[ A r t i k e l ]


KONDISIONALISASI HUKUM
Sebuah Pengantar Fikih Realita
Oleh : A. Sayuti Anshari Nasution

Pendahuluan

Dalam banyak hadis yang diriwayatkan masing-masing oleh Imam Muslim, Turmuzi, Ibnu Majah dan Ahmad, Nabi Muhammad saw. ada bersabda; Islam lahir dalam keadaan asing dan kelak akan hilang dalam keadaan asing pula.

Kata asing atau gharib dalam kamus Arab berarti jauh. Orang yang sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan adat suatu daerah dalam bahasa Arab disebut dengan “gharib” artinya jauh dari tradisi lingkungan yang ada. Demikian juga orang yang pergi jauh meninggalkan kampung halamannya dalam bahasa Arab disebut juga dengan “gharib” artinya menjauh dari tempat semula.

Asing disamping dapat dipakai untuk mendeskripsikan tempat seperti contoh diatas, juga dapat dipakai untuk mendeskripsikan situasi, kondisi dan persepsi. Dalam suatu situasi yang tidak menentu di mana sulit menafsirkan suatu gejala dan sulit menebak keadaan selanjutnya, orang akan cenderung mengatakan situasi tersebut dengan situasi yang asing, juga dalam kondisi keluarga bila tingkah laku dan kebiasaan anak-anak tidak selaras dengan tingkah laku orangtuanya seperti orangtuanya alim tetapi anak-anaknya brutal-brutal, orang akan menjuluki kondisi keluarga itu dengan kondisi keluarga yang asing, begitu juga suatu ide atau persepsi yang tidak selaras dengan kenyataan masyarakat, baik karena terlalu jauh di depan maupun karena sudah usang dan telah lama ditinggalkan akan dijuluki juga dengan persepsi yang asing.

Bila kita melihat ke zaman jahiliah, zaman menjelang lahirnya Islam, kita mendapatkan bahwa baik situasi, kondisi dan persepsi yang diajarkan Islam memang jauh dari situasi, kodisi dan persepsi umat jahiliah di masa itu. Terlalu sulit mendapatkan titik temu antara ide yang dibawa dengan realita masyarakat yang ada. Pihak yang mempertahankan tradisi cenderung menjuluki Nabi dengan tukang sihir dan orang gila. Tuduhan ini digelindingkan tidak lain hanya sekedar tindakan reaksioner mengekspresikan perasaan mereka yang asing melihat ajaran baru itu, karena ide-ide yang dibawa tidak sesuai dengan realita yang ada..

Persimpangan Antara Konsep dan Realita

Setelah berdirinya negara Islam di Madinah dan terbentuknya masyarakt muslim, kecendrungan untuk membumi dan mengaplikasikan ajaran Islam dalam semua bidang kehidupan oleh pemimpin dan masyarakat sangat jelas dan intens, mulai dari kehidupan yang sangat pribadi, seperti etiket tidur dan cebok sampai ke bidang kehidupan yang luas, seperti sistem pemerintahan. Sejak itu ajaran Islampun sudah tidak asing lagi buat masarakat, artinya ide Islam sudah sesuai dengan relaita masyarakat Berkat pengaplikasian tersebut, Islam berhasil membawa masyarakat dari tarap jahiliah yang serba ketinggalan dalam semua bidang menjadi masyarakat yang maju dalam hampir semua bidang.

Setelah Islam mengalami kemunduran, negara-negara Islam terpecah-pecah dan tunduk di bawah pemerintahan penjajah kristen, ajaran Islam mulai mundur, pertama-tama dari arena pemerintahan, kemudian dari arena sosial. Sejak itu ajaran Islam mulai mandul tidak berfungsi banyak dalam mengendalikan masyarakat seperti pada masa sebelumnya karena sudah disekulerkan dan mulai terasing. Konon pintu ijtihad dikatakan sudah tertutup.

Beberapa tahun terakhir ini, setelah penjajah mengangkatkan kakinya dari negara-negara Islam, di saat umat Islam ingin membangun negara masing-masing dan ingin mengejar ketinggalannya selama masa penjajahan, di sana sini terasa bahwa ketinggalan sudah terlalu jauh. Ajaran Islam dengan persepsi ulama-ulama terdahulu yang diabadikan dalam kitab-kitab turats ternyata sudah banyak yang tidak selaras dengan realita masyarakat akibat terjadinya stagnasi ilmu-ilmu keislaman selama penjajahan di satu pihak, sedangkan di pihak lain dunia terus bergerak maju dan berkembang. Dari itu keterasingan ajaran Islam dari realita yang ada semakin jelas dapat dirasakan.

Di antara faktor yang memperbesar jurang antara konsep Islam dengan realita adalah reaksi kaum muslimin menghadapi penjajah yang begitu lalim cendrung bersifat menjauhkan diri. Hal ini ditandai dengan berkembang pesatnya aliran-aliran sufis di mana-mana yang mengakibatkan kondisi masyarakat Islam semakin terisolir dan menjauh dari perkembangan kehidupan.

Legitimasi Kondisionalisasi Hukum

Tujuan umum dari syariat Islam adalah untuk merealisasi kepentingan umat manusia yang dapat terjadi bila kepentingan primer (dhoruriat), sekunder (hajiat) dan tertiernya (tahsiniat) dapat dipenuhi. Bila kepentingan-kepentingan di atas tidak diperdulikan, tidak bisa diharap umat Islam akan merasakan gunanya agama, malah sebaliknya hanya dirasakan sebagai beban yang merupakan sebab keterbelakangan.

Kepentingan dharuriat adalah kepentingan yang mutlak harus diperhatikan, jika tidak, maka kehidupan akan kacau dan tidak terteram, seperti perlindungan terhadap akidah, jiwa, harta, keturunan dan nama baik. Bila agama tidak memperhatikan perlindungan jiwa penganutnya, sudah barang tentu, kehidupan masyarakat Islam akan kacau. Demikian seterusnya untuk contoh yang lain.

Kepentingan hajiat adalah kepentingan yang harus diperhatikan, jika tidak, maka warga muslim akan mengalami kesulitan, seperti legitimasi berbagai jenis transaksi yang diperlukan untuk kesejahteraan umat atau legitimasi rukhshoh dalam berbagai jenis ibadah.

Kepetingan tahsiniat adalah kepentingan yang bila tidak diperhatikan, maka kondisi umat akan tidak enak dilihat atau dirasakan, seperti etiket, cara hidup, kebersihan dll.

Ketiga-tiga kepentingan tersebut mengalami perubahan nilai dari zaman ke zaman. Suatu kepentingan yang zaman dahulu belum dinilai dharuriat tidak mustahil zaman sekarang sudah dinilai dharuriat, seperti kawin dan pendidikan yang di zaman dahulu tidak digolongkan kedalam kelompok dharuriat oleh ulama-ulama Islam klasik. Akan tetapi ulama-ulama Islam kontemporer telah menganggapnya kepentingan dharuriat. Demikian juga halnya dengan kepentingan hajiat, yang di zaman dahulu belum dikatakan kebutuhan hajiat, tidak mustahil sekarang sudah tergolong kebutuhan hajiat, seperti menguasai bahasa Inggris untuk seorang yang terpelajar atau tokoh masyarakat. Kepentingan tahsiniat juga demikian, kebutuhan terhadap transportasi dahulu dianggap barang mewah, tetapi sekarang sudah dianggap kebutuhan tahsiniat.

Dalam aplikasi kekinian, timbul pertanyaan, apakah kita masih harus mengadopsi pendapat ulama-ulama Islam klasik dalam menentukan jenis kepentingan kita, bukankah kita lebih tahu kepentingan kita dari orang lain ? Bila jawabnya ya, maka kondisionalisasi hukum adalah merupakan suatu upaya yang cukup relevan dalam implementasi Islam kekinian.

Apilkasi Kondisionalisasi Teks Oleh Ulama Islam Klasik

Kondisionalisasi teks sebenarnya bukanlah produk zaman sekarang, dari sejak Rasulullah saw, khulafaur Rasyidin dan ulama-ulama Islam klasik telah mengimplementasikan kondisionalisasi teks ini.

Berikut ini disampaikan beberapa indikator.

  1. Kita mengenal istilah asbabulwurud yang merupakan background munculnya hadis untuk menjelaskan sesuatu hukum. Dalam banyak hal memang asbabulwurud itu tidak menentukan hukum, sehingga kita mengenal sebuah kaidah: “al-‘ibrah bi ‘umum al-lafdh la bi khushus al-sabab”. Ini dapat diterima bila memang teks tersebut dapat diartikan umum. Bila teks tidak dapat diartikan umum tetapi khusus untuk peristiwa yang melatar belakangi munculnya hadis, tentu kaidah itu tidak bisa diaplikasikan. Dengan demikian faktor realita jelas berfungsi.
  2. Keputusan-keputusan hukum yang dikeluarkan oleh Nabi saw. tidak semuanya bersifat umum, tetapi dalam banyak kasus berkaitan dengan keadaan yang bersifat khusus seperti larangan menyimpan daging korban di saat adanya paceklik, malah kadang-kadang bersifat sangat pribadi, seperti kesaksian Khuzaimah menempati kafasitas dua orang saksi. Dalam dua hal yang terakhir ini sudah barang tentu faktor realita sangat dominan.
  3. Khulafaur Rasyidin, juga melakukan hal yang sama. Kita mengetahui, keputusan Umar tidak memberikan zakat kepada muallaf yang dari sejak Rasulullah saw, Abu Bakar r.a. mereka selalu mendapatkan hak tersebut.
  4. Ulama-ulama Islam klasik sangat memperhatikan realita, Imam Malik mengaamalan penduduk Madinah sebagai sumber hukum. Ini tidak lain karena perhatian yang sangat besar terhadap realita. Imam Syafii setelah sampai di Mesir merubah fatwa-fatwa yang dikeluarkan selama di Bagdad, juga karena faktor realita.
  5. Pakar Usul Fikih mengakui bahwa adat (uruf) adalah sumber hukum, selama tidak bertentangan dengan Alquran, hadis dan ijmak ulama.
  6. Sebagian pakar Usul Fikih menganggap masalih el mursalah sebagai sumber hukum, yang nota benenya adalah pertimbangan terhadap realita sosial.
  7. Dalam Ilmu Usul Fikih dikatakan, bahwa suatu hukum dapat berobah sesuai dengan illat hukumnya.
  8. Pada dasarnya tindakan para ulama mentakwil makna suatu ayat atau hadis yang terasa mengalami ganjalan dalam mamahaminya, adalah didorong oleh pertimbangan terhadap kondisi atau realita. Nampaknya hampir semua ulama melaksanakan tindakan seperti ini, sampai-sampai pengikut Daud Zahiri dan Ahmad bin Hanbal yang mengatakan tidak dibenarkan mentakwil nash juga secara terpaksa melakukannya. Diantara contoh takwil yang dilakukan adalah :
    • Ayat yang mengatakan bahwa pembunuh muslim tetap muslim dan saudara
    • Hadis yang mengatakan bahwa seorang peminum khamar, pezina, pencuri telah keluar dari keislamannya sewaktu melakukan tindakan kriminal tersebut.
    • Hadis yang mengatakan bahwa sungai nil dan Efrat adalah sungai sorga
    • Hadis yang mengatakan bahwa Hajar Aswad berasal dari sorga
    • Hadis yang mengatakan bahwa raudhah adalah tempat yang akan ada di sorga nanti.
    • Dll.

Kaus Kontemporer Yang Menuntut Kondisionalisasi

Untuk melengkapi makalah ini, berikut akan disampaikan beberapa kasus kontemporer yang menuntut diadakannya kondisionalisasi dalam pengaplikasian hukumnya, akibat terjadinya persimpangan antara konsep yang diwarisi dengan realita yang ada.

  1. Dalam karya-karya turats, kaum wanita banyak disudutkan, tidak diperkenankan terjun ke dalam beberapa arena kehidupan masyarakat. Banyak posisi sosial yang dialokasikan buat kaum lelaki, terlarang buat kaum wanita, seperti menjadi hakim. Persepsi seperti ini dianggap asing dan tidak dapat landing di masyarakat modern sekarang ini, di mana situasi dan kondisi telah mendukung kaum wanita untuk terjun ke dalam arena kehidupan yang dulunya dianggap pantang ditekuni kaum hawa. Situasi dan kondisi modern juga telah membuktikan bahwa posisi kemasyarakatan yang dulu dianggap dominasi kaum lelaki sudah tidak rilevan. Spesifikasi hakim yang dideskripsikan oleh ulama turats adalah hakim yang mujtahid mutlak, sedangkan hakim sekarang tidak demikian. Seorang hakim kepala sekarang tidak dibenarkan memutuskan kasus tanpa konsultasi dengan anggota dewan hakim lainnya, di pihak lain semua jenis kasus dan hukuman sudah tertera dalam kitab undang-undang, tidak membutuhkan usaha ijtihad.
  2. Dalam kitab turats kita menemukan ulama-ulama Islam klasik menyebutkan barang-barang zakat hanya terbatas pada Emas/ perak, perdagangan, pertanian, peternakan, barang tambang dan harta galian, karena barang-barang tersebutlah perlambang kekayaan di saat itu. Adapun hasil perkebunan, perikanan, profesi tidak pernah disebut. Perkembangan zaman telah merobah keadaan, penghasilan yang diperoleh dari hasil perkebunan, perikanan dan profesi ternyata sudah lebih besar dari sumber-sumber kekayaan yang diakui di zaman dahulu. Masihkah tetap dipertahankan konsep klasik? Di mana keadilan!
  3. Masih mengenai zakat, para ulama klasik menyebutkan nisab zakat perdagangan senilai 85 grm emas, hasil pertanian 50 watsak (+500 kg), unta 5 ekor, kambing 40 ekor dst,. Kondisi zaman dahulu petani dan peternak, melakukan usahanya memang semata-mata untuk keperluan konsumsinya tanpa ada niat dagang. Namun perkembangan sekarang telah merobah pandangan tentang pertanian dan peternakan. Saya rasa tidak ada seorang petani atau peternak sekarang ini yang menggeluti usahanya tanpa dibarengi niat dagang. Lalu timbul kerancuan, apakah hasil pertanian dan peternakan yang memang betul-betul untuk bisnis masih harus dizakati berdasarkan nisab pertanian dan peternakan, seperti tertera dalam kitab-kitab turats atau harus dikondisikan sesuai dengan keadaan sekarang?
  4. Ulama-ulama klasik menyebutkan berbagai kemungkinan terjadinya pembunuhan tidak sengaja yang dalam penyelesaian hukumnya dilakukan dengan pembayaran diat oleh akilah. Akilah yang dideskripsikan adalah berdasarkan keturunan darah. Contoh-contoh yang disebutkan, dari sejak lama sudah dinilai tidak relevan, sehingga sistem akilah itu sendiri tidak populer lagi. Realita sekarang, menunjukkan banyaknya bentuk-bentuk pembunuhan tidak sengaja, umpamanya kecelakaan lalu lintas, operasi dokter dll, sehingga sistem akilah pun terasa mulai relevan kembali. Akan tetapi bentuk akilah yang berdasarkan keturunan nampaknya tidak relevan, karena terjadinya urbanisasi dan emigrasi, sehingga keluarga satu keturunan telah terpencar-pencar mengakibatkan kelompok masyarakat atas dasar profesi lebih rilevan untuk diangkat sebagai sistem akilah.
  5. Ulama-ulama pendahulu kita telah mendeskripsikan acara pertunangan baru dikatakan resmi bila dilakukan mengikuti adat, yaitu orang tua pria datang membawa sesembahan kepada orang tua wanita dan memintanya langsung untuk menjadi calon istri bagi anak mereka. Sesudah diterima, masing-masing membaca fatihah. Nampaknya anak muda sekarang sudah banyak berontak terhadap adat tersebut, mereka lebih setuju kalau acara pertunangan terjadi antara kedua pasangan disaksikan oleh beberapa orang teman akrab mereka, tanpa melibatkan orang tua Bukankah cara ini sudah dianggap syah.

Penutup

Ajaran Islam baru akan bermanfaat buat ummat, bila ajarannya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, sebaliknya Islam tidak bertanggung jawab atas keterbelakangan dan menimbunnya kesulitan yang dihadapi ummat bila ajaran Islam itu sendiri tidak diaplikasikan secara tepat. Ibarat dokter, tidak bertanggung jawab atas ketidak sembuhan seorang pasiennya, bila obat yang telah ditetapkan tidak dimakan sesuai waktu dan dosis yang ditentukan.

Kondisionalisasi hukum adalah merupakan upaya dalam rangka pengaplikasian hukum secara tepat, sehingga ajaran Islam tidak terasa asing dalam kehidupan.Membiarkan ajaran Islam menjauh dari kehidupan berbarti mengucapkan selamat jalan buat selama-lamanya untuk Islam sesuai hadis yang disebutkan pada pendahuluan makalah ini. Untuk mendapatkan persepsi yang lebih dapat dipertanggung jawabkan, perlu diadakan pengkajian lebih mendalam dan serius tentang hal ini.

Demikian, atas kritik yang membangun diucapkan banyak terima kasih.

****

Daftar Bacaan:

  1. Al-Qur'an al-Karim
  2. Sahih Muslim
  3. Dr. Yousuf Qardawi, Al Marja'iyatu al-Ulya fi al-Islam li al-Qur'an wa al-Sunnah
  4. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul al-Fiqh
  5. Dr. Gamal Atiah, Kaifa Nata'ammal Ma'a al-Waqi'
  6. Abu Abdillah al-Maliki, Ahkam Rasulillah saw fi Qadhaya
  7. Muhammad bin Ahmad al-Maliki, Qawanin Ahkam al-Syari'ah


www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt