- I. PENDAHULUAN
Masalah Syi’ah kembali diangkat oleh beberapa kalangan baik yang bergerak
di bidang keilmuan maupun yang bergerak di bdang kemasyarakatan di tanah
air.Diantara kalangan yang kembali mengangkatnya adalah majalah Ulumul
Quran edisi 4 tahun 1995 dan Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai imbas perhatian
di atas, KMNU Kairo mengadakan diskusi rutin tentang Syi’ah dari berbagai
aspeknya. Syi’ah dari perspektif politik, merupakan judul yang penulis
pilih. Mengingat aliran dan mazhab dalam Syi’ah itu sangat banyak dan beragam,
maka penulis membatasi hanya dalam Syi’ah Imamiah Itsna Asyariah yang nampaknya
lebih mewakili aliran Syi’ah di era modern ini.
II. KEHADIRAN SYI’AH
Mengenai kehadiran Syi’ah terdapat beberapa pendapat di kalangan ahli
sejarah. Ada yang mengklaim bahwa Syi’ah lahir bersama dengan kelahiran
Islam itu sendiri. Yang berpendapat seperti ini tentu ulama Syi’ah sendiri,
seeperti Muhammad Baqir Al Shadr. Pendapat lain mengatakan bahwa Syi’ah
lahir pada akhir periode pemerintahan khalifah Utsman bin Affan. Pendapat
ini banyak didukung oleh ulama-ulama Ahlu Sunnah seperti Abu Zahraoh dalam
bukunya Tarikh El Mazahib El Islamiiah. Dalam makalah ini penulis tidak
merasa penting menentukan apakah kelahiran Syi’ah itu di zaman Nabi, seperti
yang diklaim oleh ulama Syi’ah atau di akhir zaman Utsman bin Affan, seperti
pendapat-pendapat ulama Sunni. Yang penting bagi penulis adalah apakah
kelahiran Syi’ah itu politis atau idiologis? Penulis lebih condong mengatakan
bahwa lahirnya Syi’ah adalah politis. Hal ini di dukung dengan fakta- fakta
sbb:
- Setelah Rasulullah saw wafat, para sahabat berkumpul untuk memilih
siapa yang akn meneruskan perjuangan Nabi dalam arti khalifah? Dalam rapat
itu tidak ada yang menyinggung bahwa Rusulullah telah menentukan penggantinya.
Seandainya ini ada sudah tentu rapat yang berkepanjangan itu tidak akan
diteruskan, karena di amping membuang waktu juga menyalahi idiologis (na’uzu
billahi min zalik).
Seandainya kelahiran Syi’ah adalah idiologis, seperti yang diklaim oleh
ulam Syi’ah, secara logis kaum Anshar tidak akan mencalonkan Saad bin Abi
Waqqas sebagai khalifah. Demikian Muhajirin tidak akan mencalonkan Ali
bin Abi Thalib dan Abu Bakar ra, karena mereka itu mempunyai idiologi yang
kuat. Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, sebenarnya secara idiologis
sudah memenuhi syarat, karena dibai’at oleh semua peserta rapay (aklamasi)
dan setelah itu beruntun pula kaum muslimin membai’atnya termasuk Sayidina
Ali bin Abi Thalib yang kebetulan tidak hadir dalam rapat itu.
Oleh sebab itu Syi’ah lahir karena kritikan terhadap praktek politik karena
calon unggulan mereka (Ali bin Abi Thalib) tidak terpilah dengan mengklaim
bahwa rapat yang tidak dihadiri oleh Ali bin Abi Thalib tersebut tidak
syah. Dengan lain perkataan yang dikritik adalah praktek politiknya bukan
esensi idiologisnya.
- Perbedaan pendapat yang mendasar antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiah
bin Abi Sofyan, setelah khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh, tentang
pelacakan siapa yang menjadi otak pembunuhan itu? Muawiah berpendapat pelaku
tindak pidana itu harus segera dilacak dan ditindak tegas. Sedangkan Ali
bin Abi Thalib berpedapat lebih baik ditunda dulu beberpa waktu sampai
keadaan mereda. Karena pelacakan di saat keadaan masih panas akan memperuncing
keadaan. Perbedaan pendapat ini sama sekali tidak menyentuh idiologis Islam,
tetapi hanya menyangkut masalah politik praktis.
- Kritik-kritik yang disampaikan kepad khalifah Utsman bin Affan, pada
uumnya tidak bersifay idiologis, tetap bersifat politik praktis. Di antaranya
karena khalifah dianggap terlalu lemah dan sering mengikuti pendapat muawiah
dan keluarganya secara berlebihan, termasuk mengangkat mereka sebagai amir-amir
di daerah.
- Kritik-kritik yang disampaikan oleh Syi’ah terhadap sisteem arbitrasi
(tahkim) di saat perang Shiffin, sebenarnya tidak lebih dari praktek politik,
walaupun memang unsur idiologisnya ada, akan tetapi tidak terlalu menonjol.
Dari keempat data di atas, kita dapat mengemukakan suatu kesimpulan
bahwa kehadiran Syi’ah lebih bersifat politis daripada idiologis. III.
KONSEP IMAMAH MENURUT SYI’AH Syi’ah Imamiah berpendapat bahwa Allah swt
telah menyuruh Rasulullah saw untuk menetapkan penggantinya yaitu Ali bin
Abi Thalib sepeninggal Beliau melalui ayat-ayat yang mereka interpretasikan
sedemikian rupa.
Di samping Ali bin Abi Thalib Syi’ah Imamiah juga mengakui ke-imaman duabelas
orang keturunan Ali bin Abi Thalib. Inilah sebabnya aliran ini disebut
Syi’ah Itsna Asyariah (Syi’ah duabelas imam). Imam yang terakhir adalah
Muhammad bin Hasan yang dinyatakan hilang sejak ayahnya meninggal dunia.
Beliau ini akan muncul kembali pada akhir zaman untuk memimpin dunia secara
adil. Peristiwa ghaibnya imam dalam Syi’ah ini secara politik dapat dibenarkan
dengan dua alasan:
- Adanya gap yang sangat besar antara kepemimpinan Nabi Muhammad saw
dengan kepemimpinan yang berlangsung di bawah imam Syi’ah yang duabelas,
dimana kemajuan dan keteladanan yang dihasilkan pada kepemimpinan Nabi
jauh lebih baik dari yang dihasilkan pada kepemimpinan Syi’ah Itsna Asyariah.
Maka salah satu cara untuk menutupi kekurangan tersebut adalah dengan cara
mengklaim menghilangya imam guna dapat memberikan legitimasi bahwa kemunduran
yang terjadi di dalam negara Islam tersebut tidak ada sangkut-pautnya dengan
konsep imamah dalam Syi’ah.
- Sebagaiman lazimnya dalam suatu negara yang berbentuk monarci yag kepemimpinannya
berpindah secara garis keturunan, maka ketrputusan mata rantai keturunan
karena meninggalnya anak satu-satunya bisa mengakibatkan berpindahnya kepemimpinan
kepada keluarga lain. Untuk menjaga tidak terjadinya perpinahan kepemimpinan
seperti itu, maka ide menghilangnya seorang imam dapat dipakai sebagai
legitimasi.
Dua alasan ini, oleh sistem sosial dan kepercayaan orang Timur lebh
mudah diterima. Karena dalam sosial dan kepercayaan orang Timur terdapat
konsep juru selamat. Agama Yahudi mempercayai bahwa Ilyas menghilang sejak
3000 tahun silam. Agama Kristen meyakini bahwa Isa as masih hidup an menghilang
dan akan kembali di suatu saat. Dalam agama Zoroaster ada keyakinan bahwa
Sawasyian menghilang dan akan muncul kelak untuk menyelamatkan manusia
dari kehancuran. Konsep imamah dari Syi’ah in, paling tidak berbenturan
dengan sistem politik Islam menurut Ahlu Sunnah dalm dua hal, yaitu:
- Syi’ah tidak mengakui konsep syura dalam politik Islam, sedangkan Ahlu
Sunnah menganggap syura sebagai basis politik Islam.
- Bahwa tidak mengakui ma’sumnya umat, tetapi mempercayai ma’sumnya imam,
sedangkan Ahlu Sunnah berpendapat sebaliknya, dimana yang ma’sum adalah
umat, adapun imam tidak ma’sum dari kesalahan. Kedua masalah ini, oleh
ulama-ulama Syi’ah selalu dibesar-besarkan, sehingga kita dapat membaca
perbedaan pendapat itu dalam buku-buku Syi’ah secara terperinci.
IV. KEKUSAAN SEORANG FAQIH DALAM POLIITIK SYI”AH
Pada mulanya konsep kekuasaan seorang faqih dalam politik Syi’ah belum
dikenal. Konsep ini baru muncul setelah menghilangnya imam terakhir tahun
260 H. Konsep ini berdsar pada suatu dalil akal yang mengatakan bahwa membiarkan
negara Islam tanpa pemimpin dalam jangka waktu yang tidak diketahui (sampai
munculnya Mahdi, imam tyerakhir yang menghilang) adalah merupakan pemandulan
terhadap hukum-hukum Islam yang pada akhirnya membuat umat IIslam kacau.
Oleh karena itu muncullah konsep kekuasaan seorang faqih. Pada mulanya
kekuasaan seorang faqih hanya terbatas pada masalah-masalah keagamaan dan
menentukan hukum-hukum yang bersifat parsial dalam pengadilan. Sedangkan
kekuasaan umum dalam bentuk mengatur negara dan memobilisasi umat masih
tetap merupakan kekuasaan imam.
Namun kenyataan pahit dalam masyarakat, mendorong ulama-ulama Syi’ah untuk
meninjau kembali konsep kekuasaan seorang faqih tersebut, yang pada akhirnya
hampir semua ulama Syi’ah kontemporer setuju untuk memberikan semua kekuasaan
imam kepada seorang faqih, untuk apat mengatur negara dengan baik.
Konsep ini mendapat persetujuan ulama-ulama Syi’ah karena didukung oleh
beberapa pengalaman pahit yang dilalui oleh negara Islam Syi’ah sepanjang
sejarah. Antara lain:
- Kegagalan Syi’ah dalam membentuk suatu negara ‘teladan’ dan banyaknya
perselisihan dan kezaliman- kezaliman yang dialami rakyat Syi’ah akibat
konsep imamah yang diyakini secara letterlik, tanpa memberikan kekuasaan
imamah tersebut kepada orang lain.
- Munculnya revolusi-revolusi rakyat Syi’ah menentang kekuasaan penjajah
di satu pihak, dan diyakininya konsep imamah secara letterlik di pihak
lain membuat semangat revolusi kandas di tengah jalan dan penjajahan semakin
semena-mena. Dengan demikian maka posisi seoarang faqih dalam aliran Syi’ah
sekarang sudah sangat besar. Hal ini ditandai dengan dibuatnya seorang
faqih sebagai marja’, sedangkan orang awam bertaklid mengikuti pendapatnya.
Kekuasaan seorang faqih ini bukan hanya berskup daerah tapi nasional.
Di antara syarat yang harus dipenuhi seorang faqih yang berskup daerah
dan nasional adalah:
- Mujtahid. Jadi seorang faqih itu harus mampu mengambil hukum-hukum
dari nash-nash yang ada dan harus mempunyai pengetahuan yang lengkap mengenai
sistem perundang-undangan negara.
- Adil. Seorang faqih harus mempunyai pendirian dan konsekuen dengan
pendiriannya, sehingga keputusan-keputusan yang diambil nampak alami tidak
dibuat-buat. Disinilah akan muncul keadilan. Oleh sebab itu untuk menjadi
seorang faqih harus mendapat rekomendasi dari orang yang baik-baik, baik
tentang kebaikan riwayat hidupnya dan baik cara berbuatnya. Kedua syarat
ini sudah barang tentu harus ditambah dengan syarat-syarat leadership yang
lain yang sifatnya lebih umum, seperti harus laki-laki, berani, cerdik
dan lain-lain.