[  A r t i k e l ]


REFORMASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
(Mencermati Peran Umat Islam dalam Sejarah Reformasi)
Oleh: Zuhairi Misrawi

I. Pendahuluan

Cobaan yang sangat mengganjal penduduk negara-negara Asia Tenggara -termasuk di antaranya Indoneisa- di penghujung abad XX yaitu merebahnya krisis dalam pelbagai aspek kehidupan, baik politik, ekonomi dan sosial budaya. Secara riil hal ini merupakan agenda baru yang menuntut seluruh pihak untuk ikut memikirkan; kira-kira “apa dan bagaimana” terapi untuk memulihkan kembali situasi nasional, minimal rakyat bisa survive untuk melakukan aktifitas kesehariannya sesuai dengan spesialisasi masing-masing serta-merta hak-hak mereka dapat dipenuhi.

Maka berangkat dari krisis, muncul sebuah pemikiran bahwa sudah semestinya dilakukan upaya-upaya reformasi dalam bidang-bidang yang berhubungan dengan hajat masyarakat luas, yang akhirnya dipelopori dengan lengsernya presiden Soeharto dalam pemerintahan nasional. Demontrasi bergejolak di mana-mana, menuntut secepatnya agar dilakukan reformasi. Menurut kaca mata masyarakat akar rumput (grass root), reformasi merupakan urat nadi stabilitas dan kesinambungan suatu negara. Maka menunda-nunda reformasi, sama halnya dengan menunggu datangnya kerusakan dan kehancuran. Intinya, reformasi merupakan kebutuhan primer di tengah-tengah semilirnya angin krisis di pelbagai bidang kehidupan.

Untuk itu, dalam rangka menyikapi kondisi obyektif yang bergulir di tanah air, perlu sumbangsih pemikiran dan dialog konstruktif dari semua kalangan, sehingga pluralisme yang ada mampu mengoptimalkan konsep masing-masing, dengan catatan aspek kebersamaan dan upaya penyatuan barisan menjadi acuan untuk merealisasikan apa yang dicita-citakan oleh masyarakat. Di sini, umat Islam dituntut untuk berbuat lebih besar, sebagai penganut agama rahmatan li al-alamien supaya melahirkan sejuta konsep dalam mewujudkan masyarakat sipil (civil society) yang mampu mengatasi gejala-gejala dehumanisasi, seperti yang terjadi di tanah air baru-baru ini. Oleh karena itu, perspektif Islam dalam reformasi melalui jendela-jendela sejarah sangat mendesak untuk disampaikan. Dalam hal ini ada dua maksud yang ingin disampaikan dalam tulisan ini, Pertama, bahwa sudah semestinya kita mengetahui style reformasi dalam sejarah perkembangan Islam. Karena dengan sejarah, kita akan termotivasi untuk mencari kisi-kisi baru dalam reformasi, tentunya dengan melakukan studi komparatif antara reformasi yang dilakukan pada zaman dahulu dengan reformasi yang sedang kita perjuangkan. Kedua, timbulnya semangat baru untuk menciptakan tatanan masyarakat ideal. Apabila umat Islam pada zaman dahulu dengan kontemplasinya terhadap teks-teks keagamaan dan realitas mampu melakukan reformasi, maka orang-orang yang hidup setelahnya -kini dan masa mendatang- harus lebih baik dari mereka.

Dengan demikian, sasaran utama tulisan ini ingin mengajukan visi-visi baru dalam konteks reformasi yang bersumber dari teks-teks keagamaan dan sejauhmana umat Islam mampu memahami dan mengimplementasikan teks-teks tersebut, sehingga mampu menciptakan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Hal ini sangat penting dalam rangka meletakkan Islam sebagai agama yang subur dengan nilai-nilai yang sudah barang tentu dituntut untuk berperan lebih besar dalam memecahkan problematika kemanusiaan.

II. Reformasi Menurut Perspektif Islam

Reformasi adalah perubahan kepada yang lebih baik. Antonim dari kata reformasi adalah deformasi. Oleh karena itu, gerakan reformasi merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh sekelompok manusia untuk memperbaiki praktek-praktek dehumanisasi dan amoral, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam pelbagai bidang kehidupan, sebagai upaya membangun kehidupan yang lebih makmur dan sentosa.

Dalam perspektif pemikiran sosial barat, ditemukan perbedaan antara reformasi dan revolusi. Revolusi menurutnya yaitu perubahan secara total dan komprehensip, sedangkan reformasi adalah perubahan secara parsial dan periferal. Di sini bisa dianalisa, bahwa pemikiran sosial barat berusaha untuk menyempitkan konotasi reformasi. Tapi apabila dilihat dari perspektif Islam, bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang mencolok antara reformasi dan revolusi, baik dari aspek kedetailan perubahan yang dilakukan maupun keluasan cakupannya. Hanya saja kita dapatkan sedikit perbedaan dalam instrumen operasionalnya. Misalnya dalam skala mayoritas, revolusi identik dengan menggunakan cara kekerasan, sedangkan reformasi tidak seperti itu. Namun kendatipun demikian, kedua istilah tersebut mempunyai sasaran yang cukup mendetail, total dan komprehensip, tidak parsial seperti yang didengungkan oleh barat. Reformasi dalam Islam berjalan secara proses atau menurut B.J. Habibie reformasi adalah proses evolusi yang dipercepat. Reformasi harus dimulai dari manusia sebagai pelaku. Oleh karena itu sebelum melakukan perubahan yang total dan detail dalam sebuah masyarakat, syarat utama yang perlu dilakukan yaitu perubahan pada diri manusia.(1)

Maka dari itu, ajaran-ajaran yang dibawa oleh para Rasul disebut dengan panggilan-panggilan reformasi (Da'awat al-Ishlah) yaitu upaya-upaya yang bertujuan untuk mewujudkan perubahan dari akar atau realitas yang lebih optimal. Nabi Syu'aib menyatakan bahwa dakwah yang disampaikan kepada penduduk Madyan hanya sebagai upaya reformasi (al-Ishlah).(2) Nabi Musa mewanti-wanti kepada nabi Harun as, sebagai khalifahnya agar mentradisikan reformasi dan menjauhi jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.(3) Ini artinya, bahwa sejak dahulu kala tabi'at manusia cenderung untuk melakukan hal-hal yang tidak wajar, di luar batas kemanusiaannya. Sehingga tidak aneh apabila kezaliman, kepongahan, kerusakan dan keangkuhan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, Allah dengan kekuasaanNya menurunkan nabi dan rasul untuk menjadi reformer yang di antara tugasnya menebarkan benih-benih kebaikan dan menumpas kebatilan.

Dalam konteks reformasi yang menyeluruh, al-Qur'an dan Hadis senantiasa mengajarkan kepada umat untuk mensosialisasikan amar ma'ruf nahi munkar sebagai karakteristik umat alternatif. Allah berfirman, “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah”. (4) Reformasi yang disebut oleh teks-teks agama harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat -tanpa terkecuali kalangan elite, menengah maupun arus bawah- serta seluruh aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial-budaya. Rasulullah bersabda, “Kalau seandainya Fatimah mencuri, niscaya akan saya potong tangannya”. Reformasi sejak zaman nabi tidak pandang bulu, baik itu sanak keluarga maupun orang lain harus disamaratakan, berlandaskan keadilan dan kemaslahatan umum. Karena menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan atau kemungkaran tidak mengenal keturunan dan golongan tertentu (nepotisme). Dari diskripsi di atas jelas bahwa Islam sebagai agama universal telah menggarisbawahi ajaran reformasi sebagai salah satu tiang atau prasyarat dalam membangun sebuah masyarakat ideal. Tanpa reformasi, negara yang utama niscaya tidak akan dapat diwujudkan (al-Madinah al-Fadlilah).

III. Paradigma Reformasi dalam Sejarah

Empat abad pertama dalam sejarah Islam merupakan masa puncak kejayaan umat yang telah menorehkan tinta emas, baik dalam bidang ilmu maupun peradaban secara umum. Menurut para sejarawan umat Islam hampir mendirikan negara adikuasa. Ruang lingkup keilmuannya telah mampu mengakumulasikan ilmu-ilmu India, Persia, Yunani dan Romawi, kemudian umat melakukan upaya-upaya konvergensi dan melahirkan kreasi-kreasi baru. Sejarah mencatat bahwa Baghdad, Mesir, Damaskus, Cordova merupakan basis peradaban yang terbesar di dunia. Sehingga tak ayal apabila orang-orang barat datang berbondong-bondong untuk mengambil ‘ibrah, mempelajari peradabannya dan melakukan kodifikasi.

Namun kondisi tersebut tidak berjalan secara linier. Pasca empat abad awal, umat dirundung kemunduran, kelemahan dan keterbelakangan. Kekacauan yang melanda umat Islam membuka peluang bagi orang-orang lain untuk melakukan ekspansi dan eksploitasi, sehingga datanglah perang Salib yang mampu menyingkirkan Asia Kecil dan menguasai Yerussalem. Pada abad ke XVII M. Mongolia mampu menguasai sebagian besar negara-negara Islam. Maksud mereka bukan hanya sekedar imperealisme, tapi juga merusak peradaban, ilmu dan seni yang berada di Baghdad. Pada akhir abad ke XVIII seorang pelancong dari Prancis, Moseu Volney berkunjung ke Mesir dan tinggal di Syam selama empat tahun, berkata, “Sesungguhnya kebodohan yang menimpa negara ini cukup global, hal tersebut terlihat dalam seluruh aspek kebudayaan dan produksinya, sehingga apabila jam tangan kamu rusak, maka kamu tidak menemukan orang yang dapat memperbaikinya, kecuali hanya orang asing”.(5)

Pada saat itu pemerintahan Mesir khawatir untuk melegalisasikan belajar matematika dan fisika. Suatu ketika pemerintah bertanya kepada Syaikh al-Azhar, Syaikh Muhammad al-Ambabi, “Apa hukumnya umat Islam mempelajari ilmu-ilmu matematika dan ilmu pengetahuan lainnya?”, dengan penuh hati-hati syaikh menjawab, “Sesungguhnya hal itu boleh-boleh saja dengan syarat manfaat dan mempelajarinya harus diperjelas”.(6) Jawaban ini bisa diinterpretasikan, bahwa ilmu-ilmu tersebut seakan-akan bukan kreasi umat Islam.

Dengan ini, umat Islam berada pada posisi yang termarjinalkan. Umat Islam tidak lagi berhubungan dengan Eropa, sebagaimana dialog keilmuan yang masyhur pada pemerintahan Abbasiah, antara Harun al-Rasyid dengan orang-orang Yunani.Umat Islam tidak lagi konsern dengan ilmu pengetahuan, produksi dan sistim pemerintahan, tapi justru mereka konsern dengan buku-buku fikih, nahwu dan sharaf an sich. Ilmu menurut umat Islam pada saat itu hanya sekedar buku-buku keagamaan yang simbolistik, kalimat yang diungkapkan, manuskrip yang dihafalkan, atau tulisan-tulisan yang diuraikan dan diperjelas. Begitu halnya dalam hal politik, mereka hanya memahaminya sebagai konflik yang berkepanjangan antara pemimpin. Setiap pemimpin mempunyai partai, dan setiap partai mengintai kawasan rivalnya. Sehingga pemerintahan diidentikkan dengan kepentingan pribadi, kezaliman dan kekerasan. Dan nampak secara riil, umat Islam diibaratkan kakek tua yang keropos terhempas angin peristiwa. Islam telah kehilangan wibawa dan eksistensinya, Islam dipahami sebagai praktek-praktek formalitas, yang tidak sensitif dengan ruh kenyataan dan kekinian. Keberhasilan dalam hidup bukan karena kesungguh-sungguhan dalam bekerja, namun karena memohon dari kuburan dan minta tawassul dari para wali-wali.(7)

Berdasarkan kondisi obyektif umat Islam tersebut, maka lahirlah para reformer berusaha untuk memperbaiki keterbelakangan dan kekacauan yang dihadapi umat. Karena kalau tidak diambil sikap antisipatif, maka umat akan semakin ketinggalan kereta peradaban, di mana barat telah terlalu jauh meninggalkan kita. Dengan ilmu dan kebebasan, barat maju dalam hal produksi dan mampu menemukan teori-teori baru, sehingga mampu melahirkan peradaban serta merta melakukan tekanan-tekanan terhadap negara-negara berkembang, yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Untuk itu, reformasi merupakan sebuah tuntutan.

    a. Peran Para Reformer dalam Memecahkan Problematika Umat.

    “Manusia adalah makhluk yang bersejarah.” Secara aksiomatis pernyataan ini bisa diterima akal, tanpa harus dijabarkan lebih panjang. Manusia dengan dinamika yang bergonta-ganti dalam hidupnya telah menyimpan pelbagai peristiwa/kejadian yang nota bene sarat dengan problematika. Hal ini merupakan kandungan filosofis dari kehidupan, di dalamnya terdapat kebaikan dan kejahatan. Maka untuk mengantisipasi hal tersebut, dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa setiap seratus tahun Allah Swt. akan mengutus orang yang akan memperbarui agamanya.

    Di sini, seorang reformer membawa tugas yang berat untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dalam lingkungan di mana ia hidup. Pertama, risalah ketuhanan seperti yang diamanatkan oleh hadis tersebut, bahwa kejahatan yang tergolong sebagai patologi sosial harus diberantaskan dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua, risalah kemanusiaan. Bahwa hak-hak asasi manusia harus dijunjung tinggi untuk mewujudkan stabilitas hidup dan keadilan yang hakiki. Karena selama kebebasan berpendapat, memilih, bersikap belum teralisasikan, maka mustahil sebuah tatanan masyarakat bisa berjalan stabil dan normal.

    Untuk melihat peran reformer dalam sejarah Islam, maka perlu disampaikan beberapa kontribusinya dalam menyikapi pelbagai permasalahan yang bergulir dalam masyarakat. Dalam bidang politik, kita mengenah istilah totaliter, otoritier dan diktator yaitu pemerintahan yang mempunyai kekuasaan mutlak, terutama diperoleh melalui kekerasan atau dengan cara yang tidak demokratis. Praktek yang semacam ini merupakan salah satu trik penguasa yang berkembang dalam sejarah umat untuk merealisasikan kepentingan pribadinya. Oleh karena itu al-Kawakibi ketika melihat gerak-gerik pemerintah yang totalitarian dan diktator, serta tidak berpedoman kepada hukum dan keinginan rakyat, ia langsung melakukan reformasi. Menurutnya pemerintah yang diktator adalah lawan dari kebenaran dan kebebasan, bahkan justru membunuhnya.(8)

    Karakteristik dari kediktatoran seorang pemimpim yaitu tidak menghendaki adanya ilmu. Karena ilmu adalah cahaya, sedang pemimpin diktator menginginkan agar rakyatnya hidup dalam kegelapan. Dengan kepongahan rakyatnya ia dengan bebas dan mudah dapat melaksanakan kekuasaannya. Semakin bodoh sebuah masyarakat, semakin mudah penguasa diktator untuk merampas harta mereka dan kemudian mensedekahkan sebagiannya saja kepada rakyat supaya dikatakan dermawan. Pemerintahan diktator akan mempengaruhi terhadap ekonomi sebuah negara, sehingga tidak aneh apabila krisis ekonomi dengan cepat menimpa sebuah negara. Selain itu, pemerintah diktator berusaha untuk menghilangkan nilai-nilai keutamaan yang hakiki dalam diri manusia dan menggantikannya dengan kepentingan-kepentingan semu. Dalam hal ini, sistem yang digunakan dalam pemerintahannya yaitu dimulai dari bawah ke atas(bottom up). Artinya tunduk kepada atasan dan diktator kepada bawahan. Sehingga yang terjadi adalah berpacu untuk menaikkan pangkat, bukan kebersamaan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dengan demikian, pemerintahan otoriter dan diktator sama sekali tidak menampakkan demokrasi dan keadilan sosial. Karena sistem pemerintahannya dimotori oleh segelintir orang yaitu orang-orang yang mempunyai visi dan gagasan yang sama.

    Konsekuensi logis dari kediktatoran akan merusak moral dan akhlak suatu masyarakat. Karena keutamaan dan kemanusiaan sudah dipolesi dengan kepentingan sekelompok orang saja. Justru menurut al-Kawakibi bahwa kediktatoran telah mencemarkan esensi akhlak, kemunafikan menjadi politik, dan merubah keberanian serta kemuliaan seseorang menjadi penakut dan kikir. Di samping itu kediktatoran akan melarang kemajuan suatu kaum. Karenanya, pemerintah diktator senantiasa mengawasi rakyatnya supaya tidak melebihi kekuasaanya atau bahkan iingin menguasai seluruh kekayaan yang ada di bawah tampuk kepemimpinannya.

    Melihat akses negatif dari kediktatoran tadi, maka sebagai pendidikan politiknya para reformer dalam sejarah reformasi berusaha untuk menghilangkan sistem ini dalam sebuah pemerintahan. Misalnya al-Kawakibi ketika menghadapi ‘Arif Pasya yang diktator pada waktu itu, ia menulis sebuah buku yang berjudul, thaba’i’ al-istibdad (tradisi-tradisi kediktatoran). Begitu pula Muhammad Abduh sangat tidak menyetujui kediktatoran pemerintah pada masanya. Secara naluriah, kedikatoran telah menyalahi nilai-nilai kemanusiaan yang diciptakan untuk bermasyarakat, saling menghargai dan saling membantu, tanpa ‘ada udang di balik batu’. Lebih dari itu, Islam dalam pendidikan politiknya secara gamblang telah mengajarkan keadilan, persamaan hak dan kemerdekaan.

    Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh dalam konsep al-Jami’ah al-Islamiyah mengutarakan, bahwa dalam Islam tidak ada pemerintahan teokratis, namun justru berdiri atas dasar-dasar demokrasi yaitu senantiasa memelihara kepentingan umum.(9) Menurut Muhammad Abduh, dalam berpolitik ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu kebebasan berpendapat, kebebasan berbicara dan kebebasan memilih. Kebebasan berpendapat yang dimaksud yaitu pendapat yang berdasarkan qiyas, sesuai dengan hikmah serta mempunyai subtansi dan nilai kebenaran. Kebebasan berbicara yaitu pembicaraan yang mempunyai tujuan baik dan tidak menyinggung perasaan, sedangkan yang dimaksud dengan kebebasan memilih yaitu memilih untuk kemaslahatan banga dan negara.(10)

    Untuk mengejawantahkan hal tersebut, al-Qur’an dengan tegas menyeru agar kediktatoran dihilangkan di permukaan bumi dengan cara syura (bermusyawarah).(11) Konsep syura dalam Islam adalah cukup demokratis, karena aspirasi dapat disalurkan dengan jalan musyawarah dan pijakan kebersamaan.

    Dalam makna filosofis la ila ha illa Allah, kita bisa memahami bahwa yang berhak untuk dianggap sebagai penguasa otoriter hanya Allah Swt. saja. Semua makhluk harus tunduk atas kekuasaan dan kehendakNya. Semua makhluk lemah di hadapanNya. Oleh karena itu selain Allah Swt, semuanya egaliter berpredikat makhluk. Menurut, al-Kawakibi, kalimat ini semakin hari semakin kering dan makna filosofisnya semakin ditinggalkan umat. Barangkali inilah terapi teoritis yang dikembangkan oleh para reformer dalam sejarah Islam, baik Ali Mubarak, Jamaluddin al-Afghani, Qasim Amien, Abdullah al-Nadim dan lain-lain.(12)

    Dalam terapi praktisnya, para reformer sepakat bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan satunya-satunya jalan untuk mencetak kader-kader yang peka terhadap fenomena sosial. Menurut Dr. Toha Husein bahwa pendidikan dan pengajaran ibarat air dan udara, tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia. Karena semakin dewasa cara berpikir sebuah masyarakat, maka dialog konstruktif akan tercipta untuk mencapai cita-cita negara, bukan sebaliknya seperti yang dikehendaki pemerintahan otoriter. Maka dari itu Muhammad Abduh mengatakan, “Barang siapa yang menginginkan kemakmuran sebuah negara, maka satu hal yang harus diupayakan yaitu profesionalisasi pendidikan. Kalau hal ini dipenuhi, maka hal-hal yang diinginkan akan tercapai tanpa mengeluarkan daya pikir dan daya otot yang melelahkan.” (13)

    b. Reformasi dalam Bidang Pemikiran

    Permasalahan serius yang dihadapi umat pada saat ini yaitu krisis pemikiran kontemporer. Dalam konteks krisis pemikiran kontemporer ada tiga hal; Pertama,umat dirundung lenyapnya kejelasan visi. Kedua, umat nampak lemah. Kuantitas yang besar bagaikan buih yang mengalir tidak membekas. Ketiga, umat dilanda kemiskinan dalam berkreasi, karena umat cenderung untuk melihat secara individual dan antipati pada proyek peradaban.(14) Di sini dapat diambil benang merah, bahwa masalah keterbelakangan umat disebabkan ulah mereka sendiri. Sehingga ijtihad di kalangan belum menjadi bahasa verbal yang optimal. Munculnya pemikiran-pemikiran baru sangat minim, karena toh walaupun ada, berusaha untuk dikafirkan, dikarenakan tidak sependapat dengan pemikiran para ulama-ulama terdahulu. Atau ‘kebenaran’ sudah dipolitisir oleh pemuka agama. Oleh karena itu, pada satu sisi Muhammad Abduh melihat bahwa keterbelakangan umat, tidak bisa dipungkiri, ada faktor politis yang diinginkan oleh para ulama dan penguasa.

    Dalam hal ini untuk melakukan reformasi dalam bidang pemikiran ada tiga langkah yang diajukan oleh Muhammad Abduh; Pertama, membebaskan akal dari tali-tali taklid dan memahami agama sebagaimana salaf selum terjadinya khilaf. Dan berusaha untuk kembali menelusuri sumber-sumber pengetahuan yang orisinil sebagai upaya untuk mengoptimalkan akal manusia dalam menyingkap rahasia-rahasia alam dan hikmah Tuhan di muka bumi dengan menghormati hakekat yang mutlak serta merta mencari argumentasi di balik itu. Kedua, membedakan antara hak negara untuk ditaati dan hak keadilan bagi rakyat. Timbal balik antara arus atas dan arus bawah dalam rangka mereformasi pemikiran sangat urgen. Dr. Zaki Naguib Mahmud melihat, bahwa peran arus atas (pemerintah) dalam melendingkan kebebasan berpikir dan berpendapat sangat diperlukan. Dalam kesempatan lain Muhammad Abduh berkata:

    Puncak kesempurnaan agama terletak pada dua hal penting. Pertama, kebebasan bersikap. Kedua, kebebasan berpikir. Apabila dua hal di atas dipenuhi, sempurnalah seseorang untuk menjadi manusia. Hal inipun akan memberikan dorongan untuk menyampaikan apa yang disediakan oleh Allah sesuai dengan fitrah dan kemampuannya. Sebagian filsuf barat modern menyatakan, “sesungguhnya perkembangan modernitas di Eropa berdiri tegak atas dasar ini. Maka jiwa tidak akan sanggup untuk bekerja, akal tidak akan berfungsi sebagai alat untuk menganalisa, setelah mengetahui banyak tentang apa yang ada dalam dirinya, dan ia berhak untuk melakukan ikhtiar dengan kemampuan rasionya untuk mencari kebenaran”. Pemahaman semacam ini ternyata belum sampai kepada generasi kita kecuali pada abad 16 masehi. Mereka dengan tegas menyatakan, “Sesungguhnya hal di atas merupakan cahaya yang terang menderang yang muncul dari para pemikir muslim itu sendiri”.

    Islam sama sekali tidak membenarkan sikap para agamawan ketika mereka memperkosa hak para pemeluk agama untuk memahami kitab-kitab samawi. Mereka ( para agamawan ) menggunakan hak monopolui dalam hal ini, sehingga mereka menyepelekan beberapa pendapat yang datang dari kalangan bawah. Di samping itu, mereka mengklaim, bahwa merekalah yang berhak untuk menduduki kursi ‘suci’ tersebut. Maka teks-teks yang disuruh untuk dipahami oleh pemeluk agama sangat minim. Itupun dengan satu catatan, mereka (pemeluk agama) tidak boleh membahas secara detail sehingga keluar dari inti pembahasan. Dengan sikap ekstrim, kemudian mereka larut oleh sikap para pemuka agama serta merta tidak mencoba untuk memahami teks al-Qurân secara mendetail, yaitu dengan menyatakan adanya keterbatasan kapabilitas pemahaman terhadap yang ada dalam teks “syari’at dan Nubuwwât”. Antara pemuka agama dan pemeluk agama memiliki sikap dan pandangan yang sama yang mempercayai adanya suara dan huruf yang didengar. Mereka tidak mendapatkan hikmah dari turunnya kitab. Atau mereka lebih banyak mendengarkan atau membaca apa yang ada dalam kitab saja daripada merenungi isinya.(15)

    c. Reformasi dalam penggunaan bahasa Arab, baik dalam bahasa-bahasa resmi maupun pers.

    Di sini, Muhammad Abduh melihat bahwa untuk memahami ajaran Islam yang orisinil perlu pengetahuan bahasa Arab yang baik. Karena bahasa merupakan faktor pendukung dalam proses empati terhadap Islam.(16)

Ketiga hal tersebut merupakan kunci-kunci dasar untuk mengembalikan identitas umat yang senantiasa melahirkan pemikiran-pemikiran fleksibel dan sesuai dengan tuntutan zaman. Bukankah Muhammad Abduh pernah berkata, “Apabila terdapat pertentangan antara akal dan teks, maka akal harus didahulukan dari pada teks”. Pernyataan ini tidak lain hanya untuk menghidupkan kembali rasionalitas yang pernah jaya di empat abad pertama dalam Islam. Pean untuk melakukan kreasi-kreasi baru sebenarnya terdapat pada profile Rasulullah Saw. Nabi Muhammad Saw pada satu sisi sebagai Rasulullah yang bertugas untuk menerima dan menyebarkan wahyu-wahyu kepada umat, namun pada sisi lain Ia juga sebagai politikus yang mempunyai ijtihad-ijtihad tersendiri dengan jalan musyawarah.

Dengan demikian melahirkan pemikiran yang sesuai dengan tuntutan kontemporer merupakan salah satu paket dari reformasi yang semestinya diagendakan umat.

IV. Kontribusi Garapan Reformasi dalam Konteks Keindonesiaan

Upaya-upaya reformasi yang dilakukan di tanah air sebenarnya sudah hampir pada kematangan. Karena sebagian lembaga, instansi dan organisasi senantiasa mendiskusikan untuk memberikan sumbangsih pemikiran dalam hal reformasi. Tapi alangkah baiknya apabila penulis ikut urun rembuk dalam mengajukan beberapa tawaran dalam konteks reformasi, sehingga sebagai kader bangsa bisa berbuat yang lebih maksimal dalam membangun Indonesia Baru. Dalam hal ini dari tulisan di atas, penulis mempunyai kontribusi garapan reformasi dalam konteks ke-Indonesia-an. Pertama, bahwa dalam hal perbedaan seputar visi terhadap reformasi perlu diadakan dialog dan purifikasi yang mengarah pada ke-Bhineka-an. Hal ini menurut penulis belum berjalan secara optimal. Yang nampak di pelupuk mata, bahwa gerakan reformasi masih bercampur baur dengan kepentingan-kepentingan golongan tertentu, terlepas dari niat baik. Misalnya, pluralisme partai —yang menurut data sudah mencapai 68 partai— mencerminkan pluralisme yang kurang aspiratif. Yang perlu dipikirkan justru bagaimana mengakumulasikan aspirasi-aspirasi yang datang dari pluralisme partai tadi. Kedua, bahwa yang harus diprioritaskan dalam langkah reformasi yaitu pemecahan terhadap masalah-masalah yang sangat mendesak. Artinya bentuk-bentuk yang formalistik dan simbolistik hendaknya dinomerduakan. Sebab sekarang kita sedang berpacu dengan waktu. Oleh karena itu, perlu penyatuan barisan untuk saling mengkerucutkan pembahasan reformasi seputar masalah-masalah yang krusial. Ketiga, bahwa dalam masa reformasi ini sensitif memunculkan emosi dari kalangan arus bawah. Maka dari itu, perlu diadakan pendewasaan pendidikan politik. sehingga rakyat tidak terbawa emosi dikarenakan hal-hal yang sifatnya sekunder dan lebih dari itu untuk menghindar dari disintegrasi. Keempat, bahwa selain konsep-konsep yang brilian tentang reformasi, juga dibutuhkan mental-mental pemimpin yang merakyat atau membumi di kalangan masyarakat Indonesia. Sehingga visi tanggung jawab lebih didahulukan dari pada visi individual dan kepentingan.

Dengan demikian, reformasi merupakan risalah suci yang harus dimulai dari pribadi masing-masing dan kemudian meliputi seluruh lapisan masyarakat. Pada intinya setiap kalangan harus menyadari perlunya kebersamaan dalam hidup bermasyarakat.

V. Penutup

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan dalam tulisan ini, semoga bisa menyegarkan pikiran kita untuk menelurkan sejuta sumbangsih pemikiran dalam rangka mengembalikan identitas umat pada posisi semula, sekaligus dalam rangka melihat masa depan yang kompetetif. Era globaliasi ini membuat kita harus berpacu, siapa yang cepat maka ia akan dapat merasakan manfaatnya. Dalam kaitannya dengan reformasi, maka sudah barang tentu jerih payah kita, baik berupa pikiran dan sikap sangat dibutuhkan untuk merumuskan konsep-konsep baru dan selanjutnya bagaimana merealisasikannya dalam kehidupan yang riil. Hidup reformasi..!!!!

Catatan Kaki:

  1. Imarah, Dr. Muhammad, Ma’rakah al-Musthalahat bayn al-Islam wa al-Gharb, Nahdlah Misr, Kairo, 1997, halaman 134.
  2. Q.S. Hud 11:88
  3. Q.S. al-’A’raf 7:142
  4. Q.S. al-Imran 3:110
  5. Amien, Ahmad, min Zu’ama’a al-Ishlah, Hay’ah al-Mishriyah al-’Ammah li al-Kitab, Kairo, 1996 halaman 5
  6. Amien, Ahmad, Ibid.
  7. Amien, Ahmad, Ibid. halaman 7
  8. Amien, Ahmad Ibid. halaman 42-44
  9. Imarah, Dr. Muhammad, al-’A’mal al-Kamilah al-Imam Muhammad Abduh, Dar el-Shorouk, Kairo, 1993, halaman 105-120.
  10. Imarah, Dr. Muhammad, Ibid 378
  11. Q.S. ali Imram 3:159, Q.S. al-Syura 42:38
  12. Amien, Ahmad, Op.cit halaman 41
  13. Imarah. Dr. Muhammad, Op.cit halaman 37
  14. Imarah, Dr. Muhammad, Azmah al-Fikr al-Islamy, Dar el-Syarq al-Awsath, Kairo, halaman 9
  15. Imarah, Dr. Muhammad, al-A’mal al-Kamilah al-Imam Muhammad Abduh, halaman 570
  16. Imarah, Dr. Muhammad, Ma’rakah al-Mushthalahat bay al-Islam wa al-Gharb, halaman 136-137


www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt