis memilih dua tema penting dari konsep teologi Mu’tazilah yang menjadi sasaran kritik Asy’ari.64 Yaitu; konsep keesaan dan keadilan Tuhan. Dalam pemaparan ini akan jelas, sejauh mana Asy’ari mengambil posisi moderat antara dua kutub ekstrimis; rasionalis dan tekstualis.
Konsep Keesaan Tuhan (At-Tauhid)
Aliran Mu’tazilah dalam merealisasikan konsep tauhid ini secara global menempuh dua cara. Pertama: Menafikan keqadiman sifat-sifat Tuhan, dan kedua: Menetapkan kemakhlukan Alqur’an. Mu’tazilah berpendapat, bahwa; apabila kita mengakui keqadiman sifat-sifat Tuhan berarti dengan sendirinya menetapkan adanya sesuatu yang qadim selain Allah, itu berarti mengakui berbilangnya sesuatu yang qadim selain Allah, dan pada akhirnya membatalkan prinsip keesaan Allah SWT. Sebagai konsekwensi logis dari pendapat ini, Mu’tazilah mengatakan bahwa; Tuhan tidak memiliki sifat yang berdiri sendiri dari zat-Nya, tapi sifat-sifat itu hanya ada pada simbol penamaan tanpa mempunyai esensi. Kalau dikatakan bahwa “Tuhan itu melihat” berarti Tuhan melihatnya dengan zat-Nya (Bashiran bi Dzatihi) begitupun sifat-sifat lainnya.65
Ketika Abu al-Huzail, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa sebenarnya ilmu Tuhan itu tidak lain kecuali Tuhan itu sendiri, dengan pengertian bahwa esensi Allah adalah ilmu. Asy’ari, mengatakan: Kalau anda mengatakan seperti itu, berarti anda dalam berdo’a bisa mengatakan: “Ya ‘ilmallahi ighfirli.” Dan hal itu tidak mungkin terjadi; sebab menurut Asy’ari, akan berimplikasi kepada dua hal yang saling kontradiktif. Yaitu; Orang “Berilmu” tapi tidak punya “ilmu” adalah mustahil, begitu juga halnya sifat-sifat lainnya.”66 Selain itu, pendapat kaum Mu’tazilah tersebut dianggap menyalahi pendapat kaum Muslimin secara umum.67
Masih dalam rangkaian keesaan Tuhan, Mu’tazilah juga menetapkan Al-Qur’an kalam ilahi sebagai makhluk dengan alasan bahwa dengan melegalkan qadimnya AlQur’an berarti melegalkan faham trinitas kaum Nashrani yang mengatakan bahwa Isa a.s. adalah Kalimatullah, lantas difahami sebagai Tuhan. Selain itu, aliran Hasywiyyah (antropomorpisme) berpendapat bahwa baik suara maupun huruf-huruf yang dipakai membaca dan menulis ayat-ayat Alqur’an itu juga dianggap qadim, lebih parah lagi ketika kertas-kertas yang ditempati menulis ayat-ayat AlQur’an juga disebut qadim.68 Asy’ari dalam menanggapi pendapat itu meninjaunya kepada dua aspek. Pertama: Kalam Nafsi, yaitu esensi yang berada pada zat Tuhan, dan kedua: Kalam Lafzhy, yaitu indikator-indikator yang menunjukkan kepada esensi tersebut, termasuk diantaranya lafazh-lafazh dan huruf-huruf serta suara-suara yang diturunkan Allah kepada Nabi- nabi-Nya. Asy’ari mengatakan: Yang pertama adalah Qadim dan yang kedua adalah Hadits (baru) dan makhluq, tidak kekal.69 As-Syahrastani, seorang tokoh dalam aliran Asy’ari menjelaskan pendapat Asy’ari antara Kalam dan Ibarah. Ia mengatakan bahwa Kalam adalah esensi yang berada pada Tuhan, sedangakan Ibarah merupakan indikator yang menunjukkan kepada Kalam tersebut.70 Bahkan Imam al-Haramain al-Juwainy salah seorang tokoh terkemuka yang banyak berjasa terhadap perkembangan faham Asy’ari menjelaskan bahwa yang dimaksud penurunan Alqur’an kepada Nabi adalah Malaikat Jibril sebagai pengantar wahyu memahami maksud “Kalam” itu di atas langit ke tujuh lalu turun ke bumi menyampaikan pemahaman itu kepada Nabi.71
Konsep Keadilan Tuhan (Al-'Adl)
Baik Mu’tazilah maupun Asy’ari masing-masing mengakui sifat keadilan Tuhan. Mu’tazilah meninjau keadilan Tuhan dengan kaca mata rasionalitasnya dengan menitikberatkan kepada “kepentingan manusia”. Sementara Asy’ari menitikberatkan pendekatan teologinya dalam meninjau keadilan Tuhan kepada “kehendak otoritas Tuhan”.
Dengan demikian, kaum Mu’tazilah menganalogikan keadilan Tuhan kepada keadilan manusia, dalam arti bahwa keadilan erat kaitannya dengan “hak”. Seseorang dikatakan adil bilamana memberikan hak-hak --secara tepat-- kepada sesamanya dengan bahasa yang mudah difaham “menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya”.
Berangkat dari pemahaman di atas, kaum Mu’tazilah memformulasikan konsep keadilan Tuhan kedalam tujuh bentuk. Yaitu:
Itu sebabnya, seorang tokoh terkemuka dalam aliran Mu’tazilah, Qadhi Abdul Jabbar menegaskan bahwa; status kewajiban yang berlaku di alam gaib, tidaklah berbeda dengan status kewajiban yang berlaku di alam nyata. Dengan demikian, kalau seandainya Tuhan tidak membalas orang-orang mukmin karena amal kebaikannya, maka sama halnya dengan orang yang tidak membalikkan titipan orang lain padanya.73
Argumen Mu’tazilah nampaknya tidak memberikan kepuasan kepada Asy’ari, sebab seperti yang telah disebutkan, bahwa Asy’ari dalam teori dialektika teologisnya, selalu menomor satukan nash dengan tidak mengabaikan rasio. Dalam kaitan ini, Asy’ari mengutip sebuah ayat Qur’an “limâ yurîd“, Tuhan bebas melakukan apa-apa yang dikehendaki-Nya. Statemen ini melahirkan sebuah konklusi bahwa tidak ada suatu kewajiban apapun yang harus dibebankan kepada Tuhan. Karena kewajiban menggeser status ketuhanan kepada status ciptaan. Dengan kata lain, ke-Maha Sempurna-an Tuhan terdapat pada “kehendak mutlaknya”. Menyangkut perbuatan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri, bukan ciptaan Tuhan” sebagai salah satu konsep “keadilan” Mu’tazilah, Asy’ari mengatakan: Sekiranya manusia menciptakan perbuatannya, berarti --secara pasti-- ada pencipta selain Allah. Menetapkan adanya pencipta selain Allah adalah mustahil. Dengan demikian, mustahil ada ciptaan selain ciptaan Tuhan. Lagi pula, kalau sekiranya manusia yang mengadakan perbuatannya berarti manusia secara pasti mengetahui segala sesuatu yang berlaku padanya. Sebab, sebagaimana lazimnya, seorang yang membuat sesuatu ia pasti tahu dan sadar terhadap apa yang dibuatnya itu. Namun pada realitasnya, manusia tidak selamanya sadar apa yang diperbuatnya. Adalah suatu bukti kongkret manusia tidak menciptakan perbuatannya. Persoalan di atas kemudian melahirkan sebuah teori baru dalam faham Asy’ari dengan term alKasb. Teori ini akan mencoba menggabungkan dua faham yang saling kontradiktif, yakni faham Jabariyyah (yang mengatakan bahwa segala yang terjadi atas diri manusia adalah cipataan manusia tanpa ada ikhtiar bagi manusia) dengan faham Qadariyah (yang beranggapan bahwa segala perbuatan manusia adalah ditentukan manusia sendiri terlepas dari campur tangan Allah). Dalam teori al-Kasb ini, Asy’ari membagi perbuatan manusia dua bentuk: pertama: Al-Af’al al-Idhtirariyyah, dan yang kedua; Al-Af’al al-Ikhtiyariyyah. Yang termasuk dalam bagian pertama adalah segala perbuatan yang bersifat reflektif yang dilakukan secara terpaksa atau di luar alam kesadaran. Sedangkan yang masuk pada bagian kedua adalah segala perbuatan yang dilakukan secara terencana atau terprogram. Dalam bentuk terakhir ini, sebelum manusia bertindak terlebih dahulu Allah memberikan Qudrat dan Iradat padanya sehingga --dengan Qudrat dan Iradat itu-- manusia mampu mengusahakan perbuatannya (al-Muktasib). Selanjutnya perbuatan yang telah diusahakan (al-Kasb) tadi merupakan implikasi dari kekuatan baru yang ada padanya sehingga apabila seseorang ingin melakukan suatu perbuatan lalu memutuskan dan berkonsentrasi untuk melakukan perbuatan itu, maka bersamaan dengan itu pula, Allah menciptakan padanya suatu kekuatan untuk berbuat. Postulat yang digunakan Asy’ari dalam pemahaman ini adalah “Sebuah perbuatan diusahakan (al-Kasb) oleh manusia dengan kekuatan yang diciptakan (al-Khalq) oleh Allah padanya”.74 Baik perbuatan idhtirary maupun ikhtiyary dalam konsep “Kasb” Asy’ari termasuk ciptaan Allah, namun bedanya adalah, yang pertama dilakukan oleh manusia secara terpaksa dan yang kedua dilakukan berdasarkan usaha dengan daya diciptakan Allah padanya.75 Selanjutnya dikatakan bahwa perbuatan yang mendapat tuntutan dan pertanggungjawaban hanyalah perbuatan yang kedua (ikhtiyary) tanpa yang pertama (idhtirary).76 Argumen yang dimajukan oleh Asy’ari menyangkut diciptakannya Kasb oleh Allah adalah ayat Alqur’an: “Allâhu khalaqakum wamâ ta’malûn“, artinya: “Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu”.77
Dasar pijakan Asy’ari terhadap teks ayat tersebut oleh berbagai pihak menjadikannya sebagai titik kelemahan terhadap konsep Kasb tersebut. Alasan mereka adalah konteks ayat tersebut tidak bisa dipisahkan dengan konteks sebelumnya itu merupakan satu kesatuan yang tak mungkin berdiri sendiri. Ayat sebelumnya menyangkut kemurkaan Nabi Ibrahim kepada kaumnya karena mereka menyembah berhala sehingga ayat tersebut berbunyi:
“Ibrahim berkata: Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat itu.”Maksud ayat ini adalah: Ibrahim menyerukan kepada para penyembah berhala; agar tidak menyembah patung-patung buatan mereka, tapi “sembahlah Tuhan yang telah menciptakan kamu dan yang telah menciptakan apa-apa yang kamu pahat dari batu itu”.78
Kalaupun pijakan Asy’ari di atas dianggap tidak proposional dan merupakan titik kelemahan konsep al-Kasb Asy’ari, sebenarnya masih terdapat puluhan ayat Alqur’an79 yang bisa memperkuat pandangannya. Tak di-sangkal memang bahwa teori Kasb Asy’ari di atas termasuk persoalan yang sulit dipahami terutama kepada para peneliti yang berpandangan subjektif. Teori Kasb Asy’ari bisa dijadikan alasan bahwa Asy’ari telah menggiring penganutnya menjadi Jabariyyah murni seperti anggapan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiah.80 Sesungguhnya al-Asy’ari bukanlah seorang Jabari sehingga dapat disebut fatalis. Tetapi ia juga bukan seorang Qadari yang berfaham tentang kemampuan penuh manusia menentukan perbuatannya, seperti kaum Mu’tazilah dan Syi’ah. Al-Asy’ari ingin menengahi antara kedua faham yang bertentangan itu, sebagaimana dalam bidang teologi ia telah menengahi antara kaum Hambali yang sangat naqli (hanya berdasar teks-teks suci dengan pemahaman harfiah) dan kaum Mu’tazili yang sangat aqli (rasional).81
Jika kita teliti lebih mendalam dan berusaha memahami secara objektif konsep Kasb Asy’ari, tidaklah serumit yang difahami para penentangannya, sebab betul suatu perbuatan takkan bisa terwujud tanpa terpatri antara dua daya dan kehendak (yaitu daya dan kehendak Tuhan dan manusia) menurut konsep Asy’ari tetapi substansi persoalan sebenarnya adalah antara ikhtiar (memilih untuk berbuat) dengan qudrah (daya) dalam berbuat. Dalam konsep Asy’ari ikhtiar tersebut tetap tinggal di depan, dalam arti daya pemberian Tuhan datang bersamaan dengan terlaksananya suatu perbuatan (al-Fi’l). Dengan demikian ikhtiarlah yang menjadi syarat utama unmtuk menilai status sebuah perbuatan. Besar kecilnya sebuah amal kebajikan, demikian juga pelanggaran, selalu ditentukan oleh kualitas ikhtiar seseorang. Jadi ikhtiarlah yang melatarbelakangi terjadinya sebuah usaha (al- Kasb). Meski demikian tidaklah berarti ikhtiar manusia tersebut lepas dari ilmu, iradah dan qudrat Allah SWT. Sebab ikhtiar manusia itu sendiri merupakan kemuliaan dari Allah SWT. untuk hamba-Nya. Tapi ikhtiar dalam pandangan Asy’ari sama sekali tidak mengandung unsur paksaan. Itu sebabnya Asy’ari --seperti disebutkan sebelumnya-- membagi perbuatan manusia kepada dua bagian: perbuatan idhtirariyyah dan perbuatan ikhtiyariyyah.
Pengaruh Teologi Asy'ari.
Sungguh sangat menarik, bahwa dalam pergumulan pemikiran yang sengit di bidang teologi itu akhirnya Imam Abu Hasan al-Asy’ari memperoleh kemenangan besar, jika bukan terakhir atau final. Hal ini nampak terutama sejak tampilnya Imam al-Ghazali sekitar dua abad setelah al- Asy’ari, yang dengan kekuatan argumentasinya disertai dengan contoh kehidupannya yang penuh zuhud, mengembangkan paham Asy’ari menjadi standar paham ortodoks atau Sunni dalam aqidah. Karena itu, seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada dekade sekarang ini, faham Asy’ari mendapat sambutan mayoritas ummat Islam di dunia.
Selain itu, kajian-kajian ilmu Kalam pun saat ini hampir keseluruhan metodologinya terbatas kepada metodologi penalaran Asy’ari. Maka dilihat dari kadar penerimaannya oleh sedemikian besar kaum Muslimin dan dari bagaimana penerimaan itu melintasi batas-batas kemazhaban Fiqh, paham Asy’ari adalah paham yang paling luas menyebar dalam dunia Islam, sehingga al-Asy’ari bisa disebut sebagai pemikir Islam klasik yang paling sukses. Tidak ada tokoh pemikir dalam Islam yang dapat mengklaim sedemikian banyak penganut dan sedemikian luas pengaruh buah fikirannya seperti Abul Hasan al-Asy’ari. Maka sebutan yang paling umum untuk tokoh ini ialah Syekh Ahlussunnah waljama’ah, sebagaimana senantiasa digunakan pada lembaran judul karya- karyanya yang cukup banyak dan kini diterbitkan.
Penutup
Dari apa yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa metodologi pemikiran Asy’ari mengambil posisi ekstrim rasionalis menggunakan metapor dan golongan ekstrim tekstualis yang literlijk. Adalah sebuah metodologi yang dianggap mampu menjamin orisinilitas aqidah Islam dalam menghadapi tantangan perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi baru. Dengan kata lain, para penganut aliran teologi ini mampu mengikuti dan mentolerir segala perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat modern. Untuk itu, sinyalemen Sayyed Amer Ali yang mengatakan: “Kemerosotan bangsa-bangsa Islam sekarang ini, salah satu sebabnya karena formalisme al-Asy’ari,”82 adalah sinyalemen yang perlu dipertimbangan keabsahannya, kalau tidak ditolak sama sekali.
Catatan Kaki
*)Drs.Hamzah Harun al-Rasyid adalah mahasiswa program S2 Pascasarjana Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah filsafat, Univ.Islam Omdorman, Khourtoum Sudan Ia sekarang menjabat Koord. ICMI Orsat Khourtoum, Sudan.