[ NU dan Jalan Pintas Berijtihad ] |
Dalam sebuah forum diskusi seorang kawan mengusulkan; bagaimana kalau Kaidah-kaidah Fiqih itu diberi "kekuatan hukum". Dengan kata lain, mensejajarkan kaidah-kaidah itu dengan sumber-sumber hukum lain, seperti Al-Qur'an, Hadis, Ijma', Qiyas, dll. Dampak dari tindakan ini adalah kemungkinan melandaskan hukum kepada kaidah-kaidah itu. Pembicaraan ini bukan baru terjadi di forum diskusi yang saya ikuti
Terlepas dari pendapat kedua ulama tersebut, tulisan ini ingin mencoba membuktikan "kekuatan" Kaidah-kaidah Fiqih, sekaligus dalam rangka "berdialog" dengan pernyataan kedua ulama di atas. Dalam kontek ini, saya ingin mengungkapkan fenomena menarik "model ijtihad" NU selama ini. Hal yang ingin saya tandaskan adalah bahwa berbagai kasus ijtihad (politik) ulama NU memiliki model tersendiri. Banyak yang menganalisa bahwa NU bisa relatif berumur panjang daripada Masyumi, misalnya, karena tak lebih dari "jasa-jasa" Kaidah Fiqih. Misalnya ketika masa-masa kebijakan NASAKOM. Dilematis sekali, karena NU harus memutuskan pilihan yang amat berat "mengikuti arus" kebijakan Sukarno karena kalau tidak akan dibubarkan seperti Masyumi. KH Abdul Wahab Hasbullah bilang: "Jadilah kayak ikan di laut! Biar berendam dilaut seabad lamanya daging ikan tetap tawar. Kalau tak bernyawa, biar tiga menit saja direndam dalam air garam di kuali, sudah berasa asin." (Politik Ikan dalam Kuali dalam Gatra, Nomor 36/V, 24 Juli 1999). Pernyataan Kiai Wahab tersebut terasa sangat ampuh, seampuh Kaidah Fiqih sendiri. Mungkin seandainya pernyataan tersebut keluar dalam bahasa Arab, ia akan menjadi sebuah kaidah baru. Dan beberapa contoh lain bisa ditengok di M. Ali Haidar, NAHDATUL ULAMA DAN ISLAM DI INDONESIA, Pendekatan Fikih dalam Politik, 1994) Model penggalian hukum (istinbath) NU seperti itu, jelas sangat lain
dengan model-model ijtihad yang semestinya, beristinbath dari sumber-sumber
hukum Islam yang lazim, Qur'an, Hadis, Ijma', Qiyas, dst. Selain merujuk
ke kaidah-kaidah fiqih, model lain yang khas NU adalah mengeksplorasi "ta'bir"
atau lebih tepatnya ungkapan seorang pengarang atau penyusun "kitab kuning".
Yang terakhir ini merupakan sesuatu yang biasa terjadi di saat pemunculan
ide-ide yang berkembang dalam sebuah Bahtsul Masail atau Musyawarah, sebuah
Model istinbath NU tersebut sangat terasa beda dibanding dengan
Beberapa waktu saya sempat heran dan tak bisa menemukan jawabannya.
Sampai akhirnya bertemu beberapa kali dan mendiskusikannya dengan kawan-kawan
senior, dan berkesimpulan bahwa tiada lain fenomena istinbath NU seperti
itu karena faktor kelemahan ulama-ulama NU, tidak mampu (atau merasa tidak
Ketakutan Berkreatifitas? Latar belakang premis di atas berdasar bahwa sebagian besar Kiai (pesantren) NU masih berkutat dengan teks-teks kitab kuning -yang hampir keseluruhannya berhaluan Syafi'iyah- dan enggan mengembangkan daya nalarnya dengan tetap berpegang teguh pada metode-metode istinbath yang ada. Karenanya lebih parah lagi, fatwa-fatwa NU hampir secara luas berkembang identik dengan mazhab Syafi'iyah, kendati sikap dasar NU secara organisatoris mengakui empat mazhab besar, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanbaliyah. Masih jarang ditemukan kiai sekaliber KH. Sahal Mahfudh (sejak 1992
menjabat sebagai wakil Rais Aam PBNU) dalam NU. Ketika dikunjungi oleh
Martin van Bruinessen, pengamat NU, pada Januari 1994, Kiai Sahal dengan
bangga memperlihatkan rak buku yang berisi buku-buku fiqh yang menjejeri
ruang tamunya. "Dan tidak satupun di antaranya kitab fiqh Syafi'i", ungkapnya,
"karena saya sudah menghapalnya di luar kepala, dan saya meletakkannya
di
Kecurigaan saya menjadi terbukti ketika saya mengikuti keterangan Kiai
Sahal secara panjang lebar seluk beluk istinbath dalam NU. Beliau menyatakan
bahwa Ijtihad di NU dipahami sebagai upaya berpikir secara maksimal untuk
menggali hukum syar'i. Beliau juga menyatakan bahwa metodologi Ushul Fiqih
dan Qawa'id Fiqhiyah kedudukan sebagai penguat saja dalam Bahtsul Masail
NU.
Saya mencoba menelusuri kenapa proses pengambilan keputusan dalam Bahtsul Masail NU berlangsung dan hampir menjadi kebiasaan sedemikian rupa? Kira-kira faktor apa yang melatarbelakanginya? Tentu itu merupakan perjalanan panjang; mengapa pesantren-pesantren sebagian besar berada di pedesaan, lamban mengadakan penyesuaian-penyesuaian dengan dunia modern (lagging behind the time), kurikulumnya melulu kitab-kitab syafi'iyah, dan agenda-agenda penting lain yang harus segera dirombak. (Nur Cholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, 1997) Kemudian apa gerangan yang membuat kiai-kiai NU secara psikofisiologis
selalu "merendah" sehingga merasa cukup mampu menyelesaikan persoalan dengan
sekedar mengajukan "ta'bir" dan "Kaidah Fiqih". Menurut saya, poin ini
ada benarnya juga. Banyak Kiai yang "angkat topi" atas pernyataan-pernyataan
kitab kuning yang disusun beberapa abad silam. Bagi mereka, pernyataan-pernyataan
tersebut seakan-akan merupakan fatwa yang hampir seratus persen kebenarannya
dan bisa selalu diikuti. Pada taraf selanjutnya mereka merasa cukup "mengekor"
dan jikalau sekali-kali melakukan kritik saja terhadap teks-teks kitab
kuning tersebut serasa melakukan hal yang "tak wajar". Hal ini saya pikir
berkaitan erat dengan sosiologi masyarakat, apalagi masyarakat Jawa, budaya
basa-basinya yang terlalu berlebihan dll.
Jalan Pintas Ada beberapa keistimewaan yang membuat NU luwes dengan perubahan-perubahan. Keistimewaan-keistimewaan tersebut tentu sekaligus menjadi pengecualian premis-premis yang saya tutur di atas. Misalnya, pada beberapa problematika modern yang sangat mendesak, terbukti ulama NU mampu mengembangkan "kreatifitasnya" dengan berani. Soal dilematis presiden wanita akhir-akhir ini, hubungan Islam dan politik, dan persoalan gender adalah beberapa di antaranya. Dalam kasus-kasus tersebut, kembali peranan Kaidah-kaidah Fiqih menjadi signifikan. Misalnya soal presiden wanita disikapi dengan kaidah "Akhaffud Dlararain" demikian juga hubungan Islam dan politik. Dan kasus gender dilandaskan pada kaidah "Al-Hukmu yaduru ma'a 'illatihi". (Kesimpulan Seminar Nasional Gender (Fiqhunnisa) di Baturaden, 16-17 Juli 1999). Memang, menyangkutkan permasalahan-permasalahan apapun dengan Kaidah Fiqih akan segera terpecahkan dengan mudah. Memberikan keputusan dengan hanya memberikan "tandzir" berupa rangkaian beberapa kata saja. Kasus lokalisasi WTS (wanita tuna susila), lokalisasi perjudian, dan berbagai problematika mutakhir, bisa diselesaikan cukup memakai kaidah "Akhaffud Dlararaini". Bagaimana sebenarnya kedudukan Kaidah Fiqih itu dalam sistem istinbath? Bukankah kaidah-kaidah yang sering dipakai ulama NU itu sangat tidak bertentangan dengan logika. Dan tak jarang Kaidah-kaidah Fiqih itu berbobot universal? Sebuah kesimpulan penting yang saya ingat sampai saat ini adalah yang dicatat oleh Syeikh Mahmud Musthafa Abud Harmusy, dalam karya pentingnya, Al-Qâ'idah al-Kulliyyah, I'mâl al-Kalâm Aulâ min Ihmâlihi wa Atsaruha fi al-Ushul, dia memberikan ketegasan inti di antaranya: hampir semua Kaidah Fiqih telah menjadi kesepakatan antara berbagai mazhab, dan sedikit sekali terjadi perdebatan dalam pemakaian kaidah-kaidah yang ada, kecuali sedikit permasalahan yang bisa segera dirujukkan ke ushul masing-masing mazhab. Hal mana membuat kedudukan Kaidah Fiqih menjadi kuat.(Harmusy, 1987) Berdasar kesimpulan Harmusy tersebut, dengan demikian, Kaidah Fikih mempunyai kekuatan hukum. Tapi sekali lagi perlu saya tegaskan bahwa ia hanyalah "jalan pintas" (shortcut). Bukan jalan pintas dalam arti mempunyai eksistensi yang mampu menerangkan jalinan atau rangkaian mekanismenya, mengapa cara tersebut menjadi pilihan kuat alternatif. Tapi kasus NU seperti itu, saya pandang, merupakan bentuk pelarian, karena kiai-kiai NU kurang mampu menempuh jalan yang lazim sehingga mencari jalan alternatif, yang lebih mudah tentunya. Kesimpulan tersebut saya ambil dari kenyataan bahwa kejadian seperti
itu terjadi secara masif di dunia NU dan seakan-akan menjadi ciri khas.
Kalau pun hal serupa terjadi juga di lembaga-lembaga di luar NU, itu merupakan
imbas gelombang intelektual. Karenanya, kesimpulan akhir saya mengatakan:
bagi kiai-kiai yang mampu menempuh jalan yang agak "memutar", tentu seyogyanya
melewati jalan panjang itu dan ditanggung lebih sempurna hasil ijtihadnya.
Agak melelahkan memang.***
*Duta Masyarakat Baru, 4 Oktober 1999
|
|