Dr. Umaymah Abu Bakr:

 

"Adapun masalah pembagian peran antara laki-laki dan perempuan—menurut saya—tidak ada dalam Al-Quran...”

Meskipun jender termasuk istilah baru, “barang impor”, dan tidak dikenal dalam tradisi Islam klasik. Namun bukan berarti tidak penting. Karena melalui studi ini, kita bisa mengetahui pola pandang masyarakat terhadap perbedaan jenis kelamin yang dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, dari pada sekadar faktor biologis. Untuk itu, kami mendatangai seorang pemerhati masalah jender; Dr. Umaymah Abu Bakr, di kediamannya 

.

Bisa Anda jelaskan terma jender?

  Dalam masalah jender ada dua mainstream yang berkembang kira-kira semenjak 20-30 tahun silam. Pertama, aliran yang tidak penting bagi kita dan tidak bisa mengambil faidah darinya yaitu aliran yang memisahkan antara jenis (seks) individu secara biologis (jins al-fard al-bailűjî) baik laki-laki atau perempuan dengan identitas (muatan) seksnya (al-huwiyah al-jinsiyah). Studi ini berkembang di Barat untuk memberikan legitimasi akademis bagi fenomena homoseksual. Dengan studi jender model ini, homoseksual dianggap bagian dari HAM dan relasi jender yang alami. Ini madzhab jender yang tidak bisa kita ikuti dan berkembang dalam diskursus jender di Barat. Kedua, aliran jender yang berfaedah, dan kita bisa belajar darinya. Yaitu diskursus jender dalam arti proses pembentukan budaya dan sosial terhadap jenis kelamin. Studi ini meneliti proses pembentukan karakter laki-laki dan perempuan dari faktor sosial budaya, bukan dari faktor biologis. Seperti, karakter laki-laki didentikakkan kuat, tidak sensitif, dan rasional. Sedangkan perempuan dikonotasikan lembut, sensitif, mengedepankan perasaan, irrasional dan lain sebagainya. Peran perempuan khusus di dalam (domestik), sedangkan laki-laki di luar. Perempuan mengasuh anak di rumah sedang laki-laki di pabrik mengurusi mesin-mesin. Perbedaan pandangan ini sangat kuat dan jelas antara laki-laki dan perempuan. Nah, pandangan budaya dan masyarakat di atas dapat kita ketahui dengan menggunakan studi jender.

  Fenomena jender ini dapat kita jumpai di seluruh masyarakat, tidak hanya pada masyarakat Islam, atau masyarakat Barat saja. Pandangan jender ini terus berubah dan berkembang bersama waktu karena beberapa sebab. Seperti sebab sejarah, penjajah, politik, sosial, dan lain sebagainya. Juga kemungkinan-kemungkinan berubahnya pola pandang terhadap pemahaman jender karena lintas waktu dan geografi. Studi ini mempunyai lahan luas bagi diskursus jender. Beberapa disiplin ilmu seperti ilmu sosial, antrapologi, sastra, hukum dan lain-lain dapat kita lihat secara khusus dari perspektif jender. Yaitu dari perspektif pengaruh masyarakat dan budaya terhadap relasi sosial, baik di keluarga, atau di masyarakat luas.  

 

Bagaimana melihat turâst Islam dari perspektif jender ini?

  Bisa dilakukan dalam semua diskursus studi Islam seperti sejarah, fiqih, tafsir, dan studi-studi Islam lainnya. Kita bisa mempelajari teks-teks agama tadi sebagai teks budaya. Tapi berbeda dengan teks Al-Quran dan Sunnah, karena teks keduanya merupakan teks Ilahi. Sedangkan karya (teks) para mufassir, dan ahli fiqih kita mempelajarinya dengan studi analisis wacana. Dalam arti, Mengkritisi pola wacana yang digunakan mereka sebagai "pisau analisa" dalam istinbâth hukum (fiqih) laki-laki, perempuan, atau relasi antara manusia. Studi ini bisa kita lakukan menggunakan pespekstif studi jender. Seperti pandangan ahli fiqih klasik terhadap relasi antara laki-laki dan perempuan. 

  Saya yakin mereka menggunakan dalil-dalil syar'i yang menurut mereka layak dan dengan metode yang mereka yakini benar. Tetapi ketika kita melihat hukum-hukum yang berhubungan dengan laki-laki maupun perempuan, terdapat faktor-faktor budaya dan sejarah yang mempengaruhi pandangan ahli fiqih.  Apakah para ahli fiqih sudah memahami syariat Islam secara objektif, adil, dan tanpa bias? Jawabannya, kadang-kadang "iya" kadang-kadang "tidak", tentu saja masih banyak hal-hal problematis bukan? Maka, kita bisa mempelajari teks-teks di atas dari perspektif studi jender.  

 

Tapi jender adalah istilah baru dan tidak akan kita temukan dalam kitab-kitab klasik. Dan tentunya masih menjadi "problem" dalam studi Islam?

  Benar sekali, Jender bukan terma Islam, bukan terma Al-Quran, atau terma-terma yang dipakai di Ushuludin, maupun usul fiqih, karena ia memang bukan terma agama seperti takwa, sabar, jihad  dan ihsan. Tapi  terma ini  bersumber dari disiplin ilmu sosial seperti  terma demokrasi, kependudukan, dan civil society. Saya tidak mengklaim terma jender ini sebagai terma agama, akan tetapi hasil dari perkembangan pemahaman dan kebudayaan masyarakat.

 

Seberapa jauh pengaruh budaya terhadap pandangan masyarakat khususnya para ulama Islam klasik? 

  Pemahaman masyarakat terpengaruh oleh kondisi sosial, politik, agama maupun budaya. Seperti budaya Iraq, Mesir, Syam yang memiliki budaya tersendiri, memiliki pengaruh terhadap konsep fiqih. Contoh yang paling sederhana adalah ketika Imam Syafii pindah dari Iraq ke Mesir, merubah beberapa pendapatnya. Dan yang bisa kita lakukan sekarang adalah bagaimana meneliti beberapa karya para ulama Islam klasik yang terpengaruh dari faktor budaya, politik dan sosial. Pemikiran ini sudah menjadi mainstream di kalangan pemerhati studi-studi perempuan di pelbagai kawasan, Mesir, Turki, Iran, Asia Tenggara, di Barat dan di belahan dunia lainnya. Mereka menuntut pembaruan fiqih klasik dan pembebasan konsep fiqih dari kungkungan budaya dan distorsi pemahaman dengan menggunakan perspektif Islam, bukan sekular, seperti—semoga Allah melindungi kita—menolak Al-Quran atau syariat. 

 

Bagaimana pandangan Islam terhadap perempuan, dan konsep pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, seperti peran perempuan diidentikkan di  wilayah khusus (privat) sedangkan laki-laki di wilayah umum (publik)?

  Menurut saya, Islam tidak hanya memuliakan perempuan tetapi bahkan memanjakannya. Tetapi sejarah setelah itu—masyarakat Islam, khususnya ahli fiqih, "merampas" hak ini dari perempuan. Mereka mulai membebani perempuan di luar kemampuannya, karena mereka merasa Islam sangat memanjakan perempuan. Sebelum kita memasuki perbe-daan peran antar laki-laki dan perempuan kita perhatikan dahulu beberapa hukum untuk laki-laki. Seperti beberapa perkara yang tidak dibolehkan bagi perempuan atau pun sebaliknya. Misalnya, perempuan wajib menutupi rambut, tapi ia tidak wajib sholat Jumat. Perbedaan-perbedaan di atas dalam hukum-hukum ibadah. Dan saya kira hal ini tidak menjadi masalah. Saya yakin Allah menciptakan hikmah di balik perbedaan-perbedaan itu. Hikmah di atas dalam istilah studi jender bisa disebut gender sensitive (sensitifitas jender). Keringanan dalam masalah ibadah terhadap perempuan itu yang saya anggap bahwa Islam memang memanjakan dan sensitif terhadap perempuan. Akan tetapi masyarakat patriarkhi setelah itu, menjadikan perbedaan dalam masalah ibadah ini sebagai dalih untuk memisahkan dan memberikan perbedaan secara lebih luas antara laki-laki dan perempuan. Seperti muncul image laki-laki lebih unggul dari perempuan karena laki-laki sholat Jumat, boleh berjihad dan lain-lain sedangkan perempuan tidak.

   Adapun masalah pembagian peran antara laki-laki dan perempuan—menurut saya—tidak ada dalam Al-Quran sama sekali. Ketika kita membaca sejarah maka akan kita temukan bahwasannya konsep pembagian itu ada di masyarakat Barat dan Eropa. Perempuan berada dalam wilayah khusus (privat sector) dan laki-laki berada pada wilayah umum (public sector). Pemahaman ini merupakan ideologi ekstrim yang berasal dari Barat pada abad XVIII dan XIX. Masyarakat Barat berbicara mengenai ideologi pembagian peran tersebut di buku-buku sastra mereka, mereka yang menciptakan wilayah privat untuk perempuan, sedangkan kita—Islam—tidak mengenal pembagian wilayah privat dan publik tersebut. Seperti perempuan hanya di rumah, memainkan piano, dan menari. Sedangkan wilayah laki-laki di luar rumah, mengurusi pabrik, dan pasar, sebagai gentleman. Ideologi ini menguat sejak era Victoria di Inggris dan di awal terbentuknya masyarakat modern. Kemudian ideologi ini diwarisi oleh masyarakat Islam via imperialisme di luar kesadaran. Sebab lain, kalau kita baca sejarah—misalnya—sejarah Mesir, para pioner kebangkitan Islam di awal abad XX era kolonialisme Inggris, mereka menghadapi misi imperialisme asing dengan jalan menjaga budaya kita secara ketat seperti penjagaan terhadap perempuan, karena perempuan—menurut mereka—simbol dari budaya.

  Nah, sebab-sebab historis dan politis tersebut menciptakan pemahaman tersendiri terhadap perempuan. Tapi, Al-Quran bebas dari pemahaman itu sama sekali. Baik ideologi pembagian peran, atau perbedaan tabiat alami manusia. Apakah ada ayat yang menyatakan bahwa perempuan itu emosional dan laki-laki rasional? Tidak ada bukan?

 

Bagaimana pendapat Anda sendiri tentang hak perempuan untuk beraktifitas di luar?

  Tidak ada larangan di dalam Islam sama sekali. Justru yang ada adalah perintah dalam rangka manifestasi amar ma'rűf nahî munkar. Kita dituntut untuk menjadi bagian dari masyarakat Islam dan agent of change. Seumpamanya kemampuan saya mengajar, maka saya—dituntut—mengajar, saya paham ilmu kedokkteran saya akan berusaha mengobati, saya paham arsitek saya akan menjadi arsitek dan seterusnya. Kita harus bergabung dalam pembangunan dan kreasi kebudayaan yang egaliter dan luhur

 

Bagaimana kita menghadapi distorsi-distorsi pemahaman khususnya dalam masalah jender?

  Kita harus mulai dan terus-menerus memberikan pencerahan dan kritikan-kritikan lewat tulisan dan buku-buku. Sangat disayangkan sebagian ulama agama masih menggunakan pemahaman klasik ketika memandang masalah perempuan. Seperti kata mereka, perempuan memiliki peran dan karakteristik khusus, atau cara berfikir perempuan yang terbatas. Pemikiran itu bukan berasal dari agama, tapi, mereka—ulama agama—yang masih sangat konservatif.  Anehnya, mereka menganggap hal itu bagian dari agama dan berusaha mengutip beberapa hadis yang menjustifikasi pemahaman mereka. Akan tetapi saya yakin Allah dan Rasul-Nya tidak bermaksud dengan hadis itu seperti yang mereka tafsirkan. Apakah Allah menciptakan laki-laki dan perempuan supaya salah satunya lebih otoritatif dari yang lainnya, ini tidak logis. Sejatinya, kita harus mengambil banyak inspirasi dari syari'at Tuhan yang sarat dengan keadilan dan kebijaksanaan.

  Tentu kita hafal hadis, kullukum râ'in wa kullukum masűlun 'an rai'yyatihi wa al-mar'ah râ'iyyah fî bayt zawjihâ wa mas'űlah 'an ra'iyyatihâ. Hadis ini digunakan mereka sebagai senjata bahwa setiap laki-laki dan perempuan mempunyai wilayah dan tugas sendiri-sendiri. Perempuan wajib memasak, atau menyapu, pokoknya perempuan memiliki tanggung jawab seratus persen terhadap tugas itu. Tapi Rasul tidak bermaksud seperti yang mereka pahami bukan? Buktinya, Rasul banyak melakukan perkerjaan rumah tangga. Kami (perempuan) tidak bermaksud menolak tugas rumah itu. Tapi yang kita tolak adalah, penetapan peran tersebut secara mutlak tanpa melihat situasi dan kondisi. Kondisi suatu keluarga berbeda dengan kondisi keluarga yang lain. Seperti, seseorang perempuan yang tidak menyukai pekerjaan di luar rumah dan lebih memiliki pekerjaan rumah tangga, itu baik. Demikian juga jika ada perempuan yang lebih menyukai pekerjaan di luar rumah, dan tidak suka pekerjaan rumah tangga, jangan dilarang. Nah, penetapan peran perempuan terhadap wilayah domestik, bisa disebut sebagai “ ideologi peran rumah tangga”. Ini adalah ideologi Victorian. Sungguh! saya memiliki beberapa literatur sastra Eropa era Victoria di Inggris abad XIX, yang berbicara mirip dengan perkataan ulama-ulama konservatif sekarang ini. Sayang sekali mereka tidak menyadarinya. Dari kenyataan di atas studi jender sangat penting dan berfaedah, bukan berarti kita ingin mengikuti Barat. Tapi karena kita bisa mengambil banyak pelajaran dari studi ini. (Anis, Karim, Iffah, Talaat, dan Gun)

   

Biodata singkat Umaymah:

Dr. Umaymah Abu Bakr: Lahir di Kairo tahun 1957, alumnus Departemen Sastra Perbandingan di Barkeley University USA. Dosen Sastra Inggris dan Sastra Perbandingan di Cairo University. Salah satu pendiri Multaqâ Al-Mar'ah Wa Al-Dzâkirah (Forum of Women and Memory). Salah satu karyanya, Al-Ma'ah Wa Al-Jender (bersama Dr. Syirin Syukri) Libanon: Dâr Al-Fikr Al-Mu'âshir, 2002.