[ A r t i k e l ] |
ASWAJA
NU; MODERAT ATAU OPORTUNIS?* Sikap
politik NU selama rentang puluhan tahun, selalu saja tampak ambigu, plin-plan.
Pada satu saat, ia mengatakan “ya”, dan pada saat yang lain, justru
menga-takan “tidak”. Demikian halnya, yang terjadi selama ini. Misalnya,
ketika hendak memutuskan kembali ke khittah atau tidak, NU tidak dengan tegas
menyatakan untuk memilihnya. Sehingga ketika dihadapkan pada masalah partai PKB
dan non-PKB (PKU, P-Sunni, PNU) saat muktamar atau juga ketika dihadapkan
masalah Gus Dur menjelang SI, NU mau all out mendukungnya atau tidak, nampaknya
masih wait and see. Untuk menuju ke sana, NU kelihatannya perlu banyak
pertimbangan. Bagaimana sebenarnya sikap NU pada khittah ?. Wallahu
‘alam. Hanya, ada dua hal yang bisa dikedepankan dalam mencermati prilaku
politik NU; husnudzan dan
su’udzan. Jika asumsi husnudzan (postitif thingking) yang digunakan itu
artinya bahwa semua kebijakan yang diambil NU demi untuk kemaslahatan warganya
pada khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya. Sebagaimana maklum, alur
kembali ke khittah menegaskan misi awal NU sebagai jam’iyyah diniyah
ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan) yang hanya berkepen-tingan untuk
melakukan empowering pada warga nahdliyyin dalam banyak bidang; politik,
ekonomi, pendidikan, dakwah dan sebagainya. Tidak lain. Ini, untuk kalangan
intern NU. Sementara untuk kalangan ekstern (rakyat Indonesia), kemungkinan
pemberdayaan pada masyarakat NU jauh lebih besar dari pada ketika NU hanya
berpihak pada salah satu parpol (PKB, misalnya). Aliansi strategis yang digalang
kawula muda NU pasca tahun 1984 dengan berbagai golongan (PDI-P, Katolik, Hindu,
Budha, Tionghoa, dan lain-lain) merupakan bukti, betapa khittah punya arti
penting untuk kemajuan NU dan juga bangsa.
Lagi
pula, untuk mengatakan bahwa Gus Dur dalam hal menjadi presiden adalah
representasi NU, taruhannya terlalu besar. Sebab, jika Gus Dur dipandang seperti
ini, konsekwensinya, Gus Dur adalah NU dan NU adalah Gus Dur. Logikanya, jika
rezim Gus Dur jaya, maka NU juga akan menuai kejayaannya. Sebaliknya jika rezim
Gus Dur jatuh, maka NU juga akan jatuh, paling tidak, pamornya di depan publik
akan berkurang dan malah hilang sama sekali. Runtuhlah lalu, --jika yang
terakhir yang terjadi--segala sesuatu yang telah lama dibangun dalam NU, diganti
dengan cacian, hinaan, cemooh dari pihak-pihak yang memang sejak dulu tidak suka
pada NU. Maka dari itu, penegasan tetap
kembali khittah ’26 --dalam alur pikiran di atas--menjadi sangat urgen, untuk
menjaga kemungkinan paling buruk yang akan terjadi, saat ini; yakni
menyelamatkan institusi NU. Ini
jika memakai logika husnudzan. Bagaimana jika yang su’udzan yang diguna-kan ?.
Tidak sulit. Kita mengasumsikan bahwa penegasan tetap kembali ke khittah ’26
merupakan langkah oportunis NU pada penguasa. Sikap yang sejak dulu –oleh
beberapa kalangan-- selalu diambil oleh NU ketika berhadap-hadapan dengan
komunitas lain atau pada penguasa setempat. Sekarang, sikap oportunis itu
ditunjukkan secara tegas oleh Ra’is Am PBNU dikuatkan dengan Presiden
Abdurrahman Wahid (apa takut karena akan dijatuhkan ?). NU dipandang oportunis
karena kalkulasinya profit oriented, menguntung-kan atau tidak. Kalau tidak
oportunis, tentunya sikap keberpihakan pada khittah dimulai dan disosialisasikan
pada saat Muktamar 1999, yang lalu. Dus, dipraksiskan dalam kehidupan nyata
warga nahdliyyin dengan kontrol ketat PBNU. Semua itu tidak terjadi. Yang
terjadi, ironisnya, malah Ketua PBNU (KH. Hasyim Muzadi) sering one man show,
me-mainkan peran politik NU dengan (meski samar-samar) berafiliasi pada salah
satu parpol. Langkah yang jelas-jelas, melanggar haluan khittah.
Ini,
menjadi sangat masuk akal karena NU memiliki doktrin Aswaja (ahlu as-sunah wa
al-jam’ah) dalam hal bersikap pada pihak penguasa atau komunitas lain.
Dicurigai bahwa Aswaja sarat dengan nilai-nilai yang oportunis seperti misalnya
kaidah; ma la yudraku kulluhu la yudraku kulluhu (jika semuanya tidak bisa
diperoleh, maka tidak usah semuanya diperoleh). Atau juga kaidah; idza dlaqa
al-amru ittasa’a, wa idza ittasa’a al-amru dlaqa (ketika sesuatu sempit,
maka semestinya dia longgar. Dan ketika dia longgar, maka semestinya dia
menyempit). Di tarik pada tingkat relasi kekuasaan, kaidah yang muncul;
“penguasa yang dzalim selama enam puluh tahun itu lebih baik dari pada tidak
ada peng-uasa sama sekali”.
Tiga
kaidah di atas –di samping kaidah-kaidah serupa yang lain--, mendasarkan
karakteristik aswaja untuk bersikap fleksibel dan elastis dalam menghadapi
persoalan apapun. Sehingga, konsep umum, yang kemudian diadopsi dalam Aswaja NU,
adalah sikap yang menampilkan performance tawasuth (tengah-tengah), tawazun
(keseimbang-an), tasamuh (toleran) dan i’tidal (lurus). Dari sini, lalu sikap
ambigu NU yang ditun-jukkan sepanjang masa bisa dilihat dalam perspektif tadi.
Satu ketika berpihak pada penguasa, dan pada saat yang lain, berdiri
berhadap-hadapan vis a vis penguasa. Jauh
sebelum kemerdekaan, ketika nasionalisme rakyat Indonesia telah diko-barkan
dengan berdirinya BO (Budi Oetomo), SI, PNI, ISDV dan kemudian dilanjutkan
dengan sumpah pemuda, NU dalam Muktamarnya di Banjarmasin tahun 1936, malah
memutuskan tentang keabsahan Belanda dengan klaim ‘dar al-Islam’, bukan
‘dar al-harb’ pada negara Republik Indonesia. Pilihan bukan ‘dar
al-harb’ jelas punya implikasi luas, paling tidak, mengendorkan kobaran api
nasionalisme yang telah disulut oleh para founding
fathers kita. Ini juga –menurut hemat saya-- merupakan langkah moderat
dan bahkan kooperatif NU pada
pemerintah Belanda yang sekaligus kontra produktif dengan garis perjuangan
rakyat Indonesia. Demikian
halnya. Sikap ambigu yang serupa, diperlihatkan NU saat rezim Soekarno di tahun
50-an. Pada satu pihak, bersama-sama dengan partai Islam lain, NU berjuang untuk
menggolkan dasar negara Islam melalui Dewan Konstituante. Di pihak lain, dalam
selang waktu yang tidak lama, NU malah melegitimasi rezim Soekarno yang tidak
Islami dengan pemberian gelar, waliyul amri ad-dlaruri bi syaukah. Sikap
moderasi NU yang karenanya diajak aliansi dengan rezim Soekarno dalam lingkar
Nasakom ini, jelas merupakan sikap men-dua NU yang memang ada justifiyernya. Di
masa Orba, hal yang sama juga terjadi. Pada saat misalnya, KH. Bisri Syam-suri
dan anggota DPR PPP yang lain walk out dari parlemen karena tidak setuju dengan
P4 pada tahun 1978, enam tahun kemudian, di Situbondo, NU malah memutuskan untuk
menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas negara. Di saat ormas seperti
Muham-madiyah, Katolik, Kristen, dan lain sebagainya bingung untuk memutuskan,
NU malah secara progresif menerima dan menjadi seolah pendukung Orba dalam hal
ini. Sikap
NU yang demikian ini, memang tidak lepas dari akar historis kelahiran Aswaja
dalam doktrin Islam. Aswaja (ahlu as-sunah wa al-jama’ah) disinyalir muncul
sebagai penengah dari berbagai aliran yang bertikai pasca fitnat al-kubra;
Syi’ah, Khawarij, Umayyah. Tokohnya, Ibnu Umar. Beliau pada mulanya netral,
tidak berpihak pada salah satu firqah dan hanya merujuk pada nash-nash Nabi
semata yang karena ini, beliau disebut sebagai ahlu as-sunah.
Hanya saja, Ibnu Umar yang
netral belakangan lebih senang bergabung dengan Umayyah (kemudian disebut
al-jama’ah karena merupakan mayoritas). Akhirnya, tercatatlah, di bawah
dinasti Umayyah, tahun 640 sebagai ‘Am al-Jama’ah (tahun persatuan). Dari
latar belakang inilah, lalu muncul term “ahlu as-sunah wa al-jama’ah”
sebagai gabungan dua kelompok besar tersebut.
Atau
juga, --sama dengan sinyalir sebelumnya—Aswaja ini muncul pada generasi
tabi’in dan tabi’u at-tabi’in. Yaitu, pasca tiga khalifah Mu’tazilah
dalam dinasti Abasi-yah; al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Wafiq. Ketiga khalifah
ini, terang-terang telah menjadikan Mu’tazilah sebagai ideologi negara,
menggusur ideologi lain seperti salafiyah atau yang lain. Dan ketika khalifah
diganti al-Mutawakil, maka kelompok sunni menjadi kuat, ideologi Mu’tazilah
disingkirkan. Kebetulan, al-Mutawakkil bukanlah orang yang gemar pada keilmuan,
malah ia di-cap anak nakal yang suka mabuk-mabukan. Dalam kondisi ini, paham
al-Asy’ari (235 H) dan al-Maturidi (333H) mudah masuk, mengganti ideologi
sebelumnya. Dua
sinyalir di atas, jika benar terjadi, maka ini –tidak bisa tidak--menunjukkan
karakteristik Aswaja yang punya kecenderungan menempel pada kekuasaan, dus mudah
diombang-ambingkan oleh kepentingan yang mengitarinya. Jadi, sudah given, bahwa
Aswaja memang senang untuk berdekatan dengan kekuasaan. Terlebih dengan
kecende-rungannya yang selalu bersikap ambigu sebagaimana telah dikemukakan,
semakin meng-uatkan hipotesa bahwa Aswaja adalah oportunis. Tidak salah lalu,
jika disimpulkan bahwa NU (yang ‘berbaju’ Aswaja) ini sama; juga bersikap
oportunis pada kekuasaan apapun dan
di manapun berada. Ini, jika kita berpikir secara su’udzan (negatif
thingking). Nah,
tinggal sekarang, di antara dua alur pikiran (husnudzan atau su’udzan) ini,
mana yang lebih benar ? Atau mana yang sesuai
dengan realitas yang ada ?. Dalam, hal ini, anda sendiri yang lebih berhak
menilainya !. Bukan –sekali lagi—dari saya.
*Dimuat
di website kmnu2000 pada Senin 9 Juli 2001. |
|
www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir |