[  A r t i k e l ]


Dr. YUSUF QARDLAWI :
Fikih Taysîr Model Fikih Kontemporer
Oleh : Husnul Aqib Ameen

Tamhîd

Umat Islam kontemporer bersama-sama mengumandangkan syi’ar kebangkitan dan kemajuan peradaban, sebagai sebuah upaya untuk menilik kembali pada ajaran Islam yang orisinil. Tetapi yang disayangkan upaya ini terkadang tidak mampu menjawab kenyataan kekinian. Oleh karena itu, menurut Dr. Yusuf Qardlawi dibutuhkan sebuah model fikih kontemporer yang dapat menjawab tuntutan masyarakat. Ini akan dapat merealisasikan pandangan umat Islam, bahwa Islam adalah agama realita dan aktual. Menurutnya, fikih adalah materi yang hidup dan fleksibel dapat dielaborasi ke seluruh tuntutan masa dan perubahan kehidupan yang bergonta-ganti. Dan ini bisa dilihat dari perbedaan-perbedaan ulama fikih, jikalau dikaji dari segi sejarah dan manusianya.(1)

Apabila Islam sebagai wahyu Allah Swt (wadl’un ilahiyun) dan fikih sebagai karya akal (wadl’un basyariyyun), maka tak bisa dipungkiri bahwa perubahan kehidupan kontemporer menuntut model fikih kontemporer, menuntut sebuah model fikih dan ijtihad supaya pararel dengan kehidupan manusia sepanjang masa.(2)

Oleh karena itu, Dr. Yusuf Qardlawi menawarkan fikih taysîr (mempermudah) yang menurutnya sebuah jalan keluar (solusi) untuk memahami hukum Islam. Sebagaimana umat Islam mungkin akan merasa asing dan heran tatkala mendengar fikih dengan metode taysîr. Karena selama ini umat Islam, diakui atau tidak, dalam melendingkan hukum (fikih) masih memakai metode ikhtiyâth. Maka dalam kesempatan ini, Qardlawi menuturkan, bahwa taysîr bersumber dari Qur’an dan Hadis yang pernah diimplementasikan pada zaman sahabat. Dan ini secara rinci, ia tulis pada Jurnal Islamiyatu al-Ma’rifah edisi ke 5 bulan Juli 1996 M. Walaupun tawaran fikih taysîr, baik secara langsung maupun tidak, dapat dipahami dalam bukunya yang berjudul Fatâwâ Mu’âshirah.

Dr. Yusuf Qardlawi, Pemikir Islam Kontemporer :
Sebuah Petualangan dari Bangku Azhar hingga Faishal King Award

Pemikir yang lahir pada tahun 1926 ini berasal dari keluarga biasa. Tak ubahnya para pemikir yang lain, ia sudah hafal Qur’an ketika berumur 9 tahun. Kondisi yang semacam ini justru mendorongnya untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman, hingga akhirnya masuk sekolah Ibtida'iy (sekarang I’dadiy) Azhar di Tanta. "Saya cinta Azhar sejak kecil, saya bercita-cita untuk menjadi salah satu ulamanya. Azhar menurut hemat saya adalah benteng pertahanan agama dan ilmu pengetahuan. Atas bimbingan ulama Azhar, orang-orang bodoh bisa belajar dan para pelaku maksiat mau bertaubat".(3) Bagi Qardlawi kecil, menuntut ilmu di Azhar hanya untuk belajar ilmu agama, bahasa, dapat berkhutbah dan membimbing masyarakat seperti para syaikh yang disimaknya sejak dini. Diantaranya, syaikh Ahmad Moh. Shaqr, Syaikh Ahmad Abdullah, Syaikh al-Battah dan Syaikh Abd. Muthallib al-Battah. Oleh karena itu ketika menjadi pelajar di sekolah I’dadiy, ia sudah didesak oleh masyarakatnya untuk berfatwa, mengimami shalat, berkhutbah serta-merta mengajari mereka ilmu-ilmu agama. Sejak ini pula ia mulai mempunyai perhatian besar untuk mendalami ilmu fikih secara otodidak agar mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang cukup pelik.

Pada masa pendidikan sekolah Tsanawiy, ia aktif mengikuti kegiatan- kegiatan ilmiah, seperti seminar, diskusi, muktamar dan yang semacamnya, baik di Tanta atau di propinsi-propinsi lain. Kegiatan tersebut telah menghasilkan konsensus yang spketakuler sekaligus sebagai terobosan-terobosan baru bagi pengembangan azhar masa yang akan datang. Pertama, masuknya pelajaran bahasa Inggris di lembaga-lembaga pendidikan Azhar. Kedua, dibukanya kemiliteran dan sipil bagi pelajar yang meraih ijazah tsanawiyah Azhar. Ketiga, dibukanya lembaga-lembaga keagamaan bagi wanita. Keempat, dibukanya kesempatan bagi mahasiswa yang sukses dengan nilai baik untuk melanjutkan studi pasca-sarjana. Kelima, evaluasi terhadap metodologi dan mata pelajaran. Bahkan menurutnya, ia telah sering kali mengajukan tuntutan dan rekomondasi dengan cara melakukan demonstrasi. "Mayoritas apa yang saya lakukan itu selalu berhubungan dengan polisi, saya mengingkari sumpah dan tak sedikit disakiti hanya demi Azhar", tegasnya.(4)

Kapan ia mulai mengenal Syaikh Moh. Ghazali ? Menurut Qardlawi muda, ia sudah mengenalnya pada tahun 40-an lewat tulisan yang dibacanya dari majalah Ikhwan al-Muslimin dalam rubrik tetap, Khawatir Hurrah, yaitu akhir masa studi tsanawiyah. Ikatan batin semakin terasa intim, sejak ia masuk anggota Ikhwan Muslimin dan setelah mengetahuinya sebagai seorang dosen di Azhar, lulusan kuliah Ushuluddin, di mana kelak ia melanjutkan kuliah di fakultas yang sama. "Syaikh Moh. Ghazali adalah moncong pertahanan umat Islam", ujarnya.(5)

Hari-hari Qardlawi muda dihabiskan dengan menuntut ilmu di fakultas Ushuluddin Kairo. Pada masa kuliah, ia lebih leluasa menyampaikan tuntutan. Wahana dialog di perguruan tinggi lebih akrab, ia senantiasa berbincang-bincang dengan Prof. Moh. Khudlar Husein. Sehingga akhirnya pada tahun 1953, ia bersama rekan-rekannya mendirikan lajnah al-Ba’ats al-Islamiy yang bertujuan untuk memberikan sumbangsih dalam pengembangan peradaban Islam di masa mendatang. Sedangkan yang termasuk aktifitasnya yaitu menerbitkan majalah Syabâbu al-Muslim. Namun penerbitan perdananya gagal, karena ia harus masuk penjara Ameria di awal tahun 1954. Peristiwa ini terjadi seusai meraih gelar Alamiyah (sederajat dengan licence) pada tahun 1953 dan dapat menyelesaikan diploma pada lembaga studi Arab jurusan bahasa dan sastra pada tahun 1958. Akhirnya ia dapat meraih gelar doktoral pada tahun 1973 dengan natijah martabah ma’a syaraf al-ulâ dengan judul disertasi al-Zakâh wa atsaruhâ fî halli musykilati al-ijtimâiyyah.

Menurutnya, kendatipun ia memilih untuk studi di fakultas Ushuluddin yang identik dengan akidah, filsafat, tafsir dan hadis, namun hal itu tidak menjadi kendala baginya untuk menelaah fikih; dari sejarah, dasar hingga kaidah-kaidahnya. Barangkali merupakan sebuah bukti yang kongkrit, pada tahun 1415 H, Dr. Yusuf Qardlawi meraih Faishal King Award dalam kriteria Khidmatu al-Islâm lewat karyanya Fiqhu al-Zakâh. Mengomentari penghargaan terbesar dalam dunia Islam ini, ia melihat bahwa Faishal King Award sebagai nobel umat Islam yang secara de jure diakui oleh para ulama. Pun sebagai penghargaan terhadap produk pemikiran yaitu ekuilibrium Islam yang menyatukan antara salaf dan tajdid.

Mata rantai perjalanan Dr. Yusuf Qardlawi dapat dikatakan sebagai pintu untuk mengetahui secara lebih detail lagi tentang fikih taysîr yang nantinya menjadi salah satu model fikih kontemporer.

Taysîr dalam Pandangan Qur’an dan Sunnah

Fikih taysîr adalah tuntutan umat Islam secara konstitusional (Syara’) untuk mempermudah kehidupan manusia di era globalisasi. Tapi bukanlah semata-mata sebagai jawaban terhadap desakan kenyataan atau senandung kemodernan, seperti yang dipretensikan sebagian orang. Sebab pondasi Islam adalah kemudahan, bukan kesulitan. Di mana senantiasa mengajak manusia pada tabsyîr (kabar gembira), bukan pada ancaman ansich.

Adapun pijakan syari’ah terhadap kemudahan ini amat jelas, laksana terangnya matahari di pagi hari. Allah berfirman : "Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur" (Q.S. 5:6). "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" (Q.S. 2:185). "Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" (Q.S. 21 :107).

Bukan hanya berpijak dari teks Qur’an saja, namun juga memiliki pijakan dari hadis. Antara lain ; ketika nabi bersabda; "Sesungguhnya aku hanya rahmat dan petunjuk" Begitu pula ketika nabi mengutus Abu Mûsa al-Asy’ariy dan Mu’âdz bin Jabal ke Yaman, nabi berwasiat pada keduanya, "Permudahlah dan jangan dipersulit, berbahagialah dan jangan mengintimidasi serta bersukarelalah."

Terminologi Taysîr

Sebelum mamasuki pembahasan yang lebih intens, perlu kiranya untuk diperjalas terminologi taysîr dalam sebuah bingkai yang sistimatis dan aplikatif. Barangkali dalam konteks ini ada dua terminologi : Pertama, mempermudah pemahaman fikih terhadap umat Islam kontemporer yang sibuk dalam persolan dunia. Mereka dituntut untuk menghadapi letupan-letupan pengetahuan dan revolusi informasi yang muncul setiap hari, bahkan setiap detik. Kedua, mempermudah pengamalan hukum-hukum fikih dengan menghindari pikiran yang pelik dan berat.(6)

    A. Mempermudah Pemahaman Fikih

    Dalam mempermudah pemahaman fikih ke seantore umat Islam, Qardlawi memunculkan poin-poin yang dianggapnya mudah diterima, bahkan dilaksanakan. Antara lain :

    • Menulis sebuah buku dengan bahasa yang mudah dan luas, jauh dari bahasa yang sulit serta tidak membebasi seseorang dalam metode penulisannya.
    • Menghadapi akal seorang muslim kontemporer dengan perkataan yang relevan dengan watak kepribadiannya. Allah berfirman : "Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya" (Q.S. 14 : 4).
    • Menggunakan istilah-istilah yang baru kalau memang lebih mengantarkan pada hukum syara’. Seperti kalimat wi’a’ al-zakâh sebagai pengganti dari al-maqâdîr al-latî tajibu fîhâ al-zakâh.
    • Menghindari istilah-istilah yang sulit bagi pembaca sehingga dapat dipahami oleh rakyat biasa.
    • Menetapkan catatan kaki yang rinci di akhir penulisan tentang fikih.
    • Menerangkan hikmah tasyri’sehingga akal menjadi puas dan hati menjadi tenang. Karena Allah tidak mensyari’atkan sesuatu kecuali ada hikmahnya. Seperti Qur’an menjadikan ibadah mahdlah memiliki alat, hikmah dan konotasinya sendiri. Dalam shalat misalnya, Allah berfitman : "Sesungguhnya shalat mencegah manusia dari kekejian dan kemungkaran.(7)

    Secara umum kita dapat melihat lebih tajam lagi, bahwa keseluruhan rumusan di atas mengacu pada kelompok manusia yang masih awam dan memiliki spesialisasi pada fikih.

    B. Mempermudah Pengamalan dan Pelaksanaan Fikih.

    Adapun bagian yang kedua berhubungan pada hukum-hukum fikih itu sendiri, sekiranya mudah bagi umat Islam untuk melaksanakan fikih yang berkesinambungan dalam ibadah kongkrit, mu’amalah dan seluruh tingkah laku kehidupan individual dan kolektif.

    Definisi taysîr bukanlah membuat sebuah konstitusi baru atas kehendak sendiri, menggugurkan apa yang telah diwajibkan Allah atas manusia atau menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, atau membuat pembaharuan dalam agama yang tidak diperbolehkan olehNya. Ini semua bukanlah taysîr yang ditawarkan oleh Qardlawi, tapi merupakan tahrif yang tidak dapat diterima oleh akal seorang muslim. Taysîr yang dimaksud Qardlawi adalah taysîr dalam furu’ dan tasyaddud dalam ushul.(8) Maka dapat dipahami secara gamblang, bahwa taysîr adalah sebuah upaya untuk memberikan pencerahan terhadap umat Islam dalam memahami Qur’an dan hadits seiring dengan perkembangan zaman.

    Untuk mengkaji lebih tajam pandangan Qardlawi dalam konteks kedua ini, perlu rasanya dijabarkan beberapa hal berikut ini :

    • Memperhatikan aspek rukhshah.
      Memperhatikan aspek dispensasi terletak pada kemauan masing-masing. Sebab kita tidak bisa berinteraksi pada manusia dengan satu kualitas. Maka tuntutan orang yang lemah, tidak sama dengan tuntutan orang yang kuat.
    • Keharusan taysîr di zaman sekarang.

    Apabila taysîr adalah sebuah tuntutan, sebagaimana yang diperintahkan oleh nabi, maka taysîr adalah sesuatu yang paling penting dan harus dilaksanakan pada zaman sekarang ini. Melihat karena terkelupasnya keagamaan dalam jiwa manusia dan semakin santernya tendensi-tendensi materialis serta terpengaruhnya umat Islam dengan umat yang lain, di mana ini semua adalah inti dari hubungan erat dunia antara satu dan lainnya. Sehingga dunia ibarat kampung kecil (small village) dan seseorang tidak bisa hidup menyendiri dari yang lainnya. Alat-alat komunikasi yang sudah tersebar luas serta memperlihatkan apa yang terjadi di seluruh penjuru dunia. Terlebih dengan adanya siaran langsung.

    Inilah yang digambarkan oleh ulama mutaakhirîn dengan perubahan zaman. Mereka menjadikan semua ini sebab berubahnya fatwa seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abidin. Ia berkata dalam risalahnya, Nasyru al-’Urfi fî mâ buniya min al-Ahkâm alâ al-Urfi, hukum itu dapat berubah dengan berubahnya zaman dan kebiasaan umat atau adanya darurat, yang sekiranya kalau hukum seperti semula, maka manusia akan mempunyai beban dan kesulitan serta bertentangan dengan kaidah syari’ah yang mempermudah dan menolak kesulitan serta beban.(9)

    Dari perubahan fatwa inilah yang menyebabkan kita untuk meninjau kembali segala ucapan yang dikatakan atau pendapat yang diambil pada zaman dahulu. Kalau memang pendapat tersebut sesuai dengan kondisi dahulu, namun belum tentu cocok dengan zaman sekarang. Misalnya, pembagian wilayah pada dar al-harb dan dar al-Islam. Ungkapan bahwasanya hubungan umat Islam dengan lainnya adalah peperangan serta ungkapan bahwasanya jihad adalah fardlu kifayah dan lain-lain yang berhubungan dengan hal tersebut.

    Secara de facto ucapan ini tidak relevan sekali dengan zaman sekarang dan tidak ada teks yang menguatkannya. Bahkan ada teks yang menentangnya. Sedangkan Qur’an sendiri memerintahkan kita untuk mengenal sesama manusia. Jihad yang diwajibkan pada zaman dahulu, mempunyai tujuan yang jelas yaitu menghilangkan rintangan materialistis dalam propaganda Islam. Kini, jihad tidak ada lagi rintangan yang mengganjal. Bahkan di negara-negara terbuka, orang muslim dapat menyampaikan dakwahnya dengan ucapan langsung, baik lewat radio maupun televisi, sehingga mereka dapat berdakwah ke penjuru dunia dengan bahasa yang berbeda-beda.(10)

    C. Bebas dari Fanatisme Madzhab

    Taysîr yang ideal adalah bebas dari belenggu madzhab tertentu, yang sementara ini dijadikan referensi dari seabrek permasalahan, baik di dalam ibadah maupun mu’amalah. Kendatipun di dalamnya terdapat ta’sîr wa tadlyîq yang tampak terdapat kelemahan bukti dan pijakan-pijakan konstitusional, bila dibandingkan dengan madzhab-madzhab yang lain. Karena madzhab tertentu kadang kala mempersempit dalam beberapa masalah. Padahal apabila kita tinjau dari segi syari’ah dengan teks- teksnya, maqâshid dan warisan para fuqaha’, terdapat kelenturan dan keluwesan yang memberikan solusi terhadap segala masalah. Karena menurut Qardlawi, syari’ah itu ibarat dokter yang memberikan obat pada setiap penyakit.(11)

    Pandangan fanatisme madzhab ia katagorikan sebagai taklid buta, yang merupakan perbuatan tercela dan merintangi kemajuan umat Islam. Sebab ulama-ulama Islam yang memiliki kredibilitas, secara riil mencela taklid serta mengingkarinya. Muqallid dalam pandangan mereka bukanlah orang yang alim, melainkan mereka adalah pengekor. Karena taklid adalah menerima ucapan orang lain tanpa ada hujjah. Sedangkan ilmu adalah mengetahui kebenaran dengan dalil. Sebagaimna Ibnu al-Jauzi mengatakan, seorang muqallid tidaklah dapat dipercaya dengan apa yang diikutinya. Karena taklid menghapus manfaat akal. Akal dijadikan untuk menelaah dan berpikir. Maka betapa buruknya orang yang diberikan sinar yang menerangi, tapi ia memadamkannya seraya berjalan dalam kegelapan. Begitupun dalam hal ini, Moh. Abduh mengatakan : "Sesungguhnya taklid itu walaupun ada dalam kebenaran, tapi pada hakekatnya merupakan hal yang membahayakan. Begitu juga walaupun taklid bermanfaat akan sampai pula pada kesesatan. Maka taklid adalah sesat yang hanya pantas dilakukan oleh hewan."(12) Termasuk orang orang yang paling vokal menentang taklid adalal Ibnu al-Qayyim dalam bukunya ‘I’lâmu al-Muwaqqi’ien yang terdapat di dalamnya 81 segi menolak orang-orang yang menyuarakan taklid, diantaranya adalah : bahwa Allah SWT jelas-jelas mencela orang-orang yang menkotak-kotakan agama dan merasa bangga dengan golongannya, inilah salah satu contohnya para muqallid jelas berbeda sekali dengan para ahli ilmu mereka walaupun berbeda pendapat tetapi tetap satu tidak terkotak-kotak yang bertujuan kepada kebaikan. Dan Allah SWT berfirman : "Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung". Allah mengkategorikan orang yang mengajak kepada kebaikan termasuk orang yang beruntung, yang mengajak kepada kebaikan adalah orang-orang yang mengajak kembali kepada al-qur’an dan sunnah bukan orang yang mengajak kepada pendapat si pulan dan si pulan atau si zaid.(13)

    Kebebasan dari kungkungan madzhab, bukan berarti mencela madzhab-madzhab yang ada dan juga tidak berarti merasa cukup dengan fikih madzhab serta kitab-kitabnya yang penuh dengan ratio logis dan perincian-peinciannya. Namun yang dimaksud dengan kebebasan madzhab, seorang ahli fikih tidak boleh terikat dengan selain Allah dan RasulNya. Maka ia boleh mengambil dari madzhab manapun yang menurut pandangannya lebih kuat sesuai dengan neraca syari’at. Karena di dalamnya terdapat kelenturan dan kemudahan yang luas. Ini semua berlandaskan pada sebab-sebab yang dapat diklasifikasikan pada enam hal;

    • Sesungguhnya keterikatan pada suatu madzhab adalah sebuah komitmen yang tidak diwjibkan oleh agama. Karena seluruh yang diwajibkan hanya dari Allah dan rasulNya. Allah dan RasulNya tidak mewajibkan umat Islam mengikuti madzhab ad hoc, tetapi Dia hanya mewajibkan untuk mengikuti Kitab dan Sunnah. Semua madzhab itu berkembang setelah agama ini sempurna dan terputusnya wahyu pada masa dua atau tiga hijriyah.
    • Sesungguhnya para imam yang diikuti selama ini melarang untuk bertaklid kepadanya. Seperti yang diriwayatkan oleh al-Hâfid Ibnu Abdu al-Bârî, yang dinukil oleh Ibnu Qayyim dan lainnya. Qur’an, Hadis dan Ijma’ tidak mewajibkan mengikuti para imam madzhab. Sedangkan, jikalau masih ada yang mewajibkan bermadzhab, ungkapannya tidak logis atau tidak beralasan. Karena seorang muqallid tak layak ditaklid. Bisa diambil contoh ucapannya Abu Daud kepada Ahmad al-Auza’i yang mengikuti mazhabnya malik, "Janganlah kau bertaklid dalam perkara agamamu kepada seseorang, dan ambillah apa-apa yang datangnya dari rasulullah dan sahabatnya". Imam Ahmad sendiri telah menyuarakan dengan lantang kepada seluruh umat agar jangan mengikutinya dan jangan mengikuti Imam Malik, Imam Tsauri atau yang lainnya.(14).
    • Ulama-ulama yang bertaklid sudah mengungkapkan sebuah alasan, bahwa orang awam baginya tidak ada madzhab. Karena madzhabnya adalah ulama-ulama yang memberikan fatwa kepadanya. Sedangkan masyarakat akademis di era ini perlu dilontarkan sebuah fikih kontemporer yang mudah diterima sesuai dengan dalil dalil yang menentukan sebuah hukum.
    • Para ulama dituntut untuk memaparkan hukum-hukum Islam supaya umat cinta pada agama yang diturunkan 14 abad silam. Maka, apakah logis memaparkan pada mereka empat misal, tujuh atau delepan yang dikategorikan sebagai madzhab yang diikuti. Kemudian sebagai orang berkata, sesungguhnya setiap misal dari semua itu merupakan format ajaran Islm pada sebuah madrasah gagasan atau madzhab ?
    • Bagaimana para ulama mentransformasikan Islam kepada mereka yang baru masuk Islam atau golongan minoritas Islam. Apa yang hendak disampaikan kepada mereka ? Madzhab apa ? Layakkah berkata bagi orang yang baru masuk Islam, sesungguhnya di depan kamu terdapat banyak misal, maka pilihlah satu saja ? Upaya-upaya ke arah itu sudah dilakukan oleh garda depan Grand Azhar dan mentri agama Mesir, apakah pantas ditulis sebuah buku yang menerangkan satu madzhab saja ? Dalam konteks ini, Dr. Yusuf Qardlawi telah menulis sebuah buku yang berjudul al-Halâl wa al-Harâm fi al-Islâm.
    • Para pemikir kontemporer semakin menuntut untuk membuat sebuah undang-undang yang jelas, apakah kita akan menyusunnya hanya dengan empat madzhab saja atau lebih ? Akankah kita harus mengikuti dalil yang lebih kuat di bawah naungan Qur’an dan hadis?(15)

    D. Taysîr bagi sesuatu yang membawa bencana umum.

    Dalam hal ini Dr. Yusuf Qardlawi membidik persoalan-persoalan yang memiliki persesuaian dengan poin di atas dalam dua hal, antara lain : Pertama, apabila terdapat sebagian madzhab yang bernada keras dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan masalah thahârah, misalnya Imam Syafi’ie, maka dalam hal ini tidak ada kelaziman bagi manusia untuk mengikutinya. Oleh karena itu, ketika berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan, seorang ahli fikih bisa menggunakan madzhab Malik, bahwa semua (binatang) yang dapat dimakan dagingnya, maka kencing dan kotorannya suci. Dan air tidak najis kecuali mengalami perubahan. Ini seperti yang diperkuat dan difatwakan oleh Ibnu Taymiyah. Imam Ghalazi mengutarakan dalam buku Ihya’ Ulumuddin (bab thahârah) tentang Syafi’ie, "saya ingin madzhabnya (Syafi’ie) dalam masalah air seperti madzhabnya Malik." Kemudian menjelaskan tujuh alasan untuk mendukung Malik. Padahal ia bermadzhab Syafi’ie.

    Kedua, dalam menghadapi perbedaan pendapat yang tidak dijelaskan oleh Qur’an dan hadis, kemudian muncul sebuah pendapat yang dianggap lemah dan pada sisi lain orang menganggapnya kuat, maka sebaiknya memilih yang mudah saja. Karena sesuatu yang dipermasalahkan tidak sama dengan sesuatu yang sudah mendapat kesepakatan. Ini erat kaitannya dengan amanat ilmiah. Di samping itu dalam masalah-masalah ijtihad tidak ada kemungkaran di dalamnya. Namun yang terpenting, tetap mempertahankan otensitas agama. Dalam satu contoh, Syaikh al-Azhar, Syaikh Moh. Musthafa al-Maraghi, ketika menyikapi masalah yang dilakukan oleh manusia di pasar-pasar dengan ungkapan-ungkapan yang menjurus pada talak, beliau tidak berfatwa bahwa saat itu talak telah terjadi. Namun senggama antara suami dan istri tetap sah, karena ini sangat berhubungan dengan mempertahankan otensitas agama.(16)

    E. Memperhatikan maksud dan perubahan fatwa.

    Dalam hal ini pula merujuk pada tradisi yang telah dilakukan oleh para sahabat, bahkan nabi sendiri. Seperti ketika seorang badui kencing di mesjid. Barangkali yang mendapat penekanan lebih gamblang, bahwa sebenarnya yang berubah itu bukan hukumnya, namun fatwanya saja.

    Dari sekian pandangan di atas - baik yang mengarah kepada pemahaman maupun pelaksanaan yang mudah - Dr. Yusuf Qardlawi hanya menginginkan sebuah kemudahan sekaligus memperbaharuinya sehingga dapat diadaptasikan dengan perkembangan kontemporer. Karena menurutnya, konsep taysîr lebih lengket dengan masalah-masalah kekinian di tengah-tengah kepengapan masalah kehidupan. Oleh karena itu harus dibedakan antara syari’ah dan fikih. Syari’ah adalah wahyu Allah, sedangkan fikih adalah kerja akal Islam di bawah pondasi syari’ah. Nah, kalau seandainya diketemukan perbedaan antara Abu Hanifah dan rekan-rekannya (dalam satu aliran) itu hanya perbedaan zaman dan masa.

    Maka jelas sudah, apabila ada ungkapan, bahwa pintu ijtihad sudah ditutup setelah abad empat, tiga dan dua, ungkapan itu tidak bisa diterima. Sebab sebenarnya yang membuka pintu ijtihad adalah Rasulullah, maka tak ada kemudian yang bisa menutupnya.

Khitâm

Demikianlah paparan Dr. Yusuf Qardlawi yang bersangkut paut dengan fikih taysîr. Ini mungkin sebuah kado untuk memahami fikih kontemporer. Sebab sangat diherankan, kalau di abad yang pesat dengan perkembangan mutakhir ini, masih ada orang yang mau menutup diri (esklusif) seraya tidak menerima pendapat yang berbeda dengan ketetapan pribadinya. Juga tidak ada maksud lain dalam kebebasan dari kungkungan mazhab melainkan agar seorang muslim dapat merasakan kebebasan berfikir yang sempurna layaknya seorang khalifah di muka bumi ini, semoga dengan adanya fiqih taysir ini dapat membuka jalan pikiran umat Islam di era infijar al-ma’rifah atau tsaurah al-ma’lumat ini.

Catatan Kaki

  1. Majalah Bulanan, al-Wa’yu al-Islami, edisi 266, Juli 1996, hal 36
  2. Imarah, DR .Mohamad, Hal Islamu Huwa al-Hall, Dar el-Shouruk, cetakan tahun 1995, Hal 57
  3. Qordlowi, DR Yusuf, al-Azhar Bayna al-Amsi wa al-Yaum wa al-Ghad, Maktabah Wahbah cetakan tahun 1992
  4. Ibid
  5. Qordlowi, DR Yusuf, Assyekh alGhazali kama araftuhu rihlah nisfu qarnin. Dar el wafa tahun 1995, hal 11
  6. Jurnal islamiyah al ma’rifah, tahun ke-2 edisi 5, Juli 1996, hal 101
  7. Ibid, hal 101-106
  8. Loc.Cit, al-Wa’yu al-Islami, hal 37
  9. Ibid, Islamiyah al-Ma’rifah hal 107
  10. Qordlowi, DR. Yusuf , Fiqhu al-Awlawiyat fi Dlau' al-Qur’an wa al-Sunnah, Maktabah Wahbah, tahun 1996, hal 90-91
  11. Loc.Cit. Islamiyyah al-Ma’rifah hal 108-109
  12. Abduh, Moh. Risalah al-Tauhid Dar al-Shouruk, tahun 1994 hal 32
  13. Al-Jauziyyah, Ibnu al-Qayyim, Dar al-Hadist, tahun 1993, jilid 2, hal 196
  14. Ibid. Hal 173
  15. Loc.Cit. Islamiyyah al-Ma’rifah, hal 111-112
  16. Ibid. Hal 114.


www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt