[ A r t i k e l ]


ASWAJA NU; MODERAT  ATAU OPORTUNIS?*
Oleh: MN. Harisudin Sag.**

Sikap politik NU selama rentang puluhan tahun, selalu saja tampak ambigu, plin-plan. Pada satu saat, ia mengatakan “ya”, dan pada saat yang lain, justru menga-takan “tidak”. Demikian halnya, yang terjadi selama ini. Misalnya, ketika hendak memutuskan kembali ke khittah atau tidak, NU tidak dengan tegas menyatakan untuk memilihnya. Sehingga ketika dihadapkan pada masalah partai PKB dan non-PKB (PKU, P-Sunni, PNU) saat muktamar atau juga ketika dihadapkan masalah Gus Dur menjelang SI, NU mau all out mendukungnya atau tidak, nampaknya masih wait and see. Untuk menuju ke sana, NU kelihatannya perlu banyak pertimbangan. Bagaimana sebenarnya sikap NU pada khittah ?.

Wallahu ‘alam. Hanya, ada dua hal yang bisa dikedepankan dalam mencermati prilaku politik NU;  husnudzan dan su’udzan. Jika asumsi husnudzan (postitif thingking) yang digunakan itu artinya bahwa semua kebijakan yang diambil NU demi untuk kemaslahatan warganya pada khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya. Sebagaimana maklum, alur kembali ke khittah menegaskan misi awal NU sebagai jam’iyyah diniyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan) yang hanya berkepen-tingan untuk melakukan empowering pada warga nahdliyyin dalam banyak bidang; politik, ekonomi, pendidikan, dakwah dan sebagainya. Tidak lain. Ini, untuk kalangan intern NU. Sementara untuk kalangan ekstern (rakyat Indonesia), kemungkinan pemberdayaan pada masyarakat NU jauh lebih besar dari pada ketika NU hanya berpihak pada salah satu parpol (PKB, misalnya). Aliansi strategis yang digalang kawula muda NU pasca tahun 1984 dengan berbagai golongan (PDI-P, Katolik, Hindu, Budha, Tionghoa, dan lain-lain) merupakan bukti, betapa khittah punya arti penting untuk kemajuan NU dan juga bangsa.  

Lagi pula, untuk mengatakan bahwa Gus Dur dalam hal menjadi presiden adalah representasi NU, taruhannya terlalu besar. Sebab, jika Gus Dur dipandang seperti ini, konsekwensinya, Gus Dur adalah NU dan NU adalah Gus Dur. Logikanya, jika rezim Gus Dur jaya, maka NU juga akan menuai kejayaannya. Sebaliknya jika rezim Gus Dur jatuh, maka NU juga akan jatuh, paling tidak, pamornya di depan publik akan berkurang dan malah hilang sama sekali. Runtuhlah lalu, --jika yang terakhir yang terjadi--segala sesuatu yang telah lama dibangun dalam NU, diganti dengan cacian, hinaan, cemooh dari pihak-pihak yang memang sejak dulu tidak suka pada NU. Maka dari itu, penegasan  tetap kembali khittah ’26 --dalam alur pikiran di atas--menjadi sangat urgen, untuk menjaga kemungkinan paling buruk yang akan terjadi, saat ini; yakni menyelamatkan institusi NU.

Ini jika memakai logika husnudzan. Bagaimana jika yang su’udzan yang diguna-kan ?. Tidak sulit. Kita mengasumsikan bahwa penegasan tetap kembali ke khittah ’26 merupakan langkah oportunis NU pada penguasa. Sikap yang sejak dulu –oleh beberapa kalangan-- selalu diambil oleh NU ketika berhadap-hadapan dengan komunitas lain atau pada penguasa setempat. Sekarang, sikap oportunis itu ditunjukkan secara tegas oleh Ra’is Am PBNU dikuatkan dengan Presiden Abdurrahman Wahid (apa takut karena akan dijatuhkan ?). NU dipandang oportunis karena kalkulasinya profit oriented, menguntung-kan atau tidak. Kalau tidak oportunis, tentunya sikap keberpihakan pada khittah dimulai dan disosialisasikan pada saat Muktamar 1999, yang lalu. Dus, dipraksiskan dalam kehidupan nyata warga nahdliyyin dengan kontrol ketat PBNU. Semua itu tidak terjadi. Yang terjadi, ironisnya, malah Ketua PBNU (KH. Hasyim Muzadi) sering one man show, me-mainkan peran politik NU dengan (meski samar-samar) berafiliasi pada salah satu parpol. Langkah yang jelas-jelas, melanggar haluan khittah.      

Ini, menjadi sangat masuk akal karena NU memiliki doktrin Aswaja (ahlu as-sunah wa al-jam’ah) dalam hal bersikap pada pihak penguasa atau komunitas lain. Dicurigai bahwa Aswaja sarat dengan nilai-nilai yang oportunis seperti misalnya kaidah; ma la yudraku kulluhu la yudraku kulluhu (jika semuanya tidak bisa diperoleh, maka tidak usah semuanya diperoleh). Atau juga kaidah; idza dlaqa al-amru ittasa’a, wa idza ittasa’a al-amru dlaqa (ketika sesuatu sempit, maka semestinya dia longgar. Dan ketika dia longgar, maka semestinya dia menyempit). Di tarik pada tingkat relasi kekuasaan, kaidah yang muncul; “penguasa yang dzalim selama enam puluh tahun itu lebih baik dari pada tidak ada peng-uasa sama sekali”.                 

Tiga kaidah di atas –di samping kaidah-kaidah serupa yang lain--, mendasarkan karakteristik aswaja untuk bersikap fleksibel dan elastis dalam menghadapi persoalan apapun. Sehingga, konsep umum, yang kemudian diadopsi dalam Aswaja NU, adalah sikap yang menampilkan performance tawasuth (tengah-tengah), tawazun (keseimbang-an), tasamuh (toleran) dan i’tidal (lurus). Dari sini, lalu sikap ambigu NU yang ditun-jukkan sepanjang masa bisa dilihat dalam perspektif tadi. Satu ketika berpihak pada penguasa, dan pada saat yang lain, berdiri berhadap-hadapan vis a vis penguasa.

Jauh sebelum kemerdekaan, ketika nasionalisme rakyat Indonesia telah diko-barkan dengan berdirinya BO (Budi Oetomo), SI, PNI, ISDV dan kemudian dilanjutkan dengan sumpah pemuda, NU dalam Muktamarnya di Banjarmasin tahun 1936, malah memutuskan tentang keabsahan Belanda dengan klaim ‘dar al-Islam’, bukan ‘dar al-harb’ pada negara Republik Indonesia. Pilihan bukan ‘dar al-harb’ jelas punya implikasi luas, paling tidak, mengendorkan kobaran api nasionalisme yang telah disulut oleh para founding  fathers kita. Ini juga –menurut hemat saya-- merupakan langkah moderat dan bahkan kooperatif  NU pada pemerintah Belanda yang sekaligus kontra produktif dengan garis perjuangan rakyat Indonesia.

Demikian halnya. Sikap ambigu yang serupa, diperlihatkan NU saat rezim Soekarno di tahun 50-an. Pada satu pihak, bersama-sama dengan partai Islam lain, NU berjuang untuk menggolkan dasar negara Islam melalui Dewan Konstituante. Di pihak lain, dalam selang waktu yang tidak lama, NU malah melegitimasi rezim Soekarno yang tidak Islami dengan pemberian gelar, waliyul amri ad-dlaruri bi syaukah. Sikap moderasi NU yang karenanya diajak aliansi dengan rezim Soekarno dalam lingkar Nasakom ini, jelas merupakan sikap men-dua NU yang memang ada justifiyernya.

Di masa Orba, hal yang sama juga terjadi. Pada saat misalnya, KH. Bisri Syam-suri dan anggota DPR PPP yang lain walk out dari parlemen karena tidak setuju dengan P4 pada tahun 1978, enam tahun kemudian, di Situbondo, NU malah memutuskan untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas negara. Di saat ormas seperti Muham-madiyah, Katolik, Kristen, dan lain sebagainya bingung untuk memutuskan, NU malah secara progresif menerima dan menjadi seolah pendukung Orba dalam hal ini.

Sikap NU yang demikian ini, memang tidak lepas dari akar historis kelahiran Aswaja dalam doktrin Islam. Aswaja (ahlu as-sunah wa al-jama’ah) disinyalir muncul sebagai penengah dari berbagai aliran yang bertikai pasca fitnat al-kubra; Syi’ah, Khawarij, Umayyah. Tokohnya, Ibnu Umar. Beliau pada mulanya netral, tidak berpihak pada salah satu firqah dan hanya merujuk pada nash-nash Nabi semata yang karena ini, beliau disebut sebagai ahlu as-sunah.  Hanya saja, Ibnu Umar   yang netral belakangan lebih senang bergabung dengan Umayyah (kemudian disebut al-jama’ah karena merupakan mayoritas). Akhirnya, tercatatlah, di bawah dinasti Umayyah, tahun 640 sebagai ‘Am al-Jama’ah (tahun persatuan). Dari latar belakang inilah, lalu muncul term “ahlu as-sunah wa al-jama’ah” sebagai gabungan dua kelompok besar tersebut.        

Atau juga, --sama dengan sinyalir sebelumnya—Aswaja ini muncul pada generasi tabi’in dan tabi’u at-tabi’in. Yaitu, pasca tiga khalifah Mu’tazilah dalam dinasti Abasi-yah; al-Makmun, al-Mu’tashim dan al-Wafiq. Ketiga khalifah ini, terang-terang telah menjadikan Mu’tazilah sebagai ideologi negara, menggusur ideologi lain seperti salafiyah atau yang lain. Dan ketika khalifah diganti al-Mutawakil, maka kelompok sunni menjadi kuat, ideologi Mu’tazilah disingkirkan. Kebetulan, al-Mutawakkil bukanlah orang yang gemar pada keilmuan, malah ia di-cap anak nakal yang suka mabuk-mabukan. Dalam kondisi ini, paham al-Asy’ari (235 H) dan al-Maturidi (333H) mudah masuk, mengganti ideologi sebelumnya.   

Dua sinyalir di atas, jika benar terjadi, maka ini –tidak bisa tidak--menunjukkan karakteristik Aswaja yang punya kecenderungan menempel pada kekuasaan, dus mudah diombang-ambingkan oleh kepentingan yang mengitarinya. Jadi, sudah given, bahwa Aswaja memang senang untuk berdekatan dengan kekuasaan. Terlebih dengan kecende-rungannya yang selalu bersikap ambigu sebagaimana telah dikemukakan, semakin meng-uatkan hipotesa bahwa Aswaja adalah oportunis. Tidak salah lalu, jika disimpulkan bahwa NU (yang ‘berbaju’ Aswaja) ini sama; juga bersikap oportunis  pada kekuasaan apapun dan di manapun berada. Ini, jika kita berpikir secara su’udzan (negatif thingking).

Nah, tinggal sekarang, di antara dua alur pikiran (husnudzan atau su’udzan) ini, mana yang lebih benar ? Atau mana yang  sesuai dengan realitas yang ada ?. Dalam, hal ini, anda sendiri yang lebih berhak menilainya !. Bukan –sekali lagi—dari saya.

 

*Dimuat di website kmnu2000 pada Senin 9 Juli 2001.
**
MN. Harisudin SAg. adalah Dosen STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam) Jember. Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Di Jl. Bukit Putih no. 64 Rt.01 Rw. 01 Ardirejo Panji Situbondo Jawa Timur  (0338) 678747.

 


www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir