REKAYASA MASA DEPAN ISLAM
Dengan Revitalisasi Warisan Klasik Islam (Turats) Sebaga
Illustrasi
Oleh: Abdul Hayyie al Kattani
Muqaddimah
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok , dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan1".
Pada tanggal 24 Ramadlan tahun 1420 Hijriyyah yang akan datang, umat manusia akan memasuki millenium ketiga masehi. Menjelang munculnya semburat mentari tahun 2000 tersebut, para pakar berlomba memprediksi dan mencermati fenomena-fenomena futuristik yang sedang berkembang dan akan mewarnai millenium ketiga 2. Pasangan J. Naisbitt dan Patricia Aburdene, misalnya, dalam buku Mega Trend 2000 telah memprediksi sepuluh kecenderungan yang akan menjadi trend dunia menjelang munculnya fajar abad ke-21 ini. Dan Alvin Toffler telah menulis bukunya yang terkenal Future Shock.
Setelah melewati era agraris dan industri, umat manusia, seperti disinyalir Alvin Toffler dalam bukunya Third Wave, akan memasuki era peradaban Gelombang Ketiga: era informasi. Dalam era ini, dengan revolusi informasi yang demikian pesat, dunia berubah menjadi sebuah desa kecil. Hal itu tentu saja mempunyai andil besar dalam pembentukan budaya, perilaku, mode, makanan, trend, bahkan kepercayaan seseorang maupun kelompok masyarakat. Sehingga tak aneh jika Mas Karyo dari Surabaya tampil trendi dengan stelan blue jeans, sementara Nelson Mandela dari Afrika keranjingan batik Pekalongan.
Belum lagi saraf umat Islam kendur setelah dikejutkan oleh tawaran modernisasi, kemudian disusul neo-modernisasi, kini mereka harus menghadapi tawaran baru: post- modernisme (posmo).Lihatlah misalnya, Griffin menulis God and Religion in the Postmodern World, H. Smith menulis Beyond the Post-Modern Mind, Lyotard menulis The Post-Modern Condition dan Akbar S. Ahmad menulis Postmodernisme and Islam: Predicament and Promise. Ciri-ciri posmodern ini, menurut Lyotard, adalah memiliki keraguan terhadap metanaratif. Dan ia adalah posmodernitas yang membingungkan dan menyulitkan, kata foucalt 3.
Melihat transformasi yang demikian cepat, tentu saja umat Islam gamang dan grogi, bahkan bisa saja mengalami —meminjam istilah Alvin Toffler— future shock. Kondisi tersebut terjadi karena, dalam perkembangan dan perubahan yang terjadi begitu cepat, umat Islam lebih banyak menjadi penonton tinimbang pemain, konsumen tinimbang produsen dan selalu menjadi pihak yang dirugikan. Itu semua terjadi karena umat Islam tidak memiliki proyeksi yang jelas dan terencana akan masa depan mereka, sehingga tidak siap menghadapi kondisi yang terjadi tersebut. Jikapun umat Islam menjadi “pemain” dalam percaturan dunia sekarang ini, hal itupun dilakukan dengan skenario yang telah disusun rapih dan terencana oleh para penulis skenario sosio-politik-ekonomi dunia: Amerika dan Israel. Perang teluk pertama dan kedua, perang saudara di Afghanistan, masalah Kurdi dan problema-problema sosial-politik- ekonomi umat Islam lainnya menjadi contoh yang jelas atas tesis ini.
Maka, yang dibutuhkan saat ini adalah suatu rekayasa umat Islam yang komprehensif, dengan konsep, metodologi dan tujuan yang jelas untuk membentuk masa depan yang cemerlang dan lebih baik. Sehingga tertunaikan tugas yang diamanahkan Allah Swt atas umat ini untuk menjadi saksi atas umat manusia: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia4.
Masa depan, tulis Ziauddin Sardar, adalah fondasi bagi harapan-harapan dan aspirasi umat Islam, dengan segala kekuatiran dan kegelisahannya. Masa depan umat ini, sambungnya, bergantung tidak hanya pada masa lalu masyarakat-masyarakat Muslim, melainkan juga pada pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mereka canangkan di masa kini, serta visi untuk masa depan 5. Masa depan adalah ladang ketidakpastian, dia juga merupakan bagian atas mana kita mempunyai sedikit kekuasaan. Kemampuan untuk membentuk masa depan sendiri dimiliki oleh semua individu dan masyarakat. Dengan demikian, ketidakmampuan kita untuk mengetahui fakta-fakta masa depan atau masa-depan-masa depan diimbangi oleh kemampuan kita memberi masukan bagi pembentukan fakta-fakta ini.
Alternatif-alternatif masa depan, menurut Ziauddin lagi, hanya dapat diwujudkan jika langkah-langkah pragmatis ditujukan pada alternatif-alternatif ini di masa sekarang. Kita perlu memiliki cukup pengetahuan tentang pilihan-pilihan yang ada saat ini, sebelum masa depan datang. Kita perlu memiliki cukup pengertian tentang masa depan, agar kita dapat mengambil tindakan yang tepat untuk mengubahnya menjadi fakta-fakta. Berjalannya waktu per se tidak akan membuat masa depan yang diinginkan menjadi suatu kenyataan; pun tidak akan meningkatkan pengetahuan kita akan masa depan 6.
Untuk merumuskan masa depan yang terencana, umat Islam harus banyak menggali eksistensi dirinya sebagai umat, sehingga ia mampu menemukan jati dirinya dan tidak lebur dalam proses interaksi budaya yang demikian cepat ini. Hal itu dapat dilakukan dengan membaca ulang sejarah umat Islam dan pencapaian peradaban yang dimilikinya.Dan, pencapaian peradaban tersebut terpatri dalam perjalanan sejarah umat Islam yang gemilang dan terukir dengan tinta emas dalam warisan klasik (turats) yang ditinggalkan oleh umat Islam.
Membaca Kembali Umat Islam
Seperti ditulis oleh Ahmad Amin dalam bukunya Fajrul Islam, ketika Islam datang di tengah kaum Quraisy hanya terdapat tujuh belas orang yang mampu menulis 7. Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, pada awalnya umat Islam adalah ummat yang “ummi”, tidak mampu menulis dan berhitung!8. Bangsa Arab pra Islam hanya mengenal oral culture yang tercermin dalam kemampuan menyusun sya’ir dan retorika, sistem politik yang terbatas dalam struktur kepimpinan qabilah, sistem ekonomi yang sederhana yang tak jarang harus dihimpit oleh kekuatan ekonomi Yahudi, serta pandangan dunia yang dibatasi oleh gunung-gunung yang mengelilingi mereka, padang sahara yang terhampar dan hewan-hewan ternak yang menjadi tumpuan kehidupan mereka. Sehingga, selama berabad-abad wilayah Arab tidak menarik minat para penguasa dunia seperti Alexander The Great untuk menganeksasinya. Suatu wilayah dengan kondisi lingkungan dan masyarakat yang tidak potensial dan tanpa masa depan yang menjanjikan, demikianlah barangkali logika mereka. Jika kita membuat sebuah peta dunia untuk saat itu, menurut Malek ben Nabi, yang tampak adalah dua kekuatan super power dunia: Romawi dan Parsi. Dan satu titik hijau yang tampak samar dalam Peta: Islam9. Sebuah titik yang tidak diperhitungkan oleh bangsa manapun.
Islam, yang tercermin dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw, yang datang untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam 10, kemudian melakukan revolusi massive bagi bangsa ini, dan selanjutnya bagi seluruh dunia. Ajaran Al Qur’an dan As-Sunnah yang memberikan apresiasi yang setinggi-tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan ahli ilmu pengetahuan (ulama) telah menginspirasikan umat ini untuk terus menggali dan menyerap seluruh ilmu pengetahuan yang dikenal dunia saat itu, maupun ilmu yang telah lama tidak diperhatikan oleh dunia, seperti warisan peradaban Yunani yang tersimpan dalam manuskrip-manuskrip yang telah lapuk. Sehingga dalam hitungan beberapa tahun saja, umat ini telah menjulang menjadi umat yang menguasai ilmu pengetahuan dan mengangkat peradaban umat ini menjadi —seperti dikatakan oleh Arnold J. Toynbee— oikumene Islam.
Dalam dataran sosio-politik, dengan mudah umat Islam menghancurkan super power dunia: Persia dan mempecundangi super power dunia lainnya; Romawi. Malah dikemudian hari, pusat kekuasaan Romawie di Konstantinopel menjadi pusat salah satu Daulah Islam: Daulah ‘Utsmaniyyah.
Saat benturan pertama antara Islam dan Barat terjadi; yaitu sejak timbulnya Islam, kedatangan pasukan Islam di Sicilia dan Perancis, ketika terjadi perang Salib, dan terakhir pada abad ke-17 ketika pasukan ‘Ustmaniyyah dihentikan di Wina, bangsa Barat mengalami semacam keterkejutan yang sangat. Tidak saja karena perluasan kekuasaan dan penyebaran Islam yang demikian cepat dan agresif, namun juga karena melihat tingkat peradaban yang telah dicapai oleh umat ini. Mereka menjumpai umat yang tidak saja mengungguli kekuatan militer mereka, namun juga mengungguli peradaban dan intelektualitas mereka sekaligus. Interaksi selama berabad-abad antara peradaban Islam dan peradaban Barat yang diwarnai oleh perbenturan ini, telah menanamkan citra Islam yang agresif dan mengancam dalam diri masyarakat Barat 11.
Ketika benturan pertama terjadi, bangsa Barat tidak saja mengalami shock therapy yang hebat, sehingga menggerakkan mereka untuk membangun kekuatan militer yang kuat dan menyatukan langkah untuk menghadapi musuh bersama mereka: Islam. Namun mereka juga menyerap sisi lain dari kekuatan Islam, yaitu pencapaian peradaban dan intelektualitas mereka. Suatu upaya massive dilakukan untuk menguasai seluruh pencapaian peradaban dan intelektual umat Islam. Kajian itu kemudian dikenal sebagai orientalisme. Pada tahun 1224 Masehi, pangeran Fredrik mendirikan universitas Napoli sebagai media transformer peradaban dan karya intelektual umat Islam ke Barat. Universitas Polonia dan Padova menjadikan pilsafat Ibn Rusyd dan kedokteran Ibnu Sina sebagai pokok mata kuliah mereka. Selama berabad-abad ilmu kedokteran Islam menjadi mata kuliah pokok fakultas kedokteran di universitas-universitas Barat. Universitas-universitas lainnya berdiri untuk secara tekun menguliti peradaban Islam dan mengambil sari pati dari peradaban tersebut. Fakta ini secara jelas dapat dibaca dalam buku Gustav Lebon, Miguel Asin Plasius, buku The Influence of Islam on Medieval Europe karya W.Montgomery Watt, buku die Europaischen Ubersetzungen aus dem Arabischen bis Mitte karya Moritz Steinschneider, buku Studies in the History of Medieval Science karya Charles Homer Haskins, buku Introduction to the History of Science karya George Sarton, buku Arabic Science in the West karya D.M. Dunlop dan buku- buku lainnya. Para Pakar dan sejarahwan Barat seperti Wels, Lebon, The Boer, Ollery, Toynbee dan Watt dengan jujur mengakui bahwa intelektual Islam-lah yang menyalakan api renaissance peradaban Barat 12. Atau dalam kata-kata Watt: Untuk kepentingan hubungan baik dengan bangsa Arab dan kaum Muslim, kita harus mengakui utang budaya (cultural indebtedness) kita sepenuhnya. Berusaha menutupi dan mengingkarinya adalah satu ciri kebanggaan yang palsu 13.
Kemudian, benturan kedua terjadi. Sejalan dengan teori siklus peradaban Ibnu Khaldun 14 yang dimodifikasikan kemudian oleh Gellner dengan teori pendulum swing, ketika benturan kedua itu terjadi, umat Islam sedang berada dalam masa kemundurannya. Maka yang terjadi kemudian adalah kolonialisme besar-besaran terhadap umat Islam. Pada abad lalu semua dunia Islam berada dalam cengkraman kolonial Barat. Pelampiasan terhadap trauma yang melekat kuat dalam diri masyarakat Barat akibat benturan pertama, mendapatkan momentumnya yang tepat pada benturan kedua ini. Dan konsekuensinya bagi dunia Islam amat parah, dalam banyak hal masih kita rasakan. Kehidupan sosial, kultural dan intelektual umat Islam terpengaruh, dan sebagian hancur. Akibat perlakuan imperialis Barat masih terasa di dunia Islam, terutama dengan adanya batasan-batasan politik yang dibuat Barat. Contoh yang paling mencolok adalah konflik Arab-Israel di Timur Tengah. Orang-orang Arab melihat Israel —seperti ditulis Mansfeild— sebagai benih kanker yang ditanamkan Barat di tubuh mereka. Kondisi ini tentu akan berbeda seandainya Kongres Zionis menerima tawaran teritori Inggris di Uganda pada tahun 1903 15.
Dan, benturan ketiga terjadi. Dengan kultur universal dan dominasi tekhnologi Barat, benturan sekarang ini mungkin serangan terhebat terhadap peradaban Muslim. Islam menjadi begitu terancam dan mudah diserang. Karena serangan pada benturan ketiga ini mengambil bentuk yang amat sophisticated. VCR, TV, Parabola dan Internet tidak membutuhkan visa atau paspor; bisa menginvasi rumah rumah-rumah yang paling terisolasi sekalipun dan menantang nilai-nilai yang sangat tradisional. Jika pada serangan-serangan sebelumnya umat Islam menghadapinya dengan mencabut dan mengacungkan senjatanya, dalam bentuk serangan ketiga ini, umat Islam menghadapinya dengan merogoh koceknya.
Serangan-serangan itu berbentuk Coke, Marlboro, KFC, ET, Mc Donald, jeans, Mickey Mouse, Michel Jackson, Madonna, dan film-film Hollywood. Namun semua itu hanyalah simbol artifisial peradaban ini. Bagian sentralnya —seperti dikatakan Akbar S. Ahmad— adalah kepercayaan pada kapitalisme, demokrasi dan, yang terkait dengannya, kesetaraan wanita 16.
Sementara itu, sikap Barat yang memandang Islam sebagai ancaman dan agresif masih terus tertanam kuat. Hal itu tidak saja terjadi pada kalangan masyarakat umum, namun juga terjadi pada kalangan intelektual dan kaum futurolog Barat. Menurut Ziauddin Sardar: Hampir semua futuris memandang Islam sebagai suatu ancaman bagi perkembangan penuh masa depan peradaban Barat dan impian tekhnologinya17. J. Naisbitt, dalam Mega Trend 2000 menulis: Walaupun gaya hidup kita bertumbuh semakin sama, terdapat tanda yang tidak mungkin keliru dari “counter -trend” yang kuat: serangan balik terhadap keseragaman, suatu hasrat untuk menegaskan keunikan kutur dan bahasa seseorang, penolakan pengaruh asing. Serangan balasan kultural yang paling terlihat, setidaknya bagi orang Amerika, adalah kebangkitan transnasional Islam yang diprakarsai oleh mendiang Ayatollah Khomeini di Iran 18.
Sejak beberapa puluh tahun lalu, Lothrop Stoddard dalam bukunya New World of Islam, telah berteriak dengan lantang memperingatkan fenomena timbulnya negara-negara Islam yang akan membentuk kekuatan Baru pasca perang dunia I dan II. Thomas O’Toole dan Marvin Centron, dalam buku mereka, Encounters with the Future: A Forcast of Life into the 21st Century menulis: Agama yang paling cepat pertumbuhannya sekarang ini adalah Islam... Islam adalah kepercayaan yang dominan di selebar dunia yang terbentang dari Maroko di Barat ke Pakistan melewati India sampai Malaysia dan Indonesia di Timur. Islam bekembang dua kali lipat di Afrika setiap 25 tahun. Jumlah orang yang menunaikan ibadah hajji meningkat 100.000 orang setiap tahunnya. Tidak ada tanda-tanda perumbuhan yang menggelora ini akan berhenti. Satu alasan mengapa orang-orang Barat merasa sulit untuk memahami Islam dan menerima Islam adalah , tambah Marvin Centron dan Thomas O’Toole, bahwa dia selalu mengancam dan menantang dunia Barat. Agama Kristen tidak menantang dunia Barat karena agama Kristen adalah bagian dari dunia Barat. Agama Yahudi terlalu kecil dan terlalu bersifat kesukuan untuk mengancam dunia Barat. Agama Hindu dan Budha tidak mengancam dunia Barat karena mereka terlalu halus. Hanya Islam yang merupakan ancaman, sebagaimana dia mengancam ekonomi selama 20 tahun terakhir, mengancam politik selama 180 tahun terakhir, dan mengancam militer selama 1.500 tahun terakhir. Islam kini menyerang kita lagi, di Iran yang mengatakan bahwa kita adalah setan karena mendukung Shah dan menantang kita di bagian dunia Muslim lainnya karena mendukung Israel 19. Wilfred Cantwell Smith menambahkan bahwa ketakutan Barat dan kepahitan yang dialami mereka menghadapi komunisme amat relatif dan dalam waktu yang pendek dibandingkan dengan abad-abad permusuhan mereka dengan Islam20. Kajian terbaru dari Huntington yang diterbitkan oleh Foreign Affairs Clash of Civilizations ? secara transparan memprovokasi Barat untuk melakukan perang kebudayaan. Benturan peradaban-peradaban akan mendominasi politik global. Garis pemisah antar peradaban-peradaban akan menjadi garis pertempuran di masa depan, katanya. Benturan itu akan terjadi, menurutnya, terutama antara peradaban Barat dan kolusi peradaban Islam- Konfusius. Dalam edisi Foreign Affairs musim gugur ia malah makin menegaskan tesisnya tersebut dengan menulis: If Not Civilization, What?.
Setelah membaca fakta-fakta di atas, yang timbul kemudian adalah pertanyaan: Bagaiamana nasib masa depan Islam? Sejauh mana probabilitas kemajuan yang dapat ia raih ? Dan bagaiamana meraih kemajuan itu?. Atau malah dia akan terus mundur dan ... lenyap?.
Masa depan Adalah Milik Islam:
Dalam memandang masa depan, menurut Murad Wilfred Hoffman, umat Islam setidaknya terbagi dalam tiga varian: Pertama; varian yang --karena persepsi pribadi dan pengalaman hidupnya-- melihat umat Islam berada dalam degradasi terus-menerus. Hari ini, dalam pandangan varian ini, lebih buruk dari hari kemarin, dan hari esok akan lebih buruk lagi dari hari ini, begitu seterusnya. Kedua; varian yang melihat umat Islam berada dalam gelombang naik-turun/maju-mundur. Ketiga; varian yang melihat umat Islam berada dalam kemajuan terus menerus 21.
Perubahan yang begitu cepat, dan kejadian-kejadian yang menimpa umat Islam, memang sering membuat umat Islam cemas. Termasuk para ulama, da’i dan cendekiawan muslim. Terma krisis (azmah), problem, bahaya, bencana dan seterusnya sering menjadi idiom yang didengungkan oleh banyak cendekiawan muslim. Lihatlah misalnya, Muhammad Imarah memberikan judul salah satu bukunya: Azmat al Fikri al Islami al Mu’ashir, Fahmi Huwaidi menulis sebuah buku berjudul: Azmat al Wa’yi, Syekh Muhammad al Ghazali menulis: Azmat al Syura, demikian juga Thaha Jabir Al ‘Ulwani, salah seorang pendiri IIIT (International Institute of Islamic Thought) menulis buku Azmat al Fikriyyah dan seterusnya.
Apa yang ditulis dan didengungkan oleh para cendekiawan tersebut tentu saja bermuatan positif. Suatu self critic yang bertujuan membangkitkan kesadaran umat dan mendorong mereka untuk bergerak maju. Namun, toh tidak menepis timbulnya bias negatif. Bias itu, antara lain, timbulnya perasaan kalah dan rendah diri dalam diri umat menghadapi kemajuan bangsa lain (dalam hal ini Barat). Perasaan seperti itu makin mengental dengan adanya penafsiran secara keliru oleh para da’i atau ulama terhadap teks-teks yang membicarakan tentang masa depan Islam. Sehingga yang tampak menjadi opini umum umat Islam adalah bahwa Islam akan terus mundur dan menuju masa yang lebih buruk dari hari ini, begitu seterusnya hingga hari kiamat tiba. Implikasi logis dari sikap tersebut adalah berkembangnya sikap fatalisme di kalangan umat Islam. Karena berkeyakinan bahwa seandainya mereka melakukan suatu ishlah dan tajdid-pun, toh mereka akan tetap menuju kondisi yang lebih buruk. Alternatif yang diambil kemudian adalah mengembangkan sikap defensif. Slogan ditutupnya pintu ijtihad dan sikap permusuhan terhadap segala apapun yang baru adalah contoh kecil dari kondisi tersebut.
Oleh karena itulah, tulis Yusuf al Qardlawie pada pengantar bukunya: Al Mubasyirat Bi Intishar al Islam, perlu ditulis buku-buku dan ditelaah lebih mendalam teks-teks serta fakta- fakta yang mengungkapkan bahwa masa depan Islam akan cemerlang. Akan datang kemenangan Islam setelah sekian lama mengalami kekalahan. Dalam buku tersebut, Yusuf al Qardlawi secara tuntas mengungkap nash-nash al Qur’an, al Hadist, sunah-sunah Allah dan fakta-fakta yang menegaskan bahwa memang masa depan dunia ini akan memihak kepada Ummat Islam 22.
Sikap seperti ini bukanlah milik Yusuf al Qardlawie saja, Sayyid Quthb misalnya, sejak lama telah menulis buku Al Mustaqbal Li Hadza al Din, Muhammad Quthb dan Murad Hoffman malah lebih maju lagi. Keduanya dengan yakin menawarkan Islam sebagai alternatif peradaban Barat. Yang petama menulis Al Islam Ka Badil ‘An al Afkar wa al ‘Aqa’id al Mustawradah, sementara yang kedua menulis dalam bahasa Jerman Der Islam als Alternative. Mengapa? Islam tidak menawarkan dirinya sebagai alternatif yang lain bagi masyarakat Barat pasca industri. Karena memang hanya Islamlah satu-satunya alternatif, kata Hoffman 23. Dalam pengantar buku tersebut, Orientalis Jerman Annie Marie Schimmel mendukung tesis Hoffman dengan mengutip Goethe: Jika Islam berarti ketundukan dengan penuh ketulusan, maka atas dasar Islamlah selayaknya kita hidup dan mati 24. Memang, kata George Bernard Shaw, the future religion for the educated, cultured and enlightened people will be Islam.
Kemudian, apakah dengan fakta-fakta itu saja dengan serta merta Islam dapat mengembalikan kejayaannya, seperti tongkat musa mencaplok ular-ular tukang sihir Fir’aun ? Jika banyak ditemukan fakta bahwa peradaban Barat akan runtuh, dan diakui bahwa peradaban Islam adalah satu-satunya peradaban yang dapat menggantikannya, namun itu tidak berarti bahwa otomatis Islam akan naik ke tahta pemimpin peradaban dunia. Maka dibutuhkan suatu bentuk “ijtihad” tertentu untuk mewujudkan harapan umat Islam itu. Bentuk ijtihad tersebut, di sini ditawarkan, adalah dengan membentuk suatu usaha revitalisasi warisan klasik Islam (turats). Lalu, mengapa turats?.
Revitalisasi Warisan Klasik Islam (Turats)
Jika disebut turats, yang sering teringat —terutama di Indonesia— adalah tumpukan kitab kuning yang ditulis oleh ulama-ulama pada beberapa abad lalu. Ditulis dalam bentuk kitab, yang tak jarang disatukan juga syarah dan hasyiahnya. Sering disebut dengan kitab kuning, karena dicetak di atas kertas berwarna kuning. Walaupun, sekarang ini, nama itu sudah kurang cocok lagi. Karena, kitab-kitab kuno tersebut telah dicetak ulang di atas kertas HVS yang lux. Dan tentu saja berwarna putih bersih.
Dalam buku At-Turats Wa at-Tajdid, Hasan Hanafie mengatakan: bahwa turats dapat dinisbahkan kepada dua hal. Pada satu sisi, betul ia adalah kumpulan kitab-kitab dan manuskrip yang tersimpan dalam perpustakaan, gudang, masjid-masjid maupun musium. Di sini, turats berbentuk material. Yaitu turats tertulis, tersimpan dan tercetak dalam bentuk kitab. Namun, menurutnya lagi, ada bentuk lain dari turats yang bersifat immaterial , yaitu warisan kejiwaan dan adat-istiadat yang telah tertanam dalam jiwa masyarakat 25.
Secara lebih maju, Aisyah Abdurrahman (yang terkenal dengan nama samaran Bintu Syathi—putri pesisir), dalam bukunya Turatsuna Baina Madli wa Hadlir mengatakan bahwa kita tidak dapat membatasi lingkup turats Islam pada zaman dan wilayah tertentu. Karena turats Islam mencakup seluruh warisan peradaban kuno kita, di sepanjang zaman dan tempat. Maka, tentu saja warisan kebudayaan Mesir kuno yang tertulis di atas kertas-kertas papirus adalah termasuk turats Islam pula. Demikian pula halnya peninggalan kerajaan Babylonia, Asyur, Syam, Yaman, Mesir, Maghrib dan wilayah-wilayah lainnya. Hal itu, menurut Aisyah Abdurrhaman, karena seluruh penduduk wilayah tersebut telah memeluk Islam, maka secara otomatis masa lampau mereka menjadi milik Islam pula 26. Dengan logika seperti itu, maka warisan klasik Indonesia, seperti warisan peradaban Mataram, Singasari, Majapahit dan Pajajaran, baik yang tertulis dalam bahasa Jawa, Sunda atau bahasa lainnya, termasuk dalam turats Islam.
Untuk zaman sekarang ini, seperti diakui oleh Aisyah Abdurrahman, pemahaman turats seperti itu memang tampak aneh bagi kita. Namun, menurutnya, tidak aneh bagi kaum muslimin pada era kejayaan Islam. Pada saat itu, pemahaman tentang khazanah intelektual Islam telah demikian luas, sehingga tidak terbatas pada warisan klasik yang ditinggalkan oleh era jahiliyah dan bangsa Arab. Namun mencakup semua wilayah yang telah terislamkan. Sehingga, tercatat dalam sejarah bahwa dalam rangka memelihara dan mengembangkan khazanah intelektual Islam, tidak saja dilakukan oleh kaum Muslimin berdarah Arab, namun juga oleh kaum Muslimin dari belahan bumi lain. Termasuk oleh umat Islam Nusantara (Indonesia). Seperti Syekh Nawawie al Jawie, Al Palembani, Al Makassari, Al Ampenani, As-Sumatrani, dan seterusnya. Dalam sejarah, tercatat bahwa banyak ulama-ulama Islam terkemuka tidak berasal dari belahan dunia Arab. Seperti Imam Bukhari, Imam Hanafie, Imam Ghazali, Imam An-Nasa’i, Ibn Rusyd, Ibn Sina, Ibn Ginni, Abi ‘Ali Al Farisi dan ulama-ulama lainnya.
Dan revitalisasi turats tidak hanya terbatas pada turats yang ditemukan pada masyarakat Jahiliyyah dan bangsa Arab saja, namun juga mencakup semua turats bangsa-bangsa besar yang telah masuk Islam. Dikemudian hari, usaha ini juga mencakup warisan klasik bangsa Yunani. Dan, patut diingat pula, peradaban Yunani pun tidak serta-merta timbul dari titik kosong, namun peradaban ini bersumber dari peradaban Timur yang kemudian mewariskan peradabannya. Seperti peradaban Wadi Nil, Wadi al Wafidin, India dan lainnya27.
Pemahaman turats seperti ini, menurut Aisyah Abdurrahman, adalah salah satu tanda kesadaran umat Islam akan kedudukannya dalam percaturan peradaban saat ini. Dan dengan itu pula, akan mempersiapkan umat Islam untuk menjadi pemimpin peradaban dunia ini. Pertanyaan yang timbul kemudian tentunya adalah: bagaimana merevitalisasi seluruh warisan klasik yang demikian besar itu?.
Usaha revitalisasi turats memang menjadi amat erat kaitannya dengan usaha rekayasa masa depan Islam. Karena revitalisasi turats —dengan pengertian seperti di atas— berarti rekonstruksi seluruh peradaban Islam sehingga ia dapat kembali tampil menjadi oikumene Islam. Berusaha merevitalisasi turats berarti berusaha untuk mencari jati diri asli umat Islam. Karena dalam turats itulah tersimpan kemegahan, kecemerlangan dan kejayaan umat Islam. Di sana pula tersimpan pengalaman-pengalaman historis umat ini. Manis dan getirnya, cerah dan kalbunya. Keberhasilan akses terhadap turats tersebut dilihat oleh sejauh mana pengaruh akses tersebut terhadap kejiwaan dan intelektualitas umat ini. Terhadap sisi kejiwaan; dalam pengertian bahwa dengan telaah ulang atas kejayaan umat Islam yang terdapat dalam turats tersebut akan mengembalikan kebanggaan dan harga diri umat ini, dan membebaskan umat dari inferioritas dan penyakit schizofernia. Dan, terhadap sisi intelektualitas; dalam arti bahwa dengan menelaah ulang turats umat tersebut akan merangsang dan mengembalikan kecemerlangan intelektualitas umat dan membebaskan umat ini dari ketergantungan budaya.
Dalam benturan peradaban sekarang ini, telaah ulang terhadap turats menjadi terkait dengan to be or not to be-nya umat ini. Hidup atau mati, jaya atau binasa. Karena, dalam budaya global, hanya bangsa dan umat berperadaban kuatlah yang mampu mempertahankan identitas dirinya. Bangsa dan umat yang kuat, tidak akan mampu bertahan di tengah arus budaya jika ia tidak menyadari dan terikat kuat dengan warisan budayanya. Dengan ikatan tersebut ia menyambung masa lalu, masa kini dan masa depannya, dengan satu cita-cita dan semangat perjuangannya. Sementara bangsa dan umat yang lemah akan hilang ditelan oleh arus budaya global. Arah seperti ini amat jelas terungkap dalam kajian Francis Fukuyama, dalam bukunya The End of History.
Dengan pemikiran seperti itu, ajakan untuk meninggalkan sama sekali turats yang kita miliki dan mengambil secara utuh peradaban Barat seperti ditawarkan oleh Thaha Hussein dan kaum sekuleris lainnya, atau ajakan untuk mencampakkan turats kemudian menggunakan segenap kemampuan intelek kita untuk membangun peradaban baru dari titik nol, akan tampak amat naif. Lebih bersipat bunuh diri peradaban tinimbang mengembangkannya.
Muhammad Imarah mengatakan bahwa, justru kematangan sebuah peradaban terlihat pada seberapa jauh kesadarannya akan akar-akar warisan klasik yang ia miliki. Makin dalam kesadaran itu, akan makin dalam pula ketangguhan dan kematangan peradabannya. Peradaban Barat sekarang ini, misalnya, dibangun di atas warisan peradaban dan karya intelektual yang diolah oleh umat Islam. Dan umat Islam mengambil sebagian peradaban itu dari bangsa Yunani. Sementara bangsa Yunani mewariskannya dari bangsa Mesir kuno dan bangsa India. Dengan demikian, peradabaan tersebut adalah hasil karya dan milik bersama umat manusia. Dan, umat Islam yang telah menghidupkan peradaban tersebut dari lubang kegelapannya, tentu lebih berhak atas peradaban modern sekarang ini dibandingkan dengan bangsa lainnya.
Tentu saja, jika sekarang ini umat Islam ingin merekostruksi peradabannya dengan banyak menyerap dari peradaban Barat yang sedang mapan saat ini, maka hal itu sebenarnya adalah suatu usaha untuk mengambil kembali miliknya. Dalam buku Nazhrat Jadidah Ila al Turats Dr. Muhammad ‘Imarah mengatakan bahwa untuk berinteraksi dengan turats diperlukan consciousnesss yang tinggi. Suatu kejelian untuk memilah dan memilih mana yang bermanfaat dan mana yang justru membawa kemudlaratan dari turats tersebut.
Masalah yang timbul kemudian adalah mana di antara turats tersebut yang bermanfaat dan mana yang justru dapat merusak. Kemudian, siapa yang berhak untuk menilai ini bermanfaat dan itu merusak, karena setiap pemikir akan berbeda-beda sudut pandangnya?. Di sini, menurut Muhammad ‘Imarah, memang dibutuhkan sebuah sikap tanggung jawab yang tinggi dalam diri orang yang melakukan revitalisasi turats. Karena mengungkap sesuatu yang berbahaya, berarti ia turut menanggung akan akibatnya. Hal itu seperti turats yang berisi kekafiran, sihir dan sebagainya 28.
Yang dilakukan adalah bagaimana mentransformasi nilai-nilai ketinggian dari turats- turats tersebut yang dapat membangun umat ini, dan bukan sebaliknya: mentransformasi masalah dan problema yang telah menggrogoti umat pada masa lampau kemudian menghidupkannya kembali pada zaman sekarang.
Dalam revitalisasi turats yang dilakukan, memang dibutuhkan sebuah agenda besar dan dilakukan oleh sebuah kekuatan kolektif. Pemilahan antara turats yang bermanfaat dan tidak seperti disebut di atas, misalnya, dapat diukur dan ditimbang dari tujuan yang dicanangkan oleh agenda besar itu. Sisi yang bermanfaat akan disebarkan kepada masyarakat umum dan sisi yang berbahaya hanya akan menjadi bahan kajian para ahli dibidangnya, tidak untuk khalayak ramai29.
Usaha kolektif untuk menghidupkan kembali turats tersebut, dalam skala yang lebih luas, barangkali bisa menjadi perwujudan suatu bentuk konsep “mujaddid” kolektif. Karena, menurut Yusuf al Qardlawie, jika saat ini kita menanti-nanti kemunculan kemunculan sosok mujaddid yang akan datang pada setiap masa seratus tahun, seperti disinyalir dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan al Hakim 30, maka pemahaman yang lebih membumi terhadap konsep “mujaddid” itu adalah dengan mentransformasikannya menjadi sebuah kekuatan kolektif kaum pembaru. Artinya, peran yang akan dijalankan oleh sosok mujaddid tersebut, dalam konsep ini akan dijalankan oleh sebuah kekuatan organisasi yang mempunyai ciri-ciri dan semangat tajdid itu. Sehingga, jika sekarang ini umat Islam sibuk menunggu dan mencari sosok mujaddid tersebut, maka dalam konsep ini, yang akan menjadi kesibukan semua orang adalah pertanyaan: Apa yang telah saya sumbangkan terhadap usaha reformasi tersebut ?, atau apa yang saya bisa lakukan untuk turut serta dalam perwujudan cita-cita tersebut ? 31.
Sejalan dengan konsep ini, Muhammad Imarah juga menyerukan untuk membentuk lembaga-lembaga khusus untuk menangani turats ini. Yaitu, antara lain: 1. Lembaga-lembaga ilmiah dan bahasa. Terutama di Cairo, Damaskus dan Baghdad. Dan Indonesia sebagai negara dengan jumlah kaum Muslimin tersebar, juga mempunyai kans untuk melakukan tugas ini. 2. Pusat-pusat tahqiq turats dan dinas publikasinya. 3. Sarjana-sarjana yang telah menyelesaikan program S2 dan S3-nya, dapat turut serta dalam proyek ini. Untuk melakukan kajian dan mentahkik turats-turats. 4. Pakar-pakar yang ahli dalam bidangnya. Terutama kalangan akademis. 5. Organisasi-organisasi pencinta sejarah 32.
Badan-badan seperti inilah yang nantinya menyaring dan mempublikasikan turats kepada khalayak ramai. Dalam dataran yang lebih konkrit, usaha revitalisasi turats dapat dilakukan dengan mengkomparasikan antara ilmu-ilmu modern dengan ilmu-ilmu sejenis yang terdapat dalam turats. Dari sana nantinya diharapkan akan ditemukan mata rantai yang hilang (missing link) antara turats tersebut dengan ilmu-ilmu modern. Dan dapat ditangkap sejauh mana ilmu- ilmu modern tersebut telah menyebal dari sumber keilmuan yang Islami. Tempat ilmu-ilmu tersebut berasal.
Usaha selanjutnya, dapat menggunakan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan yang ditawarkan oleh Isma’il Raji al Faruqi dalam bukunya Islamisation of Knowledge: General Principles and Workplan 33. Dan hal ini tidak menutup kemungkinan dilakukan kajian terhadap satu disiplin ilmu tertentu secara tuntas dari turats. Tentang sains, misalnya, dapat digali-gali konsep sains Islami dari turats terebut.
Begitu juga dengan ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini lahir dari tangan ulama-ulama Islam. Seperti sosiologi misalnya, semua ahli mengamini bahwa ilmu ini lahir dari tangan Ibn Khaldun. Dan teori-teori yang dikemukan oleh banyak pakar dalam bidang sosiologi saat ini, tak jauh dari modifikasi atas teori-teori Ibnu Khaldun. Demikian juga halnya antropologi, Akbar S. Ahmad mengatakan Al Biruni adalah bapak ilmu ini 34. Ilmu-ilmu yang selama ini terlupakan juga seyogyanya diperhatikan kembali. Ilmu-ilmu tersebut terutama ilmu-ilmu yang bersifat kauniyyah, seperti ilmu alam dan eksakta 35. Padahal, seperti difahami oleh Syekh Ghazali dalam bukunya Turatsuna al Fikry fi Mizan asy- Syar’i wa al ‘Aqli, dengan ilmu-ilmu tersebutlah Adam AS berkompetensi untuk menjadi khalifah Allah Swt di muka bumi ini 36.
Usaha yang cukup dipuji adalah apa yang dilakukan oleh Darul Kutub al Mishriyyah. Pada sisi yang lebih nyata, yaitu revitalisasi warisan klasik Islam dalam dunia modern ini, usaha yang dilakukan oleh International Institute of Islamic Thought (IIIT) juga patut disyukuri. Walaupun semua usaha tersebut masih amat jauh jika dibandingkan dengan upaya yang telah dicurahkan oleh kalangan orientalis Barat. Saat ini, kajian orientalis Barat terhadap turats Islam telah demikian jauhnya. Daftar judul-judul kajian mereka terhadap turats Islam saja, menurut Muhammad Imarah, mencapai 1414 halaman, dan ditulis dalam tiga jilid tebal. Umat Islam memang harus malu, karena menyadari bahwa perhatian dan upaya yang mereka curahkan masih amat sedikit dan tidak memadai 37.
Belum lagi jika kita menyadari bahwa banyak manuskrip yang ditulis oleh ulama Islam, justru sekarang ini hanya ada di universitas- universitas Barat. Sehingga, jika kita ingin melakukan suatu kajian terhadap seseorang ulama, kajian itu tidak menjadi lengkap kecuali jika kita mengunjungi universitas-unviersitas tempat di mana manuskrip-manuskrip ulama tersebut tersimpan. Sesuatu yang ironis, memang.
Khatimah:
Dalam pengantar buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal mengatakan bahwa al Qur’an lebih banyak mementingkan nilai kerja (deed) dibanding kan dengan dengan idea 38. Maka, revitalisasi turats yang kita gagas ini akan menemukan nuansa cerahnya jika antara idea dan usaha berjalan seirama. Wallahu a’lam.
Hawamisy: