[ NU dan Jalan Pintas Berijtihad ]

NU DAN JALAN PINTAS BERIJTIHAD
Oleh M. Arif Hidayat*

Dalam sebuah forum diskusi seorang kawan mengusulkan; bagaimana kalau Kaidah-kaidah Fiqih itu diberi "kekuatan hukum". Dengan kata lain, mensejajarkan kaidah-kaidah itu dengan sumber-sumber hukum lain, seperti Al-Qur'an, Hadis, Ijma', Qiyas, dll. Dampak dari tindakan ini adalah kemungkinan melandaskan hukum kepada kaidah-kaidah itu. 

Pembicaraan ini bukan baru terjadi di forum diskusi yang saya ikuti 
tersebut. Tapi pada abad kelima hijriyah, Imam Haramain Al-Juwayny (419-478 H) dalam karyanya, Al-Ghayatsy, telah menyinggung hal itu. Sebagaimana Ibnu Nujaim (926-970 H) sempat mempermasalahkan hal yang sama. (Al-Nadwy, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah, 1994). Kedua ulama itu menolak upaya memberi 
kekuatan hukum terhadap "Kaidah Fiqih". Ibnu Nujaim, misalnya, beralasan mengapa Kaidah Fiqih tak bisa dijadikan sebagai landasan hukum, karena ia hanyalah bersifat aghlabiyah (majority consequent) bukan kulliah (universal consequent). 

Terlepas dari pendapat kedua ulama tersebut, tulisan ini ingin mencoba membuktikan "kekuatan" Kaidah-kaidah Fiqih, sekaligus dalam rangka "berdialog" dengan pernyataan kedua ulama di atas. 

Dalam kontek ini, saya ingin mengungkapkan fenomena menarik "model ijtihad" NU selama ini. Hal yang ingin saya tandaskan adalah bahwa berbagai kasus ijtihad (politik) ulama NU memiliki model tersendiri. Banyak yang menganalisa bahwa NU bisa relatif berumur panjang daripada Masyumi, misalnya, karena tak lebih dari "jasa-jasa" Kaidah Fiqih. Misalnya ketika masa-masa kebijakan NASAKOM. Dilematis sekali, karena NU harus memutuskan pilihan yang amat berat "mengikuti arus" kebijakan Sukarno karena kalau tidak akan dibubarkan seperti Masyumi. KH Abdul Wahab Hasbullah bilang: "Jadilah kayak ikan di laut! Biar berendam dilaut seabad lamanya daging ikan tetap tawar. Kalau tak bernyawa, biar tiga menit saja direndam dalam air garam di kuali, sudah berasa asin." (Politik Ikan dalam Kuali dalam Gatra, Nomor 36/V, 24 Juli 1999). Pernyataan Kiai Wahab tersebut terasa sangat ampuh, seampuh Kaidah Fiqih sendiri. Mungkin seandainya pernyataan tersebut keluar dalam bahasa Arab, ia akan menjadi sebuah kaidah baru. Dan beberapa contoh lain bisa ditengok di M. Ali Haidar, NAHDATUL ULAMA DAN ISLAM DI INDONESIA, Pendekatan Fikih dalam Politik, 1994) 

Model penggalian hukum (istinbath) NU seperti itu, jelas sangat lain dengan model-model ijtihad yang semestinya, beristinbath dari sumber-sumber hukum Islam yang lazim, Qur'an, Hadis, Ijma', Qiyas, dst. Selain merujuk ke kaidah-kaidah fiqih, model lain yang khas NU adalah mengeksplorasi "ta'bir" atau lebih tepatnya ungkapan seorang pengarang atau penyusun "kitab kuning". Yang terakhir ini merupakan sesuatu yang biasa terjadi di saat pemunculan ide-ide yang berkembang dalam sebuah Bahtsul Masail atau Musyawarah, sebuah 
argumen dianggap kuat jika disertai ta'bir. Yang dituntut bukan dalil atau hujjah tapi malah ta'bir?! Tapi model ini masih kalah populer dan kalah kekuatan dari yang pertama. 

Model istinbath NU tersebut sangat terasa beda dibanding dengan 
ijtihad-ijtihad yang sering terjadi di dunia Arab, Mesir misalnya. Pertama kali ketika saya sampai di Mesir, saya merasakan perbedaan yang sangat kentara; mengapa ulama-ulama Mesir dalam beristinbath langsung merujuk Al-Quran atau Hadis atau sumber-sumber hukum yang lain. Hal mana tak pernah saya temukan dalam dunia pesantren di tanah air. Kalaupun mereka menyinggung pernyataan-pernyataan ulama, maka sifatnya hanyalah sebagai pelengkap, yang sebelumnya telah didahului dengan menyebutkan ayat-ayat atau hadis. 

Beberapa waktu saya sempat heran dan tak bisa menemukan jawabannya. Sampai akhirnya bertemu beberapa kali dan mendiskusikannya dengan kawan-kawan senior, dan berkesimpulan bahwa tiada lain fenomena istinbath NU seperti itu karena faktor kelemahan ulama-ulama NU, tidak mampu (atau merasa tidak 
mampu) membuat keputusan hukum problema kekinian berlandaskan langsung kepada sumber-sumber hukum. 
 

Ketakutan Berkreatifitas? 

Latar belakang premis di atas berdasar bahwa sebagian besar Kiai (pesantren) NU masih berkutat dengan teks-teks kitab kuning -yang hampir keseluruhannya berhaluan Syafi'iyah- dan enggan mengembangkan daya nalarnya dengan tetap berpegang teguh pada metode-metode istinbath yang ada. Karenanya lebih parah lagi, fatwa-fatwa NU hampir secara luas berkembang identik dengan mazhab Syafi'iyah, kendati sikap dasar NU secara organisatoris mengakui empat mazhab besar, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanbaliyah. 

Masih jarang ditemukan kiai sekaliber KH. Sahal Mahfudh (sejak 1992 menjabat sebagai wakil Rais Aam PBNU) dalam NU. Ketika dikunjungi oleh Martin van Bruinessen, pengamat NU, pada Januari 1994, Kiai Sahal dengan bangga memperlihatkan rak buku yang berisi buku-buku fiqh yang menjejeri ruang tamunya. "Dan tidak satupun di antaranya kitab fiqh Syafi'i", ungkapnya, "karena saya sudah menghapalnya di luar kepala, dan saya meletakkannya di 
ruang belakang. Sekarang sudah waktunya kami memperluas wawasan." (Martin van Bruinessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, 1994) 

Kecurigaan saya menjadi terbukti ketika saya mengikuti keterangan Kiai Sahal secara panjang lebar seluk beluk istinbath dalam NU. Beliau menyatakan bahwa Ijtihad di NU dipahami sebagai upaya berpikir secara maksimal untuk menggali hukum syar'i. Beliau juga menyatakan bahwa metodologi Ushul Fiqih dan Qawa'id Fiqhiyah kedudukan sebagai penguat saja dalam Bahtsul Masail NU. 
(KH. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 1994) 

Saya mencoba menelusuri kenapa proses pengambilan keputusan dalam Bahtsul Masail NU berlangsung dan hampir menjadi kebiasaan sedemikian rupa? Kira-kira faktor apa yang melatarbelakanginya? Tentu itu merupakan perjalanan panjang; mengapa pesantren-pesantren sebagian besar berada di pedesaan, lamban mengadakan penyesuaian-penyesuaian dengan dunia modern (lagging behind the time), kurikulumnya melulu kitab-kitab syafi'iyah, dan agenda-agenda penting lain yang harus segera dirombak. (Nur Cholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, 1997) 

Kemudian apa gerangan yang membuat kiai-kiai NU secara psikofisiologis selalu "merendah" sehingga merasa cukup mampu menyelesaikan persoalan dengan sekedar mengajukan "ta'bir" dan "Kaidah Fiqih". Menurut saya, poin ini ada benarnya juga. Banyak Kiai yang "angkat topi" atas pernyataan-pernyataan kitab kuning yang disusun beberapa abad silam. Bagi mereka, pernyataan-pernyataan tersebut seakan-akan merupakan fatwa yang hampir seratus persen kebenarannya dan bisa selalu diikuti. Pada taraf selanjutnya mereka merasa cukup "mengekor" dan jikalau sekali-kali melakukan kritik saja terhadap teks-teks kitab kuning tersebut serasa melakukan hal yang "tak wajar". Hal ini saya pikir berkaitan erat dengan sosiologi masyarakat, apalagi masyarakat Jawa, budaya basa-basinya yang terlalu berlebihan dll. 
 

Jalan Pintas 

Ada beberapa keistimewaan yang membuat NU luwes dengan perubahan-perubahan. Keistimewaan-keistimewaan tersebut tentu sekaligus menjadi pengecualian premis-premis yang saya tutur di atas. Misalnya, pada beberapa problematika modern yang sangat mendesak, terbukti ulama NU mampu mengembangkan "kreatifitasnya" dengan berani. Soal dilematis presiden wanita akhir-akhir ini, hubungan Islam dan politik, dan persoalan gender adalah beberapa di antaranya. Dalam kasus-kasus tersebut, kembali peranan Kaidah-kaidah Fiqih menjadi signifikan. Misalnya soal presiden wanita disikapi dengan kaidah "Akhaffud Dlararain" demikian juga hubungan Islam dan politik. Dan kasus gender dilandaskan pada kaidah "Al-Hukmu yaduru ma'a 'illatihi". (Kesimpulan Seminar Nasional Gender (Fiqhunnisa) di Baturaden, 16-17 Juli 1999). 

Memang, menyangkutkan permasalahan-permasalahan apapun dengan Kaidah Fiqih akan segera terpecahkan dengan mudah. Memberikan keputusan dengan hanya memberikan "tandzir" berupa rangkaian beberapa kata saja. Kasus lokalisasi WTS (wanita tuna susila), lokalisasi perjudian, dan berbagai problematika mutakhir, bisa diselesaikan cukup memakai kaidah "Akhaffud Dlararaini". 

Bagaimana sebenarnya kedudukan Kaidah Fiqih itu dalam sistem istinbath? Bukankah kaidah-kaidah yang sering dipakai ulama NU itu sangat tidak bertentangan dengan logika. Dan tak jarang Kaidah-kaidah Fiqih itu berbobot universal? Sebuah kesimpulan penting yang saya ingat sampai saat ini adalah yang dicatat oleh Syeikh Mahmud Musthafa Abud Harmusy, dalam karya pentingnya, Al-Qâ'idah al-Kulliyyah, I'mâl al-Kalâm Aulâ min Ihmâlihi wa Atsaruha fi al-Ushul, dia memberikan ketegasan inti di antaranya: hampir semua Kaidah Fiqih telah menjadi kesepakatan antara berbagai mazhab, dan sedikit sekali terjadi perdebatan dalam pemakaian kaidah-kaidah yang ada, kecuali sedikit permasalahan yang bisa segera dirujukkan ke ushul masing-masing mazhab. Hal mana membuat kedudukan Kaidah Fiqih menjadi kuat.(Harmusy, 1987) 

Berdasar kesimpulan Harmusy tersebut, dengan demikian, Kaidah Fikih mempunyai kekuatan hukum. Tapi sekali lagi perlu saya tegaskan bahwa ia hanyalah "jalan pintas" (shortcut). Bukan jalan pintas dalam arti mempunyai eksistensi yang mampu menerangkan jalinan atau rangkaian mekanismenya, mengapa cara tersebut menjadi pilihan kuat alternatif. Tapi kasus NU seperti itu, saya pandang, merupakan bentuk pelarian, karena kiai-kiai NU kurang mampu menempuh jalan yang lazim sehingga mencari jalan alternatif, yang lebih mudah tentunya. 

Kesimpulan tersebut saya ambil dari kenyataan bahwa kejadian seperti itu terjadi secara masif di dunia NU dan seakan-akan menjadi ciri khas. Kalau pun hal serupa terjadi juga di lembaga-lembaga di luar NU, itu merupakan imbas gelombang intelektual. Karenanya, kesimpulan akhir saya mengatakan: bagi kiai-kiai yang mampu menempuh jalan yang agak "memutar", tentu seyogyanya melewati jalan panjang itu dan ditanggung lebih sempurna hasil ijtihadnya. Agak melelahkan memang.*** 
 

*Duta Masyarakat Baru, 4 Oktober 1999 
**M. Arif Hidayat, Al-Azhar University, Aktifis Keluarga Mahasiswa NU Kairo.

 

www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir