[ A r t i k e l ] |
DARI
RASIONALITAS MENUJU REALITAS I. Tamhîd Setelah gong modernitas menggema di atas bumi ini, banyak opini yang muncul, baik berupa pujian ataupun cercahan, yang kemudian satu sama lain saling bersebrangan. Dalam satu sisi sekelompok masyarakat menyadari adanya keuntungan yang besar dengan terbukanya peluang untuk mengembangkan sayap perniagaannya, namun di sisi lain tak sedikit orang yang ‘dikecewakan’ karena beberapa akses sosial yang lahir dengan dampak destruktifnya. Paling tidak, menurut sebagian pemuka agama, modernitas sudah mengubah tatanan moral yang kokoh di atas singgasana agama. Misal kongkritnya, konsensus ulama Madura tentang pengkajian ulang Industrialisasi, karena mereka melihat, bahwa moral masyarakat harus didahulukan dari pada peningkatan materi. Lebih parah lagi, Prof. Joad mengatakan, “Sesungguhnya yang dominan dan populer pada zaman ini adalah pandangan ekonomi; perut dan kantong telah menjadi kriteria bagi setiap masalah. Oleh karena itu, setiap masalah dapat diterima dan dihargai orang dengan kriteria relevansinya antara kantor dan pengaruhnya." Tidak jauh berbeda dengan Laslo, menyatakan, bahwa manusia telah diproduksi untuk menjadi homo modernus yaitu spesies yang aneh, yang mempopulerkan hukum rimba dan mengabaikan manfaat kerja sama.(1) Bahkan social cost modernisasi di barat menjadi sangat tinggi, seperti halnya tingkat penceraian yang mencapai 50 % (Amerika Serikat), bunuh diri, penyalahgunaan narkotika, kebebasan seks, dan lain sebagainya.(2) Dan masih banyak lagi kekhawatiran lain yang muncul. Namun barangkali yang menjadi agenda umat sekarang adalah bagaimana menyikapi perubahan yang dahsyat itu ? Apakah al-Qur'ân tidak memuat pandangan- pandangan modernitas ? Apakah modernitas harus disikapi dengan pemikiran-pemikiran sosial yang sejenis ? Dari beberapa pertanyaan muncul beberapa style pemikiran yang terus berkembang. Sehingga sejak kira-kira permulaan abad ke-15 bidang pemikiran telah memasuki proses pembekuan diri. Karya-karya kreatif bernilai tinggi tidak bermunculan lagi, khususnya di dunia sunni. Orang pada masa periode kejatuhan itu hanya tinggal mengulang karya-karya pendahulunya dengan diberi komentar, ulasan dan pujian, tanpa mempunyai originalitas dalam sistem pemikiran.(3) Maksudnya, mereka tenggelam dalam konteks ‘penghambaan’ karya-karya klasik yang mereka anggap sebagai karya yang final. Oleh karena itu ketika dihadapkan dengan perkembangan kontemporer, mereka kaget serta-merta mengkebirinya dengan alasan; bahwa modernitas adalah salah satu gejala sosial yang lahir dari barat. Karena dari barat, maka seluruh yang berhubungan dengannya disingkirkan begitu saja. Kendatipun demikian, ternyata pada tahun 90-an muncul kesadaran baru dengan munculnya modernitas. Bahwa modernitas harus disikapi dengan gagasan yang serius. Artinya bukan hanya menggali sumber daya alam saja, tapi justru bagaimana mengembangkan sumber daya manusia. Di sini, hubungan manusia dengan realitas sebagai elemen modernitas merupakan salah satu agenda baru yang harus dikembangkan. Oleh karena itu, tidak aneh apabila kajian-kajian TAYSîR yang lalu banyak memperbincangkan tentang bagaimana universalitas Islam dapat menjadi salah satu adagium yang dapat menyentuh tanah kekinian. Di mana harus ada usaha rekonstruksi turats yang lebih future oriented. Karena secara kongkrit, perkembangan modern menuntut lebih banyak dari manusia. Sehingga manusia tidak hanya dituntut untuk melihat teks-teks statis untuk mencari sebuah petunjuk, tapi selain itu bagaimana memfungsikan realitas sebagai dinamo untuk melahirkan konsep-konsep baru, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang barat. Oleh karena itu, dalam rangka mencari jalan keluar dari beberapa permasalahan di atas, Zakî Naquib Mahmûd sebagai salah satu intelektual muslim berusaha mencari postulat-postulat baru untuk menyikapi diskursus kekinian. Lebih dari itu, sebagai upaya untuk melerai fanatisme dan apatisme yang berkembang di tengah-tengah umat Islam dengan lahirnya peradaban modern. II. Zakî Naquib Mahmûd : Dari Qisshah al-Falsafah al-Yûnâniah ke Hashâd al-Sinîn Dalam dataran intelektual muslim, Zakî dikenal sebagai pencetus proyek konstruksi filsafat di Mesir. Karenanya, konstribusi dalam bidang filsafat tidak dapat diingkari lagi, terutama dengan lahirnya studi kritis terhadap turats filsafat dan fikih yang hampa dari interaksi filsafat dan ungkapan-ungkapan logis serta realitas historis dan sosial. Oleh karena itu, Zaki berusaha untuk mengembangkan metode pemikiran analisis dan rasionalis terhadap fenomena sosial. Zaki dilahirkan di sebuah desa terpencil yang jauh dari keramaian kota, Mayyit al-Khuliy Farsukûr namanya. Sebuah desa yang berada di propinsi Dimyât. Pada tahun 1905, Zakî lahir di tengah-tengah keluarga kalangan menengah. Untuk mendukung proses pengembangan bakatnya, akhirnya ia melakukan urbanisasi ke jantung kota Mesir, Kairo pada tahun 1909. Di sinilah kemudian, ia melanjutkan studi di salah satu sekolah permulaan negri. Pada tahun 1914, ia menyertai ayahnya ke Kharthûm yang dipercayai untuk bekerja di pemerintahan Sudan. Di pusat kota Sudan ia menyelesaikan pendidikan dasar, lanjutan dan menengah atas. Di tempat tingggal barunya, ia memperdalam kebudayaan Anglo-Saxonia dan struktur filsafat positivisme dan eksperimentalisme. Pendidikan ini sangat berpengaruh dalam perjalanan hidupnya di kemudian hari. Kendatipun ia tinggal di Sudan, ia juga belajar di Kairo di sekolah Mu’allimîn al-’Ulyâ, keluar pada tahun 1930. Perjalanannya ke luar negri dimulai ketika ia diutus ke London selama enam bulan untuk menjadi guru di salah satu lembaga di sana. Baru setelah kedatangannya dari London, ia diangkat untuk menjadi pengajar di Departemen Pendidikan. Pada tahun 1939, ia menerima penghargaan Sastra dari Departemen Pendidikan lewat karya monumentalnya yang ditulis bersama Ahmad Amîn yaitu Qisshah al-Falsafah al-Yunâniyah dan Qisshah al-Falsafah al-Hadîtsâh. Selanjutnya, selama setahun ia bekerja di Departemen Kebudayaan yang didirikan oleh Thahâ Husein di Kementrian Pendidikan. Pada tahun 1948, Zakî meraih gelar doktornya di London dengan judul disertasi “al-Hatamiyah al-Dzâtiyah”, yang kemudian kembali ke tanah kelahirannya untuk menjadi guru filsafat di universitas Fuâd I (sekarang, Universitas Kairo). Sedangkan karya-karya pemikiran Zakî dapat diklasifikasikan dalam dua bagian : Pertama, tujuh karya yang pertama yaitu al-Manthiq al-Tsurîy (1951), Falsafah al-’Ilm (1952), Khurâfah al-Mîtâfîzîqâ (1953 ), Hayâh al-Fikr fî al-’Alam al-Jadîd (1956), David Homm (1957), Nadzariyah al- Ma’rifah (1956) dan Nahw Falsafah ‘Ilmiyah (1957 ). Buku yang terakhir ini meraih penghargaan dari negara. Masa-masa ini merupakan jembatan untuk membangun proyek pemikiran yang lebih besar. Sebagaimana Zaki telah menancapkan sebuah dasar, bahwa pengetahuan dan cara mencapainya dalam bentuk yang tepat dan metodologis adalah tugas terakhir dalam filsafat. Selain itu, analisa logis terhadap bahasa merupakan alat pokok untuk mencapai pengetahuan yang sesuai dengan ketentuan alam. Dalam hal ini, untuk memperkuat metodologinya, Zakî mempergunakan metode yang dikembangkan oleh filsuf Viena (khususnya Syalex dan Carnab) pada tahun 20-an. Baru dalam Nadzariyah al-ma’rifah dan Nahwa Falsafah ‘Ilmiyah, ia memulai untuk mengembangkan logika positivisme. Ia mengatakan, sesungguhnya pengetahuan - yang terwujud dalam bahasa - berpusat dalam konsep-konsep general dan bahwa setiap jenis dari konsep-konsep tersebut mempunyai kedudukan dan jenis perubahannya, terutama ilmu dan pengetahuan matematika serta ilmu-ilmu fisika, sebagaimana bahasa dapat dicapai dengan jernih dan detail . Dengan demikian terdapat dua macam pengetahuan yaitu rasional dan imajinatif. Kedua, ia memulai dengan kitab mungilnya yaitu al-Syarq al-Fannan (1965). Dalam buku ini disebutkan tentang dimensi historis yang terdapat dalam pengetahuan. Kemudian, ia menerangkan tentang perbedaan kebudayaan timur dan kebudayaan barat. Di mana kebudayaan timur hanya identik dengan monodimensi, sedangkan barat identik dengan dualisme yaitu langit dan bumi, imajinasi dan akal, jiwa dan materi, kebaikan dan kejahatan, iman dan ilmu, orisinalitas dan kontemporer dan lain-lain. Di kemudian hari kajian keilmuannya mulai berkembang yaitu dengan mendekati turats- turats, baik yang ditulisnya tentang al-Ghazâliy wa Syi’ruhu dan Ibnu Khaldûn wa mauqifuhu min al-Falsafah. Oleh karena itu, untuk merealisasikan idealismenya, ia mencetus berdirinya majalah al-Muslim al-Mu’âshir di Departemen Kebudayaan. Dari majalah ini kemudian lahir filsuf-filsuf muda, di antaranya Fuâd Zakariya, Hassan Hanafi dan lain-lain. Setelah itu, ia melancong ke Kuwait untuk menjadi guru besar dalam bidang filsafat kurang lebih lima tahun; dari tahun 1968 sampai tahun 1977. Dalam perjalanan hidupnya saat itu, ia banyak menemukan pengetahuan baru yang berkaitan dengan turats Arab, baik dalam kebudayaan maupun keilmuan dan filsafat, yang mana ia tidak menemukannya pada masa-masa lalu. Di antara perkembangan selanjutnya, ia menulis beberapa buku yang merupakan produk dialognya dengan realitas historis, empiris dan sosial. Di antaranya Tajdîd al- Fikr al-Arabiy (1970), al-Ma’qûl wa allâ ma’qûl (1975), Tsaqâfatunâ fî Muwâjahah al-’Ashr (1976), Fî Hayâtinâ al-’Aqliyah (1979), Hâdzâ al-’Ashr wa Tsaqâfatuhû (1980), Fi Falsafah al-Naqd (1983), Ru’yah Islâmiyah (1987), Fî Tahdîtsi al-Tsaqâfah al-’Arabiyah (1988), Budzûr wa Judzûr (1990). Dari konteks ini, Zakî berangkat dari pengalaman-pengalamannya untuk berselingkuh dengan realitas kontemporer yaitu dengan mengkritik metode-metode klasik dengan metode positif, analisis dan logika yang khusus, yang ia peroleh dari perantauannya dengan filsafat. Dengan demikian, banyak orang yang menyatakan, bahwa filsafatnya telah meletakkan model pemikiran di atas peta pemikiran kemanusiaan kontemporer. Sejak tahun 1973 - setelah kedatangannya dari Kuwait - Zakî dinobatkan sebagai penulis senior di harian Ahrâm. Baru pada tahun 1975, ia menerima nobel penghargaan serta diangkat untuk menjadi anggota Dewat Tinggi Kebudayaan, Dewan Nasional Kebudayaan dan Dewan Nasional Riset dan lmiah. Setelah itu prestasinya meningkat dengan meraih hadiah kebudayaan Arab dari Liga Arab pada tahun 1984 serta Doktor Honorer dari Universitas Amerika pada tahun 1985. Selanjutnya karya-karyanya bertebaran di koran-koran, terutama harian Ahram. Karya terakhirnya yaitu Hashâd al-Sinîn (1992) yang merupakan kronologis pemikirannya secara umum. Akhirnya pada tahun 1993, ia pulang ke rahmatullah.(4) Kendatipun demikian, sebagian karyanya masih dijadikan referensi untuk memecahkan masalah kekinian, secara khusus di Indonesia.(5) III. Krisis Akal dalam Masyarakat Islam Ibnu Rusyd yang hidup sekitar 871 tahun yang silam telah berprediksi, bahwa 90 % kehidupan manusia cenderung bersifat praktis.(6) Sehingga sebagian besar praktek kehidupan diselaraskan dengan tuntutan material dari pada spiritual. Bukan hanya di sini saja, namun justru karya-karya klasik tak sedikit yang memangkas peran akal. Ini terbukti dengan fenomena aliran yang bersifat rasional cenderung disingkirkan. Selanjutnya, sejenak mengamati teks-teks keagamaan yang notabene merupakan sumber ajaran Islam, di dalamnya termaktub, bahwa pesan untuk menggunakan akal termasuk pesan yang paling diprioritaskan. Hampir 300 kata yang memiliki arti berakal disebutkan dalam al-Qurân.(7) Ini merupakan legimitasi Ilahi bahwa akal merupakan ajaran Islam yang orisinil. Bagaimana hubungan akal dengan perwujudan peradaban? Dr. Hamdî Zaqzûq menyatakan, bahwa manusia merupakan sentral pembentukan peradaban manusia. Kenapa manusia? Karena karakteristik yang paling spesifik dalam diri manusia adalah akal. Akal dalam Islam berarti kemuliaan, kemerdekaan, tanggung jawab dan kebebasan. Oleh karena itu, Zaqzûq meletakkan akal sebagai unsur terpenting dalam pembentukan peradaban.(8) Bahkan lebih jauh, Moh. Abduh mensinyalir, bahwa apabila akal dan teks bertentangan, maka mendahulukan akal atas teks merupakan sikap mulia.(9) Kenyataan akal sebagai otensitas ajaran Islam belum menjadi jati diri umat Islam secara kâffah. Hal tersebut bisa dilihat dari sejarah perjalanan umat, di mana akal menjadi lingkaran setan. Hatta pada periode Moh. Abduh. Syahdan, ketika Abduh masih menuntut ilmu di Azhar, ia memilih untuk masuk jurusan Akidah-Filsafat. Namun sikapnya banyak ditentang oleh rekan-rekannya yang sejak dini bersamanya ditempa dalam sebuah lembaga keagamaan yang sama. Hingga pada suatu hari orang tuanya di kampung mendengar informasi tersebut. Dengan penuh kekhawatiran terhadap masa depan M.Abduh, akhirnya sang ayah berangkat ke Kairo hanya untuk mengurungkan maksud anaknya. Tapi berkat alasan-alasan logis yang dilontarkan oleh M. Abduh, akhirnya sang ayah menerimanya.(10) Nah, fenomena yang semacam ini masih berkembang di tengah-tengah umat Islam. Terbukti dalam lembaga-lembaga pendidikan masih dilakukan pembonsaian kurikulum yang bersifat rasional dan penyempitan kesempatan untuk berkreasi. Sehingga akal dalam lisan masyarakat masih menjadi image yang identik dengan perbuatan destruktif. (11) Menyikapi tentang krisis akal, Zakî memulai pendekatannya dari gagasan Plato tentang konstruksi manusia yang terdiri dari tiga macam : Syahwat perut, perasaan, dan akal.(12) Ketiga unsur ini tidak bisa dipisahkan dalam diri manusia, karena secara komprehensif merupakan sumber utama kebaikan. Apabila dianalogikan, syahwat dan perasaan ibarat dua kuda yang menarik dokar, sedangkan akal merupakan sopirnya. Makanya apabila konstruksi tersebut dapat difungsikan sebagaimana mestinya, niscaya pintu “keadilan” akan terbuka. Dengan background pandangan Plato, Zakî mencoba menyentuh tanah realitas masyarakat Islam, di mana mereka dirundung keterbelakangan. Menurutnya, bahwa masyarakat Islam saat ini mempunyai tendensi untuk mendahulukan syahwat dan perasaan serta-merta menutup kendali akal.(13) Konsukensi logisnya, sikap yang semacam ini cenderung untuk keluar dari tatanan kehidupan yang stabil. Dalam masyarakat Islam sendiri, terjadi pertarungan sengit antara akal dan teks. Ini mungkin terbukti dengan ditemukannya kloning baru-baru ini. Bahkan menurut Zakî, banyak orang-orang dahulu yang terkejut dengan naiknya Nil Amstrong ke bulan dan pencangkokan tubuh. Untuk melihat kenyataan ini, Zakî melihat teori yang dikembangkan oleh Barguson dalam mengetahui kebenaran. Pertama, yaitu dengan mendeteksi obyek permasalahan yang kemudian dikomparasikan dengan fenomena-fenomena eksternal. Teori ini yang kemudian dikenal dengan pengetahuan ilmiah. Kedua, yaitu dengan mendeteksi inti permasalahan ansich tanpa mengkomparasikan dengan fenomena eksternal. Teori ini dikenal dengan pengetahuan sufistik.(14) Dalam kehidupan umat Islam, teori yang kedua ini justru lebih banyak dikembangkan. Karena menurut mereka dengan pendekatan sufistik ketenangan dapat diraih dengan mudah tanpa harus dijabarkan dengan bantuan bahasa. Mereka menganalogikan dengan manisnya madu ketika masuk ke rongga-rongga mulut. Oleh karena pendekatannya lebih besifat imajinatif, maka mereka senantiasa berhati-hati dalam melangkah serta-merta menghindar dari kesalahan. Di sini ditemukan akal mulai tidak difungsikan sebagaimana mestinya. meminjam istilah Russel, akal adalah metode dalam pembuktian yang tidak lepas dari kesalahan. Karena itu umat Islam mulai meninggalkan akal, sehingga kenyataan kontemporer membuktikan bahwa benar-benar terjadi krisis akal di tengah-tengah umat Islam. Zakî dalam krisis akal memberikan sebuah kontribusi pemikiran, bahwa dengan kesalahan yang muncul dari rahim akal akan memberikan motivasi bagi setiap manusia selalu mengadakan introspeksi. Berbeda dengan pandangan sufistik yang senantiasa menyatakan dirinya selamat, namun pada dasarnya kesalahan-kesalahan di dalamnya tidak dapat dihitung dengan jari.(15) IV. Rekonstruksi Rasionalitas Usaha rekonstruksi terhadap universalitas ajaran Islam merupakan bidang garapan yang aktual untuk menyikapi diskursus kekinian. Ini terbukti dengan gagasan-gagasan baru yang bermunculan di dataran pemikiran; dari Hassan Hanafi dengan rekonstruksi ushul fikih dan ushuluddinya hingga Dr. Nashr Hâmid Abû Zayd dengan rekonstruksi ilmu-ilmu al-Qur'ânnya. Bahkan dalam obsesi Hassan Hanafi ada beberapa garapan rekonstruktif yang akan dikodifikasi; di antaranya rekonstruksi hikmah, ilmu tasawuf, ilmu tradisional, ilmu fisika dan matematika (16) Dengan demikian arah untuk mewujudkan suatu pola pemikiran yang konstruktif dapat dikatakan sebagai langkah positif untuk berakselerasi dengan tuntutan modernitas. Dalam hal ini, tentu saja rasionalitas yang merupakan bangunan Islam orisinil senantiasa menjadi bidikan yang faktual. Kenapa demikian? Karena sudah terlalu lama, manusia larut dalam ketidakpedulian dengan rasionalitas yang dikembangkan oleh para cendekiawan muslim di abad delapan, sembilan dan sepuluh Masehi. Sehingga ketika melihat realitas kontemporer, ada sedikit sinyal yang menyatakan, bahwa masyarakat Islam kembali pada abad ke tujuh yaitu cenderung untuk menggunakan imajinasi sebagai landasan dalam menyikapi fenomena kehidupan. Oleh karena itu sebagai usaha untuk memulai rekonstruksi rasionalitas Islam, Zakî berusaha untuk menggairahkan kembali gerakan kembali ke teks, seperti yang dilakukan oleh Imam Ghazali. Secara garis besar digambarkan dalam surat al-Nûr ayat 35; "Allah pemberi cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya terdapat pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahayaNya siapa yang ia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Ayat di atas merupakan landasan Zakî utuk menjadikan aspek rasionalitas sebagai alternatif dalam menggali pemikiran klasik. Sebab siapapun tidak akan bisa sampai pada kenyataan yang akan datang, kecuali hanya melalui pergolakan akal. Bukan hanya berhenti di sini saja, karena akal menurutnya tidak hanya terformulasikan dalam bentuk-bentuk logika saja, namun justru merupakan sikap-sikap pragmatis. Oleh karena itu, ia menggambarkan Nur sebagai daya kognitif, sumber pengetahuan. Pada tahap pertama ada Misykât sebagai simbol perasaan, di dalamnya terdapat Mishbâh yang dilambangkan sebagai akal yang dapat mengetahui makna di balik perasaan. Dalam melaksanakan perannya, akal dibantu dengan Zujâjah yaitu daya khayalan yang diambil dari Syajarah Mubarakah yaitu ruh pemikiran yang memformat ilmu-ilmu akal. Syajârah ini yang kemudian disebut dengan wahyu Allah. Dari pandangan ini, kemudian ia melihat, bahwa perkembangan pemikiran dalam Islam dapat diklasifikasikan dalam tiga macam yaitu ; kebudayaan legendaris, kebudayan akal, dan kebudayaan wahyu.(17) Dari perkembangan kebudayan yang terakhir ini, ia melihat, bahwa kebebasan belum dilaksanakan sepenuhnya. Ini adalah komplikasi yang paling nampak dalam realitas masyarakat. Islam. Kebebasan menurut kaca modern masih cenderung melihat aspek perbudakan. Oleh karena itu seseorang berada di antara dua pilihan yaitu sebagai individu yang bebas atau hamba yang dipungut oleh orang lain. Sebagai langkah aplikatif, Zakî menuntut bagaimana agar pemerintah dapat menjamin kebebasan rakyat serta melepaskan jaket “khalifah” dan “Amîr” yang senantiasa mendeteksi seseorang dengan tanpa perhitungan.(18) Oleh karena itu, pendekatan pertama yang dikembangkan untuk merekonstruksi rasionalitas di tengah-tengah umat Islam yaitu dengan mereformasi pemahaman orang-orang elit kekuasaan atas kebebesan setiap individu dalam mengembangkan gagasannya. Selain aspek di atas, Zakî juga menitikberatkan pada urgensi perubahan secara radikal yang berangkat dari sosial Islam sendiri. Antara lain : 1. Dari Pemikiran Klasik Menuju Pemikiran Baru Dalam buku Mîzân al-’Amal, Imam Ghazâlî meletakkan sebuah asas yang dengan sendirinya ingin membangun di atasnya sebuah konstruksi. Dalam buku ini, Imâm Ghazâlî mengatakan, bahwa kebahagiaan tidak akan diraih, kecuali hanya dengan ilmu dan amal. Ilmu menurut Ghazâlî memiliki konotasi; mengetahui Allah, sifat, malaikat, kitab, rasul. Sedangkan amal yang dimaksud yaitu memerangi hawa nafsu, sehingga hambatan-hambatan yang mengganggu manusia untuk mengetahui Allah dapat diantisipasi. Dengan demikian kebahagiaan yang dikehendaki oleh Ghazâly yaitu kebahagiaan ukhrawy yang berusaha untuk meninggalkan unsur-unsur keduniaan yang di dalamnya terdapat banyak beban. Secara implisit, Zakî sepakat dengan Ghazâly, bahwa kebahagiaan tidak akan dicapai kecuali dengan ilmu dan amal. Namun ilmu dan amal versi Ghazâly, menurut Zakî, tidak memiliki simbiose mutualistis dengan signifikasi kekinian. Karena kebahagiaan yang dimaksud sekarang ini yaitu kebahagiaan dunia, bukan kebahagiaan akhirat versi Ghazâly. Oleh karena itu, ilmu yang dikehendai yaitu ilmu-ilmu alam, baik fisika maupun kimia. Sedangkan amal yang dimaksud yaitu ekperimen-ekperimen yang dilakukan di laboratorium, yang pada akhirnya akan melahirkan penemuan-penemuan spektakuler. Dengan demikian, untuk pindah dari pemikiran klasik ke pemikiran baru yaitu dengan menggunakan lafadl-lafadl yang menunjukkan tema-tema umum supaya selaras dengan zamannya.(19) 2. Bahasa sebagai Starting Point 3. Dari Peradaban Ungkapan Menuju Peradaban Tindakan. 4. Perpindahan dari Ungkapan Menuju Signifikasinya. Dari pemikiran di atas, Zakî berusaha untuk merekonstruksi pemahaman seseorang terhadap pesan pesan agama yang senantiasa dilontarkan, tapi kadang-kadang belum bisa berasimilasi dengan kenyataan. Usaha ini ia timba dari pemikiran barat dalam satu sisi, namun tak sedikit dari pemikiran Imam Ghazali yang kemudian dikemas dengan muatan kontemporer. Seperti dalam konteks daya kognitif, ia mengangkat pemikiran Imam Ghazali, namun pendekatan yang ia gunakan berbeda. Di mana Ghazali terlalu tekstual dalam menyikapi teks-teks al-Quran. Oleh karena itu, ia menggunakan pendekatan historis untuk menginterpretasi surat al-Nur tadi. Tidak sedikit gagasan Imam Ghazali yang ia ambil, namun tak sedikit pula yang ia kritik. Karena pada satu sisi, menurutnya, Imam Ghazali telah menanam saham atas kemunduran umat Islam. Di mana pada awalnya ia berusaha untuk mengajak mengembangkan akal, tapi pada akhirnya ia kembali dengan pemikiran-pemikiran sufistiknya. Sehingga dalam khazanah Islam, tidak ada pemikiran orisinilnya kecuali hanya adab makan, adab tidur dan lain-lain.(23) IV. Realitas : Stasiun Pemikiran yang Terakhir Akhir-akhir ini banyak jargon yang muncul, di antaranya: Islam alternatif, Islam Sebuah Solusi, Islam agama universal dan lain-lain. Namun masalahnya rumit, karena ternyata untuk menumpahkan ajaran Islam ke bumi realitas tidak semudah yang diungkapkan. Sedangkan usaha yang dikerahkan sekarang hanya bersifat kuantitatif. Kenyataan ini juga membuat Zakî senantiasa berpikir untuk memberikan konstribusi pemikiran. Menurutnya, ketika melihat peta alam Islam luas, dari ujung tenggara di benua Asia, hingga ujung barat di sebagian besar benua Afrika, kemudian timbul sebuah pertanyaan; apa sebenarnya yang melatarbelakangi kendaraan peradaban Islam mundur? Dari pertanyaan inilah, Zakî menulis sebuah buku yaitu Ru’yah al-Islmiyah dan Tsaqafatuna fi muwajahah al-’Ashr sebagai responbilitas terhadap realitas. Dari sekian pemikiran cemerlangnya dalam menyikapi realitas, yaitu ketika ia mensinyalir Ana al-sajid wa al-masjid. Gagasan ini ia ambil dari percakapan dua orang India yang bercambang lebat. Dari statemen di atas ia menemukan saatu nilai ajaran realitas dalam Islam. Di mana Islam tidak hanya dipraktekkan dalam masjid saja. Karena secara kongkrit Tuhan berada di setiap tempat dan kapan saja. Oleh karena itu, implementasi ajaran Islam tidak mengenal tempat, di manapun berada Islam tetap eksis untuk berasimilisi dengan realitas. Ini erat kaitannya dengan ibadah yang merupakan landasan utama diciptakannya manusia. Dengan demikian, ibadah harus diinterpretasikan dalam arti yang lebih luas. Ibadah tidak hanya berupa inplementasi teks-teks al-Quran. Karena dalam Islam sendiri ada dua kitab, yaitu al-Quran dan alam ini.Oleh karena itu, seseorang menjadi muslim dalam satu sisi, namun di sisi lain, juga sebagai ilmuwan. Menurut Zakî, bahwa seorang muslim yang hakiki membawa prinsip-prinsip akhlak dalam hatinya di manapun ia berada, sebelum masuk masjid dan setelah keluar dari masjid.(24) Bahkan dalam konteks akidah, Zakî melakukan interpretasi yang agak bebas. Misalnya dalam konsep tauhid, ia mengajak untuk melihat tauhid dalam konteks kemanusiaan. Oleh karena itu, tauhid yang dimaksud yaitu penyatuan kepribadian manusia dan penyatuan ilmu-ilmu yang beraneka ragam.(25) V. Penutup Dengan kekayaan yang terkandung dalam ajaran Islam, hendaknya umat Islam berusaha untuk menggalinya. Terutama ajaran rasionalitas yang jelas-jelas beranjak dari teks al-Quran. Lebih dari itu, agar dapat beberapa pertanyaan yang muncul di tengah-tengah realitas. Barangkali ini inti dari pemikiran Zakî yang secara garis besar telah memberikan berbagai macam obat untuk menyembuhkan beberapa penyakit kekinian, kendatipun dalam satu sisi, kadangkala Zakî masih melingkari pembahasannya pada kawasan Arab saja. Tapi bagaimanapun Zakî sudah berbuat untuk masa depan Islam dan umatnya sekaligus. Catatan Kaki :
|
www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt |