EMANSIPASI, NO !
KEADILAN ILAHY, YES !
Oleh : Ida Sajidah Dhia’uddin
Sudah merupakan aksioma zaman modern, bahwa wanita itu mulia. Hanya saja semua orang tidak sepakat dalam menentukan kriterium yang digunakan dalam mengukur tingkat kemuliaannya. Banyak yang melihat kepada kecantikannya. Ada juga yang melihat dari kemandirian dan posisi sosialnya. Ada juga yang melihat dari segi yang lebih abstrak, seperti kualitas spiritual dan akhlaqnya.
Para pembela kaum wanita terus menerus mengkampanyekan persamaan hak antara pria dan wanita di semua bidang kehidupan . Sayangnya, usaha persamaan (emansipasi) itu cenderung ditampilkan dengan menafikan pelbagai perbedaan kodrati antara dua kelompok manusia berlainan jenis ini. Ada sebuah ungkapan ironis, bahwa dunia wanita itu dibatasi empat dinding tembok. Sedangkan dunia kaum lelaki dibatasi oleh garis cakerawala. Maka emansipasi berarti "mendobrak" dinding pemisah yang membatasi ruang gerak kaum wanita. Adakah benar demikian? Tentunya kita harus merujuk kembali kepada beberapa aspek dalam menjelaskan hakikat persamaan antara pria dan wanita ini. Agar dalam "ketidaksamaan" yang tak terpungkiri itu, kita tetap bisa bertindak obyektif dan adil.
A. Asal kejadian wanita
Ada pelbagai asumsi yang tentang wanita yang menyangkut perbedaan asal kejadian wanita berbeda dari pria. Diantara asumsi yang cenderung negative itu, penciptaan wanita dilatari oleh ulah syaitan, sehingga wanita kemudian dianggap najis. Wanita dianggap juga sebagai pihak yang rentan terhadap godaan syaitan. Kelemahan mereka inilah yang akhirnya menjadi penyebab terusirnya manusia dari syurga.
Pandangan seperti yang tersebut diatas dengan tegas ditolak oleh al-Quran, sebagaimana yang termaktub pada awal surah Al Nisaa’: 1. Dengan konotasi merendahkan, ada pula yang berdalilkan sebuah hadits shahih, untuk mrnunjukkan superioritas kaum Adam atas kaum Hawa. Hadits tersebut berartikan: "Saling nasihat-menasihatilah kepada wanita untuk berbuat baik, kerana mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok." Tentunya tindak penyalahgunaan atas hadits tersebut tidak perlu terjadi, kalau melihat penjelasan para ulama’ yang mempunyai integritas keilmuan. Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertiannya yang majazy. Karena motive dari hadits tersebut adalah untuk memperingatkan kaum lelaki agar menghadapi wanita dengan bijaksana. Sebab wanita mempunyai kecenderungan, karakter dan sifat yang tidak sama dengan kaum Adam. Tidak adanya pengertian terhadap perbedaan-perbedaan tersebut tentunya akan berakibat fatal. Sebagaiman dikiaskan dengan usaha seseorang untuk meluruskan tulang yang bengkok. Hadis tersebut justru mengakui kepribadian wanita, yang telah menjadi kodratnya sejak lahir.
B. Emansipasi Wanita, Sebuah Perspektive Islam
Kedudukan wanita dalam pandangan Islam tidak sebagaimana yang diduga atau dipraktekkan sementara orang. Ajaran Islam justru memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada wanita. Dalam kaitannya dengan pandangan sekuler yang negative ini, Syeikh Muhammad Al-Ghozali, ulama Mesir kontemporer, menyatakan bahwa keadaan kaum wanita Muslim jauh lebih baik daripada di Barat, kalau seandainya kebebasan dalam bergaul dan berpakaian tidak dijadikan ukuran.1
Menurut fitrahnya, Allah menciptakan manusia dalam dua jenis; laki-laki dan perempuan. Kepada masing-masing dianugerahkan potensi dan kemampuan untuk menjalankan fungsi sebagai khalifahNya. Allah tidak melebihkan Adam dan Hawa, satu sama lain. Masing-masing mendapatkan perintah, larangan dan pengampunan. Di sini terlihat keadilan Allah, seindah cerita bertendens karya Ummu Hassan Al Hulluw, tentang emansipasi:
"Sesungguhnya keyakinan modern akan persamaan derajat seperti itu adalah batil dan telah gagal dari akar-akarnya. Dan sesungguhnya sang Maha Bijak dan Maha Mengetahui telah menyamakan antara laki-laki dan perempuan dalam hak, kewajiban, dan hukuman dengan sempurna dan adil. Menurut saya masyarakat modern telah merekayasa emansipasi untuk memberikan kebebasan kepada para pemuda agar bisa berbuat sesukanya, demi kesenangan peribadi. Dan di lain pihak emansipasi itu pada hakikatnya telah mendzalimi para pemudi. Seperti yang engkau tahu dan engkau rasakan, seorang pemudi yang menyeleweng dan tomboy, pada anggapan masyarakat berarti telah mencoreng arang di kening keluarganya, merusak nama baik mereka. Sedangkan para pemuda tidak mendapat sanksi apa-apa, kecuali sedikit, itu sungguh tidak adil. Maka saya berutopia, I have a dream, hendaknya kita melihat dan menghukum segala sesuatu menurut syari’at Allah. Sebagaimana Allah telah menyamakan antara siang dan malam. Saya berpikir bagaimana caranya agar suatu perbuatan jelek yang dilakukan pada malam hari mendapat siksa yang setimpal dengan perbuatan jelek yang dilakukan di siang hari. Maksudnya seorang yang berdosa baik lelaki atau perempuan, haruslah mendapatkan hukuman yang sama. Dan seorang wanita yang berzina tidak boleh dibedakan hukumya dengan seorang laki-laki yang berzina. Itulah persamaan yang sesungguhnya, Kawanku!". 2
Selanjutnya, menurut A’faf, kaum wanita tidak akan mendapatkan hak-haknya dengan sempurna kecuali kalau seandainya syari’at Islam diterapkan. Karena dalam masyarakat yang konon berpeluang untuk emansipasi wanita, kebanyakan wanita hanya diukur dengan satu kriteria saja, kecantikannya. Di lain pihak, wanita-wanita yang ‘kurang beruntung’ seakan-akan dianggap bukan manusia lagi. Dalam keyakinan A’faf, masyarakat yang memberikan kaum wanita seluruh hak-haknya adalah masyarakat yang terdapat di dalamnya pedoman yang kuat, rasa malu, aqidah dan kebaikan. Masyarakat itu tidak akan tercipta kecuali kalau kita melihat orang lain dengan ‘ukuran’ yang ditentukan Tuhan. Dan Allah swt tidak mengukur kita dengan bentuk dan penampilan kita, melainkan memandang kepada hati dan akhlaq kita. Akhirnya kalau semua orang memandang kepada hati dan perbuatan seorang wanita, maka wanita tersebut akan mendapat seluruh haknya sebagaimana layaknya.3
Islam juga didzalimi dengan anggapan palsu, bahwa Islam tidak memberikan kesempatan kepada kaum wanita untuk aktif di dalam kehidupan bermasyarakat dan memperoleh hak-hak politiknya. Ini tidak lepas dari misunderstanding dan sikap apriori terhadap ajaran-ajaran Islam. Padahal menurut Yusuf Qardhawy, Islam membolehkan kaum wanita untuk menduduki posisi yang tertinggi di dalam pengadilan, mencalonkan diri menjadi anggota parlemen dan mendapatkan hak-hak politiknya secara umum. Intelek kondang Timur Tengah ini berdalilkan kepada ayat al-Qur’an (At-Taubah: 71) yang menyatakan: "Al-Mukminuun walmukminaat ba’dhuhum auliyaa’u ba’dhin". (Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan saling menjadi auliya' antara satu sama lain). Pengertian kata Auliya’, yang termaktub dalam ayat yang tersebut di atas, secara definitif mencakup kerjasama, bantuan, saling pengertian dalam konteks saling menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran. Itu berarti mencakup pula segala segi kebaikan ataupun usaha perbaikan kualitas hidup umat, misalnya memberikan nasihat (kritik) kepada penguasa. Di samping itu beliau merujuk juga kepada pendapat Imam Abu Hanifah, yang membolehkan wanita untuk menjadi hakim selain dalam perkara qishash dan hudud. Dan Imam Al-Thabary dan Ibn Hazm juga berpendapat yang demikian.4
Selain dalil naqli tersebut di ats, DR. Yusuf Qardhawi menggunakan dalil aqli, dengan menyatakan bahwasanya kaum wanita tidak selamanya dihalangi oleh kehamilan, menyusui dan keharusan mendidik anak. Sehingga ada waktu yang terluang bagi mereka. Dalam keadaan demikian, tidak ada lagi yang bisa melarang kaum wanita yang cerdas-cendikia serta mempunyai kredibilitas untuk terjun aktif dalam dunia politik. Masalah ini, menurut Yusuf Qardhawi lagi, memang cukup sensitif. Tetapi wanita-wanita Muslimah yang layak untuk tejun dalam dunia politik hendaknya tidak dipersulit, agar jangan sampai ada yang menuduh Islam sebagai agama yang anti kaum wanita dan agar jangan sampai posisi-posisi yang penting itu diduduki oleh wanita-wanita yang rusak.5
Mengenai kriteria wanita yang layak untuk terjun aktif dalam dunia politik, kata Yusuf Qardhawi, ada tiga; Mengetahui urusan dan seluk beluk politik (educated), sanggup mengemban amanat dan tetap menjaga adab sebagai seorang Muslimat dalam tatacara berpakaian dan bergaul.6Dengan demikian, setiap laki-laki dan perempuan yang mengaku beriman hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat, agar mampu melihat dan memberi saran dalam berbagai aspek kehidupan.7 Dengan ketrampilan dan ilmu pengetahun yang dimilikinya, kaum wanita berhak untuk berkarier.
Menurut Maria Ulfah Subadia, SH., wanita-wanita yang berprestasi di zaman modern ini, ada empat golongan. 8
Tentu saja Islam telah memberikan kepada wanita porsi dan posisi yang sebaik-baiknya, sesuai dengan kodrat penciptaannya. Seorang wanita yang menolak untuk kawin demi mengejar karier yang lebih tinggi, berarti dia tidak mematuhi sunnah Allah SWT dan NabiNya. Banyak dalil-dalil syar’ie yang menekankan akan sunnah ini.9
Secara psikologis, menurut La Rose, seorang wanita juga tidak mampu melepaskan diri dari kaum lelaki dalam masalah emosi, kasih-sayang, cinta dan seksualitas. Meskipun mungkin, ia mampu memenuhi kebutuhan ekonominya dengan bekerja.10 Wanita ayng lebih mementingkan pekerjaannya dan menelantarkan keluarganya berarti telah keluar dari kodratnya. Seperti halnya dengan pria, wanita dituntut untuk berparitisipasi dalam membangun citra keluarga Muslim dan martabat umat manusia pada umumnya. Karena pasang surutnya kualitas umat sangat tergantung kepada kaum wanita. Tidak heran kalau kemudian Islam meletakkan konsep keshalihan seorang wanita dalam keberhasilan mereka membina rumahtangga. Dalam masyarakat juga ada anggapan bahwa seorang wanita yang berhasil dalam karier dan sekaligus berhasil membina keluarganya, mendidik anak-anaknya sampai menjadi ‘orang’ serta mampu membahagiakan suami, adalah wanita yang berhasil dengan sempurna. Dalam kaitannya dengan pendidikan agama bagi anak-anak, Prof. Dr. Conny Semiawan, dosen psikologi UI, sempat menyatakan keprihatinannya akan meggejalanya kehancuran keluarga karena orangtuanya memprioritaskan karier.11) Kalau dirujuk kepada pengertian feminisme yang sebenarnya, Islam adalah sebuah agama yang adil.12) Islam sendiri mletakkan status wanita setara dengan pria. Karena dalam Islam orang yang paling mulia adalah orang yang bertakwa.13) Sehingga seorang wanita bisa mencapai derajat yang mulia di sisi Allah, jika wanita tersebut lebih bertakwa. Ia juga bisa menjadi lebih terhormat dalam pandangan manusia jika dia lebih banyak berbuat kebajikan.14) Kalaulah Islam meletakkan derajat pria lebih tinggi daripada wanita, itu harus dipahami dalam konteks kepimpinan dan kewajipan memberikan nafakah.15) Dan seperti yang dikatakna oleh KH Daraokah, ulama’ Solo, kelebihan itu akan hilang dengan sendirinya kalau laki-laki tersebut tidak mampu untuk membuktikan kualitas kejantanannya (dalam arti kepimpinannya), dan dalam keadaan itu sudah tentu ketentuan hukum baginya dapat berubah.16) Selain itu juga diriwayatkan oleh Rasulullah SAW pernah membatalkan pernikahan seorang gadis yang dipaksa oleh orangtuanya.17) Walaupun Islam tidak membedakan status pria dan wanita di sisi Allah, Islam juga memberi sinyal bahwa bagaimana juga bahwa bagaimanapun juga pria dan wanita tidak sama (QS : 3 : 36 ). Rasulullah SAW melarang wanita meniru laki-laki dan begitu juga sebaliknya. Wanita berbeda dengan pria baik secara fisiologis maupun secara psikologis. Menurt hormonnya laki-laki cenderung bertindak secara instrumental dan wanita secara ekspresive.18) Dan di situlah Allah menunjukkan keadilan dengan membagi peranan manusia dalam proses kehidupan.
C. Epilog Akhirnya, bertolak dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa hakikatnya kita semua adalah sama. Hanya saja keadilan Ilahi telah menentukan fungsi dan tugas-tugas utama masing-masing di antara laki-laki dan wanita. Perbedaan tersebut hendaknya tidak membuat sebagian merasa lebih tinggi daripada yang lain.Selama kita tetap mempunyai komitmen dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip ajaran Islam. Allah SWT telah berfirman, dalam surah Al-Nisaa’ : 32, sebagai berikut : " Dan janganlah kamu merasa iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah terhadap sebagian kamu lebih banyak daripada sebagian yang lain. (Karena) dari orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi orang perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan." Wa Allah a’lam bi-l-showaab (A/E).
Catatan kaki :