[  A r t i k e l ]


Ke Arah Rekonstruksi Ilmu-Ilmu Al-Qurân
Membaca Kembali Konsep Teks ‘Ala Nashr Hamid Abu Zayd
Oleh : Zuhairi Misrawi

Pendahuluan

Dalam khazanah trend pemikiran keislaman kontemporer, kasus Nashr Hâmid Abu Zayd masih menjadi polemik yang menarik. Kendatipun pada sisi lain, modus pemikirannya sudah lama dilontarkan ke pasar pemikiran, baik di lembaga pendidikan maupun di toko-toko buku. Barangkali yang menarik untuk diketahui, bahwa pertama, standar kehendak ‘membaca’ masih menjadi ‘mu’jizat’ yang sampai detik ini belum membumi di tengah-tengah masyarakat muslim. Sehingga yang bermunculan hanya interpretasi si ‘anu’, ketimbang interpretasi ‘ana’ atau dalam daerah hadis dikenal dengan qila yang identik sebagai simbol hadis dlaif. Kedua, tradisi ijtihad masih menjadi buah simalakama, karena harus diseragamkan dengan pendapat orang lain, dan apabila tidak senyawa akan menjadi bumerang bagi siapapun yang berijtihad. Ketiga, mayoritas kinerja masyarakat modern sembilan puluh persen masih berpusat pada kerja praktis, dari pada kerja konsepsional.(1) Sehingga ketika sebuah pemikiran kontroversial disampaikan pada khalayak ramai akan berbau politik.

Pro dan kontrapun mewarnai produk pemikiran Nashr Abu Zayd, yang secara lebih gamblang, nampak antara kubu universitas Kairo dan universitas Azhar. Struktur interpretasi yang terus berkembang, nampaknya semakin memperuncing keberpihakan, sehingga terjadi tarik-menarik yang kurang mencerminkan sebuah sosok manusia modern, yaitu sosok yang hanya mengekor sebuah format tertentu, tanpa mencari formulasi interpretasi yang lebih bisa diterima oleh banyak kalangan.

Adalah Dr. Abd. Shabûr Syâhîn, contoh yang dapat mewakili umat Islam dalam membuka pintu pemikiran yang cukup menghebohkan umat Islam di seantero alam ini (2). Sehingga wartawan GATRA menyebutnya sebagai Salman Rusydi-nya Mesir (3). Namun bagaimanapun kondisinya, sampai saat ini masih harus diadakan upaya yang lebih intens lagi untuk menelusuri lorong-lorong pemikirannya yang dianggap oleh ulama sebagai kawasan tabu. Sehingga dapat diambil benang merah, Apakah Nasr Abu Zayd telah memporak-porandakkan al-Qur'ân yang selama ini dipahami sebagai mu’jizat terbesar? Ataukah hanya sebagai corak dari sebuah pemikiran manusia yang sama-sama berusaha untuk mencari satu titik yaitu meraih kembali kejayaan umat Islam di zaman dahulu?

Berangkat dari latarbelakang permasalahan di atas, maka muncul keinginan penulis untuk memberikan seberkas cahaya agar nantinya dapat mewarnai upaya menyelami lautan pemikiran sang tokoh yang hingga detik ini nasibnya masih menjadi momok masyarakat muslim. Lebih dari itu, agar nantinya terbit sebuah cahaya baru yang dapat dijadikan ‘mitra’ dalam meraih mutiara yang tersimpan di balik karang khazanah pemikiran umat Islam yang orisinil.

Perjalanan Petualang Nashr Abu Zayd dari Qahâfah hingga Belanda

Tepatnya tanggal 19 Juli 1943 Nashr Abu Zayd lahir di sebuah desa yang berdekatan dengan jantung kota Thanthâ, Qahâfah namanya. Ia berasal dari sebuah keluarga biasa. Ayahnya sebagai petani, namun pada akhirnya sang ayah menjual sebidang tanahnya dan kemudian membuka toko kecil untuk menjual sebagian kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Ia adalah putra pertama dari tiga anak.

Sebagai pemikir muslim di Mesir, baginya mencari ilmu di usia muda adalah sebuah kebutuhan primer. Baginya bertandang ke kuttâb (lembaga pendidikan tradisional) untuk menghafal al-Qur'ân dan ilmu-ilmu lainnya adalah program harian yang tak dapat ditinggalkan begitu saja. Maka sudah menjadi konsekuensi logis, di usia yang cukup muda ia telah hafal al-Qur'ân. Ketika berumur 14 tahun ayahnya meninggal dunia, namun pesan sang ayah sebelum kematiannya, ‘Wahai anakku, kamu bukan anak kecil lagi, kalau seumpanya saya meninggal malam ini, di esok hari kamu harus pergi ke sekolah untuk mengikuti ujian, karena ujian ini merupakan tangga untuk dapat memasuki sekolah lanjutan pertama (I’dâdiyah). Ini sebuah namudzaj yang sangat bagus dari kasih-sayang seorang ayah supaya anaknya kelak dapat menjadi panutan masyarakat. Sang ayah pulang ke rahmatullah, karena serangan jantung.

Bagaimana kasus peringkusannya, karena dituduh terlibat dengan Ikhwân Muslimïn? Pada tahun 1954, ketika usianya menjelang 10 tahun ia aktif di kelompok Ikhwân Muslimîn cabang Qahâfah. Di sana ia berjumpa dengan Hudlaybiy yang saat itu sebagai pengarah umum Ikhwân Muslimîn. Kedatangannya disambut baik oleh masyarakat Thanthâ. "Pada waktu itu saya dipilih sebagai pemimpin barisan, karena suara saya lantang sekali. Di barisan pertama saya melantunkan Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Walillâhu al-hamdu", tegasnya. Ketika ia berjalan di depat podium, seseorang mengangkatnya untuk duduk di depan podium, kemudian Hudlaybiy menyalaminya dan memberinya sebuah kompas. Hudlaybiy berharap, "Kompas ini nanti bisa menunjukkan hidupmu di masa mendatang". Nashr kecil sangat bahagia sekali di kala itu, tapi di kemudian hari seorang anak mencuri kompas pemberian Hudhaibiy tadi, sampai akhirnya tidak ia temukan. Ia pulang ke rumah dengan tetesan air mata. Perasaan sedih itu menghilang, ketika pembimbing umum Ikhwân Muslimîn merangkulnya. Pada hari berikutnya, ia berangkat ke Ibrahim Rajab, pengawas sekolah dasar di Qahâfah hanya untuk meminta agar meletakkannya pada usrah Ikhwân Muslimin, tapi Ibrahim Rajab berkata, "Kamu masih kecil", Nashr kecil menyangkalnya, "Tidak, kamu harus meletakkan saya di keluarga Ikhwân Muslimîn. Akhirnya Ibrâhïm Rajab memenuhi permintaannya dan memasukkannya pada usrah Umar bin Khatthâb namanya. Di sinilah awal mula Nashr kecil diringkus oleh pihak keamanan karena dituduh terlibat dalam kecamuknya politik pada tahun 1945, namanya termaktub sebagai anggota Ikhwân Muslimîn.

Pada tahun 1957, setelah menerima ijazah sekolah dasar ia berkeinginan untuk bisa melanjutkan sekolah ke Azhar, layaknya seorang yang hafal al-Qurân. Namun keinginan hanya tinggal keinginan saja, ia melanjutkan ke sekolah umum jurusan pabrik, hal ini karena dipengaruhi oleh pamannya yang kebutulan sebagai kepala sekolah umum jurusan pabrik di Kufru al-Ziyâd. Kendatipun demikian, ia masih menyisihkan waktu untuk membaca karya al-Manfaluthiy secara sembunyi-sembunyi. Selain itu membaca karyanya Yusuf al-Sibâ’iy, Taufîq al-Hakîm, al-’Aqqâd, Najîb Mahfûd dan Thahâ Husein. Kebiasaan yang setiap hari dipupuknya ini justru menjadi motivasi untuk melanjutkan sekolah lanjutan atas umum, sehingga akhirnya memasuki jurusan di mana Thaha Husein menjadi gurunya. Setelah meraih diplom di sekolah pabrik, ia bekerja di sebuah perusahaan kabel dan non kabel dari tahun 1961 hingga tahun 1968. Pekerjaan inipun tidak banyak menjadi penghambat untuk mengembangkan kreasinya di bidang keilmuan, namun justru mengadakan kegiatan ilmiah bersama Jabîr ‘Ushfûr, Jâr al-Nâbiy, Sayyid al-Hulwu, Moh.Mansi Qindîl, Farîd Abu Sa’dah, Moh. Shâleh dan Sa’îd Kafrâwiy, walaupun pada akhirnya menimbulkan kecurigaan pada negara.

Pada tahun 1968 ia menyelesaikan sekolah Tsânawiah umum, kemudian melanjutkan studi ke universitas Kairo fakultas Adab, lulus pada tahun 1972 dengan natijah Imtiyâz. Kemudian meraih gelar magister dengan judul tesis Qadliyatu al-Majâz fi al-Qur’ân ‘inda al-Mu’tazilah, pada tahun 1976 dengan natijah Imtiyâz. Pada tahun 1981, ia telah menyelesaikan disertasi untuk meraih gelar doktoralnya dengan judul Ta’wîlu al-Qur’ân inda Muhyiddîn al-Arabiy, dengan natijah Martabah Ma’a al-Syaraf al-ûla. Petualangan menuntut ilmu secara akademis berhenti di sini, kemudian diangkat menjadi asisten dosen dengan judul buku Mafhûm al-Nass pada tahun 1988 dengan gaji setiap bulannya LE.2000.

Keinginannya untuk meraih gelar profesor sangat menggebu-gebu, sehingga akhirnya mencoba untuk mengajukan karya-karyanya. Namun pada bulan Maret tahun 1993 pengajuannya mentok berdasarkan keputusan Dr. Abd. Shabûr Syâhîn, sebagaimana diketahui oleh khalayak ramai. Baru kemudian gelar profesor tadi dapat diraih pada tanggal 31 juli 1995 dengan pergantian pembimbing dan kaidah-kaidah dasar yang dilakukan oleh pembimbing.

Berselang dua minggu kemudian, Mahkamah Pembanding Kairo mengeluarkan keputusan tentang penceraian akad nikah Nashr Abu Zaid dengan istrinya, Ibtihâl Yûnis, alumnus fakultas Adab jurusan bahasa Prancis pada tahun 1988 dengan judul disertasi al-Harbu al-Ahliyyah al-Isbaniyyah wa al-Mutsaqqif al-Faransiy. Ibtihal Yûnis masih saja bersikeras untuk hidup berdampingan dengan sang suami, kendatipun harus terbang ke Belanda setelah mendapatkan suaka politik dan mengajar di sebuah universitas di sana.(4) Kepada wartawan al-’Arabiy ia mengungkapkan, bahwa sikapnya itu bukan semata-mata sebagai konpensasi dari Mesir, maksudnya kalau nanti ia diminta untuk kembali ke Mesir, niscaya akan menerimanya, sebagaimana keluar dari Mesir tidak memiliki maksud tertentu untuk bernaung di bawah buaian barat seperti yang dilaksanakan oleh Taslima Nasreen dan Salman Rusydi.(5)

Mencari Model Baru dalam Memahami Teks Al-Qurân

Kalau kita mencoba membedah pemikiran Nashr Abu Zayd secara detail akan ditemukan sebuah sisi polemik yang cukup menarik, yang nantinya akan menjadi background struktur pemikiran yang kontraversial, sehingga menggiringnya pada meja pengadilan. Dalam bukunya Mafhûm al-Nass, Nashr berusaha mengangkat kembali bahan reaktualisasi, Apa itu Islam?(6) Sebagai kunci pembahasan dengan konsep teks. Terbit sebuah maksud untuk kembali menyelami eksistensi ajaran Islam yang larut dalam kekeruhan intelektual. Yang paling nampak, bahwa masyarakat modern belum bisa membedakan antara ajaran Islam yang murni dan kreasi umat Islam yang selalu membutuhkan perubahan, perbaikan dan perkembangan.

Pembahasan tentang konsep teks, sebenarnya bukan satu-satunya solusi terhadap segala keterbelakangan yang terjadi di muka bumi ini. tapi barangkali yang lebih tepat hanya sebagai starting point studi ilmiah dalam lapangan skeptis, sekali-kali bukan hal yang baru. Seperti yang diistilahkan oleh Nashr bahwa kekuasaannya untuk menjangkau kebenaran bukan alif wa lam al-’ahdi. Maka segala studi yang ditelorkan olehnya hanya sebagai nilai tambah terhadap kesimpulan yang dianggap hasil nyata (tahsîl al-hâsil ).(7)

Al-Quran adalah teks semantik yang secara garis besar dapat dikatakan sebagai teks sentral.Ini bukan berarti bahwa teks dengan sendirinya telah melahirkan peradaban, tapi secara riil yang dapat membangun peradaban adalah pergolakan manusia dengan realita dalam satu sisi dan dialog manusia dengan teks dalam sisi yang lain. Bahwa tarik- menarik antara manusia dengan realita serta pergolakannya dalam dunia industri, politik, budaya dan sosial itu, justru yang telah melahirkan peradaban. Begitu halnya peran al-Quran juga tidak dapat disepelekan dalam membentuk wacana peradaban dan tabi’at keilmuannya. Oleh karena itu peradaban Arab Islam adalah peradaban teks.(8) Pernyataan serupa dilontarkan oleh Dr. Yusuf Qardlawi, bahwa di antara ciri khas seorang mujtahid per-se yaitu apabila melihat pada teks dan dalil dengan satu mata dan melihat pada realita dan masa dengan mata yang lain, sehingga ada pertautan antara yang wajib dan realistis serta memberikan setiap peristiwa hukum yang sesuai dengan tempat, masa, dan kondisinya. (9)

Karena al-Quran sebagai sentral peradaban Islam, maka tak pelak apabila takwil merupakan media pokok dalam memproduksi ilmu pengetahuan. Takwil dalam konteks ini, menurut Nashr, bisa langsung sebagai hasil dari interaksi dengan teks untuk mengeluarkan dalalah dan maknanya, atau secara tidak langsung dapat ditemukan dalam seluruh aspek ilmu lainnya. Bahkan ketika teks menjadi sentral dalam peradaban, maka di sini penafsiran dan takwilnya sangat beraneka ragam. Aneka ragam ini ditundukkan pada perubahan yang terjadi di tengah-tengah problematika manusia yang interaktif dan kondusif. Oleh karena itu perlu dicari sebuah konotasi teks yang lebih luas.(10) Dalam konteks ini pula, Nashr menggarisbawahi, bahwa pembahasan tentang konsep teks ( Mafhum al-Nass ) bukan hanya sekedar mencari petualangan pemikiran dalam turats, namun upaya mencari dimensi yang hilang dalam turats. Dimensi ini yang barangkali dapat membantu untuk mengadakan pendekatan pada kesadaran berpikir terhadap turats. Lebih jauh lagi, Nashr mengutarkan, mencari konsep teks, hanya sebagai jembatan untuk mengetahui esensi al-Quran dan tabi’at nya yang sekaligus sebagai teks semantik.

Al-Quran adalah kitab berbahasa Arab yang terbesar dan memiliki pengaruh dalam sejarah sastra. Dalam konteks ini, Nashr berusaha untuk mencari metode baru dalam memahami teks al-Quran. Bahkan dalam banyak hal ia mengatakan, bahwa reaktualisasi terhadal ilmu-ilmu Qur’an dan hadits hanya merupakan sebuah metode skeptis yang terakumulasi dalam bentuk ilmu yang‘matang dan terbakar’. Maka tugas yang terpenting, yaitu bagaimana mempertahankan eksistensi Islam. Menurutnya, masyarakat modern adalah masyarakat Jahiliah yang ingin mengejawantahkan hukum Islam, namun hanya mentok pada penyelaman di air laut, tapi di dalamnya ia tidak dapat berbuat apa-apa.(11)

Barangkali merupakan hal yang harus diperjelas, bahwa metode yang ditelorkan oleh Nashr Abu Zayd, bukan satu-satunya alternatif solusi terhadap segudang permasalahan umat Islam. Namun hanya merupakan jendela untuk mengintip pembahasan ilmu yang bermuatan skeptis. Bahkan menurutnya, ia tidak mempunyai kekuasaan untuk bisa dikatakan sebagai pemegang kebenaran secara "alif wa lam al-’ahdi", namun hanya sebagai proses untuk mencari atau paling tidak mendekati kebenaran, sesuai dengan kapabilitaskeilmuannya. Di samping itu, kesadarannya senantiasa muncul akan bahaya konfusi ideologi yang pada dekade belakangan ini nyaris menyelimuti permasalahan umat Islam. Maka upaya untuk mempersempit konfusi ideologi, sesuai dengan kemampuan, merupakan sebuah misi suci yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam.

A. Metodologi dan Landasan Memahami Teks al-Quran

Kenyataan umat Islam di sepanjang barat dan timur, membuktikan sebuah sinyal kelesuan yang memprihatinkan. Orang-orang barat menuduh Islam sebagai agama yang menghambat kemajuan, hingga muncul sebuah jargon, "Islam adalah musuh barat pasca runtuhnya komunisme ". Indikasi ini akan berpengaruh bagi pemahaman orang-orang non-muslim terhadap Islam, yang mana ajarannya komprehensi p dan uiversal. Barangkali merupakan sebuah realita yang semakin kental di tengah-tengah umat Islam, bahwa pertautan antara al-Quran dan kebudayaan semakin dihilangkan, al-Quran diletakkan pada sebuah lembah dan kebudayaan pada lembah yang lain. Umat Islam sekarang ini, menurut Hasan Hanafi, lebih cendrung untuk mempertahankan hâkimiayatu Allah (otoritas Allah) dari pada hâkimiyatu al-basyar (otoritas manusia).(13) Menurut Zaki Naquib Mahmud, bahwa peradaban umat Islam pada era kontemporer ini, cendrung melangit dari pada membumi.(14) Maka sudah saatnya umat Islam kembali untuk menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang seakin membuat penghuni dunia ini menjerit dan menanti uluran tangan. Dengan demikian mengubah perkataan menjadi perbuatan merupakan sebuah solusi.(15)

Ketika al-Quran menjadi sentral peradaban Islam setelah melalui masa dan sejarah yang panjang, maka mencari style atau metode memahami al-Qur'an sesuai dengan kaca mata perkembangan kebudayaan merupakan sebuah kebutuhan. Sehingga shalahiyatu al-Islam (kompetensi Islam ) mendapat pengakuan yang riil. Untuk itu, Nashr Abu Zayd mengajukan sebuah metode kontemporer yang asli bersumber dari filsafat kontemporer yang teruji keberhasilanya dalam menata masyarakat modern dan ma’zaq (kebuntuan) yang dihadapi oleh umat Islam dalam memahami al-Qu'ran. Oleh karena itu, titik tolak atau landasan pembahasannya adalah sekumpulan realitas yang telah dibentuk oleh kebudayaan Arab tentang Teks al-Qur'an dan konsep-konsep yang disampaikan oleh teks itu sendiri tentang kawasan eksistensinya. Sehingga tidak aneh, kalau teks pada hakekatnya adalah produk peradaban. Maksudnya, bahwa ia terbentuk (bukan dibentuk) dalam realitas dan kebudayaan selama kurang lebih duapuluh tahun.(16) Maka tatkala kenyataan ini menjadi taken for granted, kepercayaan terhadap wujud metafisik yang mendahului teks akan membiasakan seseorang untuk menghilangkan realitas, bahkan mengganggu kemungkinan pemahaman ilmiah terhadap tekstualitasnya teks. Namun pada sisi lain, percaya dengan sumber ketuhanan bagi teks dan kemungkinan wujud yang mendahului wujud teks secara nyata dalam realitas dan kebudayaan, menurutnya, merupakan sebuah peristiwa yang tidak bertentangan dalam memahami teks. Sesunguhnya unsur ketuhanan sumbr teks tidak menafikan realitas subtansinya dan tendensinya pada kebudayaan manusia.

Al-Qur'an sebagai risalah adalah bukti adanya hubungan antara pengirim (mursil) dan penerima (mustaqbil) melalui sebuah tanda atau metode semantik. Oleh karena itu, salah satu metode dalam memahami teks secara ilmiah adalah memalui realitas dan kebudayaan yang telah mengatur gerak manusia dan penerima pertama yaitu rasul. Tapi bagaimanapun adanya, ketika al-Qur'an dikatakan sebagai produk peradaban, sebenarnya merupakan masa pembentukan dan penyempurnaan yaitu di mana pada akhirnya akan menjadi masa pembentuk kebudayaan itu sendiri, sehingga akan menjadi sebuah teks yang memiliki otoritas dan cermin beberapa teks yang lain. Sesungguhnya perbedaan antara kedua masa dalam historisitas teks adalah perbedaan antara pengambilan sumbernya dari kebudayaan dan konstribusinya dalam kebudayaan. Menurut Nashr, bahwa dua masa ini tidak dapat bertentangan, bahwa ketika teks dalam masa pertama dalam mengungkapkan kebudayaan bukan sebuah subyek yang pasif dan negatif, tapi justru memiliki peran yang besar dalam mewujudan kebudayaan dan realitas. Sedangkan masa kedua, bahwa ketika teks sebagai pembentuk kebudayaan, pada saat itu ada sebuah interaksi antara kebudayaan dengan teks dalam rangka menelaah kembali dan mengadakan kerja takwil di dalamnya. Maka di sini dapat ditemukan, bahwa hubungan antara teks dengan kebudayaan adalah hubungan dialekstis. Tentu saja, sebagai upaya untuk membuka sebagian aspek hubungan antara teks dan kebudayaan, Nashr memilih metode semantik (secara bahasa) sebagai landasan pokok. Menyitir perkataan Roman Jakonson dalam Linguistics and Poetics, bahwa bahasa di samping fungsi umumnya, juga berfungsi sebagai penghubung antara pembica dan pendengar atau pengirim dan penerima.(17) Oleh karena itu, ketika memilih metode pemecahan semantik untuk memahami konsep teks, bukan sebuah alternatif yang bersumber dari keragu-raguan di antara beberapa metode yang ada, bahkan, menurut Nashr, pantas untuk dikatakan sebagai satu-satunya metode yang mungkin untuk dipakai dalam memahami teks sekaligus karena didalamnya terdapat persesuaian antara materi dan metode dalam satu hal. Tapi yang jelas, untuk memberikan sebuah bukti yang logis, bahwa teks (al-Qur'an) tidak disampaikan dalam satu masa, namun terbentuk selama kurang lebih duapuluh tahun.

Dengan demikian, ketika teks terbentuk dalam realitas dan kebudayaan, tentu saja kedua hal tersebut memiliki peran dalam membentuk teks-teks di dalam al-Qur'an. Maka di sini, terdapat perbedaan mendasar dengan metode-metode lain yang digunakan oleh buku keagamaan kontemporer, yang memulai pembahasannya dari Allah, Rasul dan kemudian tentang realitas. Berangkat dari kenyataan ini, Nashr berusaha untuk melontarkan sebuah metode baru yaitu dialektika naik, lawan dari dialektika turun. Yaitu dengan menjadikan realitas emperik dan aksioma sebagai landasan agar dapat membuka tirai yang tersembunyi (al-majhul).

B. Teks dalam Kebudayaan

    a. Konotasi Wahyu
    Dalam memulai pembahasannya tentang teks dalam kebudayaan, Nashr memilih wahyu sebagai konotasii sentral yang telah banyak dinisbahkan kepada teks dalam banyak tempat. Kendatipun tidak dapat dipungkiri, bahwa banyak ditemukan nama-nama lain, seperti al-Qur'an, al-Dzikr dan al-Kitâb. Namun, menurutnya, nama wahyu lebih cocok karena memungkinkan untuk menampung nama-nama lain secara keseluruhan yang telah terbukti dalam kebudayaan, baik sebelum atau setelah pembentukan teks. Di samping itu, karena wahyu bisa mencakup semua teks-teks agama Islam atau non Islam. Konotosi wahyu di sini ada dua, pertama, mencakup seluruh teks yang menunjukkan perintah (khitâb) Allah kepada manusia. Kedua, menunjukkan kerangka bahasa Arab sebelum al-Qur'an pada setiap hubungan yang mengandung makna i’lâm (pemberitahuan ).

    Ketika i’lâm menjadi makna sentral dari wahyu, maka syarat yang paling penting yaitu harus dalam keadaan tersembunyi. Sehingga dengan kata lain dapat dikatakan,bahwa wahyu adalah hubungan antara dua hal yang di dalamnya mengandung pemberitahuan secara tersembunyi atau rahasia. Konotasi yang seperti ini dapat ditemukan dalam al-Qur'an atau syair-syair Arab. Misalnya dalam kisah Zakariya dan Maryam. Zakariya telah memohon kepada Allah agar mengaruniakannya seorang anak, maka Allah menghiburnya dengan memenuhi permohonannya. Maka kemudian Zakariya memohon kepadaNya sebuah tanda.(18). Dalam hal ini, Nashr memberikan sebuah konklusi, bahwa kenyataan ini sebenarnya sudah terjadi dalam kebudayaan Arab sebelum Islam. Di mana pada waktu itu, mereka sudah mengetahui dua fenomena yaitu syair dan ramalan, yang memiliki karakteristik tersendiri, berbeda dengan kehidupan nyata yang terlihat dengan kedua belah mata. Diantaranya yaitu dunia jin. Menurut orang-orang Arab sebelum datangnya Islam, bahwa jin adalah sebuah kabilah yang hidup di lembah khusus yang dikenal dengan lembah Abqar. Karena dunia jin dan manusia saling berdekatan, maka orang-orang Arab pada waktu itu menggambarkan adanya kemungkinan hubungan antara manusia dan jin. Kenyataan ini membuktikan bahwa kepercayaan orang-orang Arab dahulu atas adanya hubungan antara ‘syair dan ramalan dengan jin’, merupakan starting poin adanya kepercayaan terhadap wahyu itu sendiri. Menurut Nashr, bagaimana mungkin orang-orang Arab setelah itu dapat menerima ide tentang turunnya malaikat dari langit kepada manusia, jikalau sebelumnya tidak ada akar pembetukannya? Jikalau tidak ada, sungguh barang yang mustahil. Ketika orang-orang Arab dahulu mengetahui, bahwa ramalan bersumber dari jin, maka tidak mustahil kalau muncul setelahnya kepercayaan dengan turunya malaikat pada manusia. Sehingga di tengah-tengah orang Arab kontemporer tidak didapati pertentangan terhadap fenomena wahyu.(19)

    Sehubungan dengan masalah jin, teks secara riil telah mengembalikan bentuk realitas dengan perantara mekanisme bahasa. Seperti yang diungkapkan oleh al-Qur'an dalam surat Jin, bahwa Jin sudah menjadi jin muslim dan berpegang teguh pada kebiasaan semula, begitu pula manusia telah kembali berpegang teguh pada mereka yang meminta perlindungan dengan jin, seperti tradisi masyarakat Arab pra-Islam. Dalam surat Jin, Allah berfirman : "Dan bahwasanya orang yang kurang akal dari pada kami dahulu selalu mengatakan yang melampui batas terhadap Allah, dan sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia dan jin sekali-kali tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah. Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki diantara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka sebagaimana persangkaan kamu, bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasul) pun, dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api, dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barang siapa yang mendengar-dengarkan tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya) (20)

    Ayat di atas menerangkan sebuah bentuk perkembangan al-Qur'an yang muncul dari konsiderasi dengan kebudayaan dari satu sisi dan dengan tujuan demi kemaslahatan Islam pada sisi lain. Berbeda sekali dengan surat an-Nâs yang lebih dahulu turun, menjelaskan, bahwa diskursus masalah jin lebih akrab dengan sosok yang senantiasa menggoda atau mengganggu manusia. Ini erat kaitannya dengan pemikiran Ibnu Khaldun yang berusaha untuk mempertahankan ilmu nujum (ramalan) setelah kenabian. Sikap Ibnu Khaldun, menurut Nashr, didasari oleh dua alasan. Pertama; bahwa penghapusan ilmu nujum, niscaya akanmenghapus akar wujudnya, dengan demikian berakibat pelu diadakannya interpretasi baru terhadap fenomena kenabian. Kedua, bahwa ilmu nujum adalah standar orang-orang Arab sebelum Islam untuk menetapkan hakekat kenabian dan sebagai media meramal turunnya nabi baru. Maka kalau seandainya penghapusan fenomena tersebut terjadi, tentu saja akan berpengaruh pada peniadaan wujud dan epistemologi dasar fenomena kenabian.

    Dari skripsi historisitas metode penurunan wahyu, akhirnya Nashr sampai pada kesimpulan, bahwa bentuk hubungan yang dikandung oleh teks berbeda dengan bentuk-bentuk lainya, bahkan lebih kuat keabsahannya. Karena terjadi dari hubungan, antara Allah dan seorang utusan. Bukti ini akan memberikan kebebasan berfikir secara terbuka tentang proses hubungan antara Allah dan malaikat melalui tanda yang digunakan, dan antara malaikat dengan manusia melalui tanda yang digunakan yaitu bahasa Arab. Di mana masa antara proses penurunan wahyu dari Allah, malaikat dan Muhammad terjadi sebuah pergumulan, yang akhirnya akan melahirkan sebuah kebudayaan. Kendatipun demikian, yang lebih urgen, menurut Nashr, bagaimana nilai-nilai yang tertuang dalam al-Qur'an dapat disampaikan ke seluruh lapisan masyarakat. Karena sesungguhnya yang membedakan antara nabi dan rasul yaitu pada aspek "Balagh dan Indzar". Kenyataan ini barangkali akan dirasakan lebih menyentuh dengan tanah kebudayaan, apalagi manusia sebagai obyek teks, bukan bendabenda mati.(21)

    Di samping itu al-Qur'an merupakan teks pertama yang dibukukan dalam sejarah pembukuan teks. Di sini, tentu saja al-Qur'an telah menanam saham kebudayaan yang paling orisinil dalam mengubah kebudayaan lisan menjadi kebudayaan tulisan. Oleh karena itu, seperti yang dikatakan oleh Toshihiko Izutsu dalam "Revelation As A Linguistic Concept in Islam", bahwa konsern terhadap sumber teks saja hanya akan menghilangkan esensi teks dan fungsi realita. Justru tradisi yang semacam ini masih mewarnai pemikiran keagamaan klasik hingga zaman kini.(22)

    b. Penerima Teks yang Pertama (Muhammad)
    Tak bisa dipungkiri lagi, bahwa pengkultusan yang berlebih-lebihan terhadap Muhammad (bukan ajaran Muhammad) masih menjadi sebuah gejala yang tak lepas dari tradisi masyarakat Islam. Sehingga pada akhirnya akan sampai pada kesimpulan yang bisa menghilangkan predikat ‘kemanusiaan’ Muhammad. Seperti yang disampaikan oleh Nashr, bahwa Muhammad adalah bagian dari realita dan sosial masyarakat. Beliau dibesarkan di Mekah dalam keadaan Yatim, seorang pedagang ulung, sering melancong bersama kaumnya serta ikut merasakan pahit getirnya kehidupan bersama mereka. Ketika sebagai orang badui ingin menggaulinya seperti raja, namun beliau menolak. Begitu halnya, ketika bertemu dengan orang badui bulu kuduknya berdiri, lalu bersiap-siap untuk menemuinya, kemudian berkata, "Sesungguhnya saya hanya anak seorang wanita yang makan sepotong roti di Mekah". Kenyataan ini menggambarkan sosok kemanusiaan Muhammad, yang tidak mengisolasikan dirinya dari realita dan sosial masyarakat. Tentang humanisme Muhammad, Khalid Muhammad Khalid juga mensinyalir, bahwa Muhammad adalah manusia yang memiliki konsern terhadap masyarakat, hatta melarang dirinya dan keluarganya untuk memakan kebutuhan hidupnya untuk kemudian diberikan kepada orang-orang miskin.(23) Mengomentari tentang kesenangan Muhammad bersemedi di gua hira, Nashr melihat, bahwa tradisi ini bukan berarti menjauhi dinamika manusia dalam realitas, namun hanya sebagai praktek ritual keagamaan yang juga dilakukan oleh orang-orang di masa beliau hidup dan sebelumnya, seperti Waraqah bin Naufal, Abdullah bin Jahsy, Utsmân bin Huwayrits, Zayd bin Amru bin Nufayl. Dalam bukunya, Nashr berusaha menangkap nuansa baru, seperti yang terkandung dalam dua surat pertama yang pertama kali turun, yaitu lima ayat surat al-'Alaq dan surat al-Mudastsir. Al-Suyuthi dalam Al-Ithqân fî Ulûmu al-Qur'ân menyatakan, Surat yang pertama kali turun tentang kenabian yaitu "Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq", sedangkan surat yang pertama kali turun tentang kerasulan yaitu "Yâ ayyuha al-Mudastsir". Beranjak dari statemen ini, Nashr menerangkan, bahwa sebelum Muhammad diperintah untuk menyampaikan missi kepada umatnya, beliau sudah mendapat pendidikan langsung dari Tuhannya yaitu tentang awal perjalanan, eksestensi, asal-usul dan tujuan penciptaan manusia. Setelah proses pendidikan Allah ini rampung, maka turunlah surat al-Mudastsir sebagai tanda agar menyampaikan ajara- ajaranNya ke umat seantero alam ini. Demikianlah potret dialog yang akhirnya pada satu sisi tercipta teks (al-Qur'ân). (24)

    c. Al-Makkiy dan Al-Madaniy
    Berangkat dari sebuah pernyataan, bahwa ‘teks’ adalah jabang bayi dari interaksi dengan realitas yang dinamis dan historis, maka membahas pemetaan al-Makkiy dan al-Madaniy di dalam sebuah teks telah memberikan konstribusi dalam pembentukan teks, baik secara subtansial maupun struktural. Sehingga dapat diakatakan, mengetahui kedua aspek di atas merupakan format pandangan umum dari proses interaksi. Dalam hal ini, Nashr telah melakukan otokritik terhadap gagasan al-Makkiy dan al-Madaniy yang berlandaskan pada tempat dan obyek saja. Seperti yang disebutkan oleh sebagian ulama al-Qur'ân dalam Al-Itqân fî Ulum al-Qur'ân, karya Imam al-Suyuthî, bahwa al-Makkiy yaitu ayat yang diturunkan di Mekkah, sedangkan al-Madaniy yaitu ayat yang diturunkan di Madinah. Begitu pula tentang landasan obyek (al-Mukhathab), bahwa al-makkiy yaitu ayat yang ditujukan pada penduduk Mekkah, misalnya "Yâ ayyuhalladzîna Amanu", dan al-Madaniy sebaliknya (25). Menurut Nashr, batasan yang dibentuk oleh ulama-ulama terdahulu tidak padat dan komprehensif, sebab obyek yang ditujukan oleh al-Qur'ân sangat banyak. Dengan demikian, ia mengutarakan, bagaima supaya standar tersebut lebih memandang kepada realitas dan teks, ia lebih cenderung untuk mengambil batasan yang memiliki muatan historis, bahwa al-Makkiy ayat yang turun sebelum peristiwa hijrah dan al-Madaniy adalah ayat yang turun setelah peristiwa hijrah, baik di Mekkah maupun Madinah.(26) Refleksi batasan ini dapat dilihat dari nilai historisitas hijrah, bahwa periode muhammad di Mekkah hanya sekedar indzâr saja, bahkan tidak memiliki nuansa risalah. Berbeda setelah hijrah kematangan risâlah dapat dinominasi pada periode ini. Oleh karena itu, Nashr berkesimpulan, bahwa standar yang dipaparkan (standar tempat dan obyek) hanya sekedar produk akal saja, yang sudah sewajarnya harus dibumbui oleh otokritik. Dengan demikian, ia memilih alternatif standar zaman dan standar al-Qur'ân, baik secara subtansi maupun strukturnya.

    d. Asbâbu al-Nuzûl
    Hakikat emperik yang terdapat dalam teks menegaskan bahwasanya teks diturunkan secara berangsur-angsur, kurang lebih selama duapuluh tahun. Tak luput kalau dikatakan pula, bahwa setiap ayat turun karena ada sebab-sebab khusus yang melatarbekanginya. Dengan demikian, sudah barang tentu membahas asbâbu al-nuzûl merupakan sebuah bukti kongkrit dari hubungan intim antara teks dan realita. Dalam membedah asbâbu al-nuzûl, Nashr tidak membenarkan, jikalau hanya melihat konteks realita dan menjauhkan spesifikasi bahasa yang terdapat dalam teks, sehingga kalau kedua syarat itu terpenuhi, niscaya seorang ahli fikih akan menjadi lebih mengetahui sebab-musabab, bahkan mengeneralkan hukum terhadap realitas lain yang serupa. Menurutnya, bahwa realitas tidak terbatas atau dalam dinamika yang terus-menerus berkembang dan berjalan secara berkesinambungan, sedangkan teks-teks sangat terbatas.(27) Maka diskursus keagamaan kontemporer tidak akan bisa meninggalkan ijtihad Umar bin Khattab, seperti pemberian zakat terhadap orang yang baru masuk Islam, karena menurutnya merupakan sebuah penambahan daya pada keislamannya yang sangat lemah. Selain itu, fatwa Umar bin Khatthab tentang penghapusan hukuman "had" terhadap seorang hamba yang mencuri sesuatu dari tuannya karena kelaparan. Oleh karena itu, bernaung di bawah adagium al-’Ibrah bi umum al-lafdl lâ bi khusus al-sabab tidak bisa digeneralkan pada setiap peristiwa, karena akan menghilangkan hukum dan hikmah pensyari’atan masalah halal dan haram, khususnya dalam hal makanan dan minuman. Misalnya dalam pengharaman minuman khamr melalui tiga masa seperti yang dijelaskan oleh al-Qur'ân.(28) Imam Syafi’ie berkata, bahwa lafadl yang umum tidak selamanya menunjukkan sesuatu yang umum, namun kadangkala lafadlnya umum, sedangkan signifikasinya khusus.

    Berdasarkan sinopsis di atas, tentu saja untuk mengetahui asbâbu al-nuzul tidak semudah yang dibayangkan. Sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan pengklasifikasian yang kurang komplit, karena pada akhirnya akan sampai pada sebuah stasiun pemikiran, bahwa asbâb an-nuzul hanya masalah ijtihad, yang boleh diinterpretasikan dalam kerangka yang lebih komprehensip. misalnya, kata al-Rijâl dalam al-Qur'ân yang sering digunakan untuk laki-laki dan perempuan. Namun tak jarang ditemukan pula, bahwa al-Quran membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam penentuan hukum secara khusus.(29) Dengan demikian adanya ayat yang disebutkan secara berulang-ulang merupakan adanya perbedaan antara teks dan signifikasinya.

    e. Al-Nâsikh dan al-Mansûkh
    Setelah membahas urgensi asbâb al-nûzul dalam pembuktian adanya hubungan intim antara teks dan realita, maka tak salah kalau mengetahui al-nâskh dan al-mansûkh merupakan jembatan selanjutnya untuk mempertegas eksistensi dan nilai hubungan tersebut. Tapi dalam konteks ini, Nashr menemukan dua komplikasi yang lahir dari al-nâsikh dan al-mansûkh yaitu pertama, bagaimana mungkin akan dapat menyatukan antara beberapa gejala yang terjadi, yaitu antara perbaikan teks dengan membatalkan teks sebelumnya dan kepercayaan yang berkembang tentang eternitas teks di Lauh al-Mahfûdz. Kedua, komplikasi pengumpulan al-Qur'ân pada masa khalifah Abu Bakar As., karena ada sebuah tuduhan bahwa sebagian al-Quran ada yang dilupakan.(30)

    Salah satu fungsi al-Nâsikh dan al-Mansûkh adalah adanya konsep step by step dalam proses perubahan dalam berinteraksi dengan realita. Maka perubahan yang terjadi bukanlah perubahan pada dzat Allah Swt. Maka, Nashr berusaha melepaskan dirinya pada masalah-masalah supranatural, karena, menurutnya, hanya akan meninggalkan sesuatu yang lebih penting yaitu realita.(31) Bahwa hukum-hukum syari’at adalah hukum yang khusus bagi manusia, maka tidaklah benar menundukkan realitas yang berkembang pada hukum syari’at yang statis. Oleh karena itu dalam memberikan batasan yang mengena pada masalah al-nâskh dan al-mansûkh, Nashr mengajukan, bagaimana agar standar urutan turunnya al-Qur'ân(tartîb al-nuzul ) dijadikan landasan, bukan urutan tilawah (tartîb al-tilâwah).(32) Ketika Muhammad bin Sîrin bertanya pada Ikrimah, "kenapa para sahabat tidak membukukan al-Quran sebagaimana turun pada pertama kali?", kemudian Ikrimah menjawab, "Kendatipun manusia dan jin berkumpul untuk membukukan al-Qur'ân dengan metode yang seperti itu niscaya tidak akan bisa". Namun bagaimanapun, menurut Nashr, selama naskh masih mungkin dilaksanakan setelah wafatnya Rasul, maka pintu masih terbuka lebar-lebar di depan skeptis dalam menentukan kredibilitas teks, bukan dari aspek religi, tapi aspek kebudayaan. Dengan demikian keseluruhan pandangan di atas, jelas-jelas memberikan kesatuan pemikiran tentang peran kebudayaan dalam pembentukan teks dan peran teks dalam pembentukan kebudayaan.

C. Mekanisme Teks

Membedah al-Qur'ân dengan metodologi keilmuan kontemporer merupakan ciri khas pemikiran kontemporer. Ini jarang sekali ditemukan dalam buku- buku yang membahas tentang ilmu-ilmu al-Qur'ân, dari dulu hingga sekarang. Seperti halnya dalam membahas mekanisme teks, Nashr tiada lain hanya ingin menyampaikan mekanisme teks yang darinya menjadikan teks hidup dan dinamis, sesuai dengan tuntutan zaman.

Ketika membahas tentang masalah i’jâz, ia hanya ingin menekankan, bahwa al-Qur'ân sebagai teks umat Islam merupakan teks yang memang benar- benar patut diangkat topi dan disanjung, setelah melihat aspek internal dan internal serta merta melakukan studi komperatif dengan beberapa teks lain. Bahwa al-Qur'ân dengan sendirinya telah menandakan keistimewaan, sehingga tidak lagi membutuhkan bukti eksternal. Berbeda dengan nabi- nabi lain yang membutuhkan bukti terjadi sesuatu yang di luar kebiasaan atas tangan nabi. Di samping itu turunnya al-Qur'ân merupakan jawaban dan tandingan terhadap keadaan masyarakat sekitar yang berlomba-lomba dengan keindahan sya’irnya. Seperti halnya, mukjizat Isa dengan menyembuhkan orang sakit lepra dan menghidupkan orang mati, di mana masyarakat sekitarnya memiliki kepiawaian dalam ilmu kedokteran, begitu pula Musa di tengah-tengah merebaknya ilmu sihir, sudah sepatutnya diturunkan mu’jizat yang melebihi kepiawaian mereka.

Mengenai hubungan antara syair dan al-Qur'ân ini tak bisa dipungkiri. Seperti yang dijelaskan pada awal makalah ini tentang wahyu, bahwa hubungan tersebut sangat erat, terutama setelah melihat tradisi masyarakat pra Islam yang menjadikan syair sebuah ideologi. Menurut mereka, bahwa syair adalah divannya orang-orang Arab (dîwân al-Arab), sehingga secara alif wa lam al-Ahdi, syair merupakan teks masyarakat pra Islam. Kendatipun antara keduanya terdapat ‘persamaan’, namun di balik itu terdapat perbedaan yang menukik, bahwa hubungan al-Qur'ân dalam wahyu keagamaan yaitu vertikal (dari atas (Allah) ke bawah) atau bertentuk "tanzîl", di mana syair bentuk hubungannya horizontal. Makanya al-Qur'ân sebagai teks tidak bisa diletakkan di bawah syair. Seperti yang diungkapkan oleh Thaha Husein, bahwa al-Qur'ân bukan syair, tapi ia memang al-Qur'ân .(33) Secara garis besar hubungan antara al-Qur'ân dan syair berkisar sekitar pemilihan, penerimaan dan penolakan. Sehingga memahami al-Qur'ân dengan bantuan syair bukanlah merupakan suatu yang tabu, karena syair merupakan sentral pemikiran masyarakat pra-Islam. Begitu akan didapati keistimewaan al-Qur'ân beberapa aspek termasuk, aspek bahasa dan kodifikasi.

Untuk itu, diperlukan sebuah usaha yang intensif untuk mengetahui mekanisme teks secara utuh. Seperti konsep "Muhkam dan mutasyabih" dan konsep "’Am dan khâs". Karenanya, dibutuhkan akal ahli fikih dan ahli tafsir, kemudian muncul dialog pembaca untuk menyingkap makna di balik teks dan menyelam hingga di penghujung kedalamannya. Di sini tentunya peran tafsîr dan takwîl sangat membantu untuk sampai ke arah pencapaian signifikasi di dalam teks.

Jikalau pada awal makalah ini dikatakan, bahwa sentral peradaban Islam adalah teks, maka tak ayal lagi, kalau dikatakan ‘peradaban takwîl’, kendatipun dalam kamus ahlu al-sunnah masih menjadi sesuatu yang ‘makruh’. Dalam menanggapi masalah ini, Nashr sangat menyayangkan metode lama yang digunakan oleh orang-orang salaf dalam tafsir, karena sangat bertentangan dengan konotasi yang bercokol dalam kebudayaan, bahwa signifikasi teks menerjang ruang dan tempat. Menurutnya, sesungguhnya merasa cukup dengan konsep pada orang-orang periode awal akan menghasilkan sebuh natijah yang lebih berbahaya dalam kehidupan masyarakat, karena kemungkinan besar akan berpegang teguh pada literalisme tafsir serta merta merubahnya menjadi ‘akidah’, sehingga akhirnya macet pada masalah-masalah eternitas, karena menurut anggapannya sebagai terminal pemahamannya. Di sini, menurut Nashr, nantinya akan membiasakan seseorang untuk menjauhi metode eksperimen dalam mempelajari realitas alam dan sosial. Dan tentu saja, nanti ilmu akan berubah menjadi agama dan agama berubah menjadi khurafat dan bekas peninggalan zaman purbakala. Kenyataan ini terbuti di tengah-tengah sengitnya pertarungan antara kelompok sekularis dengan kelompok agama. Oleh karena itu, sudah saatnya apabila takwîl dijadikan sebuah starting point untuk memulai kretifitas berfikir umat Islam. Sesungguhnya dinamika teks dalam ruang dan waktu adalah dinamika yang hidup dalam kehidupan, sedangkan menyingkap makna yang tersirat dalam teks bukan berarti merobohkan makna-makna lama yang muncul, namun justru sebagai media untuk sampai pada kebenaran. Makanya, ilmu-ilmu naql dan 'aql tiada lain hanya mekanisme untuk melakukan takwîl. Tentu saja akal sangat berperan penting dalam hal ini. Di samping itu, bagaimana selanjutnya mempunyai kesadaran yang tinggi dengan dinamika sejarah dan pandangan futuristik, sehingga peran pemikir dan penakwîl tidak hanya sebagai penghafal, namun tidak memahami subtansi yang terkandung dalam teks.

Interpretasi Marxisme terhadap Al-Quran:
Dari Rekonstruksi menuju Dekonstruksi

Buku Mafhûm al-Nâss yang penulis paparkan tadi merupakan salah satu referensi para ulama untuk menggeledah pemikirannya, hingga pada tanggal 14 Juni 1995 M Mahkamah Kairo mengeluarkan keputusan tentang penceraian antara Prof. Dr. Nashr Abû Zayd dan istrinya, Dr. Ibtihâl Yûnis, berdasarkan beberapa interpretasi yang ditujukan kepada bukunya yang menurut para pemikir menghujam orisinalitas ajaran Islam dan menghina beberapa tokoh Islam. Lebih dari itu, menurut Musthafa Syak’ah, Nashr dituduh sebagai salah seorang marxis yang berusaha mempropagandakan paham tersebut, yang menurut sebagian ulama sebagai kawasan menjijikkan dan bermuatan atheis.(34)

Banyak orang yang menyerbu pemikiran Nasr dengan sebutan interpretasi marxisme terhadap al-Qur'ân.(35) Namun masalahnya apakah metode marxisme itu tidak dibolehkan oleh Islam? Misalnya, ketika Nashr berkata bahwa teks adalah produk peradaban, maksudnya teks terbentuk dalam realitas selama kurang lebih duapuluh tahun, maka secara tektualitas ungkapan ini akan menimbulkan hujatan yang tajam, yang telah disengaja menghilangkan nilai otoritas ketuhanan yang terkandung dalam al-Qur'ân. Karena selama ini, pemahaman yang muncul di tengah-tengah umat Islam bahwa al-Qur'ân diciptakan oleh Allah, diturunkan kepada Malaikat di Lauh al-mahfûdz, kemudian diturunkan kepada Muhammad selama kurang lebih duapuluh tahun, tanpa ada interpretasi yang lebih detail tentang pergumulan sosial yang juga mempengaruhi pembentukan teks. Bahkan, lebih dari itu Dr. Mahmud Ismâ’il memahami perkataan Nashr di atas sama dengan ungkapan arek-arek Mu’tazilah yang menyatakan ‘penciptaan al-Qur'ân’ (khalq al-Qur'ân).(36) Oleh karena itu, maksudnya bukan ingin mengurangi nilai otensitas al-Qur'ân, namun hanya sebagai usaha untuk mengeruk mutiara-mutiara baru yang terkandung dalam al-Qur'ân. Bahwa untuk mengembalikan peradaban Islam yang lampau harus mengadakan interpretasi yang baru terhadap al-Qur'ân, sejak dari pembentukannya hingga peran al-Qur'ân dalam membentuk peradaban.

Di dalam bukunya, Nashr berusaha untuk mengajukan metode baru yang sama sekali bertolak belakang dengan metode lama, di mana para ulama al-Qur'ân dari dulu hingga kini hanya berpegang teguh pada turats yang statis, yang dalam hal ini digambarkan pada metodelogi Asy’ari.(37) Maka tidak aneh, kalau Nashr lebih banyak menggunakan pendekatan sejarah, seperti yang digunakan oleh Ibnu Khaldun atau pendekatan bahasa yang digunakan oleh sebagian pemikiran barat, seperti Izutzu Toshihiko, Jakobson Roman, Barbara Johnson dan Peter W. Nesselroth. Kata-kata kebudayaan dan realita sering ditemukan dalam bukunya, ini tidak lain hanya ingin menggunakan pendekatan yang lebih membumi, bukan malah melangit. Maka, sudah barang tentu apabila muatan rekonstruksi dengan metodologi yang digunakan Nashr pada satu sisi merupakan sebuah jembatan untuk memiliki ‘keberanian’ dalam menyingkap ‘kebenaran’. Satu hal yang menarik pula, Nashr ingin mengadakan penyesuaian diri dengan filsafat kontemporer yang menurut pada fundamentalis Islam sebagai al-ghazw al-fikriy, namun menurutnya yaitu sebagai mitra yang hidup untuk kembali pada Islam. Kenapa Nashr bersikap demikian? Menurut penulis, Nashr kayaknya kurang sepadan dengan pandangan simbolistik dan supernatural yang melebihi kenyataan-kenyataan yang muncul di tengah-tengah problematika umat Islam. Makanya ketika mengutarakan, bahwa peradaban Islam adalah peradaban teks, maka secara implisit ia menginnginkan bahwa untuk membuahkan peradaban Islam yang besar harus kembali memahami al-Qur'ân dengan bahasa dan kebudayaan. Karena ternyata, menurutnya kedua hal ini lebih menyentuh dataran permasalahan umat. Konsep-konsep salaf secara simbolik ditetapkan, namun muatan-muatan kajiannya agar supaya dikembangkan, bahkan harus diadakan studi komparatif dengan khazanah pemikiran masyarakat pra-Islam. Ternyata memang benar-benar sebuah gagasan rekonstruktif.

Tapi bagaimanapun penulis akan memberikan sekelumit penjelasan, bahwa ternyata gagagasan rekonstruktifnya hanya tinggal sebuah gagasan. Karena secara kualitatif, sulit rasanya masyarakat Islam yang dirundung kelemahan berfikir untuk bisa memahami secara langsung signifikasi pemikirannya. Di samping itu karena budaya membaca, menganalisa dan memformat sebuah bangunan pemikiran kontemporer masih menjadi sesuatu yang jarang, bahkan mustahil. Maka tak salah kalau penulis pada akhirnya mengatakan, bahwa gagasannya menjadi sebuah dekonstruksi yang mengancam umat Islam dan dirinya sendiri. Ini bukan berarti dia tumbang, tapi butuh proses panjang agar bisa diterima oleh masyarakat Islam. Belakangan ini, rupanya sudah muncul angin segar dari Syaikh al-Azhar yang sekarang, Dr. Moh. Sayyid. Thanthawiy, bahwa al-Azhar tidak mengkafirkannya(38) atau Dr. Yahya Isma'il dalam majalah al-Liwâ’ al- Arabiy tidak menemukan sesuatu yang layak dikafirkan dari pemikirannya, bahkan ia siap menerima Nashr di rumahnya untuk tinggal bersamanya.(39)

Mengenai pengkafirannya, tentu saja hal ini perlu dipertegas kembali. Bahwa Nashr secara geneologis, ia dibesarkan dalam lingkungan Islam dan bahkan dipenjara karena dituduh terlibat dengan Ikhwân Muslimîn. Apalagi setelah keputusan dikeluarkan oleh mahkamah menyatakan sebuah pernyataan kepada masyarakat di koran Ahram tanggal 19 Juni 1995 dengan ungkapan, "Saya muslim dan bangga bahwasanya saya muslim, beriman kepada Allah Swt, Rasul Saw, Hari Akhir, Qadar serta saya bangga dengan kecenderungan saya pada Islam. Kemudian saya bangga dengan analisa-analsia ilmiah saya, dan saya tidak akan mengurungkan analisa-analisa tersebut, kecuali dengan alasan, bahwa saya salah."(40) Maka merujuk pada pendapat Moh. Abduh, bahwa seseorang yang mengeluarkan pendapat, sembilan puluh sembilan persen diantaranya mengandung nilai kufur, sedangkan satu persen mengandung nilai iman, maka wajib dikatakan bahwa ia beriman. Imam Ghazali dalam Faishal al-Tafriqah Bayn al-Islâm wa al-Zandaqah, bahwa seseorang tidak akan melakukan pengkafiran kecuali ia bodoh.(41) Tentu saja kedua perkataan ulang di atas merupakan sebuah landasan untuk mengadakan dialog yang hidup. Yang terpenting, bahwa masalah ini sifatnya internal antar umat Islam, maka pendekatannya harus berlandaskan nilai-nilai Islam yang samhah. Karena sesungguhnya, banyak permasalah yang menghantui masyarakat Islam kontemporer. Dalam hubungan dengan kebebasan berfikir, Moh. Abduh berkata, “Puncak kesempurnaan agama terletak pada dua hal penting. Pertama, kebebasan bersikap. Kedua, kebebasan berpikir. Apabila dua hal di atas dipenuhi, sempurnalah seseorang untuk menjadi manusia.” Hal inipun akan memberikan dorongan untuk menyampaikan apa yang disediakan oleh Allah sesuai dengan fitrah dan kemampuannya. Sebagian filsuf barat modern menyatakan, "Sesungguhnya perkembangan modernitas di Eropa berdiri tegak atas dasar ini. Maka jiwa tidak akan sanggup untuk bekerja, akal tidak akan berfungsi sebagai alat untuk menganalisa, setelah mengetahui banyak tentang apa yang ada dalam dirinya, dan ia berhak untuk melakukan ikhtiar dengan kemampuan rasionya untuk mencari kebenaran". Pemahaman semacam ini ternyata belum sampai kepada generasi kita kecuali pada abad 16 masehi. Mereka dengan tegas menyatakan, "Sesungguhnya hal di atas merupakan cahaya yang terang menderang yang muncul dari para pemikir muslim itu sendiri".

Islam sama sekali tidak membenarkan sikap para agamawan ketika mereka memperkosa hak para pemeluk agama untuk memahami kitab-kitab samawi. Mereka (para agamawan) menggunakan hak monopoli dalam hal ini, sehingga mereka menyepelekan beberapa pendapat yang datang dari kalangan bawah. Di samping itu, mereka mengklaim, bahwa merekalah yang berhak untuk menduduki kursi ‘suci’ tersebut. Maka teks-teks yang disuruh untuk dipahami oleh pemeluk agama sangat minim. Itupun dengan satu catatan, mereka (pemeluk agama) tidak boleh membahas secara detail sehingga keluar dari inti pembahasan. Dengan sikap ekstrim, kemudian mereka larut oleh sikap para pemuka agama serta merta tidak mencoba untuk memahami teks al-Qur'ân secara mendetail, yaitu dengan menyatakan adanya keterbatasan kapabilitas pemahaman terhadap yang ada dalam teks "syari’at dan nubuwwât". Antara pemuka agama dan pemeluk agama memiliki sikap dan pandangan yang sama yang mempercayai adanya suara dan huruf yang didengar. Mereka tidak mendapatkan hikmah dari turunnya kitab. Atau mereka lebih banyak mendengarkan atau membaca apa yang ada dalam kitab saja daripada merenungi isinya.(42)

V. Penutup

Akhirnya penulis akan mengatakan, bahwa Islam setelah 15 abad ini masih membutuhkan konsern yang jelas dan terarah dari umatnya, terutama bagaimana menciptakan suatu peradaban yang gemilang. Sehingga Islam tidak dikatakan sebuah agama yang hanya memuat omong kosong. Oleh karena itu perlu rasanya diadakan perluasan pandangan untuk menciptakan kesatuan berfikir dalam kerangka kebenaran. Penulis melihat, bahwa metode yang ia gunakan tidak lain bersumber dari kenyataan-kenyataan yang sudah semestinya menjadi bahan pemikiran dan pengaktualan nilai-nilai keislaman. Jadi, permasalahannya tidak hanya berhenti pada konteks pengkafiran ansich, tapi harus diperluas pada kerangka berpikir yang lebih cerdas dan dewasa. Kemudian, penulis harap agar selanjutnya ada gesekan-gesekan yang lebih membangun dan hiwar yang dinamis. Karena secara alami manusia adalah hewan yang berpikir dan dapat menuangkan aspirasi berpikirnya sesuai dengan daya, waktu dan lingkungan.

Catatan Kaki:

  1. Ibnu Rusyd, Abu al-Walîd, Fash al-Maqâl fîmâ Bay al-Hikmah wa al- Syarî’ah min al Ittishâl, Penebit al-Muassasah al-’Arabiyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr, Beirut, 1986, halaman 30.
  2. Syâhîn, Shâbur, Qisshatu Abû Zayd wa inhisâr al-Ilmâmiyyah fî Jâmi’ah al-Qâhirah, Dar al-I’tishâm, Kairo, tanpa tahun. Dr. Abd. Shabur Syâhî dalam buku tersebut menyatakan, bahwa Nashr adalah orang yang berusaha untuk menyebarkan ajaran-ajaran sesat terhadap para muridnya, sebagaimana halnya menyebarkan ‘virus AIDS kebudayaan’ kepada khalayak ramai. Shâbur pada akhirnya berkesimpulan, bahwa Nashr telah sengaja untuk memahami teks secara bebas. Namun masalah tersebut berkembang, ketika Shabur menggiring tuduhannya terhadap Nashr ke mimbar Masjid Amr al-Ash.
  3. Hasil wawancara penulis dengan wartawan GATRA di Kairo. Hal ini merujuk pada tulisan yang dimuat dalam Majalah GATRA tanggal 15 Juli 1995. Di dalamnya tertulis, bahwa pengacara Mahmoud Kindil telah menuduh pasangan tersebut telah melakukan zina atau Abdul ‘Al, bahwa buku Mafhum al-Nass penuh dengan hujatan terhadap Islam, karena Abu Zayd menyangkal, bahwa kitab suci diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan tersimpan dalam lauh ak-mahfudz. Penulis menyanggah, bahwa pernyataan ini tidak ditemukan dalam buku mafhum al-Nass.
  4. Fauzîy, Mahmûd, Abû Zayd bayn al-Kufr wa al-Imân, Dar al-Râid, Kairo, 1995 dan Majalah bulanan Huquq al-Insân tahun 1995.
  5. Majalan al-Arabiy
  6. Abu Zayd, Dr. Nashr Hâmid, Mafhûm al-Nass fî Dirâsât Ulûm al-Qur’ân, Al-Markaz al-Tsaqafi al-’Arabiy, Beirut, Cetakan ketiga, 1996, halaman 22
  7. Ibid, halaman 23
  8. Ibid, halaman 9
  9. Qardlawiy, Dr. Yusuf, Min Aji Shahwah Islamiyah Tajaddud al-Dîn wa Tanahhud al-Dunya, Dar el-Wafa, 1995, halaman 40.
  10. Abu Zayd, Op. Cit.
  11. Ibid, halaman 15
  12. Hanafi, Dr. Hassan, Dahwah li al-Hiwâr, Al- Haiah al-’Ammah li al- Kutub al-Mishriyyah, Kairo, 1996, halaman 34-35
  13. Mahmoud, Zaki Naquib, Tajdîd al-Fikr al-’Arabiyh, Dar el-Shourok, Kairo, 1993, halaman 274
  14. Ibid, halaman 224
  15. Abu Zayd, Loc. cit, halaman 24
  16. Ibid, halaman 25
  17. Q.S. Maryam : 10-11
  18. Abu Zayd, Op. Cit. halaman 33
  19. Q. S. al-Jin: 4-9
  20. Abu Zayd, Op. Cit. halaman 56
  21. Ibid, halaman 57 23. Khalid, Moh. Khalid, Insâniyât Muhammad, Dar el-Ma’ârif, 1981, halaman 141
  22. Abu Zayd, Op. Cit. halaman 66-67
  23. Al-Suyuthî, al-Hafidz Jalaluddin ‘Abdurrahman, al-Itqân fî Ulum al-Qur’ân, Tahqîq Abu al-Fadl Ibrahîm Jamîl, Maktabah Turast, Kairo, halaman 23.
  24. Abu Zayd, Op. Cit. halaman 77
  25. Ibid, halaman103 28. Q.S. Al-Baqarah : 219, al-Nisâ’ :43, al-Maidah :90-91
  26. Abu Zayd, Op. Cit. halaman 115.
  27. Ibid, halaman 117
  28. Ibid, halaman 121-122
  29. Ibid.
  30. Ibid, 139
  31. Jurnal Nuansa, Volume III no. I edisi April-Juli, 1997. Dalam hasil wawancaranya Dr. Musthafa Syak’ah mengatakan, bahwa Nashr Abu Zayd telah menolak bahwa al-Qur'ân diturunkan kepada nabi Muhammad. Setelah penulis menganalisa, ternyata dalam buku Mafhum al-Nass tidak ditemukan pernyataan di atas. Karena secara umum, Nashr hanya mencari sisi baru dalam menginterpretasi terhadap teks, di mana antara teks dan realita memiliki simbiose mutulistis yang sangat erat. Selain itu, Nashr telah menggambarkan secara kongkrit tentang turunnya al-Qur'ân pada Malaikat, kemudian pada nabi Muhammad untuk selanjutnya disampaikan kepada nabi Muhammad. (Baca buku Mafhum al-Nass halaman 57)
  32. ‘Imarah, Dr. Muhammad, al-Tafsîr al-Markîsî li al-Islâm, Dar el-Shourok, Kairo, 1997, halaman 32. Dalam hal ini, ‘Imarah mengangkat metode marxisme yaitu ketika Nashr mengatakan, bahwa realita di mana teks terbentuk di dalamnya mencakup bangunanan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan, penerima wahyu pertama dan penyampainya serta orang- orang yang menjadi obyek teks itu sendiri. Pernyataan ini dikritik oleh Dr. Mahmûd Isma’il, karena secara kongkrit ungkapan tersebut dikembangkan oleh Zamakhsyari dan al-Râzi, yaitu untuk menetapkan dimensi sosial dalam al-Qurân.
  33. Majalah Adab wa Naqd, edisi 142 Juni 1997, halaman 9
  34. Abu Zayd, Op. Cit. halaman 82
  35. Majalah Oktober, tahun ke II edisi 1066, Ahad 30 Maret 1997. Menurut Syaikh al-Azhar, Nashr bisa kembali ke Mesir kapan saja. Karena Islam bukan agama barbarian di mana seseorang memeluknya tanpa sebab dan musabab. Allah telah memberikan kebebasan pada setiap orang untuk memilih agama yang sesuai dengan kemauan dirinya. Oleh karena itu, paksaan dalam agama ditolak sesuai dengan perintah Allah. Yang terpenting untuk diketahui, bahwa di Mesir tidak ada mahkamah agama dan penghakiman agama.
  36. Tabloid al-Liwâ al-Arabiy, bulan April 1997.
  37. Imarah, Op. Cit. halaman 32
  38. Ibid, halaman 10.
  39. Al-A’mal al-Kâmilah li al-Imâm al-Syaikh Muhammad ‘Abduh Taqdîm wa Tahqîq Dr. Muhammad ‘Imarah, Dar el-Shourok, Kairo, halaman 455-456.


www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt