[  A r t i k e l ]


FILSAFAT ‘AQQAD;
Perintis Ideologi Pemikiran Islam
Oleh : Zainurrafieq

Pendahuluan

Sosok ‘Aqqad (Abbas Mahmud ‘Aqqad) dalam khazanah keislaman selalu diposisikan sebagai Adib (sastrawan), tapi sebenarnya lebih dari itu, karena ternyata ‘Aqqad memegang kunci termahal dalam percaturan pemikiran Islam, sebagai perintis ideologi pemikiran Islam.

Djalal ‘Asyri dalam bukunya al-'Aqqad wa al-'Aqadiah menegaskan bahwa ‘Aqqad adalah Aristotelesnya filsafat Islam yang merupakan kelanjutan dari dua filosof Islam lainnya, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, sebagaimana Aristoteles menjadi orang ketiga filosof lama setelah Socrates dan Plato.

‘ABBAS MAHMUD 'AQQAD

Nama lengkap Abbas Mahmud 'Aqqad yaitu Abbas Mahmud Ibrahim Mustafa 'Aqqad, dilahirkan pada 28 Juni tahun 1889 di Aswan. 'Aqqad dilahirkan dalam suasana keluarga yang sangat akrab dengan disiplin Agama dan disiplin nilai-nilai luhur, sehingga dengan keadaan seperti ini, secara tidak langsung telah memberikan frame dan rel bari kehidupan 'Aqqad.

Ayah ‘Aqqad yang sangat memperhatikan akan kehidupan sang anak pun sangat mendukung atas kelancaran perjalanan 'Aqqad dalam bertindak dan berfikir. Pada suatu hari ada semianar para ulama yang diikuti pula oleh ayah 'Aqqad di Al-Mundziroh, saat itu 'Aqqad masih dalam alam kanak- kanak dan belum dewasa, namun ayahnya memaksa ‘Aqqad untuk mengikuti seminar yang berisikan politik dan wawasan yang lainnya. Ternyata dari pembawaan kejeniusan 'Aqqad, 'Aqqad mampu memberikan masukan-masukan dan mampu berdialog bersama para ulama besar yang hadir dalam nadwah itu, itulah diantara ciri-ciri kejeniusan 'Aqqad yang sudah terlihat semenjak masa kanak-kanak.

Dalam masa hidupnya tiada yang 'Aqqad ketahui selain Aswan tempat ia dilahirkan dan dikuburkannya serta Kairo sebagai tempat ia bekerja dan berfikir hingga menjadi kiblat para pemikir. Tiada lain yang ia diketahui kecuali Wiliam Skespir dalam masa hidupnya, Strotford tempat kelahirannya dan London tempat kematiannya, tempat mengukir sejarah dengan kegemilangan syair-syair karyanya.

Dalam masa studinya, ketika ‘Aqqad menginjak masa sekolah, ‘Aqqad memasuki sekolah Ibtidaiyyah, namun tak lama kemudian ia masuk madrasah Aswan al-Amiriah. Berawal dari sini, ‘Aqqad mulai banyak menimba ilmu dari berbagai guru . Madrasah itu pula yang mengantarkan ‘Aqqad menjadi pemikir yang sangat brilian dan kemudian membentuk ‘Aqqad menjadi penulis yang produktif dan berakar. Dari Madrasatul Kuttab lahir pengarang-pengarang yang sangat terkemuka di masanya.

Pengantar Kecendekiaan ‘Aqqad:

Memandang dan menyikapi ‘Aqqad tidak sama halnya dengan membaca Rene Decrates (1596-1650), Heigel dan John Locke (1632-1704) dengan seperangkat spesialisasi ilmu yang dikuasainya.

Upaya ini merupakan sikap yang sangat bijak guna mengetahui ‘Abbas Mahmud Aqqad yang sebenarnya. ‘Aqqad mampu menguasai Islamic Studies, karena pelajaran yang menjadi dasar pijakannya adalah Islam. Tapi hal ini tidak menjadikan pandangan bahwa ‘Aqqad tidak menguasai dalam berbagai disiplin bidang lainnya.

Jika dibandingkan dengan keilmuan yang dimiliki Heigel dan Deskartes, pada kenyataannya ‘Aqqad akan tetap mendapatkan posisi yang sangat memegang fungsi, karena pemikiran liberal dan klasik semacam ini mempunyai potensi berkembang sesuai dengan etos belajar. Maka orang seperti Aqqad tidak hanya seorang ahli dalam agama, tapi bisa menjadi apa saja. Maka tak berlebihan jika Aqqad dinisbatkan sebagai ekor dinusaurus, hal ini bisa dilacak dari kemampuan Aqqad dalam ilmu botani, Fisika, Sosiologi, Filsafat dan lain sebagainya.

‘AQQAD - ABDUH - AFGHANI

Dalam sisi ilmu agama, sosok ‘Aqqad mempunyai mata rantai dengan Jamaluddin al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh. Dapat disimpulkan bahwa kegiatan ilmiah ‘Aqqad adalah sebuah jendela untuk mengetahui masa lampau dinamika pemikiran Islam. Jalal al-Asyri menegaskan, bahwa ‘Aqqad adalah orang ketiga yang eksis dalam percaturan sejarah pemikiran Islam modern setelah Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Sebagaimana Aristo menjadi orang ketiga setelah Sokrates dan Plato.

Untuk memperdalam opini matarantai dari ketiga tokoh tadi, kita uraikan satu persatu.

Syekh Muhammad Abduh yang lahir di Desa Mahallat Syibra Khait propinsi Bahira pada tahun 1849, sejak masa kanak-kanaknya telah dihadapkan pada posisi yang sangat mendukung untuk melawan dan menentang pemerintahan tiran. Hal ini dapat dilihat dari perkataannya "Orang-orang yang kejam dari pemerintahan telah menangkap keluargaku, dengan alasan mereka telah mengangkat senjata dan melawan pemerintahan. Mereka dimasukan penjara dan tidak keluar sebelum menjadi mayat".

Pada tahun 1862 ia pergi ke Tanta untuk belajar ilmu Tajwid di Jami’ al-Mahdi. Tahun 1864 setelah menamatkan hafalan Qur’annya, beliau memulai pelajaran al-Azhar di Jami’ al-Ahmadi itu. Metode yang jelek dan sulit diikutinya ternyata membuat beliau frustasi dan keluar dari Jami’ itu pada tahun 1885. Di kampungnya beliau menikah dan memutuskan ingin menjadi petani saja. Tapi ayahnya yang sangat ‘arif, memaksanya untuk kembali lagi ke dunia ilmiah. Dan pada masa itu beliau dipertemukan dengan paman bapaknya Khadr Darwis, sufi dari Sanusiah. Dari pamannya itu beliau banyak mendapatkan masukan-masukan dan pengajaran sufi yang sangat membangkit kan gairah belajarnya.

Pada tahun 1866 beliau memutuskan untuk pergi ke Kairo belajar di Jami’ al-Azhar. Pada waktu itu di al-Azhar sedang beradu kekuatan antara Syariah-oriented conservatif dan Sufi Oriented. Muhammad Abduh mengambil pelajaran dari kedua kubu itu namun berafiliasi kepada kelompok Sufi.

Pada tahun 1871 Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir untuk yang kedua kalinya, Muhammmad Abduh banyak belajar darinya dan meninggalkan belajarnya di Azhar yang mandul. Di tangan Afghani lah kesufian Abduh pupus dan beralih pada filsuf. Afghani berkata, "Jika seorang filsuf duduk di mesjid, memegang tasbih dan memakai pakaian kasar, maka itu adalah Sufi. Tapi kalaulah ia duduk di warung kopi, mengisap Syisa, maka ia adalah benar-benar seorang Filsuf".

Pada tahun 1872 ia meluncurkan tulisannya yang berjudul "Risalah al-Waridah " dan ini adalah tulisan pertamanya yang mengabadikan pemikiran pada fase pertama dalam lembaran hidup di alam pemikiran.

Setelah Afghani diasingkan dari Mesir dan Abduh dipecat dari pekerjakaannya yang kemudian dipenjara dan dibebaskan lagi oleh Riyad Pasya, dan bergabung dengan Hizb Watoni al-Hur sampai revolusi arab tahun 1882 ia menjabat sebagai pemimpin redaksi koran Al-Waqa’i’ al- Misriyyah.

Kemudian ia pergi ke Beirut setelah revolusi Arab itu sampai dipanggil oleh Afghani ke Paris dan membuat majalah Al-Urwatul Wutsqa. Setelah merasa bosan dengan permainan politik, Abduh pergi ke Tunis dan Beirut dengan harapan bakal kembali ke Mesir. Pada masa-masa inilah beliau banyak menulis bidang bidang lain dengan metode yang sangat modern, seperti tafsir dan lain sebagainya.

Sekembalinya ke Mesir beliau dimarahi gurunya di Paris, ia dicap sebagai pengecut karena memang suhu politik waktu itu sangat membuatnya sulit untuk berbuat.

Kemudian Abduh berdamai dengan penguasa, dan pada tahun 1895 dibentuk Dewan Administrasi Azhar dan beliau termasuk salahsatu perwakilan dari pemerintah. Namun kemesraannya dengan pemerintah renggang kembali ketika berbeda pendapat dengan pemerintah dalam masalah Inggris dan penukaran tanah wakaf Azhar oleh penguasa. Abduh meninggal di Iskandariah dengan meninggalkan 3 anak pada 11 Agustus 1905.

Jamaluddin di lahirkan di desa Asad Afghanistan tahun 1839. Afghani mengenyam pengajaran berbagai ilmunya di kota Kabul, mulai dari logika, tasawuf, ilmu kalam, hadis , fikih dan lain sebagainya serta memperdalam bahasa Bahasa Inggris di India. Dengan demikian ia telah mengenyam dua kebudayaan, tradisional dan modern.

Ketika ia kembali ke Afghanistan ia langsung menjabat sebagai Mentri Pertama (Wazir al Awwal). Namun setelah terjadi kudeta politik, beliau mengundurkan diri dan lebih senang berpetualangan seperti ke India Mesir dan Prancis. Petualangan ke Mesir ini yang mendukung beliau banyak berkomunikasi dengan ulama-ulama Azhar dan mahasiswa- mahasiswanya. Dari sini persahabatan dengan Muhamad Abduh menjadi kental.

Setelah diusir dari Mesir dan kembali ke India, para ahli memandang bahwa keterbukaan pemikiran Afghani disebabkan karena terbukanya komunikasi dengan ulama-ulama India dan pemikir non muslim yang ada di Bombay yang sering dan suka menyerukan kebebasan dan kemajuan kaum Muslimin.

Di India beliau mendapatkan berbagai pengajaran yang tidak diterimanya di Afghanistan atau Mesir. Bakan di India, beliau sempat mempelajari teori Darwin, faham-faham Materialisme, Idealisme, Rasionalisme, Naturalis me dan ilmu-ilmu barat lainnya.

Setelah berada di Paris, dengan mengajak Muhammad Abduh, mereka mendirikan Urwatul wutsqa yang menyerukan kepada semua negara muslim untuk mengadakan revolusi terhadap kaum imperialis dan juga menyerukan kebebasan dari kaum Absolutisme dan kesewenang-wenangan politik dalam negri.

Perjalanan kehidupan Afghani yang selalu mundar-mandir antar negara -negara Islam dan Non-Islam (barat), telah menyingkap dua hal yang sangat signifikan dalam sosok Afghan. Pertama, Keterpengaruhannya oleh dua akar budaya Islam dan Barat, yang dapat dilihat dari cara pandang dan kontribusinya dalam masalah sosial-politik dan reformasi nilai. Kedua, Pengaruh langsung terhadap kehidupan politiknya.

Pembelaan terhadap filsafat, telah menyebabkan Afhani diusir dari Istambul karena dalam pemahaman nya ia tak risih mengatakan akan kekagumannya terhadap peradaban barat yang timbul dari perubahan filsafatnya dan ia mengeritik kaum muslimin karena tidak mempelajarinya. Afghani sangat bersikeras dalam menegakkan filsafat sebagai satu-satunya daya yang mampu membangkitkan dan mengeksploitasi daya hidup manusia. Dari sinilah Afghani menyimpulkan bahwa seandainya ruh filsafat ada di sekolah-sekolah, maka pastilah kaum muslimin-dengan tidak ada ketergantungannya pada barat akan bangkit dan maju. Afghani berpandangan bahwa transfer ilmu dan filsafat barat tidak akan berhasil jika hanya dengan pengajaran saja sebab lebih dari sekedar itu ada " pandangan pemikiran"yang lebih mendalam dan universal . Namun hal ini tidak berarti menurut Afghani kaum muslim harus menelan peradaban barat secara mentah-mentah dan apa adanya.

Afghani hanya menegaskan bahwa kebangkitan dan kemajuan kaum muslmin hanya ada pada satu gerbang yaitu gerbang ilmu. Faktor kemunduran peradaban Islam menurutnya adalah "sikap tak peduli terhadap sesuatu yang menjadi faktor stimulasi kebangkitan, yaitu meninggalkan hikmah (ajaran) dan tidak mengamalkan ajaran-ajaran itu. Padahal agama adalah kekuatan yang menyatukan keinginan yang berbeda dan sebuah aturan yang terpencar-pencar". Afghani pernah berkata pula : "Siapa yang aneh dengan ucapanku bahwa dasar-dasar agama yang benar —yang bebas dari unsur bidah—adalah yang menumbuhkan kekuatan persatuan serta keserasian universal ummat, serta mendorong untuk menggapai setiap keutamaan dalam meniti sebuah peradaban". Penekanan Afghani dalam meniti Islam memang tidak hanya sebatas pemberantasan khurafat dan bid’ah, namun lebih dari itu sangat menekankan pada sisi universalitas dan kemurnian nilai.

Tentang posisi ke-sunni-an Afghani pernah dipertanyakan. Dr. Luis ‘Aud mendukung persepsi yang mengatakan bahwa Afghani adalah termasuk kaum Syi’ah. Namun Dr. Muhammad Imarah dalam bukunya yang berjudul "Afghani Al-Muftaro Alaih" menegaskan bahwa Afghani bukan seorang Syiah, sebab ia sendiri mengkritik konsep imamah yang merupakan inti dari akidah Syiah. Dari kesemuanya ini pantaslah sosok Jamaludin al-Afghani terposisikan sebagai sosok pembaharu Islam.

FILSAFAT DAN FILOSOF

Ada filsafat sejarah, filsafat bahasa, filsafat moral, filsafat matematika dan lain sebagainya yang berarti pembahasan tentang pemikiran dan konsep yang menopang ilmu-ilmu tersebut. Tetapi filsafat yang kita maksud lebih luas karena mencakup juga pada meta fisika.

Dari perjalanan sejarah kita mengetahui bahwa bangsa-bangsa yang besar dalam sain dan teknologi adalah bukan lahan yang subur untuk perkembangan filsafat. Dulu, Mesir, India, Romawi adalah negara-negara maju dalam iptek, namun pergumulan filsafat di sana tidak seramai di Yunani yang nota bene termasuk negara tertinggal dalam masalah iptek dan sains.

Islam ketika menghapus kekekuasaan pemuka agama, menjadi lahan yang subur bagi pergumulan filsafat, melebihi filsafat Yunani negara kelahirannya. Al-Kindi (801-866) Farabi (870-950), Ibnu Sina (980-1037), Syarif Jarjani dan Ibnu Rusyd adalah rangkaian filosof besar Islam. Dalam menerangkan kata Filsafat, kesemuanya ini sangat majemuk dan berbeda, masing-masing memakai pendekatan yang berbeda tapi mempunyai tujuan yang satu. Al-Kindi yang menterje mahkan filsafat memakai pendekatan ilmu, berbeda dengan Farabi yang lebih memakai pendekatan gabungan Ilmu dan Mawjudah (Hampir seragam dengan ‘Aqqad) dan Ibnu Sina yang memakai pendekatan tabiat manusiawi.

Farabi, guru kedua telah membebaskan Aristoteles, sang guru pertama dari pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan dan menafsirkan pendapat dan pandangan-pandangannya hingga dapat diserap oleh orang-orang beriman. Demikian pula Ibdu Sina, ia telah menginovasi pembagian wujud kepada wajib bid dzati dan mumkin bidzati wajib bighairihi.

Dari sini jelas bahwa Akidah Islam tidak menutup pertemuan dengan peradaban lain. Islam tidak menolak filsafat karena dia adalah upaya memikirkan realita dan bila ada perbedaan pendapat, maka memang akal tidak dapat dipaksa untuk seragam.

FILSAFAT DAN 'AQQAD

Posisi 'Aqqad dalam percaturan filsafat, bukanlah sebagai filsuf murni seperti Plato atau Sokrates dan Aristoteles, namun beliau adalah seorang filsuf dan juga seorang penyair serta seorang kritikus.

Konsep yang digelindingkan ‘Aqqad sangat jauh dari konsep dialektika (Jadaliah) dan Idealis Mitsaliah yang dianut Plato. Aqqad tahu dan memahami siapa itu Ibnu sina, al-Farabi, al-Kindi dan pendahulu-pendahulunya yang lain.

Pendekatan ‘Aqqad dalam menterjemahkan filsafat dan segala bentuk pemikiran kepada al-Kaun dan realita adalah merupakan nilai plus dan fungsi tersendiri yang merupakan tambal dari lini-lini yang tak mendapatkan tendensi tinggi oleh filsuf-filsuf sebelumnya. Dzatiah dan Huriyyah adalah dua sisi pokok dalam filsafat Aqqad.

Islam

Dalam upaya mencari jawaban dari beberapa fenomena seperti : Apakah bagi agama itu suatu kebenaran yang baku? Apakah bagi agama itu ada suatu tuntutan yang pasti? Menurut Aqqad kedua pertanyaan itu adalah sebagai satu antisipasi terhadap syubhat-syubhat yang dilancarkan oleh tokoh-tokoh agama, filsuf atau yang lainnya. Menurutnya, syubhat ini bermuara pada dua syubhat besar, yaitu Syubhat al-Syar(kejahatan) dan syubhat Khurafat dalam ajaran-ajaran akidah agama. Dua subhat ini menurutnya merupakan masalah perasaan manusia, bukan permasalahan alam. Dan oleh karenanya, manusia memerlukan Agama.

Dalam pembahasan ini ,secara terang-terangan Aqqad mengatakan bahwa Islamlah satu-satunya Agama yang syumul dan ini bisa dilihat dari berbagai segi seperti akidah, muamalah, hak, dan akhlak.

Akidah

Ada lima akidah dalam hal ini yang diungkapkan dan disoroti Aqqad:

Pertama, Akidah Ilahiah. Aqqad mengakui, sejak dahulu telah ada usaha untuk mentanzihkan Tuhan, hanya saja natijah ini hanya sampai pada "Tuhan yang terasing", "Tuhan Kabilah", "Tuhan sudah mati".

Islam dengan ide cemerlang menghapus segala natijah mentah itu ke dalam tauhid, yang menyatakan bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam. Dialah yang kekal sedang yang lainnya tidak, dialah yang maha penguasa, sedang yang lainnya tidak, dialah yang perkasa sedang yang lainnya tidak.

Kedua, al-nubuwwah. Persepsi tentang kenabian menjadi jelas kembali setelah dikotorkan dengan imej bahwa nabi-nabi selalu dianggap tukang sihir. Dua tali minimal yang telah ditempas oleh hal kenabian, satu adalah tali ke belakang tentang imej yang jelek dan tali kedua adalah hal memandang ke depan, menggunakan akal sehat dan doktrin Ilahi dengan pelantaraan pemahaman Mukjizat Maknawi.

Ketiga, Insaniah. Islam dalam memberi pengertian tentang manusia mengajak manusia untuk ‘tahu diri’ bahwa manusia adalah makhluk yang diberi tanggungjawab (Mukalllaf).

Keempat, Al-Syaithaniyyah. Mengantisipasi paham-paham yang sedang beredar, Islam menegaskan bahwa setan adalah kekuatan jahat yang tidak berdaya selagi manusia tidak tunduk pada hawa nafsunya.

Kelima, Ibadah. Aqqad mengomentari tentang ibadah ini, bahwa ibadah merupakan manifestasi dari satu tanggungjawab yang memadukan antara jasadiah dan ruhiah, bukankah ini semua merupakan ketundukan yang totalitas.

Muamalah

Hal yang sangat menonjol dalam kemunduran peradaban Islam menurut Aqqad adalah dalam tata laku perbaikan muamalat ekonomi dan praktek Syariah. Aqqad sangat mengkhususkan pada masalah riba.

Islam sebagai nilai dan sistem, yang selalu memberikan nilai positif dalam segala bidang. Ketidakvokalan kaum muslimin dalam dua hal ini (Ekonomi dan Praktek Syariah) telah membuktikan ketergantungan kaum muslimin ke arah yang sangat dilematis untuk menyikapinya. Maka jelaslah jika Ekonomi dan praktek Syariat berjalan dengan wajar maka nuansa peradaban pun akan semakin sehat, di bawah panji peradaban Islam.

Hak-hak

Berkaitan dengan masalah hak-hak manusia, Aqqad mendahuluinya dengan Demokrasi Islam, yang benar-benar memadukan tiga hal : Persamaan, Tanggungjawab individu dan tegaknya hukum atas dasar musyawarah. Bukan demokrasi ala Roma atau Yunani yang hanya berteriak di atas tuntutan hak golongan yang tidak ada desain operasionalnya.

Islam juga menganggap penting konsep al-ummmah dan al-Usroh, karena tidak ada al-ummah kalau tidak ada al-usroh. Dalam hal ini pula Aqqad menyinggung tentang kekeliruan anggapan musuh Islam tentang istri-istri nabi. Aqqad juga menyinggung masalah perbudakan, dan masalah tahta kekuasaan yang tidak memakai landasan tahta keturunan, tapi dengan landasan usaha (takwa).

Tentang keidentikan Islam dengan pedang, Aqqad mengakui hal ini, dan menurutnya sebagai bukti bahwa Islam adalah agama yang menyuruh jihad dengan senjata, tapi merupakan asumsi yang salah jika diartikan bahwa Islam tersebar dengan kekerasan.

Akhlak

‘Aqqad menegaskan, bahwa akhlak dalam Islam bukan hanya sebatas manusiawi, mahabbah, adil atau sesuai dengan sosial dan kultur, namun lebih dari itu, akhlak Islam mengajarkan bahwa akhlak adalah akar dari yang satu yaitu akhlak yang diridlai Allah, yang beriman pada Nabi sebagai utusan bukan sebagai peramal dan tukang sihir, bahwa Tuhan itu lemah dan kesemuanya ini dilandaskan pada satu langkah yang disebut takwa.

Agama, filsafat dan akhlak adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan, Seperti tidak terpisahnya pemikiran dari perbuatan, filsafat dari agama, serta seni dari akhlak. Hingga Agama filsafat dan seni adalah unsur yang membutuhkan tendensi yang tinggi dalam upaya merajut sebuah peradaban.

Keharusan Berfikir

Dalam kitab "al-Takfir Faridlah Islamiyah" Aqqad mengatakan bahwa berfikir adalah ajaran Islam murni yang harus diimplementasikan oleh umatnya.Kalaulah beragam cara pencapaian pada pengetahuan, baik dengan perasaan, badihah, dan akal, maka akal mesti didahulukan dari segalanya yaitu sebagai petunjuk. Karena ketentuan petunjuk adalah di atas ketentuan akal. Dan jika kita bertanya dari manakah datangnya petunjuk, maka Aqqad akan menjawab dari faridla hal-tafkir.

Dalam kontek mempertahankan Islam, 'Aqqad adalah pemelihara dan mudafi’ al-Islam nuthqan wa mantiqan, lisan dan akal sekaligus dengan merajut sebuah peradaban.

Penghargaan al-Qur’an terhadap akal sangat jelas, `al-Qur’an mengungkapkan bahwa akal adalah sebagai alat idrok (Q.S.2:164). AL-Quran melarang manusia meliburkan akalnya, apapun alasannya.

'Aqqad mengatakan tiga halangan besar yang menghalangi akal dari pungsi yang semestinya : Taklid kepada nenek moyang atau adat, kepada tokoh agama dan takut kepada penguasa. Dengan demikian al-Quran menurut Aqqad telah mengisyaratkan untuk memerangi ketiga hal tersebut (taklid pada nenekmoyang /adat, kepada tokoh agama, dan takut pada pemerintahan).

Iman, Alam dan Ilmu

Sesungguhnya indra untuk mendapatkan agama adalah hal yang sangat tinggi dalam tabiat insan, maka sesungguhnya manusia tidak mungkin mencapai pada derajat itu kecuali dengan iman. Namun sekali manusia mencapai pada derajat iman, maka selamanya akan menjadikan sebuah keharusan dan panggilan.

Sebagaimana Nabi Ibrahim sangat susah payah mencari satu keimanan, memilih-milih obyek iman segala yang ada mulai dari batu sampai matahari dan bulan. namun sekali ia mendapatkannya, maka selamanya menjadi sebuah tuntutan. Lebih lanjut 'AQqad menjelaskan tentang apa yang menjadi kecenderungan manusia untuk mencari aqidah.

Berangkat dari sebuah pendapat yang dikumandangkan Tailor bahwa animisme adalah asal munculnya aqidah. Jadi pencarian dan pencapaian aqidah itu sangat dipengaruhi dengan sifat animisme. 'Aqqad menegaskan bahwa aqidah adalah hasil korelasi antara alam dan insan. Maka iman akan menjadi sebuah keharusan karena alam dan insan adalah hal yang nyata.

Kemudian berbicara tentang wasilah iman, wasilah iman adala lah dengan wa’yul kaon yang telah terdapat dalam garizah insan. Serta 'Aqqad lebih menegaskan bahwa iman adalah Allah.

Menurut 'Aqqad bahwasanya agama itu bebas dari ilmu (liddin haqq al qiyam mustaqillan 'an al ilmi). Dan menurut Gazali bahwa agama itu bebas dari filsafat.

Kalaulah Imam Gazali mempertahankan Islam dalam sisi aqidah, maka 'Aqqad adalah penyelamat Islam dari sisi i'tiqad dengan menetapkan Haqa'iqul Islam. Maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sifat-sifat ‘Aqqad adalah persis/samadengan sifat-sifatnya Imam Gazali. Apa yang dibahas 'Aqqad dalam bukunya yan berjudul "Allah" adalah sama dengan buku karyanya Imam Gazali "Tahafutul Falasifah".

IDIOLOGI PEMIKIRAN ISLAM

Dalam beberapa kamus bahasa, Ideologi adalah sebuah dasar cita- cita. Maka ideologi pemikiran Islam adalah cita-cita dasar pemikiran al- Islam.

Kalau kita ditanya: Apa ideologi Islam?maka kita akan menjawab al- Quran dan al-Hadits. Selanjutnya kalau kita ditanyakan : Apa Ideologi pemikiran Islam? maka kita akan menjawab Islam itu sendiri.

Dari sini timbul jendela rerbuka untuk pemikiran Islam kecakrawala yang sangat majemuk. Karena penginterpretasian Islam itu sendii ada dalam kawasan majemuk. Maka tak heran kalau dalam perjalanannya, pemikiran akan sangat beragam coraknya.

Konsep realita, adalah hal yang khusus dan mendapatkan tendensi tinggi dalam percaturan pemikiran Aqqad yang berangkat dari landasan filsafatnya. Dari kosep realita ini Aqqad telah mampu menterjemahkan Syumuliah Islam, Tawazuniah Islam, dan wasatiah Islam yang dapat diserap oleh berbagai strata masyarakat.

Di antara bentuk real dari ideologi 'Aqqad dalam merajut pemikiran al- Islam adalah dengan karya-karya monumentalnya yaitu buku-buku dalam judul ‘Abqoriyyaat. Dengan landasan realita tadi, 'Aqqad telah mampu menyusun satu idiologi pemikiran yang disebut dengan Ideologi pemikiran Islam yang merupakan kemasan baru yang mengalahkan dua ideologi lama yaitu sosialis dan kapitalis.

Sosialis yang hanya mengandalkan realita kebersamaan to, dan kapitalisme yang hanya lebih mengutamakan kepentingsn perorangan atau kelompok. Semuanya tersingkirkan dengan al-Islam yang lebih mewakili dan lebih sejalan dengan hukum kewajarannya.

PENUTUP

Pengakuan dan pemposisian antara daya hidup dan daya mati manusia secara manusiawi telah membangkitkan manusia untuk selalu memelihara daya hidupnya saja, oleh karena itu secara realita hal ini sejalan dengan doktrin keharusan berfikir, keharusan berusaha dan keharusan berbuat.

Dalam hidup, manusia pasti akan berusaha memperluas kemungkinan- kemungkinan. Kalau tidak diatur dan ditata, maka akan terjadi benturan- benturan yang sangat dahsyat kacaunya. Olehkarena itu untuk menguasai segalanya, untuk membatasi keinginan-keinginan yang tak tertata itu manusia harus memiliki batasan-batasan yang disebut hukum kewajaran. Adapun hukum kewajaran itu adalah : Hukum alam, Hukum Masyarakat, dan Hukum akal sehat. Maka komitmen kepada daya hidup inilah yang sering dipakai sebagai landasan para kritikus melawan penguasa yang tidak mengindahkan daya hidup dalam tiga hukum kewajaran tadi.

"Laalasshawaaab"

Daftar Bacaan:

  1. Haqaiq al-Islam wa abatil khusumuhu - 'Aqqad (Nahdlah Misr)
  2. Al-'Aqqad wa al-'Aqadiyyat - Jalal Asri (Daar al- Masriah)
  3. Bayna Yady Falsafah - Hamdi Zaqzuq (Azhar)
  4. Al-Tafkir Faridloh Islamiah - 'Aqqad (Nahdloh Masr)
  5. Allah - Abbas Mahmud 'Aqqad
  6. Abqoriyyat Islah M.Abduh - 'Aqqad
  7. Fiisolun 'Aqqad Kanat Ayyam - Anis Mansur (Dar Suruk)
  8. Al-Hukmu al-Mutlaq fi qarn al-'Isyrin - 'Aqqad
  9. Manhaj 'Aqqad fii Dirasat al-Syakhsiah al-Islamiah - Ali Khalil Assadani (Shaida, Beirut)
  10. Falsafatuna - Muhammmad Baqir al-Sadr


www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt