[ PKB Benar-benar Telur ]

PKB BENAR-BENAR "TELUR"*
Oleh : M. Arif Hidayat**
 

Beberapa waktu lalu, KMNU-list (forum diskusinya mahasiswa NU di Internet), mendiskusikan seputar 'hubungan Islam dan negara'. Rupanya forum itu tak mau kalah dengan issu yang lagi santer di Indonesia, seperti yang digulirkan oleh sang ketua PBNU, Gus Dur, di beberapa media massa beberapa tempo lalu. Bertubi-tubi muncul persoalan. Misalnya ada yang menanyakan; bagaimana negara Islam tidak wajib, kalau hukumnya tidak wajib lalu bagaimana syari'at Islam bisa diaplikasikan secara sempurna? Bukankah birokrasi memerintahan adalah satu-satunya penunjang utama berlakunya syari'at Islam? Dan sesuai kaidah fiqih "ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib" (unsur-unsur penopang suatu kewajiban adalah wajib dikerjakan), maka mendirikan negara Islam hukumnya menjadi wajib, karena tanpa pemerintahan syari'at tidak berjalan? 

Berbagai kesimpulan dari persoalan-persoalan yang muncul di atas, akan kembali penulis rekam dalam tulisan ini dengan tujuan agar bisa dinikmati oleh masyarakat luas di Indonesia. Dengan begitu terbangunlah dialog skala luas antara kawan-kawan mahasiswa generasi NU yang tersebar di seantero dunia yang tergabung di KMNU-list dengan seluruh warga NU yang belum bisa menikmati teknologi Internet. 

Antara Yang Tua dan Muda 

Syahdan masa reformasi telah mengisahkan NU menelurkan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Seperti yang ramai diperdebatkan orang, partai ini kurang jelas pendiriannya. Ada yang menganggapnya tidak islami, disaat ada kelompok lain yang percaya PKB berdiri kokoh di atas pondasi-pondasi Islam. Kendati begitu, kenyataannya PKB telah sukses menggalang massa bersaing dengan partai-partai kawakan. Sebenarnya mengapa PKB cepat begitu kokoh? 

Ada dua kekuatan intelektual bertindak sebagai pondasi utama kekokohan PKB. Yang pertama adalah kelompok "generasi tua" NU, terdiri dari para kiai-kiai pesantren. Dan kedua didalangi "generasi muda" NU yaitu para intelektual NU dan generasi NU yang aktif di LSM-LSM berbasis NU. Yang pertama para kiai yang sebagian besar masih menerapkan metodologi-metodologi Syafi'iyah, yang kedua melandaskan prinsip-prinsip kebangsaan, pluralisme, persamaan, dan egalitarian di atas ijtihad-ijtihad para pemikir modern. Di mana letak kesamaan dua polar tersebut? 

Mula-mula ada dua macam negara dalam disiplin fiqih; negara Islam (dar al-islam) dan negara perang (dar al-harb). Pembagian ini menurut jumhur (mayoritas) ulama, baik ahlus sunnah atau yang lain, termasuk Syi'ah dan sebagian Khowarij. Tapi lain dengan Imam Syafi'iy, melakukan penambahan satu jenis lagi yaitu negara damai (dar al-sulh). Menurut Dr. Wahbah al-Zuhaily, dalam disertasinya "Atsar al-Harb", penambahan itu terjadi karena melihat adanya perubahan dan perkembangan model hubungan antar berbagai daulah.(Atsar al-Harb, cet IV 1992) 

Dari konsep-konsep di atas, jelas bahwa Islam tak mengakui keberadaan berbagai negara yang tak menerapkan syari'at Islam. Namun bukankah Islam melarang melanggar perjanjian-perjanjian dan mewajibkan menepati janji (al-nahl: 94). Inilah prinsip dasar Islam berpijak. Islam mengakui keberadaan negara-negara non-Islam dari perspektif waqi'iy. Dari cara berfikir demikianlah, maka lantas nampak bahwa pendapat Imam Syafi'i lebih luwes dipakai dasar membina hubungan internasional sekarang ini. Dan keluwesan itulah yang akhirnya mendasari sikap para kiai NU menghadapi problema hubungan Islam dan negara. 

Jalur kedua yang digandrungi oleh generasi muda NU yang cenderung kritis adalah penjabarannya terhadap hasil ijtihad beberapa pemikir mutakhir. Di antaranya ialah yang dikenalkan Gus Dur melalui rangkaian perdebatan "formalisme agama" beberapa waktu lalu, pemikir muslim Mesir Mohamed Said al-Asymawiy.(Media Indonesia, 5 Nopember 1998). Penulis akan mengetengahkan beberapa poin utama buah pemikirannya, sebagaimana yang pernah didiskusikan di KMNU-list, selain yang telah diterangkan Gus Dur dalam harian Media Indonesia itu. 

Al-Asymawiy telah menulis lebih dari 20 buku dalam bahasa Arab, Inggris dan Perancis. Beberapa karya pentingnya di antaranya ialah "Al-Khilafah al-Islamiyah", "Jauharul Islam", "Islam Siyasiy", "Ushul al-Syari'ah", "Al-Syari'ah al-Islamiyah wa al-Qanun al-Mashriy", dll. 
Pemikiran-pemikirannya utamanya berkisar pada persoalan-persoalan 'hubungan negara dan agama', 'kerukunan beragama', 'dialog antar agama', dan permasalahan-permasalahan asasi Islam lainnya. 

Dalam sebuah artikelnya, Al-Asymawiy menerangkan sababun nuzul sebuah ayat yang sering dipakai oleh kalangan Islam Politik untuk membenarkan langkah-langkahnya, yaitu ayat: "...Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir" (al-Maidah: 44). Menurutnya, berdasar ayat ini sering muncul anggapan bahwa kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah berlawanan dengan syari'at, 
karenanya harus dilawan. Ayat ini dipakai sebagi ideologi politik dengan tafsiran yang salah, berlawanan dengan agama, dan tak sesuai dengan syari'at. Runtutan ayat dari ayat sebelumnya akan memahamkan sebab-sebab diturunkannya ayat dan memberikan penafsiran yang benar. Ayat sebelumnya mengatakan: "Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, 
padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah,... (al-Maidah: 43). Ini berarti ketika Yahudi Madinah meminta putusan Rasul SAW untuk menjatuhkan hukuman kepada para pezina dari kelompok Yahudi, padahal mereka tahu ada ayat yang mengatur hal itu dalam Taurat tapi mereka menyembunyikannya, sehingga turunlah ayat di atas. Jadi ayat 44 tersebut diturunkan menanggapi tindakan-tindakan Yahudi Madinah yang mengingkari isi Taurat, bahkan mengkufurinya.(Majalah mingguan "Oktober" [Kairo] edisi 
1120-Ahad 15 Dzulhijjah 1418 H / 12 April 1998) 

Penjelasan Al-Asymawiy yang lain mengatakan bahwa 'kata "Hukumah" (Indonesia = pemerintahan, Inggris = Goverment)  -terambil dari "hakama-yahkumu-hukumah"- dengan pengertian sekarang ini tidak pernah berlaku pada masa awal Islam. Menurutnya, kata yang bermakna urusan administrasi pemerintahan secara luas adalah kata "amr" (urusan). Sementara kata "hukm" sendiri dalam Al-Qur'an mempunyai arti penyelesaian persengketaan skala sempit. Hanya saja karena pengaruh Barat, kata "government" diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan kata "hukumah". Sehingga kata "hukumah" ini dipergunakan secara luas dengan arti "lembaga administrasi yang menguasai urusan negara di bidang legislatif,  ekskutif, dan yudikatif" sampai sekarang.(Artikelnya di majalah bulanan "EL-ARABI", edisi Jumadil Awal 1419 / September 1998) 

Argumentasi Al-Asymawiy yang lain yang menyatakan tidak wajibnya negara Islam dilandaskannya pada naskah "Perjanjian Madinah" atau yang sering disebut "Shahifah". Dari naskah perjanjian itu Al-Asymawiy membuat tafsiran-tafsiran sbb: Pertama, dari keseluruhan naskah tak sedikitpun mereferensi ke Al-Quran, kecuali tertulis basmalah sbg pembuka dan salawat-salam atas Nabi SAW di bagian tengah. Bahkan perjanjian tersebut lebih mirip perjanjian-perjanjian jahili, tak bernuansa Islami. Ia juga 
tidak membawa dampak munculnya hukum-hukum yang memihak masyarakat muslim di Madinah ketika itu. Kedua, yang dimaksud dengan kata "kuffar" dalam naskah tersebut adalah kafir Quraiys yang masih di Makkah yang telah menyerang penduduk Madinah dalam Perang Badar, bukan orang Nasrani atau Yahudi yang telah menetap di Madinah. Ketiga, penduduk Madinah yang terdiri dari beberapa suku dan agama itu -sebagaimana tertera dalam naskah perjanjian 
tetap diberi kebebasan menjalankan tradisi-tradisi, cara beribadah 
(syari'at), dan norma-norma adat mereka. Keadaan seperti itu tidak 
menjadikan alasan perpecahan dan pertikaian, tapi dengan perjanjian itu diharapkan bisa hidup secara damai bersatu. 

Dengan begitu, teranglah bahwa syari'at Islam tidak diberlakukan sebagai undang-undang yang harus dita'ati oleh seluruh lapisan masyarakat Madinah. Masing-masing kelompok dijamin hak-hak mereka tanpa harus tunduk pada syari'at Islam dan Al-Qur'an. Itulah beberapa interpretasi Al-Asymawi. 

Namun penggunaan "Sahifah" tersebut sebagai dalih tidak wajib didirikannya negara Islam -sebagaimana uraian Al-Asymawiy- dibantah oleh pendapat yang mengatakan bahwa perjanjian tersebut terjadi ketika Islam masih lemah belum punya kekuatan yg cukup handal. Jadi nggak bisa dijadikan dalih tidak wajibnya negara Islam. Oleh Al-Asymawiy bantahan tersebut dijawab sbb: pemikiran seperti itu adalah salah besar. Karena dengan begitu berarti menganggap bahwa Nabi SAW adalah seorang oportunis, berdamai ketika lemah 
dan berbalik menyerang ketika sudah kuat (Al-Khilafah al-Islamiyah, cet. III 1996). 

Sababunnuzul & 'illat 

Mengamati pemikiran Al-Asymawiy di atas, bila dibandingkan dengan pendapat klasik para ulama berkaitan erat dengan pertentangan dua kaidah "al-'ibrah bi'umum al-lafdh la bi khusus al-sabab" (lafadh yang umum tetap dilihat dari segi keumumannya tidak dari apa yang melatarbelakanginya) dan "al-'ibrah bi khusus al-sabab la bi'umum al-lafdh" (lafadh umum harus dilihat dari segi latarbelakangnya tidak dari segi keumumannya). Dua landasan itulah yang selalu menimbulkan pertentangan. Kebanyakan ulama termasuk kiai-kiai NU memakai kaidah yang pertama, sebaliknya kecenderungan generasi mudanya memperkuat ide-idenya berdasar kaidah kedua. 

Memang perbedaan kedua kaidah itu mula-mula terasa prinsipil sekali. Namun sebenarnya telah ada upaya-upaya untuk menetralisir perbedaan yang frontal itu. Misalnya KH. Sahal Mahfudh menjelaskan bahwa kata "la" dalam kaidah yang pertama tersebut merupakan "la lil athf" dengan arti "tidak hanya". Sehingga selengkapnya, kaidah itu berarti "lafadh yang umum tetap dilihat 
dari segi keumumannya tidak hanya dimensi yang melatarbelakanginya 
(sababunnuzul/sababul wurud)". Jadi, dengan begitu, faktor latar belakang ikut mempengaruhi suatu keputusan hukum. 
Di samping itu, sebenarnya, perbedaan itu juga telah dinetralisir oleh 
kaidah yang lain yaitu "al-hukmu yaduru ma'a 'illatihi" (ada dan tidaknya sebuah hukum tergantung pada 'illatnya). Untuk memutuskan sebuah hukum tidak melulu ditentukan oleh faktor keumuman dan sebab yang melatarbelakanginya, namun perlu diteliti juga 'illat atau alasan-alasan yang mendasarinya. Di NU hal itu telah dibuktikan, misalnya, oleh persoalan gender. Sebagaimana persoalan 'illat itu pernah muncul di KMNU-list menyangkut masalah kemudahan 
(rukhsah) orang yang bepergian (musafir), yakni mengumpulkan dan meringkas (jama'-qashar) dan membatalkan puasa (fithr). 'Illatnya jama'-qashar dan fithr bagi seorang musafir adalah keletihan (masyaqqah) bukan bepergian (safar) itu sendiri. Dengan demikian orang yang menemui masyaqqah boleh saja menjama'-qashar salat, walaupun tidak bepergian. Sebaliknya orang yang bepergian tidak boleh melakukan jamak-qashar sampai dia menemui masyaqqah. 

*** 

Jadi jelaslah pertemuan pemikiran antara kedua kubu tua dan muda di NU tersebut. Yang pertama berkesimpulan "negara damai" di Indonesia perlu ditegakkan. Dan itu telah dibuktikannya pada masa Orde Lama, menolak Negara Islam Indonesia yang didirikan oleh Kartosuwiryo bahkan menganggapnya sebagai pemberontak (bughat) yang harus diberangus, dan kembali pola pikir seperti itu dalam Orde Reformasi telah melahirkan Partai Kebangkitan Bangsa dengan prinsip-prinsip dasar kebangsaannya yang terbuka, menghargai 
pluralisme, dan memperjuangkan persamaan. Generasi kedua -yang menurut Dr. Hikam mempunyai kecenderungan hibrid- menyuguhkan dalih-dalih yang lebih segar, membuktikan tidak wajibnya didirikan negara Islam. Terbuktilah, kini keduanya telah bersatu, berkomplot, berjalan-berkelindan, sehingga menelurkan sebuah telur, dan sekarang telur itu mau menetas. Tunggu sebentar lagi! 

*Duta Masyarakat Baru, Sabtu 16 Oktober 1999 
**Al-Azhar University, Moderator KMNU-List

 

www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir